Selasa, 29 Oktober 2019

IRIGASI AIR-RAWAS: QUO VADIS? (2)

IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (2)

Oleh: Hendy UP *)

      Pasca-terbentuknya DOB Muratara, Bupati Musirawas bersurat kepada Penjabat Bupati Muratara, bahwa demi keberlanjutan program ketahanan dan kemandirian pangan nasional (khususnya beras) Proyek Irigasi Air Rawas perlu dilanjutkan.

      Surat bertanggal 26 Februari 2014 itu juga menginformasikan bahwa pada tahun 2013 Pemda Mura telah menganggarkan Rp. 10 milyar untuk pembebasan lahan tapak bendung perangkap air (watervang). Namun, karena bersamaan terbitnya Perppres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah utk Kepentingan Umum; dan menunggu aturan teknikalitasnya (sebagai derivat atas UU No. 2 Tahun 2012), maka kegiatan tersebut tidak bisa dilaksanakan.

     Berdasarkan dokumen Studi Kelayakan (FS) Air Rawas, keperluan tanah untuk tapak bendung dan jaringan pendukungnya diperlukan lahan seluas lk. 141,73 hektar yang berada di Desa Sungaibaung dan Pulaulebar dan beberapa desa di holirnya. Untuk proses pembebasan lahan tersebut telah terbit Kpts. Gubernur Sumsel No. 714/Kpts/I/2013 tentang Pendelegasian Kewenangan Pelaks. Persiapan Pengadaan Tanah Kepada Bupati Mura. Namun lagi-lagi terbentur aturan teknis dari Pusat yang belum terbit.

     Selain Desa Sungaibaung dan Pulaulebar yang menjadi lokasi bendung, beberapa desa lainnya yang potensial terdampak pembangunan jaringan irigasi dan percetakan sawah adalah: Kertadewa, Sungaijauh, Sungaikijang, Remban, Lesungbatu, Lesungbatumuda, Surolangun, Lawangagung, Karangwaru, Simpangnibung, Sungailanang, Lubukkemang, Karanganyar, Kertasari, Rantaukadam, Karangdapo, Biarolamo, Aringin, Binginteluk, Beringinsakti dan Desa Tanjungraja.

     Untuk membangun partisipasi masyarakat yang akan terdampak pembangunan irigasi, tentunya memerlukan strategi multi-aspek yang bijak-bestari, transparansi dan kejujuran dengan aneka pendekatan yang 'mahasabar' dari aparatur Pemda. Jaringan urat sabar perlu lebih dilenturkan dan dua daun kuping wajib diperlebar.

     Akan tetapi, belajar dari pengalaman penerapan teknologi baru di bidang apapun (sosial-teknikal-manajerial), khususnya dari kultur berkebun dan model usahatani ekstraktif lainnya ke sistem persawahan 'padat kerja', diperlukan waktu lama dan percontohan usahatani yang nyata nan realistis. Perubahan jarak psikologi-kultural dari tradisional ke semi modern, modern dan post modern, niscaya perlu panduan dan mentor terus-menerus dari Pemerintah dan tak kenal lelah.

      Apapun cerita perjuangannya kelak dan sikap antisipasif untuk mewujudkan Proyek Irigasi Air Rawas, yang jelas para Birokrat dan Teknokrat Negeri ini, baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan ke bawahnya, harus diniatkan untuk ibadah.

     Bukankah kata al-mukarrom UAS dan UAH menjadi Pejabat itu akan berpeluang memperoleh pahala (dan bonusnya) untuk cepat lolos ke Surga dari pintu mana pun? Allohu'alam. Semoga saja! [*]

Muarabeliti, Oktober 29, 2019.

*)Blogger: www.andikatuan.net

IRIGASI AIR-RAWAS: QUO VADIS? (1)

IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (1)

Oleh: Hendy UP *)

     Proyek irigasi Air Rawas yang dulu digadang-gadang bakal mencetak 10.000 hektar sawah baru, kini seakan tenggelam ditelan pusaran Muararawas atau tertimbun bongkahan batu galena di Pulaukida Rawas Ulu. Bagaimana nasibnya?

      Sebagai insan pertanian yang prihatin dengan konversi puluhan hektar sawah subur menjadi rumah dan kebun di Kawasan eks Kolonisasi Merasi - baik karena kebutuhan pemukiman maupun kekesalan petani karena tak kebagian air irigasi - saya berharap akan tergantikan dengan percetakan sawah baru di Kab. Muratara. Ini semata demi stabilitas pangan di Negeri Silampari secara berkelanjutan.

      Secara nasional, pertumbuhan produksi beras yang 'naik tak memadai' (involutif, tak sebanding dg naiknya kebutuhan) dan cenderung 'mentok-naik' (levelling off) belakangan ini, merangsang Petinggi Negeri berpikir keras nan jangka panjang.

     Presiden Jokowi di era pertama (2014-2019), bertekad membangun sektor pertanian dengan tagline #satutiga-49. Maksudnya: akan mencetak sawah baru 1 juta hektar, merehabilitasi sawah (dan irigasinya) 3 juta hektar, serta membangun 49 bendung irigasi baru. Apakah kini sudah tercapai? Berita di portal website mengabarkan: banyak bendungan mangkrak, irigasi kerontang dengan aneka persoalan klasik. Allohu'alam!

      Sebagai DOB, Kab. Muratara memiliki kekayaan luar biasa. Di samping tanahnya menyimpan deposit aneka tambang mineral dan gas bumi, di bagian hulunya menyimpan jutaan mata air yang mengalirkan sumberdaya mahapenting untuk keberlanjutan ummat: it's million of cubic water!

     Hasil studi kelayakan (FS) pada tahun 2007, debit Air Rawas tercatat 20 liter per detik. Secara konstruktif-teknologis, dengan tingkat elevasi dan level kemiringan, dan derajat porositas tanahnya plus manajemen tata kelola irigasi yg ketat, diperkirakan mampu mengairi sawah minimal 10.000 hektar.

