Kamis, 20 Oktober 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (3)

Oleh: Hendy UP *) 

     Tabapingin, pada dekade awal abad ke-19 adalah sebuah dusun tua. Mungkin terbentuk sekitar tahun 1600-an, atau jauh sebelum itu. Sekirab dengan dusun-dusun tua lainya dalam Marga Proatinlima, yaitu: Muarabeliti, Pedang, Tanahperiuk,  dan Kayuara. Bayangkan, di kala itu dusun Kayuara masih masuk wilayah Marga Proatinlima, artinya belum terbentuk Marga Sindang Kelingi Ilir. 
     Pada tahun 1906, wilayah Dusun Tabapingin masih sangat luas. Di selatan berbatas dengan sungai Temam/Desa Jukung dan di utara berbatasan dengan sungai Megang. Kelurahan Rahmah kini (dulu Tabarejo) adalah areal Dusun Tabapingin.  
     Sedangkan Onderneming Tabapingin, yang pada tahun 1922 masih mencakup perkebunan karet Nv Airtemam, berada di dua wilayah marga yakni Marga Proatin Lima  (Tabapingin dan Tanahperiuk). Sedangkan di wilayah Marga Tiang Pungpung Kepungut mencakup Dusun Muarakati, Jukung dan Airkati.
      Izin pendirian Onderneming Tabapingin pada era Gubernur General (GG) AWF Idenburg (1909-1916), namun baru dilaksanakan  pada era GG JP Graaf Limburg Stirum (1916-1921). Ijin Onderneming Tabapingin adalah hak erfpacht  dengan masa sewa 75 tahun; bukan hak Opstal atau hak Eigendom. 
      Menurut M. Tauchid  dalam bukunya "Masalah Agraria" (1952; hal 41), istilah Erfpach berasal dari kata "erfelijk" (turun- temurun) dan "pacht" berarti persewaan. Jadi hak erfpacht adalah hak sewa atas tanah dengan kewajiban membayar sewa tiap-tiap tahun. 
      Dengan aturan Burgerlijk Wetboek Pasal 720 dan UU Erfpacht (Stbl. 1904 No. 304 juncto Stbl. 1912 No. 349), maka Gubernur General Kolonial di Batavia berhak menyewakan tanah kepada partikelir atau badan hukum.
      Di dalam dokumen "Memorie van Overgave" (dokumen serah terima aset), awal pemilik Onderneming Tabapingin adalah perusahan "Nederlandsch Indie Land Syndicaat" (NILS) dengan luasan 4.500 bouws (3.150 ha) pada tahun 1918.  Mulai membuka lahan untuk  sawit pada tahun 1919 dan untuk karet pada tahun 1922.
     Masa tanam sawit adalah mulai tahun 1920 hingga 1922 dengan total luas 573 hektar (59.399 batang). Sedangkan pembangunan pabrik minyak sawit dimulai pada tahun 1926 dan selesai pada September 1927 dengan total dana sebesar  f. 150.000. Mahalnya pabrik ini dikarenakan sulitnya mobilisasi alat karena belum ada jalan rel kerera api. 
     Sedangkan penanaman karetnya dimulai tahun 1922 dengan  luas 4.200 bouws (2.940 ha). Pada tahun 1926, perkebunan karet Onderneming Tabapingin dikelola oleh Siantar Cultuur Maatschappy yang berpusat di Amsterdam. Menurut penuturan Sofian Zurkasi  (85 tahun) yang diwawancarai pada Maret 2022, bahwa sebelum dibangun rel khusus (lori) untuk mengangkut Crude Palm Oil (CPO) dari Tabapingin (lokasinya kini di Kel. Rahma) ke Airkati, pengangkutan hasil kebun sawit Tabapingin dan karet Airtemam adalah melalui pelabuhan sungai Musi di Muarakelingi. 
      Namun setelah tahun 1933 dibangun rel KA Kertapati ~ Lubuklinggau, maka pengangkutan hasil kebun adalah melalui jalur kerera api ke Palembang. 
     Hingga tahun 1939, di Hindia Belanda tercatat sebanyak 66 perusahaan perkebunan besar dengan luas areal  sekitar 100.000 hektar. Beberapa maskapai yang terkenal adalah: HVA, RCMA, Socfin, Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan S. Liput Cultuur Mij. 
     Di era Jepang, Onderneming Tabapingin mulai direncanakan diganti tanaman pangan dan pabrik sawit dihentikan. Pada tahun 1947 ke bun milik Belanda dan orang asing dikembalikan ke pemiliknya, namun Onderneming Tabapingin rusak total, seperti di Oud Wassenar, Ophir Sumbar dan Karanginou Aceh. 
     Karena kerusakan kebun yang sangat parah, maka Onderneming Tabapingin diterlantarkan sebagai eks tanah erfpacht hingga dikuasai negara RI dan  dibagi-bagian kepada masyarakat serta lembaga pemerintah. [Tamat]
 
