Senin, 07 Januari 2019

IDIOM MENTAL TEMPE

”... bodoh.. ndablegg..! Dasar otak tempe..!”. Itu ungkapan kemarahan guru saya di tahun 65-an ketika saya klas satu SD. Saya merasa trenyuh melihat pucatnya muka si Budi anak udik yang tetap strugle jalan kaki nyeker puluhan kilometer setiap pagi. Belakangan, si Budi konon sukses di Jakarta karena ulet dan tawakal menekuni bisnis tempe bungkus plastik dan menguasai market area Pulogadung dan Bekasi. 


Walaupun tempe sangat potensial sebagai pengganti protein hewani yang menjadi biang jantung koroner, tetapi bahan bakunya - tanaman kedele - sulit dikembangkan di Indonesia karena faktor agroklimat dan persaingan pasar dunia. 
Tempe asli bikinan mBok Siyem di Mirasi, konon mengandung protein nabati lebih 45% dan menjadi penghambat munculnya macam-macam penyakit termasuk jantung koroner, asam urat dan penyakit masa kini lainnya. Pantes saja, Mas Gotri kawan saya yang mukim di G1 Mataram tetap hobbi melahap tempe walaupun telah melanglang-buana dan mukim studi di Eropa. Konon juga, Dr. Ashadi Siregar ”Cintaku di Kampus Biru” – wong Batak yang lama mukim di Yogya - sudah tempe bacem mainded. 

Akan halnya ketela si ubikepar, sesungguhnya memiliki prospek strategis sebagai pengganti tepung impor untuk mengurangi terkurasnya devisa dan menjadi salah satu komoditas target pengembangan Menteri Suswono untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Ubikepar alias ubirambat, memang gampang tumbuh dan cepat berumbi dengan potensi kandungan karbohidrat yang tinggi dan mudah diolah menjadi bahan makanan lokal nan bergizi. 

Kedaulatan dan Kemandirian Pangan  
Political will Pemerintah telah ditunjukkan dengan terbitnya Perpres Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Dan Bupati Musi Rawas telah pula menerbitkan Edaran Nomor 165/DTPH/2010 tentang Larangan Menghidangkan Makanan/ Penganan yang Berbahan Baku Impor (buahan dll) dalam acara resmi pemerintahan. Jikalau kemauan kuat Pemerintah diikuti oleh dukungan masyarakat tani dan diikuti oleh kiprah nyata swasta sebagai mitra petani dalam mendukung iklim usahatani kedelai dan umbi-umbian dari aspek agroindustrinya, maka niscaya image tempe dan ketela yang berlaku di zaman Bung Karno dulu akan berubah menjadi positif. 

Mental Tempe dan Politik Ketela 
Istilah mental tempe di zaman Bung Karno memiliki konotasi rendah, goblok, dibodohi dan sesuatu yang telmi. Tidak banyak orang tahu sejarah muncul istilah itu. Secara historis, konon, sesuai dengan suasana Era Berdikari waktu itu, Bung Karno menginginkan bangsanya tegak berdiri melawan kedzoliman penjajah dan maju pantang menyerah serta haram diinjak-injak martabat oleh bangsa asing. Nah, karena proses pembuatan tempe tradisional (Jawa) adalah melalui proses penginjakan kaki atas rendaman kedele, maka dipinjamlah material tempe tersebut sebagai analogi dalam ungkapan politik membangunkan spirit kebangsaan untuk melawan penjajah. 

Ada pun istilah mental ketela, muncul pada saat era kebangkitan politik pengembangan budaya nasional yang mulai digempur oleh budaya asing. Munculnya budaya Barat yang hedonistik, imitatif dan serba instan-bypass, mengilhami para sastrawan untuk mengiaskan upaya yang tak pantas dan melanggar etika-kepatutan dengan ”mengorbankan” ketelarambat. 

Ubikepar yang merambat di pekarangan saya di Karangketuan, ketika hendak dipanen pasti dicerabut dari akarnya. Akar umbinya diolah, daunnya dihibahkan untuk gurame atau diminta mBah Keling untuk umpan kambing. Di era modern dengan trend sosialita kini, sekelompok orang kampung yang sukses di kota besar menjadi entitas yang tercerabut dari akar budayanya; serba imitatif, pura-pura (dengan menunjukkan) tampil kekotaannya tapi di belakang dapur di kampungnya (sewaktu mudik), membakar umbi yang bercampur abu dapur. Yang lebih mengenaskan lagi, muda-mudi yang seharian berpanas-panasan di sawah kerja harian, upahnya dibelanjaan pulsa untuk bercanda-ria. Itulah barangkali, ungkapan mental ketela, yang tercerabut dari maqom-budayanya!.

Kita tak tahu kenapa kata-kata "tempe" menjadi simbol "kebodohan" atau "kedunguan" seseorang. Padahal kini fakta ilmiah menunjukkan bahwa tempe adalah makanan yang berprotein tinggi dan aman untuk mencegah "kedunguan" generaasi millenial.

Oleh : Hendy UP *)
*) Penulis adalah pemerhati Budaya Lokal.

