Sabtu, 11 Oktober 2025

[17]AKU PERNAH HIDUP: CATATAN SEORANG PENYULUH PERTANIAN

Catatan: Hendy UP *]

#MOZAIK KETUJUHBELAS#
SELAMAT TINGGAL PURWOKERTO

    Pasca menerima ijazah SPMA pada Jumat, 23 Desember 1977, aku segera pulang kampung. Bersimpuh di pangkuan ibu untuk berurai syukur dengan penuh eulogia. 
    Ba'da shalat isya, menyendiri di beranda rumah, tak jemu aku menatap selembar ijazah asli yang kutirakati selama tiga tahun. Kertas  watermark itu berwarna kuning ke-emasan, agak tebal, sejenis kertas concorde yang kini banyak dijual di pasar Pramuka Salemba Raya. Halaman belakangnya berwarna putih, berisi 11 daftar nilai ujian akhir yang selalu kukenang, karena masih menjejak horornya suasana ujian itu.
    Yaa, di ruangan luas berlangit- langit tinggi peninggalan Belanda, dua orang pengawas duduk "meneror" di kursi tinggi mirip tangga tukang servise AC yang tengah khusyu' mendeteksi zat freon. Tapi aku berusaha tenang dengan merapal doa yang selalu mengamit bibir. Kadang bait doa itu menghilang sesaat, tatkala ada soal yang tak terjangkau akal. **
    Semakin sunyi, tapi kutatap terus ijazah itu. Di sudut atas tertulis nomor seri: Yg/VI/5657/77. Mungkin "Yg" itu bermakna Yogya. Ukurannya cukup lebar, sekitar 24,5 × 34 cm. Terpampang namaku dengan huruf kapital ukir dengan spidol khusus yang diterakan sangat rapi dan penuh presisi. Dicantumkan pula bahwa ujian penghabisan dilaksanakan dari 10 Oktober hingga 9 November 1977. Dan di sudut kanan bawah tertulis: Yogyakarta, 5 Desember 1977. Ditandatangani oleh Sekretaris ujian Pak Soewardi dan Ketua Pak RM Sardijatmo, yang kala itu menjabat sebagai kepala SPMA Yogyakarta. Di kiri bawah tertera tanda tangan Pak Drs.R.Hardjono selaku Kapus Diklat Departemen Pertanian RI. **
    Aku kembali menikmati kedamaian kampungku yang berimbun nyiur, kenanga dan kuweni seperti ketika aku beranjak bujang. Aneka vegetasi khas kampungku itu kini semakin meninggi langit, kecuali sebatang kelor yang berlilit sirih di atas sumur tua. Kakekku rutin menutuhnya menjelang bulan Suro yang dianggap sakral dan penuh klenik. Padahal, sakralitas Suro itu diciptakan Sultan Agung Mataram sebagai bentuk 'giroh' untuk memperingati tahun baru Islam: bulan Suro ya bulan Muharam. 
    Kisahnya, konon pada tahun 1633 Masehi atau bertepatan 1043 Hijrah, Sultan Agung menggabungkan kalender Saka (Hindu) dengan kalender Hijrah (Islam). Tanggalnya mengikuti Hijrah, tahunnya meneruskan tahun Saka, dan nama bulannya diciptakan sendiri oleh Sang Sultan. Menggabungkan kosa kata Djawa dan Islam, semisal: Suro ~ Sapar ~ Mulud~ dst. Itulah kalender Djawa. Orang yang kurang belajar sejarah, kadang memblow-up kleniknya mengenyampingkan inovasi keilmuannya. ***
    Kemarin dulu, di malam Natal, kutinggalkan Purwokerto dengan mengempit selembar ijazah asli. Batinku bergumam: "Tiga tahun aku memelukmu, kini kita harus merenggang. Selamat tinggal Purwokerto! Karena engkau, aku belajar hidup otonom, mengatur uang yang sedikit, memantaskan diri untuk menjadi orang kota dan membunuh banyak keinginan. See you!"
     Tak lama di kampung, aku pergi ke Sukamandi untuk kerja magang. Di Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (kini menjadi Balitpa). Aku menemui seseorang, bertitel insinyur, atas saran guruku. Beliau teman guruku sesama alumni UNSOED. Dan alhamdulillah aku diterima. Kala itu, tugasku Senin~Kamis, di terik mentari, dibebani tudung lebar, mengukur tinggi batang & jumlah anakan di petak-petak sawah yang bertengger belasan papan plot. 
   Tapi tak lama, karena aku tekor. Honorarium per bulan hanya Rp 7.500,- biaya hidup minimalis Rp.12.500,- Akhirnya aku pamit undur diri. Aku ngabret ke Bandung via Cadas Pangeran. Aku ikut pamanku, tinggal di Dago atas. Persis di depan Lab. Fak. Peternakan UNPAD yang bersebelahan dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). 
    Pada Kamis 13 Juli 1978, aku mengantar lamaran kerja di Dinas Pertanian Jabar, di Jalan Suropati No.71 Bandung. Di ruang pendaftaran, aku mendengar info bahwa Diperta Jabar telah ber-MoU dengan Diperta SUMSEL untuk rekruitmen calon PPL dari Jabar.
    Pada 25~26 Juli 1978, kami mengikuti test di Aula Diperta yang luas. Materinya TPU dan psikotest. Konon, pelamarnya limaratusan lebih, sedangkan yang akan diterima 297. Dari pihak SUMSEL hadir pengawas test, yang memperkenalkan dirinya. Seingatku namanya Pak Adang Sutandar dan Pak Moch. Syafei. 
[Bersambung... ]