      Tentu saja, untuk mempertahankan debit itu, Pemda Muratara wajib menjaga keutuhan kawasan hulu sebagaimana diamanatkan UU Sumberdaya Air terbaru, yakni UU No. 17 Tahun 2019 yang baru diundangkan beberapa minggu lalu. Lantas, apa persolaan mandegnya Proyek Irigasi Air Rawas? Bahasa kerennya: Quo Vadis? Alumni pesantren menggumam: kayf masir alwazifa?

      Persisnya saya tak pernah tahu. Tapi tahapan langkah proseduralnya sudah cukup memadai. Catatan harian saya di tahun 2005, ketika saya masih berstatus birokrat, utk pertama kalinya saya mendengar paparan Ir. Intan dari Dinas Pengairan Mura di hadapan Bupati tentang prospek pembangunan irigasi Air Rawas.

     Dalam catatan saya, Pemkab Mura (sebelum ada DOB Muratara) telah melaksanakan FS tahun 2006/2007, studi AMDAL tahun 2008/2009; dan kemudian Pemprov. Sumsel telah menyusun Detail Enginering Desain (DED) pada tahun 2012. Pada tahun 2015/2016 (pascaterbentuk DOB Muratara) pihak Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII telah rampung mengadakan Review DED.

      Dilanjutkan pada tahun 2017/2018, studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) telah menjadi bundel dokumen yang sangat berharga. Sekadar mengingatkan saja, bahwa studi LARAP adalah persyaratan mutlak utk memulai pembangunan skala besar, yakni berupa dokumen atas aktivitas pencarian pola/model aksi dlm. proses pembebasan lahan, bangunan dan tanam-tumbuh serta pemindahan penduduk yang terkena dampak pembangunan dengan pendekatan partisipatif.

     Jika tahapan studi LARAP sudah usai, maka langkah selanjutnya mungkin perlu ijin pendelegasian dari Gubernur untuk pembebasan lahan, baik utk tapak bendung maupun jaringan konstruksi primer, sekunder, tersier, dam bagi dan seterusnya.

      Sembari menunggu proses penyusunan RAPBN-P tahun 2020 dan APBN 2021, dalam hiruk-pikuk koalisi Kabinet Indonesia Maju Jilid II, niscaya Bupati Muratara telah menyiapkan berbagai dokumen untuk melengkapi usulan baru tentang keberlanjutan Proyek Irigasi Air Rawas. [*]

Muarabeliti, Okt 29, 2019.

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 09 Oktober 2019

BUNDARAN SIMPANG BINGUNG

BUNDARAN SIMPANG LIMA "SIR-GUNG" & TUGU NANSUKO

Oleh: Hendy UP *)

    Demi menghindari kemacetan pagi mulai dari KOMPI Tabapingin hingga Simpang RSEA (Reconstruction South East Asia, bukan RCA), saya sering kali memilih jalur 'short-cut': Ketuan - Siringagung - Batuuripbaru - Kenanga II - Simpang RSEA Lubuklinggau.

    Di Simpanglima Siringagung, beberapa meter dari SPBU, para driver harus hati2 karena akan berbelok 'kiri-patah' sekitar 45°, lalu mengular kanan patah 45° menuju Kenanga II. Kondisi Oktober 2019 ini, khususnya jam-jam pagi, sudah lumayan sibuk kacau-balau. Orang Sunda menyebutnya'ribeut-pabeulieut'. Sedemikian kacaunya dan tanpa rambu penunjuk arah, warga setempat menyebutnya "SIMPANG BINGUNG".  Di pagi hari yang dominan adalah: pelajar (SMAN 4 & SMAN 7)- para ASN dan buruh-tani.

   Lalu saya membayangkan kondisi lalu-lintas yang potensial 'kacau-macau' ini pada 20 atau 50 tahun yang akan datang. Karena pembaca blog saya [www.andikatuan.net] tidak hanya 'Wong Silampari' (Lubuklinggau-Mura-Muratara) saja; bahkan 2- 3% nya warga USA, Australia dan Eropa, maka perlu saya definisikan Simpanglima SIR-GUNG itu apa.

    Sir-Gung itu kata pangkasan dari Siringagung, sebuah kelurahan di wilayah Lubuklinggau Selatan II, kota kecil di ujung Baratdaya Provinsi Sumatera Selatan. Kota ini dijuluki Kota Transito, karena dilalui jalur tradisional Trans Sumatera dari Jawa - Lampung - Palembang - Bengkulu - Jambi - Padang hingga ke Aceh. Simpanglima Sir-Gung berada di jalur ini.

   Simpanglima ini adalah titik sirkuit yang memecah lima trace-akses: (1) menuju GOR Petanang/Lintas Sumatera, Jambi, Padang dst, (2) menuju Kawasan Tugumulyo/Ibukota Muarabeliti/Tanahperiuk Musirawas, (3) menuju Batuurip/Kenanga II/Lubuklinggau, (4) menuju Watervang/Kelurahan Siringagung, (5) menuju SMAN 4/Kel. Siringagung. Dan mulai sekarang, Simpanglima ini harus segera dipikirkan solusinya agar kelak menjadi "SIMPANGLIMA SIR-GUNG" yang megah nan indah, bahkan bisa dijadikan "Ikonik Lubuklinggau Kota Metropolis Madani".

     Di tengahnya menjulang monumen TUGU NANSUKO yang bersorban bunga Celosia aneka warna; di malam hari terpendar terang 'lampu bar-lip' seolah mendesau-risau mengejar percik lengkung geometrika air mancurnya. Dan 'petang-ahay' menjadi objek selfi anak milenial yang lelah setelah belajar seharian. Tugu monumen berjolok NANSUKO adalah wajar sebagai bentuk penghargaan atas legasi yang akan diingat sepanjang masa.