*) Muarabeliti, 21Juni 2022
    

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (2)

Oleh: Hendy UP *) 

       Bagi pembaca di luar wilayah "Negeri Silampari Bari" (Musirawas, Lubuklinggau, Muratara), khususnya luar Sumatera Selatan, barangpasti perlu dipahamkam tentang apa ituTabapingin. Dahulu, setidaknya hingga tahun 1980, Tabapingin  adalah nama sebuah dusun dalam wilayah Marga Proatin Lima Kecamatan Muarabeliti, Kabupaten Musi Rawas. Kala itu, batas wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Lubuklinggau adalah jalan Kelabat Talangjawa ~ Lubuklinggau.
     Namun, semenjak Jumat 30 Oktober 1981 dengan terbitnya PP No. 38, DusunTabapingin menjadi bagian wilayah Kota Administratif Lubuklinggau, sebelum terbentuknya Kota Lubuklinggau sebagai daerah otonom pada 21 Juni 2001. 
     Pada era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Tabapingin naik status menjadi pusat pemerintahan (centrale overheid) Kabupaten Dati II Musirawas. Namun pada tahun 2004, secara  de jure pusat pemerintahan Kab. Musirawas dipindahkan ke Muarabeliti, walaupun secara de facto baru pindah pada tahun 2019. ***
      Keberadaan Onderneming (perkebunan) Tabapingin dalam peta ekonomi dunia pada abad ke-19, dapat dilacak pada era Kolonial Belanda khususnya pasca-bangkrutnya VOC pada 31 Desember 1799. 
      Dalam catatan Yudi Latif (2011) yang mengutip para tokoh "politik etik" semisal Peter Brooschooft wartawan koran "De Locomotief" dan Theodore van Deventer (partai Liberal Demokratik Belanda),  kita mendapat catatan bahwa antara tahun 1800-1840 pemerintah Belanda menghadapi berbagai persoalan pelik.
       Yakni perang dengan Prancis dan Inggris, menghadapi separatis di Provinsi Belgia (merdeka tahun 1830), perang dengan para mujahid di Nusantara (Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Palembang, dll). Hal ini diperparah oleh sisa hutang VOC hingga 40-an juta gulden serta tekanan Partai Liberal Demokratik di dalam internal pemerintahan. 
     Pasca-perjanjian London (17 Maret 1824) yang menyepakati pembagian wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda, maka Pulau Jawa, Sumatera, Maluku dan Irian Barat dikuasai Belanda. Demi memulihkan kas negara, maka ditunjuklah Gubernur Jenderal (GG) Johannes Graaf van Den Bosch (1830-1833),  GG Baud (1833-1836), GG De Eerens (1836-1840), GG Graaf van Hogendorp (1840-1841) dst untuk melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sangat menyengsarakan rakyat Nusantara. 
      Karena Cultuurstelsel dikritik habis-habisan oleh opisisi (Partai Liberal Demokratik),  maka pada 9 April 1870 Belanda mengubah kebijakan dengan menerbitkan UU Agraria (Agrarische Wet). UU ini sangat diskriminatif dan dualistik, di satu sisi mengatur hak tanah rakyat Nusantara dengan hukum adat, sementara bagi pemodal asing berlaku hukum perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek) dengan HGU 75 tahun. 
     Demi menarik investasi besar-besaran di bidang perkebunan pasca-revolusi industri di Eropa, maka dibuat aturan pertanahan yang aneh-aneh. Yakni ada tanah hak partikelir (overheidsrechten), tanah hak benda (zakelijke rechten) dan tanah perseorangan (persoonlijke rechten). Jenis hak benda dirinci lagi menjadi: hak eigendom (masa selama-lamanya), hak opstal dengan masa kepemilikan 30-75 tahun, dan hak erfpach (75 tahun). 
       Onderneming Tabapingin (dan Airtemam) adalah jenis  tanah erfpach dengan HGU 75 tahun. Karena posisi Tabapingin dalam peta ekonomi Sumatera sangat jauh di hulu sungai Moesi dan terisolir (belum ada jalur kareta api), maka bagi investor Eropa relatif kurang menarik. Baru pada tahun 1919, perusahaan Land Syndicaat Hindia Belanda membuka areal onderneming seluas 4.500 bouws (3.150 hektar). 
