Kamis, 20 Oktober 2022
JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (1)
ONDERNEMING TABAPINGIN 1919 (3)
ONDERNEMING TABAPINGIN 1919 (2)
ONDERNEMING TABAPINGIN 1919 (1)
Minggu, 06 Maret 2022
DISERTASI DUDUNG
Minggu, 02 Januari 2022
MENGGALI UNTUK SESUAP NASI
Senin, 15 November 2021
STAMPLAT KEBONDALEM 1974
Senin, 11 Januari 2021
INFRASTRUKTUR PEDESAAN
PAK GUB. DERU, JALAN NIUK~SIRGUNG TAK LAYAK!
Oleh: Hendy UP *)
Semenjak beberapa tahun yang lalu, jalan provinsi yang berfungsi sebagai lingkar luar Kota Lubuklinggau khususnya ruas Simpangperiuk ~ Siringagung ~ GOR Petanang, menjadi jalur sibuk bagai warung makan pasca-Jum'atan.
Betapa tidak! Jenis kendaraan bus AKAP dan truk diesel-fuso jurusan Padang~ Medan dan seterusnya wajib masuk jalur ini karena diharamkan lewat kota di siang hari. Kesibukan ruas jalan ini niscaya akan semakin nir-kendali manakala kelak mulai berfungsinya 'traffic-light' di prapatan Simpangperiuk, karena jalur dari Muarabeliti ke Bengkulu diarahkan ke Lingkar Luar Selatan (L2SL) dan menimbulkan 'delay' dari arah Tanahperiuk. Apatah lagi jika kelak ditegakkan monumen nan megah "TUGU BUNDARAN NANSUKO" di Simpangperiuk. Mengapa tak layak? Faktor utamanya adalah sempitnya jalan provinsi sepanjang tiga kilometeran ini.
Pada saat ini, titik kemacetan akut setidaknya ada 4 lokasi: Pertama di mulut jalan Amula Rahayu sebelum jembatan kembar yang membentangi sungai Kelingi. Kedua di Simpang Satan, ketiga di Simpang Siringagung yang berhimpit dengan RM Mangking plus kios kaki-limanya. Yang ke-empat di sepanjang Dusun Tanahperiuk (Kab. Musirawas), khususnya jika belasan kendaraan parkir di momen keramaian (kematian dan persedekahan).
Ada lagi, lokasi baru yang potensial macet di masa mendatang adalah di pangkal jembatan kembar yakni di tanjakan yang merupakan 'nyawe-gudu' (bottle-neck) ke kompleks perumahan baru di pucuk banyu Kelingi.
Kemacetan laten ini diperparah oleh adanya 'nyawe-gudu' di dua lokasi lain: yakni di pangkal Simpangperiuk, karena ada sungai kecil yang belum diperlebar 'box-culvert'-nya dan kedua di Dam Payung Siringagung yang kini sudah berlobang. Box-culvert kanal irigasi sekunder ke Ekamarga dan Tanahperiuk yang dibangun Belanda tahun 1941 itu, pasti tidak didesain untuk bobot mobil dengan tonase seberat Bus AKAP dan truck overload muatan, apatah lagi untuk Fuso-gandeng dan Tronton delapan belas roda.
Apakah ruas ini masih bisa diperlebar? Jawabannya: BISA! Jikalau kita amati secara seksama, masih ada space kiri-kanan jalan sekitar 2-3 meteran. Hal ini terlihat dari posisi tiang listrik permanen. Tentu saja, kanal drainasenya yang sebelah kiri harus dipindah dan di atasnya bisa dibangun trotroar yang kokoh sehingga bisa berfungsi untuk pejalan kaki, kendaraan motor atau parkir darurat kendaraan roda 4.
Adapun kanal drainase yang sebelah kanan jalan dari Simpang Satan hingga ke simpang Siringagung, agaknya bertahun2 sudah tidak berfungsi lagi. Dan itu bisa ditutup permanen demi pelebaran jalan. Yang jadi kendala mungkin tiang telepon yang centang-perenang yang harus dipindahkan segaris dengan tiang listrik sekarang.