    Saya tidak pernah membaca dokumen RTRW atau RDTR Kota Lubuklinggau. Tapi saya yakin sudah ada, termasuk planning Simpang Sirgung ini. Tentu saja saya tidak perlu mengutip butir-butir pikiran Melville C. Branch, Aurosseau atau Interpreting The City-nya Mang Truman Hartshorn. Tapi yang pasti, 10 hingga 50 tahun ke depan, Simpang Lima Sir-Gung akan sangat potensial kacau jika tak dipikirkan mulai sekarang. Dua hal yang saya bayangkan.

    Pertama, laju aktivitas transportasi yang akan melintasi Simpanglima Sir-Gung pasti sangat tinggi. Ditambah kemacetan di jalur kota akan memindahkan jalur kemacetan ke Jalur Kenanga II dan/atau jalur GOR Petanang. Pertumbuhan kawasan permukiman, kompleks pendidikan dan industri jasa lainnya di jalan baru Siringagung - GOR Petanang sangat potensial berkembang.

     Hal ini didukung oleh status jalan tersebut sebagai jalan poros Lintas Sumatera. Kedua, akan sangat tersiksa dan tidak nyaman para pemilik rumah yang berada di sirkuit Simpanglima. Sangat berbahaya bagi anak-anak mereka dan sangat sulit manuver kendaran yang akan keluar-masuk garasi rumahnya. Mungkin sekarang mulai merasakannya pada jam-jam sibuk. Apakah Pemerintah Kota akan diam saja? Tentu harus segera bertindak dengan penuh kebijakan dan visioner!

    Saya berharap, political-will Pemkot Lubuklinggau yang sungguh-sungguh visioner akan menuntaskan apa pun kendala teknikalitas di lapangan. Kuncinya adalah membangun komunikasi yang setara tanpa harus kehilangan wibawa Pemerintah.[*]

Muarabeliti, Rabu 9 Oktober 2019 *) Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 07 Oktober 2019

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR (2)

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR, AHAD HARI PERTAMA NGANTOR (2)

Oleh: Hendy UP *)

        Sepanjang pelacakan sejarah, ternyata mayoritas negara di dunia meliburkan aktivitas pemerintahannya pada hari AHAD, dengan alasan utk melaksanakan ibadah. Lain halnya negara-negara Jazirah Arab dan Timur Tengah yang meliburkan aparatur negaranya pada hari Jumat, dengan alasan yang sama: utk mengkhusyukan ibadah. Hanya Israel yang berlibur Sabtu, juga dengan alasan utk ritual di Sinagog dan 'menghadap' Rabbi Dovid Gutnick.

     Demi menguji nalar sejarah bangsa tentang hari AHAD sebagai Hari Libur Nasional, saya melacak sumber hukum yang mendasarinya, yakni: (1) Penetapan Pemerintah (Penpem) Thn 1946 No. 02/Um; (2) Kepres Thn 1953 No. 24; (3) Penpem Tahun 1964 No. 2/Um, 7/Um dan 10/Um juncto Penetapan Menteri Agama Tahun 1952 No. 8 tentang Hari Libur.

      Dasar hukum yang lebih bersifat teknikalitas antara lain: (1) Keppres No. 68 Th 1995 tentang Hari Kerja Di Lingkungan Lembaga Pemerintah, yang merujuk kepada UU No. 8 Thn 1978 ttg Pokok-Pokok Kepegawaian; (2) PP No. 30 Thn 1980 yang diganti PP No. 53 Thn 2010. Itu pun hanya terkait dengan disiplin dan jam kerja PNS; (3) UU No. 5 Tahun 2014 ttg ASN yang terdiri dari 141 pasal, hanya satu ayat (Pasal 86) yang terkait dengan disiplin ASN.

       Jadi, sependek pengetahuan saya, landasan hukum hari kerja (dan hari libur) nasional di Republik ini adalah Keppres No. 68 Tahun 1995. Mungkin saja, saya mengidap penyakit 'kurapan' (kurang update aturan).

      Tapi sejujurnya, saya belum pernah membaca naskah akademik atau 'legal reasoning' atas aturan hukum tentang Hari Libur Nasional. Saya terkejut ketika membaca naskah penjelasan Kepres RI No. 24 Th 1953 tentang Hari Libur. Begini: "Dengan menyimpang dari Penetapan Pemerintah Th 1946 No. 2/Um Pasal 5, maka di samping hari minggu, yang pada umumnya dijadikan hari istirahat, ditetapkan hari-hari libur sebagai tertera dalam Pasal 1 Keputusan ini". Kata kuncinya: "yang pada umumnya".

     Jadi bukan kajian naskah akademik dan legal reasoning yang dijadikan dasar penetapan. Sedangkan Penpem Tahun 1946 No. 2/Um, hanya mengatur tentang Hari Raya: 2 hari utk Hari Raya Umum; 8 hari utk Hari Raya Islam; 5 hari utk Hari Raya Kristen; 4 hari utk Hari Raya Tion Hwa.

        Agaknya, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI hingga hari ini, Pemerintah mengalami 'delirium' akut. Memang kita mafhum, di awal tegaknya Republik ini belum terpikirkan akan dampak liburnya hari Ahad sebagai hari libur nasional. Akan tetapi secara tak sadar, masyarakat Muslim dikacaukan aqidah Islamiyahnya. Dan itulah strategi intelektual Non-Muslim dalam melucuti budaya Islamiyah secara halus dan terencana.

       Di pedesaan Silampari, khususnya Kecamatan Muarabeliti, TPK, Muarakelingi, Muaralakitan, Terawas dan sekitarnya, yang nota bene mayoritas Muslim, dan sebagian warga masih mukim di Talang/Kebun, terdapat istilah: "Ahay Jemat belik kusun" (hari Jumat pulang ke dusun). Maknanya, sesibuk apa pun di kebun, pada hari Jumat niscaya mereka pulang ke dusun untuk shalat Jumat (dan silaturahim, memaknai kata 'sayyidul ayyam'). Bahkan istilah 'sepekan' sering disebut "sejemat", bukan 'seminggu'.