*] Muarabeliti, 28 Juni 2025

Jumat, 10 Oktober 2025

SMP PERMIRI & TOKO BUKU REMADJA LUBUKLINGGAU

Catatan:  Hendy UP *]

    Bagi generasi Negeri Silampari yang bersekolah SMP antara tahun 1956 hingga tahun 1970-an, pasti sangat akrab dengan dua hal ini: SMP Permiri dan Toko Buku "Remadja".
    Menurut Drs. H. Sofian Zurkasie, yang juga Alumni SMP Permiri tahun 1958, pada tahun 1960 hingga 1970-an, di Lubuklinggau adalah sebuah toko buku yang cukup lengkap dan rasanya hanya satu-satunya. Namanya, toko buku "Remadja" yang berlokasi di Djalan Pasar Los No. 85, yang kini lazim disebut Pasar Inpres.  
    Menurutnya, keberadaan toko itu, mungkin ada kaitannya dengan berdirinya  SMP Negeri Permiri pada tahun 1956, sebagai  pendukung proses pencerdasan pelajar SMP dan masyarakat Lubuklinggau.  Sebutan Permiri adalah singkatan dari Perusahaan Minyak Republik Indonesia yang berdiri tahun 1945 di Kenten Palembang. Salah satu cabangnya ada di Lubuklinggau yang berfungsi sebagai depot & distributor BBM untuk wilayah Kab. Musirawas. Konon, bangunan SMP itu dulunya adalah area perusahaan PERMIRI sehingga masyarakat menyebutnya SMP PERMIRI. 
    Dalam catatan, SMP ini resmi berdiri pada 9 Juli 1956, dan SMP inilah yang kelak menjadi SMP Negeri pertama, dan hanya satu-satunya SMP Negeri di Lubuklinggau hingga tahun 1979. Sekadar catatan, SMP Negeri No. 2 Lubuklinggau baru berdiri pada 17 Februari 1979 di Tabapingin yang kini berada di Kel. Airkuti Kec. Lubuklinggau Timur 1.
    Untuk mendukung keberadaan SMP Permiri, maka berdirilah toko buku "Remadja". Siapa pun pemiliknya, niscaya beliau adalah orang yang cinta buku (pengetahuan) dan berjiwa niaga dan sangat  "obsesif" untuk kemajuan generasi suku-bangsa "Moesi Oeloe".
    Masih menurut narasumber, pada tahun 1955, di Lubuklinggau belum ada SMP Negeri. Oleh karenanya, dirinya bersekolah di SMP Santo Josep Lahat yang kala itu dikepalai oleh Moeder Goudelief. Setahun kemudian (1956),  pindah ke SMP Permiri. Kala itu dikepalai oleh Pak AJ Sulthon, dan tahun berikutnya (1957), kepala sekolahnya digantikan oleh Pak Sutan Nan Sati. 
    Sepulang sekolah, para pelajar SMP sering menyambangi toko buku Remadja.  Di deretan rak bertingkat,  susunan buku itu bersilang-tindih bekas pelajar berpilih judul. Rak itu didominasi oleh buku pelajaran SR dan SMP, sedikit sekali buku-buku umum. Pamanku masih mengingat beberapa judul buku pelajaran SMP. Sebutlah, misalnya: 
(1) Buku Sedjarah  Indonesia utk SMP, karangan Anwar Sanoesi, terbitan Pustaka Pakuan, Bandung;
(2) Buku Aldjabar SMP, karangan Kadarsah, terbitan Pharamaartha, Bandung;
(3) Buku Ilmu Ukur SMP, karangan    C. Agil, terbitan Kanisius Yogya;
(4) Buku Pokok-Pokok Kosmografi (ilmu Falak), karangan A. Dasuki, penerbit PT Pembangunan, Djakarta;
(5) Buku Seri Ilmu Hajat, terbitan Kanisius, Yogyakarta. Dan masih banyak judul-judul buku lain. 
    Entah kapan toko Buku Remadja itu ditutup, aku belum mendapat info. Tapi pada tahun 1978-1985, di Lubuklinggau sudah bertumbuh toko-toko buku baru. Yang sering aku kunjungi dan mengenal secara personal dengan pemiliknya antara lain: (1) Toko buku MUTIARA HIKMAT, di Simpang Statsiun KA Jln. Jend. Sudirman No. 09. Pemilik adalah M. Syukron AL; (2) Toko buku MELATI di Talangjawa depan Bioskop Sindang. Pemiliknya adalah  A. Roni;
(3) Toko buku Sriwijaya di Jln. Jend. Sudirman. Pemiliknya adalah WNI Tionghoa, tak kenal sama sekali! 
     Adapun tempat langgananku sewa komik adalah di "Depot Rahmat" di depan statsiun KA. Pemiliknya adalah Kak Rahmat, orang Kertopati Palembang. Sedangkan tempatku berlangganan koran "Kompas" adalah Depot Koran Lapangan Merdeka, yang kini jadi Kompleks Masjid Agung. Tahun 1980-an, harga langganan per bulan Rp. 14.500,- ***