Pelebaran jalan ini sungguh sangat mendesak, karena sudah beberapa kali terjadi kecelakaan mobil yang terjerembab ke kanal drainase khususnya di malam hari.
Sekadar info sejarah, ruas jalan provinsi ini awalnya adalah merupakan akses jalan Simpangperiuk ~ Tugumulyo ~ Sumberharta - Babat- Terawas sepanjang lk. 28 km. Tapi sejak 2007-an ada jalur 'shortcut' Siringagung ~ GOR Petanang sepanjang lk. 9 km yang menjadi jalur alternatif demi mengurangi kemacetan kota. Sayangnya perubahan fungsi jalan tersebut baru diimbangi dengan penambahan jembatan, tapi belum diimbangi dengan pelebaran jalannya.
Jika dua tahun ke depan Pak Gubernur segera menggenjot pelebaran jalan ruas pendek ini, maka niscaya akan menjadi lebih "PD" saat kampanye 2024 kelak. AYO, PASTI BISA! Allohu a'lam bishshowab!
Muarabeliti, 11 Januari 2021
*)Blogger: www.andikatuan.net
Jumat, 01 Januari 2021
SEJARAH EKAMARGA LUBUKLINGGAU
SEJARAH EKAMARGA KOTA LUBUKLINGGAU
Oleh: Hendy UP *)
Kelurahan Ekamarga Kota Lubuklinggau, dahulu kala bernama Airketuan I dan merupakan bagian dari Desa Tanahperiuk, Marga Proatin V Kecamatan Muarabeliti, Kab. Moesi Oeloe Rawas.
Disebut Airketuan I, karena merupakan kampung yang berada di hulu/pangkal sungai Ketuan. Hulu sungai Ketuan dahulu berada di rawa-rawa (kini persawahan) di seberang saluran irigasi primer, di belakang Masjid Ekamarga sekarang.
Sungai kecil itu meliuk-liuk melintasi Dam Payung Sohe (Ketuan II/ Karangketuan), Kampung Ketuan III, Ketuan IV terus melintasi Desa V. Surodadi dan Bumiagung; yang kini menjadi batas alam wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Tugumulyo.
Alkisah, menurut penuturan Muslimin bin Mad Salim (77 th) mantan Ginde/Kades Ekamarga (1975-1984) dan Misyarto (65 th), awal mula Kampung Airketuan I dibuka (trukah), diperkirakan beriringan sesudah pembukaan Kolonisasi Toegoemuljo (1937-1940).
Namun catatan yang bisa dilacak adalah ketika mulai dijadikan status "kampung" dipimpin Punggawa Slamet tahun 1958 di bawah wilayah Dusun Tanahperiuk, Marga Proatin V dengan Pesirah H. Oemar Hasan. Almarhum Slamet adalah Punggawa pertama (1958 ~1965) dengan jumlah penduduk sekitar 20-an KK. Hampir semua penduduk Ketuan I awalnya adalah penggarap sawah milik H. Abdoesomad Mantap. Dan Punggawa Slamet merupakan 'anakbuah' kepercayaannya yang dipindahkan dari Talangpuyuh. Dan kelak, H. Abdoesomad Mantap menjabat Bupati Mura periode November 1966 ~ 12 Agustus 1967.
Pada tahun 1965 hingga 1968 jabatan Punggawa dipegang oleh Muhammad yg juga anak kandung Punggawa Slamet. Lalu tahun 1968 hingga 1975 dijabat oleh Punggawa Tamroni. Baru tahun 1975, status Kampung Airketuan I berubah menjadi Desa Ekamarga (berbarengan dengan Desa Margamulya) terlepas dari Desa Tanahperiuk (era Ginde Ruslan) masih dalam wilayah Marga Proatin V.
Menurut penuturan Muslimin (wawancara 1 Jan 2021), nama Ekamarga diusulkan oleh tokoh masy. Ekamarga dan disepakati oleh Pasirah Oemar Hasan. Kata "eka" merujuk kepada nama asal Ketuan I, sedangkan"marga" diambil dari bagian wilayah Marga Proatin V.