       Saya mengusulkan bahwa kondisi 'delirium' akut Pemerintah perlu disadarkan; dengan menggerakkan 'civil society'. Dalam istilah ilmu jiwa delirium itu adalah kondisi gangguan serius pada kemampuan mental yang menyebabkan kebingungan dan kurang sadar akan lingkungan sekitar.

     Mungkin saja, selama periode 1945 - 2019 ini Pemerintah terlalu banyak mengkonsumsi 'kortikosteroid-ideologis' dan lupa membuka 'kompendium' ketatanegaraan sebagai pertimbangan legal.

     Perlu diterbitkan dasar hukum yang kuat tentang Penetapan Hari Kerja dan Hari Libur Nasional (HK-HLN), tidak sekadar Perpres, tapi dengan UU. Dan saya 'haqqul yaqin' landasan 'naskah akademik' dan 'legal reasoning' RUU HK-HLN akan sangat klir, baik pada aspek kajian filosofis, yuridis, sosiologis maupun teologisnya. [*]

Muarabeliti, Minggu 6 Oktober 2019.

*) Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 04 Oktober 2019

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR (1)

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR, AHAD HARI PERTAMA NGANTOR

( Oleh: Hendy UP *)

   Sudah cukup lama saya mengendapkan gagasan ini! Dan beberapa tahun ini, telah berkeliaran wacana sejenis di berbagai portal berita. Sebagai orang yang suka membaca sejarah, mengkaji dan merenungkan filosofi kehidupan, termasuk budaya birokrasi, saya meyakini bahwa ada warisan tradisi Kolonial penjajah yang 'menulang-sumsum' di masyarakat dan harus segera dienyahkan dari Bumi Indonesia.

    Renungan itu mulai menggumpal dan memunculkan gagasan kontroversial, tatkala saya menamatkan dua jilid Buku "Api Sejarah, Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan NKRI" karya Ahmad Mansur Suryanegara (Surya Dinasti, 2016). Buku yang dihasilkan dari pelacakan dokumen otentik, sarat data dan fakta (baru) yang selama ini disembunyikan Penjajah Kolonialis, kini menjadi rujukan utama dalam studi-studi sejarah kontemporer di Indonesia dan Dunia Islam.

    Dari renungan aspek sosio-religius, historiografi dan demografi, saya mengusulkan bahwa sudah saatnya Pemerintah (Presiden dan DPR) menerbitkan keputusan politik berupa Keppres atau Surat Edaran (SE), atau selemah-lemahnya Maklumat Presiden tentang perubahan hari kerja nasional. Isinya: hari Jumat-Sabtu libur nasional dan Ahad adalah hari pertama masuk kerja kantor pemerintah.

    Di level Pemda kab/kota, saya haqqul yakin, jika ketiga atau salah satu Petinggi Silampari ini berani 'take risk' dengan mendeklarasikan ini, akan viral ke seantero jagad dalam beberapa pekan. Petinggi negeri RI dan bahkan Dunia Islam akan terbelalak demi menyaksikan keberanian langka dlm 'berjihad' menegakkan tradisi Islam dari lembah ngarai yang telah tertimbun konspirasi Tri-G (Gold, Glory, Gospel) pasca-perjanjian Tordesilas (1494 M) antara Kerajaan Katolik Spanyol dengan Kerajaan Katolik Portugis.

      Apa argumentasi yang valid untuk mendeklarasikan ide ini? Pertama, adalah dukungan fakta demografis bahwa mayoritas penduduk (>90%) adalah Muslim. Mayoritas Muslim, niscaya dalam jiwanya berkeinginan untuk mengembalikan tradisi syar'i Islamiyah.

     Selama hampir 4 abad, tanpa disadari telah dikooptasi oleh tradisi Penjajah Kolonialis, sehingga kata 'Ahad' entah sejak kapan berubah menjadi 'Minggu'. Padahal kata 'minggu' diambil dari bahasa Portugis 'dominggo' yang berasal dari bahasa Latin 'dominicus' --> Dia do Senhor (Hari Tuhan Kita). Jadi liburnya hari Ahad itu, karena mereka (penjajah) akan pergi ke rumah ibadah.

      Birokrasi pemerintahan RI yang adalah warisan Kolonial, tidak pernah menyadari atau tidak ada keberanian utk mengembalikan tradisi lama Kesultanan bahwa semestinya birokrasi Pemerintahan meliburkan pegawainya pada hari Jumat utk mengkhusyukan ibadah Jumat. Bukankah hari Jumat itu disebut sebagai 'sayyidul ayyam"?

        Memang ada keanehan sejarah, bahwa setidaknya pada akhir tahun 1980-an terjadi 'penghapusan' kata Ahad di kalender; dan diganti kata Minggu. Istilah 'sepekan' diganti 'seminggu'. Konspirasi yang luar biasa telanjang! Kedua, dari aspek kajian historiografi bahwa jauh sebelum negeri ini dijajah, telah terbangun kultur Islamiyah dalam model Kesultanan.

      Aspek budaya yang paling kentara adalah bahasa tutur dan tulis. Buktinya, lebih dari 60% kosa kata Indonesia berakar dari tradisi Islam. Di awal peradaban, kita hanya mengenal sebutan hari: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Tidak ada yang menyangkal bahwa kata-kata tersebut diserap dari bahasa Arab.

       Secara sosio-religius mungkin bisa diujicoba di beberapa provinsi, kab/kota yang mayoritas beragama Islam. Bahkan, kalau saja ada keberanian Bupati Musirawas, Muratara dan Walikota Lubuklinggau mendeklarasikan hal ini, pasti akan menjadi legasi dan bahkan akan menjadi catatan tersendiri bagi Bangsa Indonesia. Sekali-kali dong! Petinggi Silampari bikin Prestasi Nasional Islami (PNI) yang mungkin oleh sebagian orang dianggap 'out of the box'.