*) Muarabeliti, 27 Juni 2025
   

Kamis, 09 Oktober 2025

JERAMBAH NIUK 2019

Catatan: Hendy UP *]

     Sejak awal November 2019 ini, alhamdulillah jembatan beton baru di Tanahperiuk Kab. Musirawas, sudah fungsional walau belum diresmikan Pak Gubernur Herman Deru; melengkapi jembatan beton lama (dua jalur) yang dibangun tahun 1972. 

    Jembatan baru ini berada di jalan provinsi, merupakan penghubung dua wilayah otonom, yakni Kab. Mura dan Pemkot Lubuklinggau. Berpangkal di Kel. Simpangperiuk (Lubuklinggau) kemudian naik ke Dusun Tanahperiuk (Musirawas), lalu meliuk membelah kawasan Kec. Tugumulyo (eks Kolonisasi) dan  Kec. Sumberharta hingga di Simpangterawas sepanjang lebih kurang 22 kilometer. Tapi sejak tahun 2006 telah dibangun jalan "shortcut" dari Siringagung langsung ke GOR Petanang di jalan Lintas Tengah Sumatera sepanjang 10 kilometeran.

    Rasanya hampir empat tahun, besi gelagar itu "nyelonjor" terlunta-lunta nan mengenaskan jiwa, hanya karena alotnya rundingan ganti-rugi lahan. Dalam catatan, boring abutmen jerambah itu mulai dikerjakan pada tahun 2014, lalu terhenti dua tahunan, karena proses negosiasi ganti rugi lahan. di pangkal jerambah wilayah dusun Tanahperiuk. Konon, si pemilik lahan minta ganti-untung Rp. 700 juta hingga satu milyar. Baru tahun 2018 dilanjutkan lagi hingga selesai tahun 2019. Tak jelas, berapa jadinya harga lahan itu. 