       Penanaman dimulai pada tahun 1920 hingga 1922  dengan total luas 880 bouws (616 ha) sekitar 59.399 batang. Namun pada tahun 1922,  pihak manajemen membuka lagi perkebunan karet Aertemam. Pada tahun 1926-1927, perusahan membangun pabrik CPO (crude palm oil) dengan biaya f. 150.000  karena  mahalnya biaya angkut. Adapun total karyawannya: 4 orang administratur  bangsa Eropa, kuli kontrak 202 orang dan kuli bebas 25 orang. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, 5 Juni 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Suatu hari di akhir Agustus 2004, aku menginap di gedung tua nan unik peninggalan  Belanda. Gedung itu dulu bernama RISPA: kokoh, agak-agak horor, namun tegak-tegap berwibawa. Menjulang tinggi di kompleks yang terawat rapi di jalan Brigjen Katamso Medan. Rasa-rasanya hanya sepelemparan batu dari Masjid Maimun yang legendaris itu. 
      Kala itu, tiba-tiba aku teringat gedung tua serupa, persis bersebelahan dengan tembok tinggi sekolahanku di Purwokerto. Gedung itu, seperti kehilangan keangkuhan masa lalunya, semayup menatap Tugu Bundaran yang gagah tinggi menjulang, membelah jalan  Gatot Subroto. Konon, gedung tua itu adalah eks kantor  Residen Banyumas di masa Kolonial Londo. Mirip-mirip desain arsitekturnya, sama-sama horor nan mengerikan! 
      Kembali ke gedung RISPA. Konon dibangun tahun 1916, untuk lembaga Algemeene Vereeniging van Rubber Planters ter Oostkust van Sumatera (AVROS), atau Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatera. Kala itu, Gubernur Jenderal AWF Idenburg di kota hujan Buitenzorg sedang mimikul beban berat dari Ratu Wilhelmina binti Willem III, agar memacu produksi  karet, sawit dan teh di  tanah jajahan demi menumpuk pundi-pundi kas negara. 
      Ada trauma getir masa lampau, ketika kas negara defisit, provinsi Belanda Selatan memerdekakan diri menjadi negara  Belgia di tahun 1830, karena "nang adong hepeng" untuk menumpas separatisme. Maklum, kala itu kas Nederland terkuras, bahkan berhutang 40-an juta gulden untuk memberangus Pangeran Diponegoro dan Janissary terakhirnya.
      Pasca~kemerdekaan RI, di tahun 1957 lembaga itu menjadi Research Institut of the Sumatera Planters Association (RISPA). Pada 24 Desember 1992 berubah nama menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Dan entah sejak kapan, gedung tua itu difungsikan sebagai "basecamp" para peneliti Kebun Induk Marihat  atau para tamu dari Bogor dan Jakarta. ***
      Siang itu, setelah merampungkan pembicaraan awal tentang rencana kemitraan antara Dinas Perkebunan Musirawas dengan PPKS Medan, saya diajak keliling perpustakaan di kompleks lembaga penelitian itu. Saya membeli beberapa buku. Saat pamitan,  saya "disangoni" pula berbagai jurnal dan buku-buku terbitan PPKS. Salah satu bukunya adalah berisi tentang sejarah persawitan di Indonesia, yang menorehkan nama "Tabapingin" tahun 1870 di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe. 
      Ternyata nama Tabapingin telah mendunia semenjak tahun 1870.  Kebetulan, saya pernah membaca arsip peta kuno Belanda di kantor BPN. Peta itu "me-refer map as Hindie" tahun 1906 sebagai wilayah Residentie Palembang & Benkoelen. Mengagetkan!        
      Ternyata dalam peta itu, hanya tertera: Tebingtinggi, Moearabeliti, Moearakelingi, Soeroelangoen, Tabapingin, dan Moearaaman. Tidak ada Loeboeklinggau atau Tjoeroep dalam peta.Agaknya, nama-nama desa tersebut berkaitan dengan jalur transportasi sungai dan potensi komoditas sawit, karet atau tambang emas. ***