Muarabeliti, Jumat 4 Oktober 2019. *) Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 23 September 2019

FILM HAYYA: VITALISME BENNY ARNAS

Oleh: Hendy UP

    Alhamdulillah aku telah menyaksikan film HAYYA: THE POWER OF LOVE 2. Film berdurasi sekitar 100 menit itu mulai tayang serempak di 140 bioskop Indonesia pada Kamis, 19 September 2019. Diangkat dari novel "HAYYA" karya Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas.  Aku sungguh beruntung mendapat undangan khusus dari penulisnya, Benny Arnas, untuk Nobar di Bioskop Lippo Lubuklinggau, kota kecil di ujung Barat Sumsel.

       Sepuluh tahun yang lalu aku diperkenalkan nama Benny Arnas oleh anakku Setta yang tengah 'glomat' menimba ilmu di Bulaksumur Yogya.  Mereka sama-sama aktif di Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah wadah pengkaderan penulis muda yang digagas oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati dkk (Fak. Sastra UI) sekitar tahun 1997-an. FLP kemudian tumbuh merambah ke berbagai perguruan tinggi dan kota-kota di seluruh Indonesia.

     Karena aku menyukai dunia sastra, hampir setiap saat aku mengunjungi blog sastra [https://www.lakonhidup.com] yang rutin setiap minggu memublikasikan cerpen yang dimuat di lebih lima koran nasional. Di blog sastra yang kini pengunjung setianya  mencapai 9 juta lebih itu, bertengger teratas nama Benny Arnas sebagai PENULIS PALING PRODUKTIF. Ah... ternyata, penulis Lubuklinggau ini mengalahkan produktivitas penulis mana pun!

    Di awal tahun 2019 ~ sepuluh tahun kemudian ~ qodarulloh aku dipertemukan dengan Benny di rumah seorang teman di Watervang, Tegi Bayuni. Pertemuan tak terduga itu menyita hampir 4 jam untuk ngobrol ngalor-ngidul seputar sastra-bahasa. Ada kesamaan obsesi bahwa sastra dan budaya Silampari harus diangkat ke galeri budaya nasional, bahkan portal sastra dunia internasional.

     Sungguh aku bangga dan mengapresiasi Benny karena dua hal. Genuin lokal ini tegar nan tangguh mendobrak karang Bukit Sulap yang memadas-batu untuk membangun lorong pencerahan menuju kawasan ujung lain yang benderang. Tak lelah melepuh tulang sendi nafasnya, ia merayap menapaki puncak bukit Sulap, menyapa liukan nyiur pedesaan di bawah sana sembari menghitung gugus gumpalan awan-gemawan. Mengamati lengkung geometrik derasnya angin, bahkan menghadang puting-beliung dengan rapal-ritual yang meyakinkan jati dirinya: bahwa masa depan wajib diperjuangkan, bukan menunggu di bawah batang durian sembari berharap liukan angin meluruhkan buah di cabang-rimpang!

      Kedua, sosok Benny adalah sebuah vitalisme. Jauh melampaui idealisme dan materialisme kehidupan. Tampaknya Benny meyakini bahwa kenyataan hidup yang sejati adalah energi, daya-kekuatan, bahkan gaya yang melecut nafsu berkarya merasuki jiwa irrasional. Lalu melahirkan konsep elan-vital demi meraih kejayaan, meninggalkan sekat-sekat ras-etnologia yang menggelayuti budaya lokal yang cenderung pasrah menyerah.

    Benny bergegas mendedag, meronta dari cengkeraman dimensi inderawi. Memang secara filosofis, kehidupan dan energi tidak musti saling intervensi. Dan Benny tegak di tengah medan juang, mendamaikan norma kehidupan dusun moyangnya dengan energi vitalisme yang bergolak dalam jiwanya. Dua puluh dua lebih karya sastranya adalah bukti sejarah yang mengukuhkannya.

     Puluhan karya dan dua filmnya adalah monumen JIHAD BUDAYA atas nama Benny. Novel dan film HAYYA adalah puncak prestasi yang terus akan ditindih oleh prestasi barunya. Kepiawaian Benny merumuskan strategi juang-jihadnya sungguh tampak irrasional; tapi tak segera menanggalkan aksioma besaran sudut yang memagari isu utama: JEJAK KEMANUSIAAN.

      Isu baku yang tak akan pernah basi itu harus terus digelorakan, agar kaum milenial tak kehilangan pegangan dalam meniti kesalehan hidupnya. Menebar kebaikan kepada semua kaum, demi kebaikan bagi dirinya. Itulah inti pesan Film HAYYA dalam tagline #JIHAD BUDAYA!

[Blogger: https://www.andikatuan.net]

Kamis, 19 September 2019

KISAH HAYYA: SEJENGKAL DARI TANAH


      Hanya sejengkal dari tanah. Durianku berbuah. Sudah limatahunan selalu memutik walau tak selalu membuah. Sengaja tak kupupuk, kuserahkan kepada kearifan alamiah-tanah. 

       Kutanam dari biji, sepuluh polibag, sekitar tahun 2005-an. Aku agak lupa persis bulannya! Buahnya relatif kecil, sebesar tampukan dua telapak tangan yang dilembungkan. Merona bunganya memerah saga. Tak menyengat aroma dagingnya, menyembunyikan bijinya yang mungil, kadang sukun alias kempet. Warna daging merah kekuningan; mirip kombinasi bendera PDIP dan GOLKAR yang sudah berumur belasan tahun, belum ganti baru dan selalu kibar tiap hari di pucuk  bambu gantar.


         Muasal sejarah biji-biji itu dari Kalimantan. Tepatnya dari pulau Bunyu, dibawa Bibinda yang pernah mukim di sana. Orang Bunyu menjolokinya Buah Lay. Mungkin juga aku salah eja. Lalu disemaikan, tumbuh melembaga dan dijaga oleh pamanku:  pensiunan birokrat yang rajin tirakat dan selalu semangat menebar manfaat, serta menghindari obrolan umpat.