Masih menurut Muslimin, pelebaran dan pengoralan jalan dari Simpangperiuk ke Tugumulyo yg melintasi Ekamarga adalah pada Tahun 1962 di era Bupati Zainal Abidin Ning (1958-1964). Sekadar flashback sejarah, jembatan Simpangperiuk awalnya berupa jembatan gantung (1955/1956-an), dan pernah putus tahun 1963-an.
Bahkan jauh sebelum itu, sekitar di tahun 1937 hingga 1957-an jalur Lubuklinggau ke Tugumulyo melalui tanggul Siringagung dan menyeberangi sungai Kelingi di Tabapingin (sekitar Pemda). Mobil angkut Chevrolet dan Power Wagon yang membawa hasil bumi ke Lubuklinggau hanya bisa menyeberang jika sungai Kelingi surut.
Pembangunan jembatan beton Simpangperiuk baru dilaksanakan pada tahun 1972-1974 (berbarengan dengan pembangunan Jembatan Musi di Tebingtinggi/Empatlawang) oleh BUMN Waskita Karya dan hingga kini masih fungsional sebagai jembatan kembar.
Pasca-terbit UU No. 5 Th 1979 dan aturan derivasinya, maka sebutan Dusun diganti menjadi Desa sedangkan jabatan Ginde diubah menjadi Kades; dan yang memprihatinkan dengan Kpts Gub. Sumsel No. 142 Tahun 1983, maka status Pemerintah Marga dihilangkan dalam sistem pemerintahan daerah. Kades kedua adalah Sdr. Sahuri (1984-1991) dan dilanjutkan oleh Sdr. Legiman sebagai Kades ketiga (1991-2002). Ketika terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), maka status Desa Ekamarga berubah menjadi Kelurahan Ekamarga Kec. Lubuklinggau Selatan.
Catatan sejarah lokal ini lebih merupakan inisiatif awal bagi penulisan sejarah yang lebih lengkap dan akurat, secara berkelanjutan. Kesulitan merekonstruksi catatan sejarah adalah minimnya dokumen tertulis dan semakin langkanya narasumber yang kredibel dengan daya ingat kuat. Semoga tulisan ini mengilhami siapa pun yang berminat untuk mendalaminya; dan dukungan pejabat daerah sungguh sangat besar manfaatnya. Allohu'alam bishshowab.
[*] Muarabeliti, 1 Januari 2021 *) Blogger : www.andikatuan.net
Senin, 07 Desember 2020
SERIAL SEJARAH SILAMPARI (2)
DESEMBER: MONUMEN HEROIK DI BUMI SILAMPARI (2)
Oleh: Hendy UP
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Perang Dunia II melibatkan dua kekuatan: negara-negara "SEKUTU" dan negara-negara "POROS". Terjadi mulai 1-9-1939, ketika Jerman menginvasi Polandia sebagai anggota "Sekutu" (Uni Soviet, USA, Inggris, Prancis, Cina, Australia, Belanda, Norwegia, Polandia, dll).
Jerman bersama Italia, Jepang dll, yang membentuk negara "Poros" menyerah pada 2 September 1945, setelah Hirosima dan Nagasaki di bom-atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Walaupun pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito telah mendeklarasikan kekalahannya, namun ternyata masih terjadi dualisme antar-petinggi di Jepang.
Dewan Penasihat Militer Jepang, khususnya PM Suzuki dan Men-AD Korechika Anami menginginkan terus berperang ketimbang menyerah. Sementara, Men-AL Mitsumasa Yonai (yang didukung Kaisar) menginginkan menyerah. Demikianlah menurut sejarawan militer Amerika Richard B. Frank, dalam buku "Downfall: The End of the Imperial Japanese Empire" (1999).
Akibatnya adalah, para petinggi Militer Jepang di Indonesia bersifat ambigu dalam menyerahkan kekuasaannya. Lebih-lebih karena Lubuklinggau memiliki dua jenis perkebunan besar (sawit di Tabarejo dan karet di Belalau).