WARUNG KOPI INTELIGENSIA

Aku memanggilnya Mas Mul, asli Kebumen Jawa Tengah. Kami berteman akrab sejak awal 1975 dan ‘bubar blas’ pada akhir 1977, sama-sama meninggalkan kota Purwokerto. Dia meneruskan kuliah ke Yogya, mendalami filsafat, dan aku melancong ke berbagai kota untuk kemudian terdampar di Muarabeliti demi mengais sesuap nasi.
Kami tak sesekolah, justeru keakraban kami terbangun karena sama-sama ‘ngekost’ di gang yang sama di kawasan Kaumanlama. Lebih karib-akrab ketika sama-sama ‘bergulat-diskusi’ di perkumpulan PII. Setelah 32 tahun berpisah, just suddenly dipertemukan Tuhan; di tahun 2009, bulan 9 sekitar jam 9 malam. Qodarulloh, sebuah pertemuan tak terduga di warung kopi, di pinggir selokan Mentaram, Pogung nDalangan – Bulaksumur, Yogyakarta. 
Setelah berpelukan erat melepas ‘rindu-dendam’ tak terperikan, kami membuka obrolan seru tentang sinopsis perjalanan ‘serial liku kehidupan’ dan ‘perakitan sosial-intelektual’ kami masing-masing selama era yang terpisahkan. Sedemikian serunya, sehingga tak terasa kami mengakhiri perjumpaan itu nyaris dini hari. Pak Lik pemilik warung kopi agaknya ikut menikmati obrolan ‘humaniora’ kami yang tak jelas pangkal-ujungnya, apatah lagi tema-judulnya. 
Sesampai di kamar kost, anak saya yang sedari tadi ‘bengong’ demi menyaksikan keakraban kami, tiba-tiba bertanya: “Pa, apa beda intelektual dengan inteligensia yang didiskusikan dengan kawan Papa?”. Aku jujur tak bisa menjelaskan kepada anakku - mahasiswa teknik UGM - yang niscaya tak bisa menerima penjelasan ‘non-intelek’ sebagaimana dia mencerna dalil-dalil ‘mekanika fluida’ atau ‘perpindahan kalor’ yang biasa diterima dari dosennya. 
Dalam KBBI Edisi Baru (Tim Pustaka Phoenix, 2009), kedua kata itu diartikan agak berbeda tipis. Setipis integumen, selaput lapisan penutup kulit dalam ilmu anatomi tumbuhan. Walaupun sama-sama berasal dari akar kata ‘intel’, tetapi pemaknaan sosiologisnya tidaklah serupa. ‘Intelektual’ diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan daya nalar (wawasan, pemikiran) yang tinggi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Juga bisa diartikan sebagai orang terpelajar, cendekiawan atau ilmuwan. 
Orang yang gagal membangun konklusi dengan cara mengabaikan mekanisme nalar yang benar nan ‘bebas-nilai’, mungkin untuk kepentingan politik tertentu, itulah yang disebut Rocky Gerung sebagai ‘dungu’. Sedangkan ‘inteligensia’ lebih menunjuk kepada komunitas atau kaum: kaum cerdik pandai, kaum terpelajar atau para cendekiawan. 
Menurut Yudi Latif (2012, hal. 14) dalam disertasinya “Inteligensia Muslim dan Kuasa”, diakui bahwa mendefinisikan kata ‘intelegensia’ dan ‘intelektual’ merupakan sesuatu yang problematik, karena kedua istilah itu telah diartikan secara tumpang tindih, khususnya dalam wacana ‘sejarah dan politik’ di Indonesia. Tak ada pemahaman bahwa masing-masing memiliki genealogi dan formasi sosialnya sendiri-sendiri, sehingga keduanya merujuk pada suatu konsep dan fenomena sosial yang berbeda. 
Adalah Mohammad Hatta, ketika berpidato di hadapan sivitas akademika UI tanggal 11 Juni 1957 dengan judul “Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia”, menafsirkan kata ‘inteligensia’ sebagai sinonim dari ‘intelektual’. Barang tentu, menurut Yudi Latif, Hatta menggunakan konsepsi intelektual yang dipakai Benda dalam karyanya yang mashur “Pengkhianatan Kaum Intelektual” (La Trahison des Clercs). Para pemikir Eropa Barat hingga awal abad XIX, juga di Indonesia yang secara intelektual berafiliasi ke ‘Jagat Eropa’, pada umumnya menganut aliran pemikiran yang sama. Sebutlah Robert Michels, Selo Sumardjan, Arief Budiman atau Daniel Dhakidae, hampir tak membedakan istilah ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’. 
Akan tetapi, sosiolog Vladimir CN (1983) dan Aleksander Gella (1976) memiliki intensi yang lain tentang dua kata itu. Inteligensia, kata Vladimir, adalah sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristik tersendiri dan berada di luar tatanan sosial yang ada, baik berupa sistem kelas maupun status tradisionalnya. Inteligensia adalah berbeda dari formasi-formasi sosial konvensional seperti perhimpunan profesi atau kelompok status tertentu. Inteligensia disatukan bukan oleh standar kehidupan ekonomis atau kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap tertentu dan oleh penerimaan terhadap ‘warisan budaya adi-luhung yang melampaui batas-batas nasional geografiknya. 
Terlepas dari perdebatan dua kata itu, temanku Mas Mul ternyata sungguh telah mencapai level inteligensia yang tak mau diatur birokrasi, dengan meninggalkan profesi dosennya. Satu keyakinannya yang kuat bahwa: “filosofi kehidupan manusia harus memanjakan gairah berfikir dan menaikkan libido kearifan budaya serta mampu menepikan hal- ikhwal hitungan margin-niaga”. Allohu’alam. 

Oleh: Hendy UP *)
*) Penulis adalah penikmat sastra humaniora. Mukim di Lubuklinggau. [29/12/2018]

MENGGUGAT PASAL 12 UU PEMDA TAHUN 2014

Oleh: Hendy UP *) 

Menurut pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pangan adalah urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini sungguh sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Mengapa saat itu, birokrat di Kemendagri/Kementan dan anggota parlemen di Panja UU Pemda “terjangkit virus “gagal faham?  

     UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) adalah salah satu UU yang secara natal-historikal cukup unik dan mengandung pasal terbanyak sepanjang sejarah UU tentang Pemda, yakni 27 bab dengan 411 pasal. Bandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 (134 pasal), dan UU No.32 Tahun 2004 (240 pasal). 

    Keunikan sejarah kelahirannya yang cukup langka adalah bahwa pada saat diundangkan (2 Oktober 2014), terbit pula dua Perppu secara bersamaan, yakni: (1) Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan (2) Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pemda tersebut, yang hanya menghapus 2 huruf pada 2 ayat di 2 pasal yang berbeda. Pasal-pasal yang sebagian ayatnya dihapus adalah Pasal 101 dan Pasal 154, masing-masing pada ayat ke-1 huruf ke (d), dan kesemuanya tentang kewenangan DPRD baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.
  
   Terasa tertinggal ‘kereta’, maka pada 18 Maret 2015 sejumlah 6 pasal disempurnakan lagi dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2015. Ini semua, sungguh sebuah UU yang sarat kepentingan “politik musiman”. Saya menyebutnya “politik-klimatologis” 
Nuansa politis dan ketegangan parlementaria di akhir pusaran pemerintahan SBY menjelang terbitnya UU Pemda ITU, bisalah kita lupakan sesaat dan cukuplah menjadi ibroh bagi warga bangsa. Tapi UU Pemda ini menyisakan persoalan mendasar yang menyangkut “urusan pemerintahan konkuren” yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah sebagai roh desentralisasi kekuasaan. 

  Sekadar pengingatan bersama bahwa pasca-reformasi 1998, asas manajemen pemerintahan terbagi atas tiga urusan, yakni: urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut yang terdiri dari 6 bidang adalah merupakan kewenangan mutlak Pemerintah Pusat, walaupun dalam penyelenggaraannya bisa dilaksanakan sendiri, bisa juga dilimpahkan kepada instansi vertikal di daerah atau kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (Pasal 10).

   Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9). 
Adapun urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi kekuasaan atau yang lazim disebut otonomi daerah, dan terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan (Pasal 11). 

  Urusan pemerintahan wajib terbagi atas dua kategori, yakni: (1) urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan (2) urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Enam jenis urusan pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar adalah: pendidikan, kesehatan, PUPR, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman/tibum/linmas dan sosial. Sedangkan 18 jenis urusan wajib non-pelayanan dasar antara lain adalah: tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, dan beberapa jenis urusan lainnya (Pasal 12). 

   Di dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pola perencanaan dan penggaran APBD akan memprioritaskan porsi anggaran untuk jenis urusan yang terkait dengan pelayanan dasar, tidak termasuk bidang pangan yang secara awam adalah justeru urusan yang sangat asasi dan mendasar sifatnya. 

  Pada pasal 12 UU Pemda dengan tegas menyatakan bahwa urusan pangan adalah ‘bukan urusan yang terkait dengan pelayanan dasar’. Hal ini sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Di dalam konsideran menimbang diktum pertama pada UU tentang Pangan, dengan tegas dinyatakan bahwa “pangan adalah merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin di dalam UUD 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas”. 