       Mininya durian Lay itu tentu tak linier dengan sebutan keren: "The King of Fruit". Tapi tetap saja disebut Durio zibethinus. Masih famili Malvaceae, tetap ordo Malvales walau mukim di Borneo. Memang, di dunia nyata ini selalu ada eksepsion, keanehan, kekecualian. Selalu begitu! Dan kekecualian itu senantiasa berhenti, menyisakan tanya keilmuan. Semangat scientis di syaraf otak manusia yang mungil ini selalu tak sanggup mendefinisikan kenapa selalu muncul kondisi "kekecualian"  secara alamiah dalam karakteristik flora. Bahkan fauna, dan semua yang bertumbuh. Sungguh, teks book setebal bantal pun tak pernah tuntas menjelaskannya. 
Mungkin perlu metode yang lebih Illahiyah utk merancang rumpun matakuliah baru di IPB, sebutlah rumpun MKDU "Agrofilosofia"  atau rumpun MKDK "Metafisik-Agronomia". Ah... entahlah. Itu urusan para pakar profesor!

       Yang pasti durianku telah berbuah. Menyembul dari pangkal batang, sejengkal dari tanah. 
Kini aku hanya berwenang menjaga putik itu. Kendati sangat berat, mengingat 'circumstances' hari-hari ini sangat panas. Klimatologi kekurangan dalil untuk merumuskan pranata mangsa, memrediksi awal musim hujan, apatah lagi menghalau pekatnya asap. Bahkan geofisikawan tampak gagap mendefinisikan gumpalan awan, uap air dan proses kondensasi di lapis awal atmosfir.  Padahal ada tujuh lapis langit, "sab'as- samawatu". Sudah berulang menebar garam berton-ton; kadang hujan, kadang banyak alasan. Akhirnya para Umaroh dan Ulama menggelar shalat istisqa di lapangan bola atau alun-alun. Bagus juga! Ternyata teknologi bukan segalanya.

       Yaa... sangat berat menjada putik durianku! Seberat menjaga HAYYA,  generasi mungil di belahan Bumi Palestin yang potensial punah. Bukan oleh asap KARHUTLA, tapi oleh asap mesiu gerombolan Zionis. Yaa... hanya sejengkal,  jarak keceriaan anak-anak dari Astana. Tanah kuburan yang melukiskan obsesi husnul khotimah. Kita dihimbau untuk menjaganya.

      Ohhh... aku teringat Bung BennyArnas, dengan obsesinya  mewujudkan cerita heroik bertajuk Jihad Budaya. Lahirlah sebuah novel yang akan dibentangkan di layar lebar.  Bersama Helvi Tiana Rosa, berjudul "HAYYA, THE POWER OF LOVE 2"; yang akan mulai tayang hari ini, 19 September 2019. Di 140 bioskop Indonesia, dari 1.700 bioskop yang ada. 

      Sungguh, nasib film HAYYA sangat memprihatinkan! Dan kokohnya tembok otoritas-korporasi  hanya mengijinkan 140 sinnemax dari seribu tujuh ratus bioskop di Indonesia, utk tayangnya HAYYA. Perlu banyak tangan dan hati untuk menyelamatkan HAYYA yang hanya sejengkal dari tanah. Tanah yang potensial menjadi lobang astana. Kuburan di lahan suci: Palestina!

       Belumlah punah traumatika HAYYA, ada kegaduhan 'tangis' lain di Bumi Nusantara. Ia bertajuk keren: "THE SANTRI".  Film yang mengusung background  kesantrian nan kontroversial itu, nasibnya mulus nan manja, tidak sesial HAYYA. Ia bisa tayang leluasa di 1.700 an Bioskop manapun di Bumi Nusantara dengan kawalan korporasi  bertaji. HAYYA, .... oh..  HAYAA!  Mungkin jawabnya ada di kata negeri  Palestina. Allohu'alam... (*)

[Muarabeliti, 19 Sept 2019, 12.19 WIB]

Senin, 19 Agustus 2019

AGUSTUS: MENGENANG BUNG GORYS (1936 - 1997)

Secara intelektual, saya merasa berhutang ilmu kepada mendiang Gorys Keraf (GK); sedikit dari ahli bahasa Indonesia yang sangat fasih menjelaskan elemen dasar bahasa kebangsaan RI. 

Sebagai seorang yang menyukai bahasa tulis dan tutur, saya membaca (dan mengoleksi) sebagian buku karya-karyanya: Komposisi, Tatabahasa Indonesia, Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Deskripsi, Argumentasi dan Narasi. Dari situlah saya pernah sharing kepada 80-an teman-teman guru SMA di Musirawas, ketika diminta sebagai narasumber untuk materi "Teknik Menyusun Artikel Ilmiah Populer".

Sedemikian detail nan lengkap kajian GK sebagai profesor linguistik, sehingga dijadikan rujukan ketika Pemerintah menyusun UU No. 24 Th 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara; bahkan ketika terbit Permendagri tentang Batasan Bahasa Daerah (Permendagri No. 40 Th 2007).


GK dilahirkan di Lamarera Lembata NTT pada 17 November 1936. Dan wafat di Jakarta 30 Agustus 1997. Beliau tamat sarjana Sastra Bid. Linguistik tahun 1964 dari UI. Disertasinya: "Morfologi Dialek Lamarera NTT" yang diuji 22 Februari 1978, mengukuhkannya sebagai Doktor Linguistik UI yang langka; sebutlah serekan profesi dg Anton Moeliono (wafat 25-7-2011), Slamet Muljana (wafat 2-6-1986) dan Sutan Takdir Alisjahbana (wafat 17-7-1994). Kini kita telah kehilangan banyak pakar bahasa, yang kini jarang diminati kaum millenial.


Sumbangan pemikiran GK dalam pembangunan sastra dan bahasa Indonesia sungguh sangat besar. Di tengah derasnya pengaruh budaya (dan bahasa) Barat, posisi bahasa nasional kita sedemikian rapuh jika tidak ditegakkan 'political will' sebagai dignitas dan kebanggaan sebagai bangsa berperadaban tua. Apatah lagi jika ditilik dari awal sejarah Nusantao Javadwipa. Javadwipa sesungguhnya bukanlah Jawa dalam konsep pemahaman entitas-etnologis, tetapi jauh melampaui peradaban bari seumur dengan istilah geologi 'Sundaland' sebagaimana diuraikan Stephen Oppenheimer (Eden in The East).