Karena hingga Desember 1945 Jepang masih bercokol di Lubuklinggau, dan tampaknya berkolaborasi dengan Sekutu untuk menguasai kembali RI, maka para Laskar Pejuang SILAMPARI merasa jengkel dan marah terutama setelah menangkapi para pejuang dan memenjarakannya serta menurunkan bendera MERAH PUTIH di kantor Pemerintah Daerah (sekarang jadi Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau).
Para pejuang yang ditangkap dan dianiaya Jepang di penjara (Butai) Lubuktanjung (kini Markas Kodim 0406) antara lain adalah: Pangeran Mantap (Pasirah Tiang Pungpung Kepungut), Pangeran Amin RA (Pasirah Proatin V), dan Djikun Gindo Tabapingin.
Penyerangan Markas Jepang direncanakan pada Sabtu, 29 Desember 1945; dan telah mendapat persetujuan Panglima Mayjen Emir M. Noor, Mayor Alamsjah, Mayor Doelhak, Mayor Sanaf, Letkol Ryakudu, Kol. Aboenjani, Kapten Sulaiman Amin, Mayor Saihusin, yakni pada saat kunjungan maraton ke Lahat, Lubuklinggau dan Jambi.
Ratusan pemuda dan sejumlah Suku Anak Dalam mendaftarkan diri. Untuk jaminan konsumsi disiapkan dapur umum di Dusun Selangit, yang dikoordinir oleh M. Sani (Pasirah Marga BK Lakitan).
Komandan penyerangan dipimpin Kapten Sulaiman Amin, yang dibantu oleh KH. Mansyur, KH Latif, HM Tohir, H. Matajah, Lambun; dari TKR Kewedanaan Rawas antara lain H. Hasan, Yusuf Randi dan Yusuf Holidi.
Maka terjadilah serangan heroik Sabtu pagi dengan senjata seadanya yang dibalas senapan mesin Jepang di kawasan Permiri, Stasiun KA dan Simpangtiga Jln. Sudirman. Adapun anggota pasukan yang gugur sebanyak 39 orang lebih, 83 orang penumpang KA (dan para pedagang) dan 85 orang tentara Jepang. Ke-39 orang pejuang itu adalah:
● Dipimpin oleh H. Markati bin Pg. Akim: (1) Kodar bin H. Kudus, (2) Naman bin Bujud, (3) Sutar bin Talib, (4) Sur bin Sehak, (5) Cik Ani bin Samid, (6) Marsin bin Rosik, (7) Alikati bin Manan/Muaratiku, (8) Tupat.
● Dipimpin oleh H. Bani Binginrupit: (9) Sarikan bin Abdul Ani, (10) Saleh bin Salusin, (11) Kacing bin Rahambang, (12) Lingsir, (13) Musa bin Nimat, (14) Usup bin Bujang, (15) Jalal bin Nahting, (16) Abu bin H. Dusin, (17) Haroman bin M. Zen, (18) Dahasan bin Dilisin.
● Dipimpin Jemak dari Karangdapo: (19) Jemak, (20) Makrup/Sungaibaung, (21) Pak Long.
● Dipimpin oleh H. Toher-Matsyah: (22) Mu'is bin H. Hasyim/Maurlama, (23) To'ib bin Zaila, (24) Muhamad bin H. Uning.
● Dari Surulangun Rawas: (25) Rajo, (26) Basir bin Lujud, (27) Nadin bin Bakom, (28) Maid, (29) Sulai bin Tanding, (30) H. Kasim bin H. Kodir, (31) Dua orang Suku Anak Dalam, (33) Dusin, (34) Mahmud bin H. Din, (35) Tohir bin Sain/Maurlama, (36) Ismin bin Jamaludin/Maurlama, (37) Muhamad bin H. Unang/Maurlama, (38) Kartak bin Karto/Maurlama, (39) Dan lain2 yang tidak terinventarisir. [Bersambung...]
*)Muarabeliti, 4 Desember 2020 Blogger: www.andikatuan.net