  Pada konsideran menimbang diktum kedua dinyatakan: “bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal”. 

   Sebagai insan pertanian yang pernah ‘menyungkur-lumpur’ dalam melintasi ‘era revolusi hijau hingga revolusi biru’ di akhir tahun 1970-an hingga 90-an, saya merasakan ada kejanggalan berfikir para petinggi dan anggota parlemen di negeri ini. Dan jangan lupa, pasal 12 ini potensial menjadi bahan ‘uji materi di MK’ bagi kalangan yang faham akan fungsi pangan sebagai hak asasi yang sangat mendasar bagi masyarakat. Sayang sekali hingga kini belum terdengar suara-suara itu. Barangkali isu pangan yang mendasar ini, dikalahkan oleh ‘hiruk-pikuk’ pertunjukan ‘Tonil Gendurwo yang Semakin Menyontoloyo”. 

    Jika para petinggi Republik ini ‘gagal faham’ dalam memaknai persoalan pangan, maka tunggulah masa ‘kelaparan rakyat’ kelak di kemudian hari, yang bisa memicu benih-benih ‘social-movement’ di tengah kesulitan ekonomi yang semakin terasa. Mudah-mudahan ‘kedunguan’ para petinggi Republik ini akan segera berakhir. Allohu’alam bishowab…..! 

*) Penulis adalah insan pertanian.      
Mukim di Lubuklinggau Sumsel.
[28/12/2018]

DAYANGRINDU SILAMPARI

Oleh: Hendy UP *)

Di sela-sela makan siang di Inna Garuda Hotel kawasan Malioboro Yogya, saya iseng bertanya kepada seorang narasumber. Apa yang paling mengesankan dari daerah kami Musirawas Sum-Sel? Agak jeda sesaat, lalu dijawab sekenanya. “Dayangrindu…! Nasinya harum, pulen…. Luar biasa!”. Saya tahu bahwa dia pernah berkunjung ke Kecamatan BTS Ulu Cecar Kab. Musirawas dan sekitarnya, sebagai konsultan sebuah perusahaan migas. Dialog itu terjadi 24 Juni 2008, ketika saya menghadiri FGD tentang “charity model” atas pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).


Dalam KBBI, dayang berarti gadis pelayan bagi permaisuri atau putri para raja; sedangkan rindu, salah satu maknanya adalah merasa ingin sekali bertemu. Barangkali penamaan padi/beras dayangrindu dahulu kala, dilekatkan dengan rasa dan harumnya beras dayangrindu sehingga siapa pun yang pernah menikmatinya senantiasa merindukannya.

Nama Dayangrindu ternyata bukan monopoli masyarakat Silampari saja. Masyarakat Muaraenim, Lahat dan Baturaja; sebagaimana masyarakat Jambi, Bengkulu dan Lampung juga mengenalnya. Bahkan Lampung memiliki cerita rakyat “Tetimbasi Si Dayangrindu” yang manuskripnya konon tersimpan di perpustakaan Leiden, Munich, Dublin dan London. Cerita yang mengisahkan ‘kasih tak sampai’ antara putri mahkota Kerajaan Tanjung Iran dengan Ki Bayi Radin dari Batin Pasak (Marga Rambang) itu, sungguh melegenda walaupun mulai dilupakan oleh generasi “jaman now”. 

Dayangrindu Silampari adalah salah satu varietas lokal padi ladang yang terlanjur dikenal sebagai ciri khas masyarakat Musirawas. Sentral populasinya berada di Jayaloka dan sekitarnya. Dari hasil uji galur selama lima musim, ternyata rasa dan harumnya beras Dayangrindu melekat secara genetik. Sifat-sifat inilah yang dipertahankan, sembari membuang sifat lemahnya seperti: umur panjang dan batang tinggi yang mempermudah rebah. Kita tidak pernah tahu, sejak kapan sifat-sifat bawaan ini tercipta di Bumi Silampari. Mungkin ratusan atau bahkan jutaan tahun lamanya seiring dengan proses adaptasi terhadap tanah dan agroklimat Musirawas. 

Budidaya padi ladang memang dimulai semenjak era nomaden hingga manusia mengenal perkebunan. Sejarah mencatat bahwa mula pertama padi ditemukan diduga kuat di lembah sungai Yang Tse dan Hui di era Kaisar Shen Nung, lebih kurang 14.000 tahun yang lampau. Padi jenis ini disebut Oryza sativa Japonica. Sebagian ahli lain menyebutkan bahwa padi berasal dari India, yang disebut Oryza sativa Indica. 

Demi melestarikan plasma nutfah tanaman lokal nan langka, Pemda Musi Rawas telah lama berupaya untuk mematenkan varietas ini ke lembaga yang berwenang. Pada tahun 1991-an, seorang Penyuluh Pertanian Musirawas, yakni Ir. Damhuri pernah mengusulkan Dayangrindu ke Balai Penelitian Padi Sukamandi untuk diproses sebagai varietas padi lokal Musirawas dan dipatenkan sebagai kekayaan plasma nutfah Nusantara. Namun sayang, upaya mulia tersebut belum berhasil, karena terkendala oleh biaya dan lamanya proses pemurnian varietas padi. 

Alhamdulillah pada 1 Maret 2012, telah terjalin kerja sama Litbangyasa antara Pemda Musirawas (Dinas Pertanian) dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang membuka jalan bagi upaya permurnian varietas padi lokal Dayangrindu. Kerja sama itu terus berlanjut hingga sekarang, bahkan penguatan kerja sama itu tercermin dengan terbentuknya Silampari Agro Techno Park (ATP) pada tahun 2016 yang diinisiasi oleh BATAN dengan terbitnya Per-Bup Musirawas No. 72 Tahun 2016. 

Kerja sama semakin menguat ketika terikat secara Tripartid antara BATAN – Pemda – Unmura, untuk memurnikan varietas Dayangrindu. Melalui proses “iradiasi benih” di laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN, proses panjang yang konvensional di Balitpa Sukamandi, kini dapat diperpendek hanya 5-6 musim tanam untuk memperoleh galur murni. Berlokasi di Balai Benih Tugumulyo yang juga menjadi Basecamp ATP, proses pemurnian galur murni Dayangrindu telah dimulai pada tahun 2013. Diawali dengan proses iradiasi benih dengan sinar Gamma dosis 200 gy dan 300 gy, diteruskan dengan seleksi lapangan pada MT 2014 hingga MT 2017/2018 yang akan dipanen pada minggu kedua Maret 2018 ini. 

Rapat evaluasi pada 1 Maret 2018, dirumuskan bahwa untuk mematenkan varietas padi Dayangrindu masih memerlukan beberapa langkah lanjutan, yakni: uji daya hasil, uji adaptasi (multi lokasi) kerjasama dengan Kementerian Pertanian, uji hama penyakit, uji kualitas hasil, dan pemberkasan dokumen proposal pelepasan varietas. 

Jikalau kelak tercapai pelepasan varietas Dayangrindu, baik sebagai varietas padi nasional maupun varietas padi lokal, maka Pemda Musirawas akan mencatat sejarah telah mampu memperjuangkan hak paten varietas lokal Musirawas sebagai salah satu tanaman yang dilindungi keberadaannya sebagaimana diatur UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Mudah-mudahan menambah koleksi penghargaan atas inovasi Pemda Musirawas di sektor pertanian. 


