Oleh: Hendy UP *)
Menurut pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pangan adalah urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini sungguh sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Mengapa saat itu, birokrat di Kemendagri/Kementan dan anggota parlemen di Panja UU Pemda “terjangkit virus “gagal faham?
UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) adalah salah satu UU yang secara natal-historikal cukup unik dan mengandung pasal terbanyak sepanjang sejarah UU tentang Pemda, yakni 27 bab dengan 411 pasal. Bandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 (134 pasal), dan UU No.32 Tahun 2004 (240 pasal).
Keunikan sejarah kelahirannya yang cukup langka adalah bahwa pada saat diundangkan (2 Oktober 2014), terbit pula dua Perppu secara bersamaan, yakni: (1) Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan (2) Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pemda tersebut, yang hanya menghapus 2 huruf pada 2 ayat di 2 pasal yang berbeda. Pasal-pasal yang sebagian ayatnya dihapus adalah Pasal 101 dan Pasal 154, masing-masing pada ayat ke-1 huruf ke (d), dan kesemuanya tentang kewenangan DPRD baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.
Terasa tertinggal ‘kereta’, maka pada 18 Maret 2015 sejumlah 6 pasal disempurnakan lagi dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2015. Ini semua, sungguh sebuah UU yang sarat kepentingan “politik musiman”. Saya menyebutnya “politik-klimatologis”
Nuansa politis dan ketegangan parlementaria di akhir pusaran pemerintahan SBY menjelang terbitnya UU Pemda ITU, bisalah kita lupakan sesaat dan cukuplah menjadi ibroh bagi warga bangsa. Tapi UU Pemda ini menyisakan persoalan mendasar yang menyangkut “urusan pemerintahan konkuren” yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah sebagai roh desentralisasi kekuasaan.
Sekadar pengingatan bersama bahwa pasca-reformasi 1998, asas manajemen pemerintahan terbagi atas tiga urusan, yakni: urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut yang terdiri dari 6 bidang adalah merupakan kewenangan mutlak Pemerintah Pusat, walaupun dalam penyelenggaraannya bisa dilaksanakan sendiri, bisa juga dilimpahkan kepada instansi vertikal di daerah atau kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (Pasal 10).
Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9).
Adapun urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi kekuasaan atau yang lazim disebut otonomi daerah, dan terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan (Pasal 11).
Urusan pemerintahan wajib terbagi atas dua kategori, yakni: (1) urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan (2) urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Enam jenis urusan pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar adalah: pendidikan, kesehatan, PUPR, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman/tibum/linmas dan sosial. Sedangkan 18 jenis urusan wajib non-pelayanan dasar antara lain adalah: tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, dan beberapa jenis urusan lainnya (Pasal 12).
Di dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pola perencanaan dan penggaran APBD akan memprioritaskan porsi anggaran untuk jenis urusan yang terkait dengan pelayanan dasar, tidak termasuk bidang pangan yang secara awam adalah justeru urusan yang sangat asasi dan mendasar sifatnya.
Pada pasal 12 UU Pemda dengan tegas menyatakan bahwa urusan pangan adalah ‘bukan urusan yang terkait dengan pelayanan dasar’. Hal ini sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Di dalam konsideran menimbang diktum pertama pada UU tentang Pangan, dengan tegas dinyatakan bahwa “pangan adalah merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin di dalam UUD 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas”.
Pada konsideran menimbang diktum kedua dinyatakan: “bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal”.
Sebagai insan pertanian yang pernah ‘menyungkur-lumpur’ dalam melintasi ‘era revolusi hijau hingga revolusi biru’ di akhir tahun 1970-an hingga 90-an, saya merasakan ada kejanggalan berfikir para petinggi dan anggota parlemen di negeri ini. Dan jangan lupa, pasal 12 ini potensial menjadi bahan ‘uji materi di MK’ bagi kalangan yang faham akan fungsi pangan sebagai hak asasi yang sangat mendasar bagi masyarakat. Sayang sekali hingga kini belum terdengar suara-suara itu. Barangkali isu pangan yang mendasar ini, dikalahkan oleh ‘hiruk-pikuk’ pertunjukan ‘Tonil Gendurwo yang Semakin Menyontoloyo”.
Jika para petinggi Republik ini ‘gagal faham’ dalam memaknai persoalan pangan, maka tunggulah masa ‘kelaparan rakyat’ kelak di kemudian hari, yang bisa memicu benih-benih ‘social-movement’ di tengah kesulitan ekonomi yang semakin terasa. Mudah-mudahan ‘kedunguan’ para petinggi Republik ini akan segera berakhir. Allohu’alam bishowab…..!
*) Penulis adalah insan pertanian.
Mukim di Lubuklinggau Sumsel.
[28/12/2018]