      Sebutan "JERAMBAH NIUK" itu adalah bahasa Lembak Silampari, yang bermakna Jembatan Tanahperiuk. Kata "Niuk"  adalah sebutan untuk Tanahperiuk. Sedangkan kosa-kata 'jerambah' mungkin ada kaitan dengan bahasa Belanda "de brug" (jembatan) yang mengalami perubahan gramatikal-fonetik seperti halnya "Buitenzorg" yang berubah menjadi Bogor. 

     Arkian, dahulu kala Jerambah Niuk itu berupa jembatan gantung yang dibangun Belanda seiring dibukanya Kolonisasi Toegoemoeljo (1937-1940), dan paralel dengan masa pembangunan Bendung Watervang 1939-1941. Menurut para saksi sejarah, jerambah gantung yang dibuat pertama kali itu posisinya persis di jembatan baru sekarang. 

    Konstruksi gantungannya menggunakan 'baja seling' dan lantai papan, sedikit 'beguyang-guyang' dan bisa dilalui mobil kecil untuk mengangkut material dan hasil bumi dari dan menuju kawasan Kolonisasi Toegoemoeljo. Sekitar tahun 1960-1962 jerambah gantung itu pernah putus (Biografi Bupati Ibnu Amin, 2005, hal. 24). Menurut mBah Keling warga Kartomas (77 thn) yang pernah ikut menjadi kuli bangunan Jerambah Niuk, jembatan lama (kini masih fungsional) dibangun pada tahun 1971 hingga 1972. Persis serempak dengan Jembatan Musi Tebingtinggi, yang berjajar dengan jembatan rel KA sekarang.

      Di tengah masa pengerjaan jerambah Niuk lama, pernah terjadi banjir-bandang Kelingi, sehingga tiang dan gelagar penyangga sementaranya hanyut-lanyut berantakan. Maka terjadi hambatan teknis beberapa pekan, karena mengganti tiang penyangga baru dari batang kelapa berikut kawat begel pengikatnya. 

    Material tanah timbunan untuk oprit abutment jembatan diambil dari lahan warga, dengan harga angkut borongan seringgit (Rp 2,50) per kubik galian tegak. Konon, pemborongnya berasal luar daerah, mungkin dari Jawa dengan manajer lapangannya bernama Prajitno.

      Namun sayang, kokohnya Jerambah Niuk yang baru ini belum didukung oleh pelebaran jalan yang memadai, baik dari arah Simpangpriuk maupun dari Siringagung khususnya sepanjang Dusun Niuk. Kita maklum, bahwa jalan milik provinsi itu dirancang sekitar 80 tahun yang lalu. Untuk pelebaran jalan sepanjang Dusun Niuk memang agak problematik. Ongkos sosialnya cukup tinggi, khususnya terkait dengan prosesi Pilkada langsung Gub/Bupati yang seringkali berdampak nyata terhadap elektabilitas para kandidat, jika dianggap bertentangan dengan hak masyarakat pemilih.

      Satu-satunya alternatif adalah membuka ulang dokumen perencanaan jalan provinsi, yang dulu pernah digagas membuat jalur alternatif: yakni dari Bundaran Agropolitan Muarabeliti - Kampung Bali - Airsatan - terus 'shortcut' ke Jalan Baru Siringagung (via persawahan), menuju Petanang melalui "Jalur Simpanglima Sirgung" yang kini masih berjolok "SIMPANGBINGUNG".

       Ini sekadar pikiran liar-liur nan sedikit ngawur. Semoga saja pelebaran jalan itu, ada wujudnya. Allohu'alam bishawab!  ***


*] Muarabeliti, 25 November 2019.

[1] NEGERI NUSANTAO, KOLONIALISME & PERJUANGAN KAUM SANTRI

Oleh: Hendy UP  *) 

[Serial tulisan ini terutama merujuk kepada buku-buku: API SEJARAH (2 jilid) karya AM Suryanegara (2015), NEGARA PARIPURNA karya Yudi Latif (2011), SANG PANGERAN & JANISSARY TERAKHIR, karya Salim A. Fillah (2019), ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto (2012), TAKDIR: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey (2014), PERGULATAN DUNIA PESANTREN editor M. Dawam Rahardjo (1985) dan SEJARAH PEMDA DI INDONESIA (2 jilid) karya Irawan Soejito (1976), serta berbagai sumber tertulis maupun video yang terdokumenter  di laman media maya].