*) Penulis adalah Kepala Agro Techno Park BATAN. Mukim di Kawasan Mirasi Tugumulyo Musirawas Sumsel.

PENAS TANI: DARI MASA KE MASA

Oleh: Hendy UP *)


Pekan Nasional (Penas) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional XV akan berlangsung di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam pada bulan Mei 2017 mendatang. Di bulan ini, di setiap provinsi di seantero Nusantara tengah berlangsung Pekan Daerah (Peda) sebagai lembaga antara untuk menyatukan visi-misi dan gagasan segar lokalistik-daerah yang akan dibawa para KTNA provinsi ke gelanggang Penas XV di NAD kelak.

Peda KTNA tingkat Provinsi Sumsel diselenggarakan di Lubuklinggau yang berlangsung dari tanggal 17 – 22 Oktober 2016 pekan ini. Perhelatan Penas/Peda KTNA, sesungguhnya merupakan rangkaian sejarah pergulatan dan pergolakan panjang nan melelahkan para kaum tani, semenjak rezim Orde Lama Bung Karno hingga Orde Muta’akhir Mas Jokowi-JK.

Dalam usianya yang ke-45 tahun, harus diakui bahwa pelaksanaan Penas Petani-Nelayan Indonesia agaknya semakin kehilangan magi-nya. Di tengah keprihatinan yang menyayat kaum tani kini, di tengah kondisi Nilai Tukar Petani (NTP) yang semakin merosot tajam-menghujam mendekati angka 100, di tengah kondisi-rumit kalkulasi Indeks Gini Rasio (IGR) yang semakin menjauh dari angka nol; kiranya tidaklah berlebihan jika kita semakin wajib berkontemplasi, seberapa besar efek-manfaat atas hiruk-pikuk perhelatan Penas dan Peda di era otonomi ini.

Kondisi miris kaum tani tersebut bukanlah narasi yang ‘didramatisir’ sama sekali. Ini sebuah fakta on the field ! Luapan harapan akan harga ‘jedol parah’ yang bikin sumringah, harga tandan buah sawit yang segera melejit, serta semburat kuning hamparan padi yang akan dipanen tanpa serangan wereng-ekplosif, agaknya belum dirasakan kaum tani. Mungkin esok atau lusa, kita berharap lagi…!, seperti syair Koes Plus di era 70-an. Petani lagi-lagi masih bungkam: bahwa air irigasi from Watervang tidak pernah rela singgah di Q. Tambahasri, apatah lagi nyasar ke petak-petak sawah di Kecamatan Purwodadi secara rutin terkendali. Beruntunglah warga di Siringagung-Ketuan-Tanahperiuk, D. Tegalrejo dan sebagian Satan Ulu yang bisa berfoya-foya membendung irigasi dengan batu-bata dan besi-terali, seolah limpahan air irigasi dikirim Tuhan secara khusus hanya untuk dirinya dan tetangga kanan-kiri yang tak tahu diri.

Butir-butir pemikiran sekitar itulah, antara lain yang seyogyanya menjadi bahan permenungan para delegasi kaum tani di ajang Peda dan Penas Petani. Masyarakat tani sangat berharap, bahwa kejernihan hati dan kecerdasan intelektual serta kebijakan moral-spiritual para delegasi kaum tani di gelanggang Peda ini, harus mampu menangkap substansi dan saripati kebutuhan dasar kaum tani yang akan diperniagakan mati-matian di ajang Penas XV di Aceh kelak. Kita semua berharap, jikalau Presiden Jokowi hadir di Penas XV kelak, mestinya akan mampu menangkap ungkapan kebutuhan dasar kaum tani agar tak tergilas pasar bebas ASEAN yang semakin terasa dan tercium keringat persaingannya.

Dalam catatan perjalanan Penas, memang tidaklah setiap perhelatannya dihadiri Presiden RI. Penas VI di Simalungun dihadiri Presiden Soeharto pada tahun 1986; Penas XII di Banyuasin juga dihadiri Presiden SBY pada tahun 2007. Sekadar mengingat perjalanan sejarah Penas Petani dari waktu ke waktu berikut ini diuraikan catatan Penas I hingga Penas XIV.

No
Nama PENAS
Tempat, Waktu
Tema
1
PENAS I
Pertemuan Petani-Nelayan
Cihea, Cianjur, Jawa Barat
18-25 Sep 1971
Meningkatkan Peranan Petani dalam Program Pembangunan Pertanian
2
PENAS II
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Wringintelu, Jember, Jatim
23-29 Jun 1974
Meningkatkan Partisipasi Petani-Nelayan dlm Pembangunan Lima Tahun II
3
PENAS III
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Sempidi, Badung, Bali
20-24 Apr 1980
Keserasian Kegiatan Pembangunan Usaha Tani-Nelayan dg Kesempatan Kerja dan Pendapatan Klg dg Kelestarian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam
4
PENAS IV
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Tawia, HST, Kalsel
22-27 Jun 1981
Tingkatkan Produksi dan Pengadaan Pangan bagi Kesejahteraan Bangsa dan Umat Manusia
5
PENAS V
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Probolinggo, Lampung Tengah, Lampung
22-25 Agu 1983
Meningkatkan Kemampuan, Peranan dan Peranserta Petani-Nelayan sebagai Upaya utk Mencapai Pertanian Tangguh
6
PENAS VI
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Bandarmarihat, Simalungun, Sumut
22-27 Jul 1986
Mewujudkan Petani-Nelayan Tangguh Dlm. Menyukseskan Lepas Landas Pemb. Pertanian Melalui Peningkatan Peranan KTNA Dlm Kelembagaan Ekonomi Perdesaan yang Sehat dan Kuat.
7
PENAS VII
Pertasikencana *)
Pangkep, Sulawesi Selatan
08-16 Jul 1988
Memantapkan Keterpaduan Kelompok Tani-Nelayan dan KUD utk Mewujudkan Petani Tangguh dan Keluarga Sejahtera

8
PENAS VIII
Pertasikencana
Mungkid, Magelang, Jateng
Juli 1991
Memantapkan Petani-Nelayan Tangguh, KUD Mandiri dan KB Mandiri yg Berwawasan Lingkungan Guna Mewujudkan Kelg. Sejahtera
9
PENAS IX
Pertasikencana
Gerung, Lombok Barat, NTB
16-22 Jul 1996
Melalui Agribisnis, Koperasi Mandiri dan Pembangunan Kelg. Sejahtera, Kita Tingkatkan Kualitas SDM dan Pengentasan Kemiskinan
10
PENAS X
Agribisnis
Tasikmalaya, Jawa Barat
20-25 Okt 2001
Melalui Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Kita Tingkatkan Kesejahteraan Petani-Nelayan

11
PENAS XI
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara
05-10 Jun 2004
Dengan Membangun Kepemimpinan Kontak Tani-Nelayan, Kita Kembangkan Kemitraan Agribisnis menuju Petani-Nelayan Mandiri
12
PENAS XII
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Banyuasin, Palembang Sum-Sel
07-12 Jul 2007
Dengan Revitalisasi Pertanan Kita Tingkatkan Kemandirian dan Kemitraan Menuju Kesejahteraan Petani-Nelayah
13
PENAS XIII
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan

Tenggarong, Kutai Kartanegara, KalTim
18-22 Jun 2011
Melalui Pemberdayaan Petani-Nelayan dan Penguasaan Teknologi Tepatguna Kita Kembangkan Daya Saing Pereknomian Nasional Dlm Rangka Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan
14
PENAS XIV
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Kepanjen, Malang, Jawa Timur
07-21 Jun 2014
Memantapkan Kepemimpinan dan Kemandirian Kontak Tani Nelayan Dlm Rangka Pengembangan Kemitraan dan Jejaring Usaha Tani Guna Mewujudkan Kesejahteraan Petani-Nelayan.


