Rabu, 27 November 2019

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

Oleh: Hendy UP *)

      Sebagai orang kampung nun jauh di Muarabeliti-Sumsel yang belajar ngelmu 'agro~psikologi', menganalogikan KANGEN itu mirip tumpukan unsur phosfor di dalam tanah. Kata Buckman, sang pakar tanah, hingga kiamat kurang dua hari pun, unsur phosfor itu tak akan bermanfaat, jika tak berbentuk senyawa ortophosfat.

       Katanya, bulu-bulu akar (radix pili) yang berujung pada epidermis folikular dalam anatomi flora, hanya akan mampu menjerap fosfor berkomposisi H2PO4 dalam ikatan ortophosfat.

        Sedangkan "REUNIAN" itu menyerupai sosio-teknologi modern sebagai ikhtiar pengutuhan kembali sebuah peradaban komunitas, kaum atau ummat yang pernah menyatu. Bukankah naluri kita selalu ingin menikmati masa lalu? Betapa pun konyolnya, gilanya? Sedihnya, senangnya?

      Karena kita yakin masa lalu mustahil hadir kembali, maka reaksi kita adalah menghadirkan memori masa lalu yang jauh. Mungkin jauh sekali! Sejarak Kampung Edensor di Inggris Utara hingga Kampungku Cimanggu di ujung Banyumas Barat. Yaa, semacam recollecting memories in the past!

        Masih meminjam istilah ilmu pertanahan; ketika momen reunian terjadi, hakekatnya adalah mengondisikan area tanah (yang menumpuk phosfor) kepada nuansa potensial-Hidrogen (pH) yang pas, sehingga terbentuk ortophosfat.

       Maka, unsur-unsur phosfor kerinduan itu meleburlah! Rasa kangen itu membuncahlah! Tawa-ria itu gelorakanlah! Tangis-rindu itu meledaklah! Airmata-syahdu itu melelehlah! Lalu dalam riuh-rendah yang membeliung kelenjar jiwa persahabatan itu, akan kembali tenang nan syahdu. Tanpa geriak nan hiruk-pikuk kekanak-kanakan lagi.

      Namun hati2, dan ingatlah: bahwa teman rindu kita yang berlainan jenis itu bukanlah mahrom kita. Stoppp.... berpelukan! Sesungging senyummu yang tulus dan gestur kerinduan yang tak bisa kita 'bikin-bikin', adalah lebih mulia ketimbang berpelukan erat bagaikan kaum tak beradab dan ketinggalan ta'lim!

      Cukuplah satukan telapak tangan, seperti "mojang Priangan" bersalaman, tanpa sentuh jemari tangan. Bagi yang sama-sama non-Muslim, silakanlah! Atau sesama jenis, monggo-kerso dendam berpelukan: sa'kuate, sa'karepe!

       Penentu titik ekuilibrium dalam momen reunian, boleh jadi postulat dan variabelnya multi ragam. Ada yang ingin mendaki bukit monumen kebersamaan: di ruang kelas, di kantin, di lapangan praktek traktor, di ruang sunyi laboratorium kimia. Atau bahkan ada yang ingin ketemu pacar lama yang tak berjodo. Ada belasan atau bahkan puluhan monumen-memorial yang momennya ingin terulang.

       Hanya sehari berkumpul, tentu ada pengelompokan kaum reunian. Secara alamiyah, gerombolan kelas dan tahun angkatan akan terbentuk. Pasti! Dalam waktu yang relatif pendek, kita tak mungkin menyapa semua. Ada semacam geometrika keakraban yang terpotong oleh garis lengkung yang lain. Sebutlah prioritas memorandum yang pernah terbangun dulu. Entah tentang apa, sepanjang rentang waktu yang menahun.

       Sependek memoriku, paling banter hanya mampu mengingat monumen wajah (dan perangai) teman sekelas yang akrab, teman sesekolah segang kos-kosan, adik kelas yang pernah diplonco dan berkesan, kakak kelas yang pernah berbaik hati. Selebihnya adalah teman alumni yang statusnya ibarat ketemu di ruang tunggu Bandara atau lapangan kampanye Pilkada. Tak saling kenal secara person-emosional.

        Sobatku sealumni, aku berharap kita dipertemukan di arena 'peleburan rindu' kelak. Kita akan menyatu dalam tungku panas peluruhan karat yang telah mewindu membelenggu jiwa. Setidaknya akan merasakan suasana lampau di sekitar Tugu Keresidenan, yang mungkin agak berlumut dan sedikit angkuh.

       PURWOKERTO ...oh Purwokerto! Kota rantauku 44 tahun lalu. Ada jutaan jejak kaki tlah tertimbun masa dan bau tetesan keringat menguyup baju seragam perjuangan!  Sobatku, jika niatku tak kesampaian ke Reunian kelak; karena berbagai kemungkinan, aku hanya mampu bergumam: "Someday you will know, that no one can love and miss you, as much as I do".

*) Blogger: www.andikatuan.net.
     [Muarabeliti, 3 Sept 2019].

Senin, 25 November 2019

KARTOMAS: DELINKUEN & NARKOBA?