Salah satu keprihatinan GK adalah masih rendahnya persentase kata serapan bahasa daerah dalam KBBI. Dalam KBBI tahun 2008, dari seluruh kosa kata Indonesia yang sebanyak 90.049 entri, hanya 3,98% (3.592 entri) yang merupakan serapan bahasa daerah.


Sebagai negara kepulauan yang terbuka dengan jaringan laut Nusantara, disadari bahwa Indonesia adalah merupakan wilayah 'multikultural dan multilingual' yang potensial sangat kaya dan beragam bahasa daerahnya (suku bangsa). Populasi publik figur dan pemegang kekuasaan pada era tertentu, akan sangat berpengaruh terhadap kontribusi bahasa daerah di dalam KBBI, yang kemudian dijadikan rujukan bagi institusi Lembaga Bahasa dalam menyusun penambahan entri bahasa serapan.


Dari angka 3,99% kontribusi bahasa daerah dlm KBBI, dengan 70 bahasa daerah yg tersebar di wilayah RI, ternyata didominasi oleh 7 daerah, yakni: Jawa 30,87%, Minangkabau 25,86%, Sunda 6,21%, Madura 6,15%, Bali 4,26%, Aceh 3,12%, Banjar 2,78%. Yang memprihatinkan kita, ternyata pula bahwa tidak tercatat satu pun bahasa daerah di Sumatera Bagian Selatan, kecuali Lampung dengan kontribusi 0,4% di bawah Bugis yang 0,6%. Kemana bahasa Musi, Lembak dan Lebong???


Secara profesional, kita tidak bisa mengira-ngira, kenapa demikian. Kita wajib prihatin dan mari kita bangun dan dorong terus genius-lokal Silampari untuk 'unjuk-lidah' dan 'unjuk-karya' linguistik, sehingga bahasa SILAMPARI JAYA DI NEGERI SENDIRI. Baju dan pernik otonomi daerah adalah kunci untuk membuka kamar gelap kedunguan masa lalu. Semoga....! Allohu'alam.

Rabu, 14 Agustus 2019

KISAH HILANGNYA AIR & DINAS PENGAIRAN

Manakala berkeliling ke pedesaan di kawasan irigasi Merasi -Megangsakti, ada saja kehangatan nan tulus dalam konteks silaturahmi 'berwarganegara'. Ada hangatnya 'teh tubruk' dan rebus jagung-ubi yang tak mungkin hadir dlm 'silaturahmi' model paket tera-giga dunia maya.
Ada pertukaran humor ala kampung yang menyisipkan pesan moral tentang aneka persoalan sosial-ekonomi pedesaan yg genuin; bukan rekayasa politik-etis sebagaimana silaturahmi para politikus menjelang perhelatan Pileg-Pilkada atau balas jasa elektabilitas.


Dan 'petang-ahae' itu, di beranda rumah kawan lama yang mantan Kontak Tani, muncul kisah tentang hilangnya air dan Dinas Pengairan. Ada geriap cerita model partisipasi pembangunan desa pasca-lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan derivasinya yakni PP No. 43 Tahun 2014. Ada pula kelindan filosofis lahirnya Perda Mura Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tentu saja, foklore itu murni bersifat 'gesah-kedesaan' dan saya menangkapnya dalam konteks aturan formal regulatifnya.


Malam harinya, saya bermenung- kontemplatif dlm insinuasi-empatik akan aneka persoalan pedesaan yang sering kali gagal ditangkap oleh Pemerintah Daerah, apatah lagi oleh Pusat dan Provinsi, yang semakin terhijab oleh hiruk-pikuk 'politik-viral' yang hanya sesekali menyentuh bumi. Sayangnya kulit bumi mulai kehilangan unsur hara 'moral-esensialnya': kejujuran dan kebersamaan!


Mengapa di musim kemarau, air menghilang dari siring irigasi yang mulai nyata dari Bendung Kelingi (BK) 5 Desa A. Widodo? Padahal di BK 3 Ketuan air masih melimpah? Semua petani tahu jawabannya. Dan para pejabat-birokrat insya Alloh faham basis persoalannya.


Minggu-minggu ini ada ratusan hektar tanaman padi yang potensial puso, jikalau tak ada upaya gerakan pengawalan air oleh Tim Khusus, hingga benar-benar sampai di petak sawah kawasan Tugumulyo, Purwodadi, Sumberharta dan Muarabeliti. Aneka alat sedot air yang didrop Kementan/Dinas Pertanian ke Klp Tani tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya air yang mau dipompa-sedot tidak tersedia: "Cul ayoa..... Boss!", kata Mang Ran, sang mantan Ketua Klp. Tani "SUSAH-HONDJO".


Adapun hilangnya Dinas Pengairan Kab. Mura, jangan salahkan Pemda dan DPRD. Bertanyalah kepada 'para oknum' yang menyusun UU Pemda (UU No. 23 Thn 2014) khususnya Pasal 12, dan para teknokrat penyusun PP No. 18 Th 2016 tentang Perangkat Daerah.


Sebagai insan pertanian; saya tak habis pikir, kenapa 'urusan pangan' tidak dikategorikan sbg urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Padahal sdh ada UU Pangan yang lahir 2 tahun sebelum lahirnya UU Pemda yang 'menyesatkan' urusan pangan itu. Lebih kacau lagi, ternyata di Pasal 1 ayat (13) PP 18 Th 2016 itu sendiri menyebutkan bahwa "pelayanan dasar adalah pelayananan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara". Apakah pangan bukan kebutuhan dasar warga negara??? Kekacauan bernalar yg luar biasa.!


Akibat mindset yang kacau tentang karakteristik pangan (khususnya beras) dan proses bio-agronomisnya, maka hilanglah seluruh kosa kata 'dinas pengairan dan irigasi' di dalam UU Pemda dan PP 18/2016 tersebut. Ini tidak ada kaitannya dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 ttg Sumberdaya Air oleh keputusan MK No. 85/PUU- XI/2013.


