Kamis, 09 Oktober 2025

JERAMBAH NIUK 2019

Catatan: Hendy UP *]

     Sejak awal November 2019 ini, alhamdulillah jembatan beton baru di Tanahperiuk Kab. Musirawas, sudah fungsional walau belum diresmikan Pak Gubernur Herman Deru; melengkapi jembatan beton lama (dua jalur) yang dibangun tahun 1972. 

    Jembatan baru ini berada di jalan provinsi, merupakan penghubung dua wilayah otonom, yakni Kab. Mura dan Pemkot Lubuklinggau. Berpangkal di Kel. Simpangperiuk (Lubuklinggau) kemudian naik ke Dusun Tanahperiuk (Musirawas), lalu meliuk membelah kawasan Kec. Tugumulyo (eks Kolonisasi) dan  Kec. Sumberharta hingga di Simpangterawas sepanjang lebih kurang 22 kilometer. Tapi sejak tahun 2006 telah dibangun jalan "shortcut" dari Siringagung langsung ke GOR Petanang di jalan Lintas Tengah Sumatera sepanjang 10 kilometeran.

    Rasanya hampir empat tahun, besi gelagar itu "nyelonjor" terlunta-lunta nan mengenaskan jiwa, hanya karena alotnya rundingan ganti-rugi lahan. Dalam catatan, boring abutmen jerambah itu mulai dikerjakan pada tahun 2014, lalu terhenti dua tahunan, karena proses negosiasi ganti rugi lahan. di pangkal jerambah wilayah dusun Tanahperiuk. Konon, si pemilik lahan minta ganti-untung Rp. 700 juta hingga satu milyar. Baru tahun 2018 dilanjutkan lagi hingga selesai tahun 2019. Tak jelas, berapa jadinya harga lahan itu. 

      Sebutan "JERAMBAH NIUK" itu adalah bahasa Lembak Silampari, yang bermakna Jembatan Tanahperiuk. Kata "Niuk"  adalah sebutan untuk Tanahperiuk. Sedangkan kosa-kata 'jerambah' mungkin ada kaitan dengan bahasa Belanda "de brug" (jembatan) yang mengalami perubahan gramatikal-fonetik seperti halnya "Buitenzorg" yang berubah menjadi Bogor. 

     Arkian, dahulu kala Jerambah Niuk itu berupa jembatan gantung yang dibangun Belanda seiring dibukanya Kolonisasi Toegoemoeljo (1937-1940), dan paralel dengan masa pembangunan Bendung Watervang 1939-1941. Menurut para saksi sejarah, jerambah gantung yang dibuat pertama kali itu posisinya persis di jembatan baru sekarang. 

    Konstruksi gantungannya menggunakan 'baja seling' dan lantai papan, sedikit 'beguyang-guyang' dan bisa dilalui mobil kecil untuk mengangkut material dan hasil bumi dari dan menuju kawasan Kolonisasi Toegoemoeljo. Sekitar tahun 1960-1962 jerambah gantung itu pernah putus (Biografi Bupati Ibnu Amin, 2005, hal. 24). Menurut mBah Keling warga Kartomas (77 thn) yang pernah ikut menjadi kuli bangunan Jerambah Niuk, jembatan lama (kini masih fungsional) dibangun pada tahun 1971 hingga 1972. Persis serempak dengan Jembatan Musi Tebingtinggi, yang berjajar dengan jembatan rel KA sekarang.

      Di tengah masa pengerjaan jerambah Niuk lama, pernah terjadi banjir-bandang Kelingi, sehingga tiang dan gelagar penyangga sementaranya hanyut-lanyut berantakan. Maka terjadi hambatan teknis beberapa pekan, karena mengganti tiang penyangga baru dari batang kelapa berikut kawat begel pengikatnya. 

    Material tanah timbunan untuk oprit abutment jembatan diambil dari lahan warga, dengan harga angkut borongan seringgit (Rp 2,50) per kubik galian tegak. Konon, pemborongnya berasal luar daerah, mungkin dari Jawa dengan manajer lapangannya bernama Prajitno.

      Namun sayang, kokohnya Jerambah Niuk yang baru ini belum didukung oleh pelebaran jalan yang memadai, baik dari arah Simpangpriuk maupun dari Siringagung khususnya sepanjang Dusun Niuk. Kita maklum, bahwa jalan milik provinsi itu dirancang sekitar 80 tahun yang lalu. Untuk pelebaran jalan sepanjang Dusun Niuk memang agak problematik. Ongkos sosialnya cukup tinggi, khususnya terkait dengan prosesi Pilkada langsung Gub/Bupati yang seringkali berdampak nyata terhadap elektabilitas para kandidat, jika dianggap bertentangan dengan hak masyarakat pemilih.

      Satu-satunya alternatif adalah membuka ulang dokumen perencanaan jalan provinsi, yang dulu pernah digagas membuat jalur alternatif: yakni dari Bundaran Agropolitan Muarabeliti - Kampung Bali - Airsatan - terus 'shortcut' ke Jalan Baru Siringagung (via persawahan), menuju Petanang melalui "Jalur Simpanglima Sirgung" yang kini masih berjolok "SIMPANGBINGUNG".

       Ini sekadar pikiran liar-liur nan sedikit ngawur. Semoga saja pelebaran jalan itu, ada wujudnya. Allohu'alam bishawab!  ***


*] Muarabeliti, 25 November 2019.

[1] NEGERI NUSANTAO, KOLONIALISME & PERJUANGAN KAUM SANTRI

Oleh: Hendy UP  *) 

[Serial tulisan ini terutama merujuk kepada buku-buku: API SEJARAH (2 jilid) karya AM Suryanegara (2015), NEGARA PARIPURNA karya Yudi Latif (2011), SANG PANGERAN & JANISSARY TERAKHIR, karya Salim A. Fillah (2019), ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto (2012), TAKDIR: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey (2014), PERGULATAN DUNIA PESANTREN editor M. Dawam Rahardjo (1985) dan SEJARAH PEMDA DI INDONESIA (2 jilid) karya Irawan Soejito (1976), serta berbagai sumber tertulis maupun video yang terdokumenter  di laman media maya].