KARTOMAS: DELINKUEN & NARKOBA?

Oleh: Hendy UP *)

      Kartomas adalah nama sebuah jalan. Merujuk ke UU No. 38 Tahun 2004 juncto PP No. 34 Thn 2006 tentang Jalan, mungkin berstatus jalan desa. Sedangkan menurut UU No. 22 Tahun 2009 ttg LLAJR, mungkin berkelas II dengan muatan sumbu maksimal 8 ton. Karena proses simplikasi "penjolokan bahasa", nama jalan itu kini berubah menjadi nama kampung.

    Secara administratif pemerintahan, kampung Kartomas merupakan tlatah RT 03, Kelurahan Karangketuan Kec. Lubuklinggau Selatan II, di wilayah Kota Lubuklinggau yang berada di ujung Barat Laut Provinsi Sumatera Selatan.

     Dua puluh tahun yang lalu, kampung Kartomas yang dulu disebut Talangdarat - Lubuktube sungguh terasa nyaman, asri nan aman. Di pagi buta, kanal irigasi sekunder menuju Airlesing yang dibangun tahun 1971-1972 itu, airnya bening nir-sampah dan menghanyutkan keberkahan bagi kemakmuran Masyarakat Tani di wilayah hilirnya. Barangkali itulah nilai gagasan moral-ideologisnya ketika Van Deventer meluncurkan tagline "Edukasi-Imigrasi-Irigasi" terlepas dari konteks "balas jasa" atas kekejaman Kolonialis negerinya.

     Atau barang pasti, sebuah obsesi Sang Pangeran Amin Ratoe Asmaraningrat (Pesirah Proatin V), ketika "berduel-argumentasi" dengan Controleur Onderafdeling Musi Ulu untuk membangun jaringan irigasi di luar Kolonisasi Toegoemuljo di tahun 1935/1936. Sekadar catatan, 20 desa Kolones yang dibentuk tahun 1937 hingga 1940 semuanya berada di wilayah Marga Proatin V (Disertasi KJ Pelzer, 1945).

       Tapi hari-hari ini, jika di pagi buta kita mengamati aliran irigasi, sungguh sangat memrihatinkan: aneka koloni sampah berarak, berbuntal plastik dan kardus tersanggat-sanggat di jembatan usahatani, mengalir entah kemana! Betapa masyarakat masih rendah kesadarannya akan kebersihan lingkungan. Subhanalloh...!

     Tapi ada yg lebih menggusarkan jiwa. Kondisi ekonomi masyarakat Kartomas yang mayoritas penggarap sawah, buruh tani dan kerja srabutan, melahirkan "generasi delinkuen" yang diformat lingkungan tak sehat seperti sabu, narkoba dan sejenisnya.

      Secara sosiologis, Dilinkuen adalah sebuah kondisi penyimpangan dan/atau penyelewengan perilaku remaja akibat kurangnya pengasuhan orangtua dan berbasis ketakharmonisan keluarga. Pada galibnya, faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan (dan agama) adalah pangkalnya. Dan gejala ini agaknya terjadi tidak hanya di kawasan Kartomas, namun gejala umum di semua kawasan.

     Meminjam istilah sosiologis, bahwa motif penyimpangan sikap remaja, baik yang tunggal maupun yang gabungan, bisa bersifat: biogenetis, sosiogenetis atau bahkan teogenetis. Utk kasus delinkuen Kartomas - yang terbentuk antara tahun 1990-an hingga 2000-an - agaknya lebih akibat gabungan aspek sosiogenetis dan teogenetis. Sebagai studi kasus, Pemerintah (dan Pemkot Lubuklinggau) bisa memperdalamnya dengan metode survei sederhana atau metode kajian lain yang kredibel.

      Banyaknya anak putus sekolah dan/atau tamatan SD-SMP-SMA (tanpa keterampilan) di tengah sulitnya lapangan kerja serta status delinkuen para remaja, menjadikan warga Kartomas gusar oleh kejadian pencurian dalam tiga tahun terakhir ini; baik siang hari, apatah lagi malam hari.

       Dari perilaku mereka, menguatkan dugaan bahwa pengaruh narkoba telah berdampak akut atas kasus: maling motor, ayam, pisang, kelapa, mesin air, paralon kolam, fasilitas masjid, seng pondok di sawah atau apa saja yang bisa ditampung oleh penadah entah di mana.

     Duit hasil curian, dibelanjakan utk: narkoba, rokok, minuman dan pulsa. Mayoritas warga gusar, Pak RT 03 sangat kesal dan Lurah hanya terima laporan. Beberapa kali warga lapor ke Polsek atas rekom RT, namun hanya memperbanyak dokumen pelaporan saja. Ikhtiar POLSEK utk membekuk oknum maling tak pernah terdengar beritanya, apatah lagi hasil buruannya.

      Kartomas... oh Kartomas, nasibmu semakin  merisaukan, karena para penghuni remajanya banyak yang berprofesi sebagai "RISAU". Wallohu a'lam bi shawwab!

*) Muarabeliti, 25 November 2019.

Blogger: www.andikatuan.net