PERANG DINGIN & GERAKAN NON-BLOK (1947-1980-1991)
Oleh: Hendy UP *)
Istilah Perang Dingin (PDi) yang dlm bhs Rusia disebut "kholodnaya voyna" dipopulerkan pertama kali pada 1947 oleh Bernard Baruch & Walter Lippman; untuk menggambarkan ketegangan diplomatik dan militer antara AS (dan Inggris) dg sekutunya (Blok Barat/NATO) versus Uni Soviet (US) dg aliansinya (Blok Timur/Fakta Warsawa). Padahal, AS & US beserta Inggris adalah sekutu utama dalam menghadapi musuh bersama yakni German-Nazi, Italia dan Jepang pada Perang Dunia II 1939-1945.
Muasal PDi itu adalah perbedaan dalil "politik-ideologis" terutama antara AS dan US utk membangun "dunia baru" khususnya di kawasan Eropa pasca-PD II. Di sisi lain, sejak 1943 - 1960 terjadi gelombang demokrasi kedua (Samuel Huntington) dan melahirkan gerakan Dekolonisasi/Antikolonial yg merebak di kws Asia, Afrika dan Amerika Latin; kemudian melahirkan konsepsi baru ttg "self-determination" (kebebasan utk merdeka).
Dampak PDi selama 33 tahunan itu sungguh luar biasa; menimbulkan persaingan sengit di kedua blok, terutama bidang: koalisi militer, ideologi, psikologi, telik sandi, industri militer, teknologi nuklir dan sektor ikutannya. Ketika AS membangun "benteng" pertahanan thd komunis yg dianut US sbg negara komunis pertama di dunia, berdampak thd terbentuknya "koalisi dan aliansi", dan menimbulkan perang regional antarnegara serta invasi di berbagai kawasan.
Perang Korea, perang Vietnam, invasi US thd Hungaria dan Cekoslovakia; munculnya kediktatoran Yunani dan negara2 di Amerika Selatan, krisis Rudal Kuba dan krisis Timur Tengah, pecahnya negara German dengan tembok Berlinnya, adalah dampak turunan atas merebaknya PDi di berbagai kawasan.
Secara de facto, PDi mulai berakhir pada 1980-an ketika pemimpin US Mikhail Gorbachev meluncurkan program reformasi, perestroika dan glasnot; dan sejak itulah secara konstan US kehilangan kekuatannya terhadap Eropa Timur hingga akhirnya US bubar-blas pada 1991 dan kembali menjadi negara Russia dengan risiko hilangnya sebagian wilayah yang mayoritas dihuni ummat Muslimin.
Dihimpit oleh kait-kelindan PDi, Indonesia yang baru saja merdeka, berada pada posisi yang sungguh sulit secara politis-ideologis. Menurut Yudi Latif (2011), PDi membawa "konflik sistem" yang frontal antara sistem pasar yg berorientasi kesejahteraan model demokrasi liberal di satu sisi, dengan sistem ekonomi komando yg berasal dari teori Marxis di Eropa Barat berikut dampak buruknya akibat "laissez-faire".
Untunglah Tuhan mengirimkan Bung Karno & Bung Hatta dari langit sebagai "National-Heroes" ke Bumi Nusantara. Berkat kepiawaiannya, Bung Karno mampu "berduel" secara politik tingkat tinggi dengan kedua pemimpin Blok ((AS & US). Lalu terinspirasi oleh pidato Nehru di Colombo (1954), Bung Karno menyusun konsep besar Gerakan Non-Blok yg kemudian menjelma menjadi KTT Asia-Afrika di Bandung pada 18 April 1955.
Pemimpin Dunia dari Kawasan Asia- Afrika (dan Eropa) yang menggagas Gerakan Non-Blok itu adalah: (1) Bung Karno/Indonesia, (2) Pandit Jawaharlal Nehru/India, (3) Josep Broz Tito/Yugoslavia, (4) Gammal Abdul Nasser/Mesir, dan (5) Kwame Nkrumah/Ghanna Afrika. Bagi Indonesia, KTT-AA dan gerakan Non-Blok ini melahirkan politik luar negeri "bebas-aktif" yg meramu-padukan "political-idealism" dan "political-realism" dlm kancah internationalism. Dengan kata lain, posisi Indonesia utk memperjuangkan koeksistensi damai dlm selimut PDi, bagaikan "MENDAYUNG DI ANTARA DUA KARANG".
Istilah sastrawi ini diungkapkan oleh Hatta di Yogyakarta pada 1948 di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Padahal, metafora dan gagasan Hatta yang cerdas nan bijak ini, juga sedang menyindir suasana konflik internal antarkelompok elite partai sebagai luberan konflik internasional pasca-Linggarjati dan Renville. Allohua'lam!
*) Muarabeliti, 2 Maret 2020
[Ditukil dari berbagai sumber, utamanya buku "NEGARA PARIPURNA: HISTORISITAS, RASIONALITAS DAN AKTUALITAS PANCASILA", Yudi Latif, PT. Gramedia, Jkt, 2011. Cet ke-1, 667 hal].
0 komentar:
Posting Komentar