1. Mukadimah

Arkeolog Wilhelm Solheim, menyebutkan bahwa Nusantao adalah sebuah negeri  di cincin khatulistiwa yang membentang di kawasan  kepulauan Asia Tenggara. Patut diduga, sang arkeolog menangkap kata "Nuswantoro" dari para pelaut Jawadwipa, atau membaca manuskrip kuno yang tertulis Nuswantoro, yang kelak berubah sebutan menjadi Nusantara dan kemudian Indonesia. 

Jauh sebelum era pra-kolonial, Nusantao dikenal sebagai sebuah negeri berdaulat dengan "gugus kemakmuran" (belt of prosperity) yang membentangi kawasan nan subur khatulistiwa; sebuah "negeri lautan yang ditaburi ribuan pulau" (archipelago). Archi bermakna kekuasaan, pelagos berarti lautan; bukan negeri kepulauan yang lebih mengisyaratkan bias daratan. 

Yudi Latif (2011) menulis, bahwa sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Lautan juga mewarnai karakter keluasan pikiran penghuninya yang mampu menampung aneka ragam pola kehidupan, baik yang terafiliasi dengan ritual keyakinan-keagamaan maupun tradisi-budaya suku-suku bangsa dari aneka negeri yang jauh. 

Mohammad Hatta (1963) melukiskan etos kelautan manusia Indonesia itu dengan sangat indah: "Laut yang melingkupi tempat kediamannya telah membentuk karakter nenek moyang kami. Irama tetap pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, sangat besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan semangat bangsa. Anak-anak negeri  yang menetap di tepi pantai, saban hari mengalami pengaruh alam yang tak berhingga, yang hanya dibatasi oleh kaki langit yang makin dikejar semakin menjauh".

Kemudian: "Bangsa-bangsa asing yang sering singgah dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri, mendidik nenek moyang kami dalam pelbagai rupa,  memberi petunjuk tentang aneka barang berharga dan strategi perniagaan. Pertemuan dengan bangsa-bangsa Hindi, Arab, Tionghoa dan lainnya, mengasah budi-pekertinya sehingga mampu menjadi tuan rumah yang ramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh arah yang jauh senantiasa besar membakar jiwa. Dengan perahunya yang ramping, dilayarinya samudera luas tanpa gentar, ditempuhnya rantau yang jauh dengan tiada mengenal rasa takut".

Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan yang berlimpah, Nusantao sejak dahulu menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Maka jadilah Nusantao sebagai taman sari peradaban bangsa-bangsa di seantero dunia. 

Selain itu, jenius Nusantao juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur akibat muntahan lahar-debu dari deretan pegunungan vulkanik, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera serta gugusan pulau-pulau di sepanjang  Sunda Kecil hingga ke Tanah Papua. Tanah yang subur menumbuh-kembangkan segala macam: flora, fauna, misteri, khayalan, takhayul hingga pernik religi dan karakter ideologi-budayanya. 

Sedari awal peradaban, etos agraris masyarakat Nusantao bersifat religius dan gotong-royong. Hal ini terbentuk dari kesadaran akan meringankan penggarapan lahan dan ancaman binatang liar secara bersama-sama. Religiusitasnya terbangun dari keyakinan akan "tenaga dahsyat" yang  datang dari langit: tak tampak,  tak mungkin terbayangkan namun dirasakan nyata. Itulah pengakuan awal nilai "ketauhidan" yang berada di luar nalar-akal manusia, yang kelak diyakini sebagai sosok  Sang Hyang Taya dan disimbolkan  dengan "lobang" kosong pada dinding mihrab bangunan suci Sanggar, tempat pemujaan dalam agama kuno Kapitayan. 

*] Muarabeliti, 1 Oktober 2025

Jumat, 03 Oktober 2025

BPP YUDHAKARYA 1982

Catatan: Hendy UP *]

    Terima kasih kpd karibku Syafrudin~Bimas atas tampilan kopifoto SK- KPtRK (Kepala Pertanian Rayon Kab) Dati II Mura tahun 1983 di WAG Pensiunan Pertanian Musirawas pada awal Agustus 2025. Kebetulan gue juga masih menyimpan arsip SK-SK Pangkat & Jabatan dari 1978 hingga MPP tahun 2012.
    Sekilas, cerita lengkapnya mungkin begini: (mohon koreksi dari para senior atau siapa pun). 
     Dari tahun 1978 hingga tahun 1981, di Kab. Mura, rasanya baru terbentuk  3 BPP, yakni BPP Srikaton, BPP Sumberharta dan BPP Binginteluk. Kalau dak salah ingat, periode 1978-1981,  Kepala BPP Srikaton adalah Kak Rosnal Jenusan dan Supervisornya Kak Masadi. Kepala BPP Sumberharta rasanya Kak Kgs Al-Kodri Ismail, dan Kepala BPP Binginteluk adalah Kak Rasuan yang kelak digantikan oleh Kak Mun'im Saputra. 
    Menjelang Gerakan OKM (Operasi Karya Makmur) di SUMSEL tahun 1981, dibentuklah beberapa PRA-BPP (baru) antara lain: (1) Pra-BPP Muarakelingi berkedudukan di Trans Airbeliti (Darmasakti) yg dikepalai oleh Kak Zumrowi. Wilayahnya meliputi Kec. Muarakelingi, Muaralakitan dan Jayaloka. 
    (2) Pra-BPP Tabapingin, berkedudukan di Kantor Proyek Irigasi Satan (IRS) di atas jembatan Tanahperiuk. Wilayahnya meliputi Kec. Muarabeliti & Kotif/Kec. Lubuklinggau.  Kepalanya Kak Hotman Wahab dan PPM Supervisornya Kak Setia Budi. 
   (3) Pra-BPP Karangjaya. Mungkin mencakup Kec Rupit dan Rawas Ulu. Aku lupa siapa PPM Programer & PPM Supervisornya. ***
   Al-kisah, pada hari Sabtu, 2 Oktober 1982, Pra-BPP Muarakelingi menempati gedung baru di Desa Ciptodadi Marga Sukakarya Kec. Jayaloka. Berada di lahan eks Agriculture Development Centre (ADC) seluas 32 hektar. 
    Dan qodarulloh, pada hari itu gue dikukuhkan sbg Kepala Pra- BPP Muarakelingi oleh Pak Ir. Djatolong Marbun (PPS) atas dasar SK Penunjukan dari KPtRK (Pak Ramli Hasan). Mungkin Pak Ramli berfikir, agar gedung baru bisa bermanfaat, maka segeralah dioperasionalkan Pra- BPP itu.  
     Pada 1 Agustus 1983, terbitlah SK  baru yang bersifat akumulatif & massal atas beberapa jabatan baru di Diperta Mura, yang ditayangkan Sahabat kita Syafrudin. ***
     Kala itu (1982), Kasiluh-nya adalah Ibunda Maryati Ridho, menggantikan Kak Suhaimi Hasban yang baru dimutasi menjabat Kasi Peral (Seksi baru); dan PPM Programer (atau Supervisor?) di Diperta Kab. adalah Kak Amin Suyitno dan Kak Kodri. 
    Karena lokus Pra-BPP Muarakelingi pindah ke wil. Kec Jayaloka,  maka nama BPP Muarakelingi tdk relevan lagi. Seingatku, Bunda Maryati (Kasiluh) minta masukan, apa sebaiknya nama baru BPP itu. Dan aku mengusulkan, agar  namanya "BPP Yudhakarya".  Nama itu kulekatkan dg lokasi Trans-AD "Yudhakarya Bhakti" yg berada di seberang BPP.
    Lalu aku minta tolong dg sahabat Tatang Suparno untuk membuat plang merk "BPP Yudhakarya", dengan latar hijau. Sejak itulah, nama  lembaga BPP Yudhakarya diterakan secara legal-formal dalam CAP resmi. Walaupun kadang ada beberapa dokumen resmi yg masih menyebut Pra-BPP Muarakelingi. 
    Allohu'alam bishshowab! 