*) Pertasikencana kependekan dari Pertanian, Koperasi, Keluarga Berencana, yakni kerja sama penggabungan peringatan Hari Krida Pertanian, Koperasi dan KB.

Lubuklinggau, 17 Oktober 2016. 


*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-pertanian dan perdesaan, mukim di Lubuklinggau.


Rabu, 05 Oktober 2016

JEDOL, KAVITASI & JALAN BERLUBANG


 Oleh : Hendy UP

Jikalau hasil riset Mas Pudji tentang kemungkinan penggunaan
'jedol para' (slab getah karet) untuk pengganti aspal segera dilirik Pemerintah,
barangkali jalan-jalan aspal berlobang di Musi Rawas dan
Lubuklinggau tidak semakin meluas-melebar,
dan anggaran pembangunan aspalisasi jalan bisa agak ditekan.

 Adalah seorang periset dari Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir
Badan Tenaga Atom, mas Pudji Untoro, telah berinovasi sejak tahun 2006 untuk mencari alternatif pengganti aspal yang semakin langka. Dengan kreativitasnya, ia menggunakan tranducer yakni komponen keramik yang menghasilkan getaran mekanik dan mengeluarkan frekuensi ultrasonik ketika mendapatkan aliran listrik. Alat yang diimpor dari Cina ini banyak ditemui di pasar dengan harga murah, yakni Rp 200 ribuan per unit. Alat ini bisa dibuat portabel dengan dilengkapi generator, sehingga mudah dibawa ke lapangan.
     Bahan pengganti aspal tersebut terdiri dari getah karet, semen dan pasir dengan formulasi tertentu. Mas Pudji si periset yang diwawancarai wartawan Kompas, belum memberi nama hasil temuannya; tanpa bermaksud mendahului penemunya, untuk di Musi Rawas dan Lubuklinggau bisa saja dinamai ”Asdol” akronim dari aspal jedol. Konon, di daerah yang sulit memperoleh getah karet, bisa digantikan dengan limbah ban bekas dengan teknologi devulkanisasi. Akan tetapi di Musi Rawas, persoalan bahan baku jedol lebih mudah memperolehnya.

Gelembung Kavitasi

      Alat tranducer yang menyalurkan getaran ultrasonik dengan frekuensi 20-100 kh ke 4 liter getah karet yang baru disadap akan menghasilkan gelembung kavitasi. Gelembung mikro kavitasi tersebut bersuhu 2 ribu derajat celcius, dan akan langsung pecah ketika mendapat pendinginan mendadak dari cairan getah karet.  Dalam waktu 10 menit, 4 liter getah karet yang dialiri frekuensi ultrasonik 1 unit tranducer belum berubah panasnya, akan tetapi kualitas daya rekatnya sudah berubah. Dan pada saat inilah material pasir dan semen siap dicampurkan dengan tambahan zat aditif khusus yang sedang dipatenkan oleh Mas Pudji.

Peluang dan Tantangan  

     Bagi inovator di Musi Rawas dan Lubuklinggau, peluang menindaklanjuti kreativitas Mas Pudji sangat terbuka. Para mahasiswa dan para bisnisman bisa menyongsong teknologi ini dengan lebih serius mencari tahu dari sumbernya. Soal alat teknologi bisa dicari, bahkan kapasitas tranducer asli yang hanya mampu untuk 4 liter getah karet bisa dimodifikasi lebih besar. Bahan baku getah karet sangat melimpah-ruah, terhampar dari Rantauserik Muarabeliti hingga Sungaijernih di Rawasulu.
     Jika kita hitung secara mencongak saja,  kebun karet di Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau seluas 200 ribu hektar dengan produksi lateks 10 liter saja per hektar per hari, maka bahan baku tentu bukan hal yang jlimet-jlimet amat.  Akan tetapi, dengan rendah hati Mas Pudji mengakui bahwa teknologi tersebut baru diujicoba di jalan aspal Kompleks Puspitek Serpong dan lingkungan RT-nya. Dan sudah dua tahun lebih jalan aspal berlobang yang ditampal asdol Mas Pudji ternyata belum rusak.
      Betapa pun masih prematurnya hasil riset Mas Pudji, akan tetapi secara keilmuan pasti hal itu sangat prospektif terutama bagi daerah-daerah penghasil karet. Bagi Pemerintah Daerah, yang anggaran pembangunannya masih cupet, tentulah bisa lebih diefisienkan, paling tidak anggaran rutin untuk tampal-menampal jalan berlubang tidak tersedot oleh belanja modal aspal yang semakin mahal; langka pula!

                   (* Penulis adalah pemerhati inovasi teknologi).

                         Artikel Opini Mureks, 23 Juli 2010)

Senin, 26 September 2016

MIMPI BERPIKIR ala BUPATI MUSIRAWAS

Oleh: Hendy UP

“Setiap kali pikiran saya dijejali isu aktual yang intens didiskusikan oleh masyarakat dan birokrat, ditayangkan TV berulang-ulang atau dihebohkan oleh dunia maya, saya sering kali ditimpa mimpi seolah-olah sedang berada di pusaran isu itu. Khawatir ikut pusing berputar-putar seperti penderita vertigo, lebih baik saya minggir dan bersiap tidur untuk bermimpi sembari berpikir”.

Mungkin karena primbon mimpiku sedang intens menyoroti isu politik-lokal,  malam Jumat Kliwon kemarin aku bermimpi jadi Bupati Mura. Sangat panjang mimpiku ini. Jika dikonversi ke satuan waktu, kira-kira berjangka 5 atau 10 tahun. Anehnya, mimpiku ini sangat detail dan terang, terjilid rapi dan bahkan burjudul-judul pula.

Pemikiran produk mimpiku kali ini adalah bersifat inspiratif-tendensius, yang bermakna sebagai sumber inspirasi bagi siapa pun. Atau analisis dangkal sekilas. Bisa juga sebagai sebuah sintesis aneka persoalan yang berkelit-kelindan; dan  sering kali gagal dihadirkan oleh Sekda, para Asisten, Staf Ahli Bupati atau bahkan para kepala SKPD. Maklumlah, mereka para birokrat itu senantiasa sibuk membangun akuntabilitas dan transparansi anggaran demi menghindari area yang “mengerikan” di balik kursi jabatannya.

