Aku mengenal Sang GM Mureks, Panca Riatno sekitar tahun 2005. Seorang sarjana teknik mesin, yang 'nyasar- nyungsep' di rawa jurnalistik, sebagai wartawan Linggau Pos. Mungkin karena proses 'combustion' mesin dieselnya mengalami 'material-fatik', sehingga gerak sentrifugalnya kedodoran dan akhirnya migran ke dunia kata-kata.
Sedangkan Sang Pemred Dedy Kariema Jaya, rasanya aku belum pernah berjabat tangan, kendati sering bercanda-ria di dunia WA. Titelnya sarjana pertanian. Mungkin alumni jurusan "agro-publisistik" yang piawai berbagi info teknologi muta'akhir kepada generasi 'agro-millenial' yang kini semakin 'sophisticated' mampu menyulap hamparan sawah Mirasi menjadi area "Celosia Argentea" (gulma bulu ayam).
Mungkin pula karena 'sok kenal' dengan kedua petinggi Mureks itu (sorry Bung Solihin, Anda kuanggap atasannya petinggi), maka aku sering kali terlalu lancang mengritik langsung secara persona kepada kedua orang ini. Prinsip dasarku hanyalah menyampaikan kebenaran 'tata bahasa' yang aku yakini sangat berdasar dalilnya dan bisa dirujuk pada literatur resmi.
Dalam batas tertentu aku memahami bahwa SDM (terutama wartawan) Mureks perlu terus belajar. Mungkin juga Mureks memerlukan News Editor sebagai final sensor. Aku berpikir, karena bisnis koran adalah 'bisnis kosa kata', maka produknya (gugus rangkaian frasa, kalimat, paragraf dan kesatuan makna tema dan subtema) wajib "enak dibaca dan tertib bahasa". Barang pasti, sekadar usul, para awak Mureks mesti 'diupdate' secara berkala di bidang perbahasaan, khususnya bahasa koran millenial tanpa mengubah tata bahasa baku kecuali dalam konteks tertentu.
Mungkin diperlukan Diklat kilat tentang: sekilas Anatomi-Morfologi bahasa, Pilihan Diksi-Narasi dan Gaya Bahasa dan hal lain ttg kebahasaan. Kepiawaian menyusun struktur kalimat dengan bahasa efektif adalah modal dasar wartawan (dan Tim News Editing) utk menghitung kebutuhan milimeter kolom sebelum pracetak. Apatah lagi awak media selalu gelisah 'diteror' deadline di tengah dalu.
Salah satu 'kelakuan' Mureks yang selalu bikin gue 'gemes nan jengkel' adalah penulisan nama desa, kota dan/atau tempat geografis. Dalilnya sangat jelas: "nama tempat/geografi seperti nama desa, nama kota dan lainnya, penulisannya digabung kecuali diikuti angka Romawi dan/atau arah mata angin (utara, selatan, timur, barat)".
Contoh: Muarabelitibaru, Muararupit, Muaralakitan, Tuahnegeri, Muarakelingi, Lubuklinggau Utara I, Muaraaman Ilir, Rejanglebong, dan lain•lain. Aku berharap, koran Mureks menjadi rujukan valid bagi anak-anak sekolahan dan generasi millenial, yang lebih gampang mengingat koran (media massa) ketimbang buka Kamus Bahasa yang setebal Quran. Dan, koran Mureks sebagai pilar penting dalam mencerdaskan bangsa Silampari, wajib hukumnya untuk berlari di depan, sebagai rujukan. Bukan membeo, sebagai follower perusak tata bahasa dengan alasan apa pun.
"Tuliskan (katakan) yang benar, walau kini tak didengar. Niscaya puluhan tahun kemudian, orang akan mencatat bahwa kita pernah mengingatkan". Atau, setidaknya kita potensial memperoleh pahala amal yang akan didaftar di register "Malaikat Pengawas Media Lokal". Allohu'alam bi showab.
*) Pemerhati koran lokal
Sedangkan Sang Pemred Dedy Kariema Jaya, rasanya aku belum pernah berjabat tangan, kendati sering bercanda-ria di dunia WA. Titelnya sarjana pertanian. Mungkin alumni jurusan "agro-publisistik" yang piawai berbagi info teknologi muta'akhir kepada generasi 'agro-millenial' yang kini semakin 'sophisticated' mampu menyulap hamparan sawah Mirasi menjadi area "Celosia Argentea" (gulma bulu ayam).
Mungkin pula karena 'sok kenal' dengan kedua petinggi Mureks itu (sorry Bung Solihin, Anda kuanggap atasannya petinggi), maka aku sering kali terlalu lancang mengritik langsung secara persona kepada kedua orang ini. Prinsip dasarku hanyalah menyampaikan kebenaran 'tata bahasa' yang aku yakini sangat berdasar dalilnya dan bisa dirujuk pada literatur resmi.
Dalam batas tertentu aku memahami bahwa SDM (terutama wartawan) Mureks perlu terus belajar. Mungkin juga Mureks memerlukan News Editor sebagai final sensor. Aku berpikir, karena bisnis koran adalah 'bisnis kosa kata', maka produknya (gugus rangkaian frasa, kalimat, paragraf dan kesatuan makna tema dan subtema) wajib "enak dibaca dan tertib bahasa". Barang pasti, sekadar usul, para awak Mureks mesti 'diupdate' secara berkala di bidang perbahasaan, khususnya bahasa koran millenial tanpa mengubah tata bahasa baku kecuali dalam konteks tertentu.
Mungkin diperlukan Diklat kilat tentang: sekilas Anatomi-Morfologi bahasa, Pilihan Diksi-Narasi dan Gaya Bahasa dan hal lain ttg kebahasaan. Kepiawaian menyusun struktur kalimat dengan bahasa efektif adalah modal dasar wartawan (dan Tim News Editing) utk menghitung kebutuhan milimeter kolom sebelum pracetak. Apatah lagi awak media selalu gelisah 'diteror' deadline di tengah dalu.
Salah satu 'kelakuan' Mureks yang selalu bikin gue 'gemes nan jengkel' adalah penulisan nama desa, kota dan/atau tempat geografis. Dalilnya sangat jelas: "nama tempat/geografi seperti nama desa, nama kota dan lainnya, penulisannya digabung kecuali diikuti angka Romawi dan/atau arah mata angin (utara, selatan, timur, barat)".
Contoh: Muarabelitibaru, Muararupit, Muaralakitan, Tuahnegeri, Muarakelingi, Lubuklinggau Utara I, Muaraaman Ilir, Rejanglebong, dan lain•lain. Aku berharap, koran Mureks menjadi rujukan valid bagi anak-anak sekolahan dan generasi millenial, yang lebih gampang mengingat koran (media massa) ketimbang buka Kamus Bahasa yang setebal Quran. Dan, koran Mureks sebagai pilar penting dalam mencerdaskan bangsa Silampari, wajib hukumnya untuk berlari di depan, sebagai rujukan. Bukan membeo, sebagai follower perusak tata bahasa dengan alasan apa pun.
"Tuliskan (katakan) yang benar, walau kini tak didengar. Niscaya puluhan tahun kemudian, orang akan mencatat bahwa kita pernah mengingatkan". Atau, setidaknya kita potensial memperoleh pahala amal yang akan didaftar di register "Malaikat Pengawas Media Lokal". Allohu'alam bi showab.
*) Pemerhati koran lokal