*] Muarabeliti, 6 Agustus 2025

Selasa, 30 September 2025

[1] SEJARAH TUGUMULYO KAB. MUSIRAWAS, SUMSEL


Catatan: Hendy UP *]

1. Mukadimah

    Sepanjang penelusuran dokumen sejarah, baik di Arsip Nasional RI maupun Delpher Nationale Bibliotheek Belanda, kata Toegoemuljo seringkali berdekatan  dengan kata: colony, Moearabeliti, atau Onderafdeeling Moesi Oeloe. 
    Tahap awal Kolonisasi Tugumulyo Musirawas (bukan Tugumulyo OKI), terbangun antara tahun 1937~1940, bersamaan dengan terbentuknya 15 kampung/desa dengan total transmigran 2.486 KK dari Jawa Tengah & Jawa Timur. Lalu terhenti, karena masuk era penjajahan Jepang (1942-1945), dan kelak dilanjutkan pada era kemerdekaan RI sekitar tahun 1952 hingga 1954.
    Kelimabelas desa awal itu adalah: (1) A. Widodo,  (2) B. Srikaton, (3) C. Nawangsasi, (4) D. Tegalrejo, (5) E. Wonokerto, (6) F. Trikoyo, (7) G. Mataram, (8) H. Wukirsari, (9) I. Sukomulyo, (10) J. Ngadirejo, (11) K. Kalibening, (12) L. Sidoharjo, (13) M. Sitiharjo, (14) O. Mangunharjo, dan (15) P. Mardiharjo. Sedangkan desa yang terbentuk pasca-kemerdekaan RI antara tahun 1952 hingga 1954, adalah desa-desa: Q. Buminoto, R. Rejosari, S. Kertosari, T. Bangunsari, U. Pagarsari, dan V. Surodadi.
     Disertasi KJ Pelzer "Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics" (1945: hal 222) menyebutkan: "In October 1940, this project had 15 desas, according to an oral statement by the Controleur at Loeboeklinggau. Six hundred and fourteen families had arrived in 1937, 859 in 1938, 423 in 1939, and 590 in 1940. An additional 2,500 families would fill the colony completely".
      Kata Tugumulyo berasal dari kata 'tugu' dan 'mulyo'. Dua kata itu diadopsi dari bahasa Jawa. Secara kajian toponomis, tugu adalah bangunan meninggi  berbentuk silinder meruncing ke atas, terbuat dari batu, bata atau material lain. Tugu, biasanya dibangun di pusat keramaian sebuah komunitas atau di persimpangan jalan sebagai penanda tumbuhnya sebuah peradaban baru. 
      Secara semantik-antropologis, kata tugu menyiratkan nuansa  "keramat", sehingga memaksa seseorang atau komunitas disekitarnya berimajinasi untuk mengingat suatu penanda peradaban baru yang tengah diperjuangkan dan kelak akan meninggalkan jejak ingatan melampaui generasinya .  Sedangkan kata 'mulyo' bermakna 'terpandang' atau 'terhormat'.
     Jadi, para "founding parents" Toegoemoeljo dahulu, niscaya mengidamkan sebuah tatanan masyarakat baru (yang berasal dari Jawa), yang maju secara ekonomi dan terhormat di mata masyarakat sekitarnya. Melahirkan generasi ksatria yang cerdas mencerahkan dan senantiasa mendorong kemajuan bersama. 
     Lebih jauh dari itu, di dalam kepercayaan kuno 'Kapitayan' yang hidup di Jawa jauh sebelum masuknya agama Hindu-Budha dan Islam, diyakini bahwa bangunan 'tugu' adalah tempat suci sebagai penjelmaan dari salah satu sifat utama 'keghoiban' Tuhannya yang disebut Sang Hyang Taya (Tunggal). 
     Untuk meraih sifat utama tersebut, para pemeluknya memerlukan sarana fisikal yang bisa disentuh oleh panca indra. Kedua sifat utama itu disebut "Tuah" dan "Tulah". Maka, simbolitas keramat itu diejawantahkan dalam berbagai benda yang mengandung kata "Tu" atau "To", seperti: Tugu (bangunan suci), Tumbak (senjata sakti), Topeng (perisai muka),Tosan (pusaka) atau  Topong (mahkota raja) dan lain-lain  [lihat: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, 2012, hal. 14].
     Sayang, para pelaku sejarah terutama tokoh transmigran dan pejabat yang terkait dengan penyelenggaraan transmigrasi, tidak banyak meninggalkan dokumentasi sejarah lokal yang bisa dibaca oleh generasi kini dan mendatang. 
      Alhamdulillah, penulis merasa beruntung pernah bertemu dan berbincang dengan sebagian kecil dari mereka. Antara lain:  Bpk. H. Oemar Hasan (mantan Pesirah Proatinlima), Bpk S. Darmadji (mantan Pesirah Trirahayu), Bpk M. Nuzli (tokoh Srikaton), Bpk  Lahuri, Bpk Satirin, Bpk Tauhid KTNA (tokoh F. Trikoyo) dan Bpk Rispan (mantan Lurah Q. Buminoto). 
    Penulis juga banyak membaca catatan kesaksian dari mBah RS. Soehoed (mantan Pimpinan Balai Pengobatan Tugumulyo) melalui  koleksi catatan sejarah anak menantunya (Drs. H. Sofian Zurkasie) yang juga mantan pejabat Pemda Musirawas yang bekerja sejak 1963 hingga 1995. [Bersambung...]