Dalam mimpiku kali ini, begini.  Sebagai bupati, aku berpikir  jujur, bahwa rentang waktu satu dua tahun terakhir ini fisik dan psikisku sangat lelah. Semenjak memutuskan mencalonkan diri, mengundurkan diri dari PNS, memainkan lobi-lobi politik untuk meraih dukungan Parpol hingga mencari pasangan yang sepaham dan comfortable, sungguh amat sangat menguras pikiran. Dan itu bukanlah hal yang enteng, karena pada galibnya area politik dan hiruk-pikuknya jauh dari basis habitatku.

Kompleksitas kelelahan itu sungguh unidentifying dan bisa mendatangkan stres. Untungnya semenjak kecil aku dididik di lingkungan religius. Aku yakin betul, dzikir dan   shalatkulah yang senantiasa menyehatkan dan menyegarkan badan dan pikiran. Nasib seseorang ditentukan oleh kerja keras dan doa yang ikhlas. Aku yakin betul. Sejujurnya, aku banyak belajar strategi dari seorang Ridwan Mukti yang di luar dugaan, mampu memenangkan Pilkada 2005 lalu hampir tanpa dukungan birokrasi. Dalam kontestasi politik barusan,   keriuh-rendahan hari-hari pra dan pasca-Pilkada kunikmati sebagai pendewasaan diri untuk menjadi lebih matang. Juga sebagai wahana pendewasaan publik dalam belajar berpolitik. Bukankah itu substansi demokrasi Pancasila yang sebenarnya  lebih menjadi tanggung jawab politisi ketimbang birokrasi? Entahlah!

Kadang timbul rasa benci terhadap sekelompok orang, sekelompok masyarakat yang telah kubantu. Bahkan sekelompok teman dan anak-buah yang ternyata berbalik arah secara diam-diam atau terang-terangan. Aku cukup maklum, dan itulah salah satu item dari definisi politik-praktis. Aku berniat, dengan bismillah, akan berfikir sebagai negarawan. Mengayomi dan memperjuangkan nasib dan kesejahteraan warga Musi Rawas. Siapa pun mereka! Untuk itu, langkah pertama adalah melupakan dan melacikan daftar perolehan suara per TPS per desa per kecamatan agar tidak mengganggu ketulusan pengabdianku sesuai sumpah jabatan. Ini akan terasa sulit, tapi pasti aku bisa. Setidaknya secara bertahap.  Memelihara jaring-kemitraan dengan Tim Sukses akan kueratkan secara proposional dan profesional tanpa mengganggu keadilan dalam mengalokasikan sektor pembangunan wilayah. Hal ini demi kelanggengan program pembangunan Musi Rawas hingga 10 tahun ke depan. Insya Allah.

Dan seluruh kelelahan itu kini berbuah kebahagiaan, kedamaian dan tanggung jawab, begitu aku dilantik sebagai Bupati. Aku akan selalu berdoa, kiranya jabatanku ini akan memperluas ladang amal saleh dalam geriak hidupku, demi menyibakkan jalan menuju khusnul khotimah. Ini akan sangat menantang, di balik besarnya tantangan hawa nafsu syetan dan komplotannya.

Udara segar kawasan Margamulya pagi ini menyumbang ketenangan luar biasa. Shalat dan shalawatku subuh tadi sungguh nikmat rasanya untuk mengawali hari pertamaku sebagai ‘raja’ Musi Rawas. Tiba-tiba aku teringat nada tekanan Gubernur pada saat pelantikan. “…. Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menjaga kekompakan untuk menunaikan janji-janji politik yang kalian ucapkan saat kampanye. Ingat itu! Dan banyak-banyaklah terjun ke masyarakat, ke lapangan. Tidak hanya menerima laporan para kepala SKPD dan Kades, karena sering kali hanya enak dibaca tetapi menyimpan bias yang menyesatkan…..”.

Dari meja makan, sekilas kulihat tumpukan berkas di meja kerja . Sebagai pegawai kawakan berpuluh-puluh tahun, rasanya hafal betul ragam isi dokumen itu. Sering kali aku gemes dengan para Asisten dan Sekda yang hanya menulis disposisi: “Dinaikkan untuk ditandatangani. Atau, Dinaikkan dan telah sesuai aturan. Atau, mohon petunjuk Bapak! Dan kalimat-kalimat standar disposisi yang bisa ditulis pegawai honorer. Jarang sekali disposisi Asisten atau Sekda yang menunjukkan kualifikasi pegawai golongan 4 layaknya sosok pejabat senior dengan kapasitas intelektual-profesional yang mumpuni. Aku ingin, disposisi itu menunjukkan rujukan  sejumlah aturan sebagai guide  prosedural yang bersifat taktis-operasional.

Tepat jam enam pagi, kupanggil ajudan dan sopir sembari menelpon Asisten II, Kadis PU-BM, Kadis PU-CK, Kepala Bappeda, Kadis Hubkominfo dan Kabag Kesra. Tak lupa, ku sms Bu Wabup agar memimpin apel pagi di halaman Pemda. Mobil meluncur ke arah Muarabeliti. Di  perbatasan kota, aku berhenti dan parkir di bawah gapura batas kota sambil menunggu bawahanku yang pasti kelabakan demi mendapat perintah mendadak di hari pertama bupati baru. Yang pertama muncul adalah Kepala Bappeda yang selalu siap graaak menerima perintah apa pun; disusul Kadishub, Kadis PU-BM dan PU-CK serta Kabag Kesra yang terlihat  kurang bergairah dan tampak agak jenuh.

Di bawah gapura, kuinstruksikan agar segera berkoordinasi dengan provinsi untuk proyek pelebaran jalan Lubukkupang-Muarabeliti. Aku sudah menerima sms, mungkin dari karyawan Pemda bahwa sejak diterapkannya finger print, jalan raya Muarabeliti pada jam berangkat dan pulang kantor sungguh sangat sibuk dan membahayakan pengendara mobil dan motor.  Akan lebih mengerikan jika berbarengan dengan masa mudik lebaran kelak.

Di tikungan maut Talangpuyuh yang pernah memakan korban seorang anggota DPRD versus PNS Peternakan, sebaiknya segera dilebarkan, diluruskan dan bikin dua jalur.  Menurut informasi, lokasi sepanjang pelurusan jalan itu hanya dimiliki oleh tiga orang. Ganti-untungnya bisa dikompromikan, dan bila perlu menggunakan UU Pembebasan Lahan yang baru karena jalan Lintas Tengah Sumatera ini berstatus jalan negara. Juga di Simpang Makam Pahlawan menuju Perumnas CPK dan  di depan SMA 2 Muarabeliti, agar didisain untuk pengamanan anak sekolah dan pegawai yang mengambil jalan shortcut menuju kawasan perkantoran Pemda. Juga jalan di lingkar Bundaran Polres yang bergelombang harus segera dimuluskan karena sering menghambat kendaraan dari arah Palembang.

