FILM HAYYA: MELEPAS KORTISOL & GUGUS ENDORFIN
Oleh: Hendy UP *)
Seratusan menit menikmati Film Hayya, aku mengalami tiga hal: ejakulasi batin, permenungan jiwa dan pelepasan endorpin otak yang mangkal pada sirkuit kegembiraan. Aku tak tahu, apakah penonton lain termasuk Benny Arnas yang duduk di depanku meraih pengalaman yang sama? Entahlah! Sepuluh menit pertama, dalam kegelapan gedung Sinemaxx Lippo, penonton disuguhi adegan sedih. Keceriaan gadis kecil Hayya dan puluhan anak Palestin di Pasar Jabalia melambungkan rasa bersalah kita.
Kegembiraan anak-anak kita di pedesaan Musirawas: dari Muarabeliti hingga dusun Selangit, adalah kegembiraan otentik-genuin yang tak terbeban kemungkinan tertembus peluru atau desing mesiu di atas ubunnya. Kerekatan gadis kecil Hayya dengan Rahmat selama di barak pengungsian, tiba-tiba harus ditetak jiwanya, karena Rahmat akan kembali ke Indonesia. Hayya kecil memberontak, tak terima.
Inilah awal kisah yang membuat gadis kecil Hayya nekad masuk ke koper besar Rahmat, terikut serta berlayar kapal ke Indonesia. Memang potongan episode yang ini agak melawan rasionalitas penonton.
Tanpa sadar, ada kilatan bayang fotopsia menghalangi layar lebar. Aku menahan air bening yang menggelayuti kelopak mata, seakan sedang menderita ablasio retina; sejurus kemudian syaraf simpatetik mataku menegang, kemudian melepaskan hormon kortisol. Dan jatuhlah lelehan air kesedihan itu!
Sebaliknya, ada adegan kocak Adhin, berlari menyungging Hayya ketika menyelamatkannya dari kejaran Polisi. Ada hiruk-pikuk para 'Banci' yang menggelakkan beruyak-tawa. Penonton terpingkal-pingkal histeria! Background kampung kumuh dan "AWAS ANJING GALAK", mampu melupakan sejenak jejak keprihatinan nasib Hayya. Syaraf penonton dipaksa melepas endorfin dan memainkan sirkuit kegembiraan yang meluap-luap.
Agaknya sutradara Jastis Arimba sangat mumpuni dalam menakar harmonik osilasi jiwa penonton, dan menghitung ujung amplitudonya: titik ekstrim syaraf jiwa-sedih dan titik ekstrim bahak- kegembiraan. Tentu saja, sutradara telah mengalkulasi potensi populasi penontonnya, yakni kaum milenial dan generasi-Z yang kini dominan dalam statistik demografi Indonesia.
Kejelian sang sutradara Jastis niscaya selaras dengan kepiawaian produser Erik Yusuf bersama Helvy TR di bawah bendera Warna Pictures. Pasti bukan tanpa alasan ketika setting-place yang dipilih adalah Pasar Jabalia, Gaza Palestina dan kota Tasikmalaya Jawa Barat, dengan riak-dialek Priangan Timur yang agak vulgar dan kadang khas mendayu-dayu.
Sungguh selaras, kompromi pemilihan para bintang yang pas dalam memerankan karakter yang dibangun penovelnya: Helvy dan Benny. Tokoh Rahmat Asyraf Pranaja (Fauzi Baadila) seorang jurnalis sang pendosa yang bersemangat menebus masa lalunya, mampu mengekspresikan kegelisahan dan irrasionalitas tindakannya. Sementara tokoh Hayya Qasim (Amna Hasanah Shahab) dipoles karakternya persis sebagaimana persepsi kita terhadap anak-anak Palestin yang full-traumatik, sarat bully dan nyaris kehilangan masa kanaknya karena direnggut Zionis super-biadab.
Tokoh penting lain yang menyempurnakan multi adegan itu adalah: Adhin Abdul Hakim sebagai Adhin, sangat berhasil meluruhkan 'pembrontakan' jiwa Rahmat dan mampu menyuguhkan banyolan-intelek dalam kebersamaan peran di pelataran jihadnya. Bintang-bintang berbakat lain yang mendukung keberhasilan HAYYA ini adalah mereka yang terbukti mampu memerankan sekuel The Power of Love 2. Mereka adalah novelis Asma Nadia, Meyda Sefira, Ria Ricis, Humaidi Abas dan Hamas Syahid.
Betapapun, film HAYYA adalah simbol kebangkitan ghiroh ummat dunia, beragama apa pun, yg masih peduli akan peri kemanusiaan dan peri keadilan demi mendukung eksistensi Bangsa Palestin. Lebih dari itu, bagi "Wong Linggau" novel dan film HAYYA adalah menjulang-tingginya bendera SILAMPARI yang bertajuk #JIHADBUDAYA.
Yang menjulangkannya adalah seorang sarjana pertanian: BENNY ARNAS. Bukan yang lain! Allohu'alam bishowab.
[Muarabeliti, September 24, 2019] *) Blogger: www.andikatuan.net