*) Muarabeliti SUMSEL, 21 Mei 2023
Resunting 30 September 2025
   

Senin, 29 September 2025

SEJARAH DIPERTA KAB. MUSIRAWAS SUMSEL [2]

Catatan: Hendy UP *]

4. Akhirnya Balik ke Beliti

    Pada tahun 2007, akhirnya kantor Dinas Pertanian berpindah ke kantor baru di Kompleks Pemda Muarabeliti. Pada saat itu, kepala dinasnya dijabat oleh Sdr. Abdul Muis M. Bakup, SP., dan bupatinya dijabat oleh Ridwan Mukti. 
    Dalam catatan, Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura adalah salah satu dari tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pertama yang pindah ke Kompleks Pemda Muarabeliti. OPD  lainnya adalah Dinas Pendidikan dan Kantor Perpustakaan Daerah. Sekadar catatan, perpindahan ibukota Kab. Musirawas ke Muarabeliti adalah konsekuensi dari terbentuknya Pemkot Lubuklinggau berdasarkan  UU No. 7 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001.

C. Perubahan Nomenklatur & Pejabat

    Berdasarkan data yang terangkum dari para narasumber yang kompeten, perubahan nomenklatur dan sirkulasi pejabatnya dapat diterakan sebagai berikut:

1. Sumadi [1948-1949: 
Ajun Landbouw Consulend menjadi Djawatan Pertanian Rakjat];

2. Mas Hanafi Sutisna [1949-1950: Djawatan Pertanian Rakjat];

3. Somad [1950-1954: Djawatan Pertanian Rakjat];

4. Kasim (Plt) [1954-1955: Djawatan Pertanian Rakjat];

5. Soemarno [1955-1959: Djawatan Pertanian Rakjat];

6. Nana Halim [1959-1960: Djawatan  Pertanian Rakjat];

7. Soemali [1960-1966: Djawatan Pertanian Rakjat];

8. Zakaria [1966-1968: Djawatan Pertanian Rakjat];

9. Abd. Hasibuan [1968-1973: Dinas Pertanian Rakjat Dati II];

10. Ir. Saidi Harun [1973-1976: Dinas Pertanian  Rakjat Dati II];

11. Ir. Arsjad Abdullah [1976: Dinas Pertanian Rakjat Dati II];

12. Ir. Idris Sapudin [1976-1981: Dinas Pertanian Dati II];

13. Ramli Hasan [1981-1986: Dinas Pertanian Tanaman Pangan];

14. Dachrul Makmur, B.Sc [1986-1992: Diperta Tan. Pangan];

15. Ir. Syazili Toyib [1992-1996: Diperta Tanaman Pangan];

16. Ir. H. Sumarno, MM [1996-2004:  Dinas Pertanian];

17. H. Abd Muis M. Bakup, SP., MM [2004-2009]: Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura/ Dinas TPH];

18. Hendy UP [27 Oktober 2009 ~ 31 Maret 2012:  Dinas TPH];

19. Dr. Ir. H. Zaini Amin [1 April 2012 ~ 31 Desember 2012: Dinas TPH];

20. Ir. Mangaratua Sitorus (Plh) [23 ~ 31 Jan 2013, sepekan: Dinas TPH];

21. Ir. Primadina Surya (Plh) [1 Jan 2013 ~ Maret 2013: Dinas TPH];

22. Ir. Suharto Patih, MM [April 2013-Mei 2014: Dinas TPH];

23. Ir. Heriyanto [Mei 2014 ~ Sep 2018: Dinas TPH]; 

24. Ir. Suharto Patih, MM [Sept 2018 ~ Okt 2018: Dinas TPH];

25. Tohirin, SP (Plt) [Oktober 2018 ~ 2 Nov 2019: Dinas Pertanian & Peternakan/ Distannak];

26. Zuhri Syawal, SP, MSc, M.Eng [2 Nov 2019 ~ 6 Oktober 2022: Distannak);

27. Dr. Ir. Hayatun Novrida, MSi [6 Okt 2022 - sekarang: Distannak].

    Demikianlah uraian singkat tentang  Sejarah Dinas Pertanian Kabupaten Musirawas dari Ajun Landbouw Consulend hingga Distannak; Dari Jalan Puyuh hingga Muarabeliti. [Tamat]

Catatan:
(*) Terima kasih kepada Pak Haji Subarjo atas curahan dan koreksi datanya, terutama tentang nama-nama pejabat dan urutannya, serta kronologi perpindahan kantor. 
Juga terima kasih kepada Adinda Robi Mawardi Gumay atas curahan data periode jabatan kepala dinas pertanian, pasca saya purnabakti tahun 2012.

(**) Pengganti sementara atas terbitnya Masa Persiapan Pensiun (MPP) Sdr. Hendy UP, dijabat/dirangkap oleh Sdr. Raidusyahri, SH selaku Sekda Musirawas;

(***) Sebelum dijabat oleh Sdr. Ir. Primadina Surya, pernah dijabat sepekan oleh Sdr. Ir. Mangaratua Sitorus untuk kepentingan administrasi. 

*] Muarabeliti, Ahad 28 Sept 2025

Minggu, 28 September 2025

SEJARAH DINAS PERTANIAN KAB. MUSIRAWAS SUMSEL [1]

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Jika kita membaca buku karya Mr. Amrah Muslimin yang berjudul "Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958"   
(Penerbit Djambatan Djakarta, 1960), maka kita akan menemukan data bahwa "dinas teknis" yang paling awal "diotonomikan" ke daerah adalah Dinas Pertanian (Ajun Landbouw Dienst) dan  Dinas PU (Openbare Warken Dienst) serta Dinas Sosial (Sociale Diensten). 
    Penyerahan urusan pertanian dari Pusat ke Daerah Swatantra Tk I Sum-Sel ditandai dengan terbitnya PP No. 41 Tahun 1951. Namun jauh sebelum itu, pada era Onderaafdeling Musi Ulu, telah dibentuk Ajun Landbouw Consulend (Kantor Pembantu Penerangan Pertanian) yang berada di Jalan Puyuh,  bersebelahan dengan Kantor Bupati Musirawas di Lubuklinggau kala itu. 
    Setelah terbit UU Darurat No. 4 Th 1956 jo Pasal 73 UU No. 1 Th 1957, tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk II Musirawas, maka nama Ajun Landbouw Consulend (ALC) berubah secara resmi menjadi Djawatan Pertanian Rakjat. 

B. Dari ALC hingga Distanak

    Pada tahun 1950-an, saya tak bisa membayangkan sesepi apa kota Lubuklinggau. Foto-foto bari yang bisa kita lacak di "tropenmuseum.nl", sungguh tak lebih dari keramaian Pasar Surulangun Rawas atau Pasar Srikaton Tugumulyo tahun 1980-an.
    Jika kita sadari bahwa geliat Kampung Lubuklinggau mulai terjadi setelah terbangunnya stasiun KA (1933) dan berpindahnya ibukota Onderafdeeling Musi Ulu dari Muarabeliti (1934), maka tahun 1950-an itu, Lubuklinggau tak lebih dari sekadar ibukota Marga Sindang Kelingi Ilir yang hendak mulai berbenah diri. 
    Pasca-kembali ke  NKRI, setelah kekacauan era Demokrasi Liberal (1950-1959) & Demokrasi Terpimpin (1959-1965) serta dimulainya program swasembada pangan "Plan Kasimo", maka kebutuhan akan kantor Dinas Pertanian yang memadai mulai dirasakan. Menurut H. Subarjo (pensiunan PNS Diperta Mura yang diwawancarai tertulis pada 16-17 Feb  2022 dan 28 September 2025), nama lembaga dan lokasi kantor pertanian mengalami perubahan, sesuai dengan dinamika aturan ketatanegaraan dan sistem politik otononi daerah kala itu. 

1. Berkantor di Jalan Puyuh

    Tidak tercatat secara lengkap sejak kapan berdirinya Kantor Ajun Landbouw Consulend di Musirawas. Namun hingga tahun 1972 (saat Kadisnya dijabat oleh Pak Abdullah Hasibuan), kantor Pertanian masih berada di Jalan Puyuh (berseberangan dengan rumah pribadi Bupati Bachtiar Amin), masih berada di Kompleks Pemda Musi Ulu Rawas kala itu. Nomor tilpun kantor Djawatan Pertanian Rakyat adalah nomor 2, sedangkan nomor tilpun Bupati Musirawas adalah nomor 1. Sementara rumah jabatan kepala dinas berlokasi di Jln. Kaswari Talangbandung.  

2. Berkantor di Tabapingin

    Pada tahun 1973, kantor Djawatan Pertanian Rakjat dipindahkan ke Tabapingin. Tepatnya di sebelah lapangan tennis, yang kelak ditempati  oleh Kandep Transmigrasi Kab. Mura dan kemudian di tahun 2008 menjadi kantor Dinas Penanaman Modal  & Perizinan Terpadu Kab. Mura. Kala itu, kompleks perkantoran Pemda Musirawas di Tabapingin belum dibangun. Hanya ada kantor Cabang Dinas Perkebunan persis di lokasi JAM GADANG sekarang. 

3. Berkantor di Talangjawakiri

    Pada tahun 1975, ketika kepala dinas dijabat oleh Ir. Saidi Harun (1973-1976), kantor pertanian dipindahkan ke Talangjawakiri, atau tepatnya di Jalan Yos Sudarso No. 9 Lubuklinggau. 
    Ketika saya mulai bekerja di Diperta tahun 1978 hingga 1985, saya menyaksikan bahwa bangunannya sangat sederhana. Hanya berlantai semen, berdinding bata setengah tiang dan selebihnya papan kayu. Bangunan kantornya berbentuk L:  untuk ruang kepala, ruang Sekretariat Bimas, ruang para Kasi dan di bagian belakang ruang per-TU-an. Tidak ada jabatan Sekretaris, Kabid atau Kasubdin. 
    Di halaman depan, bersebelahan dengan bangunan kantor, ada bangunan rumah jabatan berukuran sekitar 6 × 8 meter yang ditempati oleh Pak Syarifudin Hasibuan (Kasi Bina Program). Dan di bagian belakang yang becek berkolam ada dua rumah papan (satunya panggung) yang ditempati oleh Pak Abuwazir (Kasi Produksi), dan Pak Wancik pensiunan pertanian. [Bersambung...]
   
*] Muarabeliti, Ahad 28 Sept 2025

Sabtu, 27 September 2025

PARA PEJABAT BBU TUGUMULYO

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Bagi pembaca yang bukan alumni Dinas Pertanian dan/atau lembaga mitra non-organik (KTNA, HKTI, PERPADI, dll), barangtentu perlu dijelaskan apa itu Balai Benih Utama (BBU) Tugumulyo. 
    Adalah sebuah instalasi perbenihan  padi di bawah Dinas Pertanian Kab. Musirawas yang diberi tugas khusus untuk memroduksi (& menyebarkan/ menjual) benih padi bersertifikat (unggul & bermutu) guna memenuhi kebutuhan masyarakat tani di wilayah Kab. Musirawas dan sekitarnya. 
    Dahulu, lembaga ini berada di bawah Diperta Prov. SUMSEL, dan  dibentuk tahun 1969/1970 (awal PELITA I). Secara fungsional- teknokratik, lembaga ini merupakan binaan dan perpanjangan tangan dari BALAI BENIH INDUK (BBI) BELITANG milik Diperta Prov. SUMSEL. 

B. Awalnya Sebuah SUT

    Suatu hari di tahun 2000-an, ada cerita bahwa BBU ini dulunya sebuah sekolah non-formal yang disebut  Sekolah Usaha Tani (SUT). Benarkah? Maka, kucari para narasumber yang kompeten, untuk mengompilasi bahan analisis-sintesis demi membangun konklusi yang logis. 
    Dalam catatan, lahan BBU ini konon dibeli tahun 1958 di era Bupati Zainal Abidin Ning (1958-1964). Kala itu Kadistan Kab. Musi Ulu Rawas adalah Pak Soemarno (1955-1959). [Bedakan dengan Bapak Ir. H. Sumarno, MM, Kadistan yang menjabat tahun 1996-2004].
    Pak Soemarno adalah mantan Kepala SUT Tjurup Prov. Sumsel.(Prov. Bengkulu baru dibentuk pada 18 November 1968). Maka, ketika beliau menjabat sebagai Kadis, telah memiliki pengalaman untuk mendirikan & mengelola SUT. 
    Pasca-kepemimpinan Pak Soemarno dan dijabat oleh Pak Nana Halim (1959-1960), diteruskan oleh Pak Soemali (1960-1966) dan Pak Zakaria (1966-1968), konon SUT masih berjalan. Dua orang guru yang pernah mengajar di SUT tahun 1966-1967 antara lain adalah Ny. Syamsiatun dan Sukirman. 
    Ketika diwawancarai pada Selasa, 31 Mei 2022, Ny. Syamsiatun masih segar ingatannya bahwa SUT terdiri dari 3 lokal berdinding gedheg (anyaman bambu) dengan jumlah murid berkisar 30 siswa. Sayang beliau lupa, kapan SUT ini ditutup. Diduga kuat, bersamaan dengan terbentuknya BBU tahun 1969/1970.

C. Menjadi UPT & Para Pejabatnya

    Pasca-otonomi daerah, yakni tahun 2004, lembaga ini diserahkan kepada Pemda Mura dan berstatus UPT, yang berada di bawah Diperta Kab. Mura. Kepala UPT-nya bereselon 4-A, setara dengan eselon Kacabdin di tingkat kecamatan. 
    Lokasi kompleks BBU ini berada di Desa D. Tegalrejo, di pinggir jalan raya Lubuklinggau ~ Tugumulyo. Jika Anda berkendara dari Lubuklinggau menuju Pasar B. Srikaton, di sebelah kiri, akan terlihat gapura lengkung bertuliskan AGRO TECHNO PARK (ATP). Itulah kompleks BBU Tugumulyo. Adapun ATP adalah merupakan "pseudo lembaga" yang pernah lahir dari "rahim asing" dan salah musim, pernah singgah di BBU, hanya berumur 3 musim dalam inkubator yang bermuatan "nuklir". Dan kini telah raib: mati suri! 
    Berdasarkan data resmi Dinas Pertanian Kab.Mura (2010) dalam buku "Profil Pertanian: Sejarah, Ragaan & Gagasan. Dari Ajund Landbouw Consult hingga Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura", disebutkan bahwa kompleks BBU ini terdiri dari: lahan sawah 6 hektar, gedung  perkantoran, instalasi pengolahan benih plus lantai jemur dan gudang aneka jenis alsintan. 
    Jangan lupa, di kompleks BBU juga ada lembaga sepupunya, yakni: UPT Perlintan. Juga ada instansi di bawah Dinas Pert. Prov Sumsel, yakni Lab. Hama Penyakit dan UPT Brigade Proteksi Tanaman. 
    Lantas, siapakah para kepala BBU Tugumulyo yang pernah menjabat? Menurut narasumber Pak H. Subarjo, (mantan kepala BBU) yang mulai mengabdi sebagai PNS Pertanian sejak 1 April 1972 (pensiun 1 Nov 2008), para pejabat itu adalah:
1. Arsi Selahib (seb 1972-1976);
2. M. Nuzli (Pjs. merangkap KCD);
3. Turseno;
4. S. Darmadji; 
5. Sofyan Ta'asim;
6. Ir. Subardi;
7. Ir. Sapriyadi;
8. H. Subardjo (2002 -2003);
9. Tujiman;
10. Ir. Achmad Herman;
11. Gito Surono;
12. Zulkarnaen, SP, dan
13. Kasan, SP (2023- sekarang). 

*] Muarabeliti, 26 September 2025

Jumat, 26 September 2025

DUKACITA UNTUK PROF. SALIM

Catatan : Hendy UP *) 