Untuk menghindari kemacetan dan keruwetan di Simpang Pasarmuarabeliti, kuinstruksikan agar segera membangun jalan alternatif dari Bundaran AC ke Remayu yang telah dirintis sejak tujuh tahun lalu. Seingatanku DED jembatan itu telah disusun bersamaan dengan Jembatan Muarakati menuju Durianremuk pada tahun 2007 yang lalu.  Kemudian, dengan tertundanya pembangunan jalan dari Bundaran AC – Kampung Bali - Satan – Ekamarga menyambung jalan baru ke Stadion Petanang, Kadishub agar mengkaji ulang kemungkinan pemindahan jalur Bus AKAP dari Bundaran Polres ke Bumiagung – F. Trikoyo – Karangketuan atau shortcut ke Mataram – I.Sukomulyo – Paduraksa – Babat dan Terawas. Ini akan mengurangi kemacetatan di Simpangperiuk dan sekali gus menghidupkan jalur ekonomi sepanjang kawasan Tugumulyo/Terawas.

Sesampai di Masjid Agung Mura Darussalam, aku masuk ke dalam halaman parkir. Aku instruksikan kepada Kabag Kesra dan Kadis PUCK agar segera menyelesaikan biang kebocoran masjid kebanggaan Musi Rawas. Memalukan dan menyedihkan, masjid semegah itu bocor-banjir di saat shalat Jumat atau hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Area masjid seluas 200 m x 350 m dan Alun-alun itu agar senantiasa bersih, rapi, hijau dan asri. Area parkir masjid yang terluas di pinggir jalan lintas, tampak  bergelombang, kalau hujan berubah menjadi hamparan air. Mungkin elevasinya menurun karena dulunya adalah timbunan tanah merah tanpa dipadatkan secara sempurna.

Untuk pemeliharaan dan pemanfaatan area masjid, sebaiknya dijadikan laboratorium praktek lapangan bagi anak SPMA dan SMA atau anak-anak pelajar di kawasan Muarabeliti. Di sudut-sudut belakang, yang kini centang-perenang oleh limbah bangunan dan terkesan tidak terawat, mungkin  dapat ditanamami pepaya kalina, buah naga  atau bunga-bungaan yang ditata rapi nan asri. Area perkemahan Pramuka, bisa didekatkan dan dipusatkan di Masjid Agung.

Bangunan baru yang belum pernah dimanfaatkan di sektor kanan barat laut masjid, sungguh sangat disayangkan.  Aku berpikir akan sangat baik untuk dijadikan PAUD Islami atau sejenisnya. Atau Islamic Center plus perpustakaan.  Harus segera dicari model pengelolaannya agar Masjid Agung ini menjadi pusat perubahan peradaban dan modernisasi kultural dalam bingkai Islamiyah. Aku bermimpi, secara futuristik-dimensional, masjid agung ini bisa dijadikan model pendekatan spiritual  bagi pelajar dan pemuda Musi Rawas untuk menghindri narkoba dan dampak kenakalannya. Generasi tua, biarlah berlalu. Sejarah baru generasi berkeadaban yang “cerdas-mencerahkan”  dan “santun menyejukkan”  harus diukir.  Aku teringat motto TV-Muhammadiyah dan Aswaja-TV. Insya Allah ini akan menjadi  landasan utama membangun generasi religius-kultural  sesuai visi Musi Rawas Darussalam.

Rombongan kuarahkan ke Ruko Agropolitan. Kuinstruksikan agar dinas terkait memantau secara berkala kebersihan ruko dan penataan area parkir. Di depan Bank Sumsel dan Toko Manisan Agus, siring drainase yang kotor dan busuk menyengat harus dibersihkan.  Ini tugas siapa? Lihat perjanjian kontraknya!  Area parkir tidak semestinya gersang, harus rimbun dan asri. Di depan gapure Bali, aku instruksikan agar kompleks pure Bali dimanfaatkan, dirawat dan ditata taman-tamannya. Koordinasikan dengan tokoh masyarakat Bali dan Kandepag untuk pemanfaatannya.

Tiba-tiba aku tercenung. Di ibukota ini sudah ada Masjid Agung dan Pure Bali. Mana Gerejanya?, bisikan dalam hati. Kutanya para kepala SKPD yang semuanya sudah berhaji. Tapi tak ada yang menjawab. Aku berpikir, sebagai bupati bagi semua warga Musi Rawas, harus adil dan bijak. Berpikir  negarawan. Aku teringat Bung Karno yang membangun Masjid Istiqlal berhadapan dengan Gereja Katedral. Maka aku perintahkan Asisten II untuk berkoordinasi dengan instansi terkait demi mewujudkan gagasan ini. Kuakui, ini adalah hal sensitif karena menyangkut komprehensi pemahaman keagamaan yang kompleksitasnya multi-rumit. Dalam urusan peribadatan ummat, tidak boleh ada mayokrasi versus minokrasi.  Aku teringat buku setebal tafsir Ibnu Katsir yang membahas hal ini. Karya Yudi Latif yang berjudul “Negara Paripurna” dan “Mata Air Keteladanan” itu, sungguh memberi banyak informasi yang relevan dengan tugas pejabat negara seperti aku.

Maka, akan aku perintahkan kepada instansi terkait untuk mengadakan kedua buku itu dan dibagikan kepada para pejabat, anggota DPRD dan tokoh masyarakat.  Aku menilai, daya baca para birokrat Pemda amat sangat kurang. Jangankan membaca buku-buku ilmiah populer, membaca dan memahami Pedum dan Juknis pun sering keliru-keliru. Masyarakat kita memang maunya instan, bukan bersemangat mencari rujukan yang valid dan mengkomparasinya secara cerdas-teliti.

Aku dan rombongan berkeliling Bundaran Agropolitan Center. Aku teringat temanku pensiunan yang dulu menjabat Kabag Pembangunan di era Ridwan Mukti, katanya luas Bundaran AC lebih kurang 78 hektar. Mau diapakan yah, areal seluas ini? Dari jalan lingkar luar bundaran masih tersisa lebih kurang 50 meter sepanjang bundaran yang dirancang untuk Ruko sekeliling bundaran. Tapi kulihat tak ada batas tugu permanen. Kalau dibiarkan tak dipatok permanen, pasti akan diklaim oleh masyarakat karena harga tanah semakin mahal. Demi memandang   Ruko-ruko yang belum dimanfaatkan dan bangunan gudang serta bangunan-bangunan lainnya, aku berniat akan mengevaluasi total-komprehensif untuk bahan pengambilan kebijakan ke depan.

Aku meluncur kembali ke Bundaran Polres. Dari Pos Polisi, aku melihat masih ada baliho yang bertuliskan: “DI SINI AKAN DIBANGUN PUSAT PEMERINTAHAN”.  Seingatku, ini dipasang tahun 2006, kegiatan  Bagian Pembangunan. Aku suruh bongkar, karena sudah tidak relevan dan mengganggu pemandangan ke arah kantor Bupati. Memandangi gedung baru Kantor Bupati, aku agak kecewa. Desainnya terkesan kuno dan tidak wah. Kalah oleh kantor Bupati Kepahyang yang mirip Capitol Hill. Sayang sekali.  Seharusnya gedung ini lebih mundur ke belakang, sehingga terlihat luas, setidaknya seperti Pemda Tabapingin. Ah, sudahlah. Halaman  gedung yang rendah dan bakal banjir perlu ditimbun tinggi. Perdu repuhan yang masih serut di depan gedung kantor Bupati dan DPRD baru agar segera dibersihkan dan ditata. Dan, Pak Kadis PU-CK mengangguk ta’zim, sambil memikirkan rencana APBD-Perubahan.