1. Mukadimah

Arkeolog Wilhelm Solheim, menyebutkan bahwa Nusantao adalah sebuah negeri  di cincin khatulistiwa yang membentang di kawasan  kepulauan Asia Tenggara. Patut diduga, sang arkeolog menangkap kata "Nuswantoro" dari para pelaut Jawadwipa, atau membaca manuskrip kuno yang tertulis Nuswantoro, yang kelak berubah sebutan menjadi Nusantara dan kemudian Indonesia. 

Jauh sebelum era pra-kolonial, Nusantao dikenal sebagai sebuah negeri berdaulat dengan "gugus kemakmuran" (belt of prosperity) yang membentangi kawasan nan subur khatulistiwa; sebuah "negeri lautan yang ditaburi ribuan pulau" (archipelago). Archi bermakna kekuasaan, pelagos berarti lautan; bukan negeri kepulauan yang lebih mengisyaratkan bias daratan. 

Yudi Latif (2011) menulis, bahwa sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Lautan juga mewarnai karakter keluasan pikiran penghuninya yang mampu menampung aneka ragam pola kehidupan, baik yang terafiliasi dengan ritual keyakinan-keagamaan maupun tradisi-budaya suku-suku bangsa dari aneka negeri yang jauh. 

Mohammad Hatta (1963) melukiskan etos kelautan manusia Indonesia itu dengan sangat indah: "Laut yang melingkupi tempat kediamannya telah membentuk karakter nenek moyang kami. Irama tetap pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, sangat besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan semangat bangsa. Anak-anak negeri  yang menetap di tepi pantai, saban hari mengalami pengaruh alam yang tak berhingga, yang hanya dibatasi oleh kaki langit yang makin dikejar semakin menjauh".

Kemudian: "Bangsa-bangsa asing yang sering singgah dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri, mendidik nenek moyang kami dalam pelbagai rupa,  memberi petunjuk tentang aneka barang berharga dan strategi perniagaan. Pertemuan dengan bangsa-bangsa Hindi, Arab, Tionghoa dan lainnya, mengasah budi-pekertinya sehingga mampu menjadi tuan rumah yang ramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh arah yang jauh senantiasa besar membakar jiwa. Dengan perahunya yang ramping, dilayarinya samudera luas tanpa gentar, ditempuhnya rantau yang jauh dengan tiada mengenal rasa takut".

Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan yang berlimpah, Nusantao sejak dahulu menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Maka jadilah Nusantao sebagai taman sari peradaban bangsa-bangsa di seantero dunia. 

Selain itu, jenius Nusantao juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur akibat muntahan lahar-debu dari deretan pegunungan vulkanik, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera serta gugusan pulau-pulau di sepanjang  Sunda Kecil hingga ke Tanah Papua. Tanah yang subur menumbuh-kembangkan segala macam: flora, fauna, misteri, khayalan, takhayul hingga pernik religi dan karakter ideologi-budayanya. 

Sedari awal peradaban, etos agraris masyarakat Nusantao bersifat religius dan gotong-royong. Hal ini terbentuk dari kesadaran akan meringankan penggarapan lahan dan ancaman binatang liar secara bersama-sama. Religiusitasnya terbangun dari keyakinan akan "tenaga dahsyat" yang  datang dari langit: tak tampak,  tak mungkin terbayangkan namun dirasakan nyata. Itulah pengakuan awal nilai "ketauhidan" yang berada di luar nalar-akal manusia, yang kelak diyakini sebagai sosok  Sang Hyang Taya dan disimbolkan  dengan "lobang" kosong pada dinding mihrab bangunan suci Sanggar, tempat pemujaan dalam agama kuno Kapitayan. 

*] Muarabeliti, 1 Oktober 2025

Jumat, 03 Oktober 2025

BPP YUDHAKARYA 1982

Catatan: Hendy UP *]

    Terima kasih kpd karibku Syafrudin~Bimas atas tampilan kopifoto SK- KPtRK (Kepala Pertanian Rayon Kab) Dati II Mura tahun 1983 di WAG Pensiunan Pertanian Musirawas pada awal Agustus 2025. Kebetulan gue juga masih menyimpan arsip SK-SK Pangkat & Jabatan dari 1978 hingga MPP tahun 2012.
    Sekilas, cerita lengkapnya mungkin begini: (mohon koreksi dari para senior atau siapa pun). 
     Dari tahun 1978 hingga tahun 1981, di Kab. Mura, rasanya baru terbentuk  3 BPP, yakni BPP Srikaton, BPP Sumberharta dan BPP Binginteluk. Kalau dak salah ingat, periode 1978-1981,  Kepala BPP Srikaton adalah Kak Rosnal Jenusan dan Supervisornya Kak Masadi. Kepala BPP Sumberharta rasanya Kak Kgs Al-Kodri Ismail, dan Kepala BPP Binginteluk adalah Kak Rasuan yang kelak digantikan oleh Kak Mun'im Saputra. 
    Menjelang Gerakan OKM (Operasi Karya Makmur) di SUMSEL tahun 1981, dibentuklah beberapa PRA-BPP (baru) antara lain: (1) Pra-BPP Muarakelingi berkedudukan di Trans Airbeliti (Darmasakti) yg dikepalai oleh Kak Zumrowi. Wilayahnya meliputi Kec. Muarakelingi, Muaralakitan dan Jayaloka. 
    (2) Pra-BPP Tabapingin, berkedudukan di Kantor Proyek Irigasi Satan (IRS) di atas jembatan Tanahperiuk. Wilayahnya meliputi Kec. Muarabeliti & Kotif/Kec. Lubuklinggau.  Kepalanya Kak Hotman Wahab dan PPM Supervisornya Kak Setia Budi. 
   (3) Pra-BPP Karangjaya. Mungkin mencakup Kec Rupit dan Rawas Ulu. Aku lupa siapa PPM Programer & PPM Supervisornya. ***
   Al-kisah, pada hari Sabtu, 2 Oktober 1982, Pra-BPP Muarakelingi menempati gedung baru di Desa Ciptodadi Marga Sukakarya Kec. Jayaloka. Berada di lahan eks Agriculture Development Centre (ADC) seluas 32 hektar. 
    Dan qodarulloh, pada hari itu gue dikukuhkan sbg Kepala Pra- BPP Muarakelingi oleh Pak Ir. Djatolong Marbun (PPS) atas dasar SK Penunjukan dari KPtRK (Pak Ramli Hasan). Mungkin Pak Ramli berfikir, agar gedung baru bisa bermanfaat, maka segeralah dioperasionalkan Pra- BPP itu.  
     Pada 1 Agustus 1983, terbitlah SK  baru yang bersifat akumulatif & massal atas beberapa jabatan baru di Diperta Mura, yang ditayangkan Sahabat kita Syafrudin. ***
     Kala itu (1982), Kasiluh-nya adalah Ibunda Maryati Ridho, menggantikan Kak Suhaimi Hasban yang baru dimutasi menjabat Kasi Peral (Seksi baru); dan PPM Programer (atau Supervisor?) di Diperta Kab. adalah Kak Amin Suyitno dan Kak Kodri. 
    Karena lokus Pra-BPP Muarakelingi pindah ke wil. Kec Jayaloka,  maka nama BPP Muarakelingi tdk relevan lagi. Seingatku, Bunda Maryati (Kasiluh) minta masukan, apa sebaiknya nama baru BPP itu. Dan aku mengusulkan, agar  namanya "BPP Yudhakarya".  Nama itu kulekatkan dg lokasi Trans-AD "Yudhakarya Bhakti" yg berada di seberang BPP.
    Lalu aku minta tolong dg sahabat Tatang Suparno untuk membuat plang merk "BPP Yudhakarya", dengan latar hijau. Sejak itulah, nama  lembaga BPP Yudhakarya diterakan secara legal-formal dalam CAP resmi. Walaupun kadang ada beberapa dokumen resmi yg masih menyebut Pra-BPP Muarakelingi. 
    Allohu'alam bishshowab! 

*] Muarabeliti, 6 Agustus 2025