     Ahad pagi ba'da ritual Subuh dan ikutannya, aku dikejutkan oleh sebaris berita duka di sebuah portal berita. Aroma asap secangkir kopi di meja baca, seakan menghadirkan kembali "quotes bijak" dari catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pakar Politik, Tentara dan sekali gus pemerhati film Nusantara. 
     Yaa, beliau adalah Prof. Salim Said, PhD, yang wafat di Jakarta, pada Sabtu petang, 18 Mei 2024. Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu wawassi'u mudkholahu. Semoga dilapangkan kuburnya dan dirahmati arwahnya, serta dikuat-sabarkan keluarga yang ditinggalkan. 
     Aku mulai mengenal nama Salim Said sekitar tahun 1980-an, ketika beliau setiap pekan muncul di Majalah Tempo sebagai penjaga rubrik  seni dan film. Majalah itu pernah menghilang menjelang Pemilu 1982. Kabarnya dibredel oleh pemerintah. Lalu terbit lagi, tetap tajam dan lebih kritis, untuk kemudian dibredel lagi oleh Menteri Harmoko pada 21 Juni 1994, dan terbit lagi pada 6 Oktober 1998 di tengah euporia reformasi. 
       Namanya semakin kesohor dan dijadikan rujukan penguasa sipil pasca-reformasi 1998,  seiring dengan keterbukaan pers dalam bingkai "demokrasi liberal" yang kebablasan arah. Salah satu pernyataan yang mengejutkan kala itu adalah bahwa "kondisi masyarakat Indonesia hingga era reformasi masih bersifat 'fragmented society', yakni absennya kepercayaan (trust) di antara elemen-elemen masyarakat kita".
      Beliau lahir pada 10 November 1943 di dusun Amparita, eks wilayah Afdeeling Pare-pare Sulsel, yang kini menjadi bagian Kabupaten Sidenreng Rappang. Istrinya yang bernama  Herawaty, adalah orang dari Muaradua Kisam, Kab. OKU Selatan, Sum-Sel. 
       Sekadar mengingat jejaknya, Salim kecil bersekolah SR dan SMP di Pare-pare, lalu melanjutkan SMA di Solo. Kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional (1946-1965), Fak. Psikologi UI (1966-1967), dan Fak. Sospol UI (tamat 1977). Gelar PhD-nya diperoleh dari Ohio State University (1985) dengan judul "Sejarah dan Politik Tentara Indonesia".
        Dalam sebuah podcast Helmi Yahya (2023), beliau mengkalim bahwa hingga pecahnya reformasi 1998, beliaulah satu-satunya orang Indonesia yang fokus mengkaji perilaku Tentara dan Pemerintah sejak terbentuknya TNI. Karya-karya bukunya di bidang politik dan militer laris-manis di lapak-lapak market place dan  toko buku. 
        Kebetulan, pada era pandemi Covid-19, saya mengoleksi dua bukunya yang fenomenal untuk melengkapi bacaan di bidang tentara dan rezim militer.  Karya bukunya yang fenomenal dan langka tersebut adalah "Militer Indonesia dan Politik; Dulu, Kini dan Kelak" (378 hal), yang merupakan elaborasi dan penyempurnaan disertasinya. Lalu buku itu terus disempurnakan dengan buku barunya "Ini Bukan Kudeta" (159 hal). 
     Ternyata buku itulah karya terakhir Mang Salim, jika proyek buku "Tafsir Sosial Islam" tak sempat diselesaikan oleh Tim-nya. Semoga Mang Salim damai-nikmat di alam barzahnya! Aamiin  yaa Robbal'alaamiin. 


*) Muarabeliti SUMSEL, 20 Mei 2024

JERAMBAH BELITI

Catatan: Hendy UP *]

     Ba'da subuhan, Selasa 16 September 2025 kemarin, berita tentang jerambah Muarabeliti mengalami "virus virtual". Penyebabnya, tanah penahan abutment yang berada di halaman KPU Musirawas longsor pascahujan semalaman. Untuk beberapa pekan ke depan, agaknya jerambah itu dikawal petugas khusus untuk mengatur lalu-lintas di atasnya. 

A. Cerita Bari Jerambah Besi

    Bagi masyarakat non-Sumbagsel, barangkali agak aneh di telinga dan bertanya-tanya: "apa makna kata jerambah?"
    Dalam KBBI, kata jerambah bermakna "lantai yang berada pada ketinggian, tidak beratap, tempat mencuci pakaian atau perabot dapur dan menjemurnya". 
     Dalam bahasa tutur masyarakat Muarabeliti (dan sekitarnya) kata jerambah adalah sinonim dari jembatan. Di era Kolonial Belanda, jerambah sering disebut "brug" dan    jerambah gantung disebut "hangbrug".
    Kapan jerambah Beliti pertama dibangun? Sepanjang pelacakan dokumen bari di portal "Klentenservice Koninklijke Bibliotheek, Nederland", saya belum menemukannya.
    Diduga kuat, awal rintisan jalan darat dari Palembang- Muaraenim - Lahat - Tebing/Empatlawang ke Muarabeliti, dimulai pascajatuhnya Kesultanan Palembang pada tahun 1821. Pada tahun 1825 dilakukan pemetaan daerah uluan Palembang oleh Muntinghe yang dikenal dengan "Onderdrucking Expeditie". Kemudian diperkuat oleh kebijakan Gubernur General JG Van den Bosch (1830-1933) pada awal era "Tanam Paksa" untuk memetakan seluruh lahan di Jawa & Sumatera demi  mencocokan kesesuaian lahan dengan komoditas yang dibutuhkan pasar Eropa.
    Terlepas dari soal kapan jerambah Beliti pertama kali dibangun, faktanya, dalam catatan sejarah, jerambah besi Muarabeliti pernah "dibumihanguskan" oleh Tentara Rakyat Indonesia (TRI) pada Rabu, 29 Desember 1948. Hal ini terjadi ketika Belanda melakukan Agresi Militer II, dan pasukan Belanda telah berada di Tebing Empatlawang akan menuju Muarabeliti dan Lubuklinggau. 
    Kemudian reruntuhan jerambah itu direnovasi kembali oleh TRI setelah Belanda kocar-kacir tak sanggup menghadapi pasukan khusus bambu runcing. 

B. Jerambah Beton Pak Harun

    Menurut Pak Sukirman (76 tahun), mantan mandor PT Waskita Karya (WK) yang diwawancarai Sabtu 29-1-2022,  jerambah beton Beliti yang kini masih kokoh, mula-mula dibangun pada tahun 1975 oleh sebuah perusahaan kontraktor, namun salah desain konstruksinya. Selama hampir 3 tahun pembangunan jerambah itu mangkrak total. 
     Pada tahun 1978, akhirnya tiang beton panyangga gelagar yang sudah dipasang di tengah sungai dibongkar habis oleh kontraktor baru yakni PT. Waskita Karya. Di bawah manager lapangan Pak Ir. Harun Husein (penulis mengenal akrab, sering ngopi bareng di Muarabeliti kala itu), akhirnya jerambah Beliti selesai dan diresmikan pada tahun 1981.
    Jembatan beton ini dibuat persis bersebelahan dengan jembatan besi lama dengan panjang 90 meter (15+ 60+15). Sebagai pembanding jembatan sungai Musi di Muaralakitan yang juga dibangun oleh PT Waskita Karya (1982-1985) bentangnya sepanjang 150 meter. 