Di dalam, mobil aku berpikir, harus segera membangun Pendopo Bupati di Muarabeliti. Aku berkeliling ke arah Dinas PU. Ada areal cukup luas tidak dimanfaatkan. Dulu diwacanakan untuk kavlingan anggota DPRD, tapi rasanya belum tuntas.  Aku akan cek status hukumnya. Tiba-tiba aku teringat lahan luas di belakang Mapolres.  Dulunya didesain ada jalan antara PLN dan tembok Mapolres ke arah jalan Makam Pahlawan.  Ada baiknya, di belakang BPN dan Kemenag dibangun Pendopo Bupati, biar mendekati Polres.  Dan di ujung jalan Makam Pahlawan dulu dirancang untuk Markas Kodim Musi Rawas. Tapi tiba-tiba ada usulan Kadis, bahwa ada areal 35 hektar di pinggir sungai Temam yang dulu direncanakan untuk membangun Lapangan Golf. Akhirnya aku putuskan, agar Asisten II menyiapkan  jadwal rapat untuk membahas hal-hal urgen di minggu pertama jabatanku.

Aku terbangun dari mimpi di tengah dalu.  Aku bergegas ke kamar mandi, dan aku menyiapkan kantuk untuk melanjutkan mimpi berpikir yang terpotong. Bismika allohuma ahya wa amuts. ***)


*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal dan pemerhati birokrasi.

KARTOMAS & PILWAKO LUBUKLINGGAU

Oleh:  Hendy UP

Kartomas adalah nama seseorang dan bukan siapa-siapa. Secara fungsional-historik, sama seperti Sudirman, Panjaitan, Suprapto dan Sukarno-Hatta; sebuah nama yang karena peran dan  eksistensi semasa hidupnya, kemudian diabadikan sebagai nama jalan agar dikenang sepanjang masa.

Jasad Kartomas telah lama terbujur dan tulang-belulangnya niscaya telah punah-menanah. Kuburnya ada di tengah permukiman semenjak tahun 1970-an, di RT 03 Kelurahan  Karangketuan Kec. Lubuklinggau Selatan II. Dia adalah perantau asal Jawa sebagai ‘anak-buah’ kepercayaan Keluarga Pembarap Sulton yang juga paman Pangeran Muhamad Amin Ratoe Asmaraningrat, Pesirah Marga Proatin Lima. Tepatnya, adik kandung bungsu dari istri Abdullah yang bernama Sari Menan 
dipersunting oleh Pembarap Sulton. Nama Kartomas,  kini diabadikan sebagai nama jalan sepanjang  800 meter yang menghubungkan ‘Dam Payung Sohe’ di Karangketuan (Lubuklinggau) ke Desa Ketuanjaya – Airsatan – Kampung Bali dan Bundaran Agropolitan Center  (Kab. Musirawas).

Alkisah, sebelum era otonomi daerah, jalan Kartomas merupakan jalan inspeksi irigasi yang kewenangan pengelolaannya berada pada Dinas Pengairan Provinsi Sumsel. Ketika di tahun 1990-an kebun kelapa milik Haji Machmud Amin dikavlingkan dan menjadi permukiman baru, jalan inspeksi itu dinamai jalan Kelapa. Dan ketika di tahun 1999, surat anak saya dari Yogya nyasar ke jalan Kelapa di Batuurip, saya merasa perlu berkoordinasi dengan aparat desa dan tokoh masyarakat untuk menamakan jalan kami agar memiliki nilai sejarah dan unik.  Dan munculah nama Kartomas sebagai sosok yang diyakini sebagai pemukim pertama di Dukuh Talangdarat Karangketuan.

Jalan Kartomas kini merupakan aset infrastruktur  dasar bagi Pemkot Lubuklinggau. Perlu diingat, bahwa bagi kepala daerah yang negarawan, memahami aset strategis seperti: jalan, jembatan, sekolahan dan Puskesmas adalah aset yang berdimensi kemanusiaan sehinga tidak lagi berpikir: siapa yang memanfaatkan aset tersebut; apakah warga Lubuklinggau atau warga daerah lain.  Jika pemahaman pejabat negara sudah berada pada level ‘sufistik’ seperti itu, maka itulah ladang amal saleh bagi pejabat yang niscaya kelak akan mengalir balasannya di alam akhirat.

Secara ekonomis, jalan Kartomas merupakan akses penting bagi sebagaian besar warga Karangketuan (juga sebagian warga Ekamarga-Siringagung) yang berusahatani dan beternak ikan  di wilayah Ketuanjaya, Satan dan Kampung Bali. Di samping  sebagai akses utama  bagi warga Ketuanjaya (Musirawas) yang keluar ke Lubuklinggau dan Tugumulyo, juga merupakan  akses penting bagi pengunjung Pesantren  Syifaul Jannah Airsatan. Maka, jika jalan Kartomas yang kini rusak parah bisa diperbaiki atau setidaknya ditimbun darurat sebagaimana mestinya, niscaya masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas akan sangat berterima kasih, dan tentu  pejabatnya akan selalu diingat serta didoakan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan  memudahkan segala urusannya.

Di masyarakat Karangketuan, ada sekilas ‘rumor politik’ bahwa tidak diperhatikannya jalan Kartomas selama tiga tahun terakhir ini adalah terkait dengan Pilwako tempo hari.  Mudah-mudahan rumor ini tidak benar. Memang adalah fakta, bahwa perolehan suara Nanan-Sulaiman (Nan-Suko) di Karangketuan dikalahkan oleh pasangan lain.  Jika kita berpikir lebih bestari dan mencoba  memahami peta sosio-politik saat itu, adalah cukup wajar akan kekalahan suara pasangan Nan-Suko.  Perlu diingat bahwa secara emosional-etnologis, mayoritas warga Karangketuan adalah berasal dari suku yang sama  dengan pasangan kompetitor yang meraih suara terbanyak. Di masyarakat kita yang masih tradisional-paternalistik, gejala tersebut sesungguhnya sangat linier dengan derajat intelektual masyarakat kita yang masih pada taraf ‘belajar berdemokrasi’, yakni lebih bersandar pada emosionalitas  daripada rasionalitas dalam menentukan pilihan Wako-Wawako.

Tapi kembali ke tesis negarawan, seorang Wako-Wawako yang disumpah untuk mengayomi seluruh rakyatnya, maka seyogyanya begitu dilantik sebagai Wako-Wawako, segeralah melacikan seluruh catatan ‘distribusi perolehan suara Pilkada’ yang akan mengganggu ketulusan berbakti kepada seluruh ummat yang dipimpinnya.   Atau, meminjam istilah SA Wasesa (2011) – demi membangun ‘political branding’, akan lebih bijak jika Wako-Wawako segera membangun jalan Kartomas sebagai investasi Pilwako 2017 guna menambah peluru di medan peperangan kelak. Wallahu ‘alam.

*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal.