Senin, 10 November 2025

AIRSATAN MUSIRAWAS 1978 [1]

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Pertama kali aku mengunjungi Airsatan, tercatat pada awal November 1978. Sedari dulu, kawasan ini merupakan daerah persawahan subur yang airnya disuplai langsung dari Dam Watervang via Bendung Tanahperiuk. 
    Menurut cerita para orangtua,  pada tahun 1940-1960-an, Airsatan tak lebih dari kawasan perladangan dan persawahan yang mulai membentuk talang-rompok perkampungan di sepanjang sungai Satan. Sungai ini meliuk-liuk melintasi wilayah Dusun Tanahperiuk, Lubukkupang,  Pedang dan Muarabelitibaru dalam kawasan Marga Proatinlima Kecamatan Muarabeliti. 
    Dalam catatan sejarah, persawahan Airsatan adalah bagian dari areal konsesi hasil perundingan alot antara Penguasa lokal (Pangeran Amin) dengan Penguasa Belanda (Controleur De Mey) pada tahun 1939. Perundingan itu berakhir setelah disetujui oleh Residen Oranje dari Palembang, dengan kesepakatan bahwa areal seluas 6.575 hektar sawah irigasi dibangun untuk Kolonisasi Tugumulyo, dan 2.735 hektar untuk pribumi Proatinlima. Semuanya berada di wilayah Marga Proatinlima yang berbatasan dengan Marga Suku Tengah Ulu Terawas. Setidaknya itulah catatan sejarah yang ditulis oleh KJ Pelzer dari kampus The John Hopkins University,  Amerika Serikat pada tahun 1945.
    Luasan sawah untuk pribumi itu kini tersebar di Dusun Siringagung, Ekamarga, Karangketuan, Tanahperiuk, Lubukkupang dan Pedang. [Pada tahun 1939, yang ada baru Dusun Tanahperiuk, Lubukkupang dan Pedang]. 
    Area di sepanjang aliran sungai Satan itulah yang kelak membentuk kawasan Airsatan. Kini, Airsatan adalah sebuah entitas pemukiman berstatus desa (dua desa), yang berada di Kec. Muarabeliti Kab. Musirawas, Sumatera Selatan. 

B. Evolusi Peradaban 

    Aku tak pernah tahu arti kata  "Satan"; seperti juga masih misteriusnya arti kata "Beliti", "Musi", "Rawas", "Kelingi", "Dempo", "Kerinci", "Seblat", dll. Dalam kajian toponomis, nama-nama sungai dan gunung di Nusantara adalah nama-nama paling purba yang diwariskan nenek-puyang jauh sebelum ada budaya yang terlembagakan. 
    Sedemikian purbanya, sehingga generasi turunannya kehilangan jejak historiknya, karena dahulu kala (era nenek-puyang) belum ada "budaya- tulis" (apatah lagi kamus bahasa) untuk mengarsipkan legasi peradabannya yang kala itu masih didominasi budaya oral-percakapan. 
    Tentang Airsatan, dari pelacakan topo-geografik dan cerita para tetua, aku mencoba merumuskannya secara sederhana. "Airsatan adalah sebuah kawasan pemukiman asri yang masih didominasi oleh area persawahan (dan perladangan) yang berada di sepanjang sungai Satan dan secara administratif pemerintahan termasuk wilayah Kecamata Muarabeliti Kab. Mura".
    Sedangkan sungai Satan adalah "sungai kecil yang berhulu di wilayah Dusun Tanahperiuk,  penampung limpahan air persawahan irigasi, lalu mengalir meliuk-meliuk sepanjang 11 kilometer melintasi wilayah Desa Tanahperiuk, Lubukkupang, Pedang, Airsatan, Satanindahjaya dan Muarabelitibaru dan terjun ke sungai Kelingi di Desa Muarabelitibaru".
    Hulu sungai Satan berada di Bedengbatu, yang kini lebih populer dengan sebutan RM Mangking. Kira- kira sepelemparan batu ketepel dari RM Mangking ke arah utara, itulah posisi hulu sungai Satan. 
    Di belakang Dukuh Satanulu (wilayah Tanahperiuk), sungai Satan bergabung dengan sungai Bruja yang menampung air buangan dari persawahan Ekamarga. Dan ke hilir lagi, bertemu dengan sungai kecil Gambir yang menambah volume air Satan yang kemudian membentuk rawa luas dan dalam di depan Ponpes "Syifaul Janan" milik Ustadz Imam Aspali. Dan persis di depan Ponpes itulah dibangun Dam Bendung Airsatan pada tahun 1973.
    Dari Dam Airsatan, sungai ini terus mengalir melintasi kawasan Dukuh Satan Ilir (masuk Dusun Pedang) hingga ke "Talang Hoiri". Kemudian menembus Kampung Bali Tribina (Desa Suro), terus masuk ke area Bundaran Agropolitan, dan kemudian terjun ke sungai Kelingi di belakang Kantor Desa Muarabelitibaru. (Bersambung...) 