C. Jerambah Beliti Putus

    Jumat pagi 8 Desember 1995, tiba-tiba jerambah Beliti putus, 8 mobil truck nyungsep ke sungai, satu orang wafat dan jalur transportasi Lintas Tengah Sumatera macet total hingga sebulan ke depan. 
    Berita ini termuat di koran Kompas edisi Sabtu (9-12-1995) yang kubaca di beranda rumah Pak Carik Asep Desa Lemahabang Kab. Karawang. Kala itu aku sedang ikut terlibat melaksanakan riset selama 6 bulan untuk menguji-coba metode baru "Pengendalian Hama Terpadu Dengan Mendayagunakan Musuh Alami" atas sponsorship sebuah lembaga pendidikan pertanian. 
    Padahal pekan itu, dari 11 hingga 17 Desember 1995 aku memperoleh cuti-riset dan hendak pulang ke Muarabeliti. Sial sekali, aku tak bisa pulang karena tak ada bus dari Jawa ke Sumatera yang melewati jalur Muarabeliti/Lubuklinggau.
    Dengan pasrah tawaqaltu al-Alloh, aku harus menunda pulang hingga beberapa bulan ke depan. Dalam hati aku berbisik: "man is proposis, but God is disposis".
    
*] Muarabeliti, 19 September 2025

BKLU TERAWAS

Catatan: Hendy UP *] 

    Bagi pembaca di luar wilayah SUMSEL, perlu dijelaskan bahwa Batu Kuning Lakitan Ulu (BKLU) Terawas adalah sebuah kecamatan di Kab. Musirawas yang terbentuk pada tahun 1969, dan membawahkan dua wilayah marga kala itu. Kedua marga itu adalah Marga Batu Kuning Lakitan (BKL) dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu (STLU). 
    Jika kita lacak dokumen sejarah bari, ternyata Kec. BKLU Terawas, adalah hasil pemecahan Keasistenan Lubuklinggau, Kewedanaan Musi Ulu yang di zaman Belanda disebut  Onderafdeeling Musi Ulu. 

 A. Cerita Bari Ulu Lakitan 

     Saya belum menemukan artikel kajian toponomis tentang nama Terawas & Selangit. Adakah legenda yang terkait dengan peradaban di kawasan sungai Rawas sehingga bernama "Te-Rawas"? Atau, adakah cerita mistik yang mengaitkan norma-adat suku ini dengan status "ketinggian peradaban" hingga menjulang tinggi "Selangit"? 
    Adakah benang merah pertalian darah-puyang masyarakat Terawas (dan Selangit) dengan sub-etnik Musi-Lakitan yang notabene terhubung langsung oleh jalur sungai Lakitan yang bermuara di sungai Musi? 
    Faktanya, wilayah hulu BKLU Terawas berada ditubir Bukit Barisan di kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat (TNKS) yang memiliki posisi strategis dalam menyimpan ketersediaan air dan pengendali banjir (catchmant area) di hilirnya. 
    Dahulu kala, sungai Lakitan yang berhulu di celah bukit kawasan Rejang adalah merupakan urat nadi perekonomian (dan budaya) masyarakat Terawas. Anak-anak sungai Lakitan seperti sungai Ba'al, Malus, Nilau, Megang dan lain-lain adalah tangan-tangan transformasi peradaban Lembak-Silampari yang kelak ikut andil mewariskan nilai-nilai luhur patriotisme ketika melawan laknatullah Kolonial Belanda  & Jepang. ***
    Tak terlacak dengan pasti, sejak kapan peradaban lokal memunculkan era kemargaan di wilayah Selangit- Terawas. Mungkin ratusan tahun silam, ketika masyarakat adat belajar bermusyawarah bersama "tetuo dusun" yang kelak melahirkan prinsip kepemimpinan asli dengan sebutan ilmiah "primus interpares", yang berarti  "yang pertama dari yang sederajat". 
    Maknanya adalah bahwa seorang pemimpin yang terpilih memiliki beberapa keunggulan personal, seperti kejujuran, cerdas di atas rata-rata dan berwibawa, sehingga disegani oleh masyarakat. 
     Dalam catatan, di kawasan ini terbentuk 2 marga yaitu: Marga Batu Kuning Lakitan berpusat di Dusun Selangit dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu berpusat di Terawas. 
     Bersumber dari "Zaak Almanak Zuid Sumatera" bertahun 1936, di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe terdapat 10 marga, antara lain Marga Batu Kuning Lakitan dengan Pesirah Depati Tusin dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu dengan Pesirah Depati Pengandal Natamarga. 
    Dalam perkembangannya kelak, Marga BKL dipimpin oleh Pesirah Sani yang merupakan anak Depati Tusin, dan Marga STLU dipimpin oleh Pesirah Tap yang juga merupakan anak dari Depati Pengandal Natamarga, hingga berakhir masa kemargaan pada tahun 1983.

B. Terbentuk Kecamatan Baru 

    Pada era Gubernur SUMSEL H. Asnawi Mangku Alam (1967-1978) dan Bupati Musirawas dijabat oleh H. MochtarAman (1968-1979), terbitlah Kpts Gubernur tanggal 16 Mei 1969 Nomor: Pd/108/1969, tentang Pemecahan Keasistenan Kota Lubuklinggau. Maka lahirlah dua kecamatan baru yaitu: Kec. Lubuklinggau dan Kec. BKLU Terawas. 
    Berdasarkan catatan dari narasumber Drs. H. Sofian Zurkasie, para Camat yang pernah menjabat di Kec. BKLU Terawas antara lain adalah:
(1) Drs. Husni Bahar (1969-1972) berasal dari Tebing Empatlawang;
(2) Drs. H. Sofian Zurkasie (1972-1975) asli Muarabeliti, (3) Sahri Wahab eks Gindo berasal dari Jawa Barat, (4) Drs. Hamdani, (5) Drs. Cik Ali Manaf, (6) Drs. Sofianto, (7) Drs. Nurdin Amasin, (8) Drs. Amirul Mukminin, dst. 
    Pada saat ini, eks Kecamatan BKLU Terawas telah dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan, yakni: Kec. STLU Terawas, (2) Kec. Selangit (Perda Mura No. 3 Th 2002) dan  (3) Kec. Sumberharta (Perda Mura No. 6 Th 2006). 

*] Muarabeliti,  24 September 2025