Kembali ke Pasal 37 PP No. 18 Th 2016 yang membagi urusan pemerintahan wajib dan pilihan, tidak dimungkinkan dibentuknya Dinas Pengairan yang seyogyanya akan mem-backup sektor pertanian. Ke-32 urusan yang bisa dilaksanakan oleh Pemda kab/kota tidak ada nomenklatur ttg urusan pengairan.


Di dalam Lampiran II bidang Ke-PU-an pada PP No. 18 Th 2016, dari 18 indikator hanya ada 6 item dengan total bobot 16. Dengan total bobot sebesar itu, maka hanya dimungkinkan keberadaan jabatan Kabid Pengairan yang nyantol pada Dinas ke-PU-an di level kabupaten. Yah... daripada musnah sama sekali.


*) Pemerhati birokrasi dan sosial pedesaan

Kamis, 01 Agustus 2019

GUMAM POLITIK: MUNGKINKAH HENDRA versus SUKO?

Mungkin saja. Namun agaknya nyaris impossible! Ini mah sekadar gumam. Warga Edensor UK menyebutnya 'mumble' atau 'suppress': suara tak jelas yg tertahan di kerongkongan. Semacam 'kasak-kusuk' elit desa yang berkeliaran di pinggiran siring Merasi-Megangsakti atau jalanan setapak kebon para di Dusun Lubukpandan Lakitan. It's reality folklore! 

Kadang politik itu mirip 'mancingologi': tergantung musim, jenis ikan yg diburu, luas empang, panjang joran dan mutu umpan yg dikemas. Jangan lupa posisi strategis saat memancing: gampang manuver kiri-kanan dan berputar sentrifugal, mudah menghindar atau menggebug ular liar, sembari mengusir nyamuk-remuk yang kulu-kilir.

Satu lagi: wajib pintar membaca ramalan agroklimatologi & geofisika. Jangan sampai keliru menghitung luasan geometriknya lantaran mengabaikan gambar stereometrik yg sudutnya tak berhingga. Jangan pula sampai muncul hujan petir sehingga bubar lari kocar-kacir. Maka, instrumen hitungnya harus menggunakan kalkulator mode invest lima digit di belakang koma.

Ketika dikonfirmasi tentang hal ini kepada mBah Bliti di Padepokan Metau, dia bilang begini: "Masih terlalu dini utk diskusi calon pasangan. Jadual Pilbup masih lama: Rabu 23 Sept 2020. Masa jabatan "H2G- Berarti" masih hingga 17 Feb 2021. Jangan keburu nafsu, Broth! Yang penting anggaran Pilbup Mura konon sdh diusulkan 41 milyar. Dan biarkan PollingKita.com meramaikan bursa dan memprovokasi massa. Memang di portal itu baru muncul 6 nama: H2G, Hj. Suwarti, H. Sulaiman Kohar, Firdaus Cek Olah, Alamsyah A. Manan dan Toyeb Rakembang. Besok lusa bisa belasan bahkan likuran nama".

Begini saja ramalannya. Jika kita amati hari-hari Pak Bupati H2G, dan makna sasmita yang kasat mata: jadual kunker lapangan, gestur dan jenis diksi-narasi retorikanya, maka hampir 99,9% akan naik ulang ke tengah gelanggang. Tentu untuk posisi ortu (orang nomor satu). Siapa pendampingnya? Yang lama atau baru? Itulah potensial ragam kleniknya.

Demikian halnya dengan Wabup Hj. Suwarti. Dari kerling mata dan warna kostum senam Jumatnya, serta ikhtiar gigihnya 'merebut' kursi Ketua DPC Gerindra, harus dimaknai sebagai titian karier untuk menggapai ortu. Ditambah posisi sang suami yg duduk di DPRD Prov. Sumsel, niscaya menambah bobot 'pede' utk menata 'fighting area' di panggung terbuka kelak. Pilihan strategisnya: go run to ortu atau tetap istiqomah sebagai orda.

Dari analisis klenik 'weton kelahiran' dan tipe lentik jemari tangan Bu Warti, agaknya bakal melesat menuju BELITISATU. Siapa pendampingnya? Atau, bisa juga, akan mendampingi siapa jikalau terjadi pecah kongsi di 2020?

Akan halnya Kuyung SUKO, Sang Wawako Linggau dua Pelita, agaknya susah ditebak sungging senyumnya. Tapi angin yg berhembus dari Watervang dan aroma pagi di ruang Moneng Sepati, agaknya mulai harum-semilir ke arah Beliti. Secara umuritas, Kuyung Suko dianggap 'tua-enerjik'. Tapi apakah akan terus mengabdi hanya utk orda?

Menurut ramalan mBah Bliti, kalau utk menuju BELITISATU, rumus bangun geometrikalnya masih berhingga. Kalkulasi mobilitas ruang massanya cukup potensial, namun neraca logistik dan daya terjang di lapangan barang pasti perlu perhitungan cermat. Agaknya nyaris janggal kalau mau 'ngilir' tidak untuk BELITISATU. Walaupun ada catatan yurisprudensi unik ala Wapres Yusuf Kalla.

Namun ada catatan kecil. Ketika maju di Pilwawako dua kali, kita bisa merumuskan karakter dasar Kuyung Suko: tidak bernafsu naik tangga, agak 'pobhia' mencari perahu layar, lebih banyak mendengarkan dan istighfar, serta tidak neko-neko.

Dinamika politik Pilkada cenderung zig-zag nan sulit diduga. Jadi bisa saja kelak muncul JISAMSOE pasang. Probabilitas sementara: HENDRA + Orba, SUWARTI + Orba, SUKO + Orba, atau Orba + Orba. Atau H2G-Berarti Jilid 2, SUKO- WARTI atau HENDRA-SUKO. Dan masih banyak figur baru yg tak teramal oleh mBah Bliti. Allohu'alam!

*) Pemerhati sosial politik pedesaan