*] Muarabeliti SUMSEL, 9 Nov 2025

Minggu, 09 November 2025

PELABUHAN TANJUNGAPI 2011

Catatan: Hendy UP *]

    Tak sengaja, kami melancong ke Pelabuhan Tanjungapi-api (TAA). "Kami" di sini terdiri dari unsur H2-AN. Yakni: Hendy UP (Dinas Pertanian); Ir. Heriyanto Kadis Nakkan; Ir. Aidil Rusman Kadis PU-BM; dan Ir. Nito Maphilindo Kadis PU-Pengairan. Semuanya ASN dari Pemda Mura. 
    Dari Palembang, ternyata jaraknya jauh juga. Sekitar 80-an kilometer ke arah timur laut. Jalannya lurus-lebar, di atas timbunan rawa, beraspal lapen, mirip jalan tol Kayuagung~Mesuji. Hari itu, 21 Januari 2011, kami sepakat meninggalkan acara dengan Wapres Boediono, karena tiket masuk gelanggang ternyata hanya untuk dua undangan: Bupati & Kepala Badan Ketahanan Pangan. 
    Alhamdulillah, tak harus masuk kurungan tenda besar yang panasnya minta ampun. Di saat ngopi-ngopi dengan kawan-kawan di warung UKM dadakan, di seputaran tenda besar, aku melontarkan ide: "Bagaimana kalau kita melancong ke Palabuhan TAA?" Ternyata tiga kawan tadi setuju. Dan pergilah kami konvoi berempat dengan Strada. ***
    Hari itu, Wapres didapuk membuka acara "Rapat Ketahanan Pangan". Beliau didampingi oleh Mentan Suswono, Kaban Ketahanan Pangan Nasional Dr. A. Suryana dan Dirjen Tan. Pangan Dr. Sumarjo Gatot Irianto. Lokasinya di Kawasan Terpadu Mandiri (KTM) Telang, Kab. Banyuasin, sekitar 4 km dari kota Palembang. 
     Malam sebelumnya, ba'da maghriban, 20 Januari 2011, di sebuah hotel di Jln. H. Barlian, aku menghadiri Rapat Pleno Dewan Ketahanan Pangan. Dipimpin oleh Kaban Ketahanan Pangan, dihadiri unsur Pemda Prov & Kabupaten serta stakeholder utama yakni KTNA. ***
    Kunjungan Wapres Boediono ke Sumsel & Babel ternyata multi- agenda, sehingga didampingi oleh banyak menteri. Yakni Mentan Suswono, Men-PU Djoko Kirmanto, Menpora Andi Mallarangeng, Mendikbud M. Nuh & Mendagri Gamawan Fauzi. ***
    Dalam peta, posisi TAA berada di selatan Taman Nasional Sembilang Kab. Banyuasin. Letaknya di bibir laut Selat Bangka yang menjorok jauh ke rawa-rawa, sehingga aman dari deburan ombak besar. Dalam kajian awal dahulu, konon kawasan Tanjung Carat lebih layak ketimbang TAA  untuk Pelabuhan Ekspor-Import, karena lebih dalam dan aman dari abrasi. Namun rawan ombak besar karena berada di pantai lepas Selat Bangka. 
     Sekitar dua jam berkendara, kami serasa membelah rawa-rawa. Melintasi gugus kayu repuhan, kami seakan menyelinap di antara batang gelam, gabus dan nyiur. Sesekali ada rompok para nelayan yang berseling bangunan kayu tinggi-tinggi mirip perangkap burung walet. 
    Sesampai di pinggir laut, di atas dermaga pelabuhan, kami tegak menantang angin. Nun di timur jauh, tampak gugusan hijau memanjang bagai pagar pantai penepis ombak. Semakin lama dinikmati, semakin nampak ada ilusi optik menari-nari, seakan ingin menggapai seluruh lapis buih yang liar berkejar-kejaran. 
    Di ujung fatamorgana itu, adalah kawasan pantai Muntok di Bangka Utara, yang melahirkan legenda Depati Bahrin dalam perang melawan Belanda tahun 1819~1828.***
     Awalnya, gagasan pembangunan Pelabuhan TAA itu sebagai solusi pemindahan Pelabuhan Kapal Ferry di Bom Baru 35 Ilir Palembang. Mulai pembebasan lahan pada awal tahun 2000-an, sedangkan jalan akses dan tapak fisik pelabuhan mulai dibangun tahun 2004 hingga 2007. Ada jeda mangkrak hingga tahun 2011, dan kemudian diresmikan oleh Gubernur Alex Nurdin pada 11 Desember 2013.
    Namun demikian, peresmian beroperasinya Pelabuhan Laut TAA baru dilaksanakan pada Rabu, 13  Maret 2019 oleh Gubernur Herman Deru bersama Dirjen Perhubungan Laut R. Agus Purnomo. 
    Kini, kapal ferry yang melayani pelayaran ke Muntok, tercatat ada 10 armada dengan intensitas dua jam sekali, dan waktu tempuh sekitar 4 jam dengan ongkos 51~55 ribu perak per orang. Semoga hubungan diplomatik antara Sumsel & Babel selalu hangat dan penuh barokah. (***) 

*] Muarabeliti SUMSEL,  3 Nov 2025