Riwayat Sawit Tabapingin
      Al-kisah, pasca-Belanda menikmati hasil "Tanam Paksa" berupa limpahan uang dari menjual komoditas perkebunan di pasar dunia, merasa perlu menarik investor dari Eropa dengan cara mengundangkan Agrarische Wet, sebagai daya tarik usaha  sekaligus jaminan lamanya kepemilikan HGU. 
     Di sisi lain, para ahli botani di Kebun Raya Bogor telah berhasil mengembangbiakkan 4 biji sawit yang dibawa dari Bourbon Mauritius dan Hortus Amsterdam pada tahun 1848. Setelah cukup berumur, mulailah diujilapangankan di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera. 
     Mula-mula di Keresidenan Banyumas Jateng (1856-1870), Muaraenim Sumsel (1869), Tabapingin Sumsel (1870), Belitung Sumsel (1890) dan Banten (1895). Tampaknya sedari awal, kelima daerah ini adalah kawasan yang paling feasible dari aspek agroklimat dan kesuburan lahan untuk perkebunan sawit. Tapi mengapa pada fase-fase selanjutnya justeru daerah Sumatera Utara dan Riau  yang lebih berhasil mengembangkan sawit?  Pasti ada jawabnya!  [Bersambung... ]

*) Muarabeliti,  3 Juni 2022

Minggu, 06 Maret 2022

DISERTASI DUDUNG

Oleh: Hendy UP *) 

Dalam kajian etno-antropologis versi Indonesiawi, nama Dudung niscaya mengait-erat dengan peradaban Sunda. Tepatnya adat suku Sunda, atau lebih tepatnya lagi bahasa Sunda. 

Jika Anda iseng searching mengumpulkan KTP se-Nusantara (bukan nama ibukota baru RI), hampir dipastikan nama Dudung paling banyak ditemukan di wilayah Sunda Besar; dari West Preanger di Cianjur dan sekitarnya hingga Cilacap di kawasan Banyumas Barat yang berbahasa Ngapak. Konon, di awal-awal abad permulaan, Cilacap itu bahagian dari kerajaan Sunda. Apakah ada kaitannya dengan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian? Wallohu a'lam bishshowab! 

Agaknya belum juga ada riset etnografis, kenapa sesudah nama Dudung sering diikuti kata Abdu. Yang saya tahu: Dudung Abdul Adjid, Dudung Abdurachman, Dudung Abdul Karim, dan dudung-dudung yang lain. Tapi juga ada yang exception! Tahun 1978-an, teman nongkrong saya di Gang Mama Iwa Dago Atas Bandung, namanya agak menyimpang: Dudung Ushuluddin. Nah, yang ini mungkin tugas Universitas Pasundan yang terlanjur mengklaim pewaris peradaban Sundaisme; setidaknya dari nama dan lokus kampusnya. 

Tapi bukan itu soal yang hendak saya gesahkan. Itu hanya prolog-pembukaan, sekadar segigit-lidah, sekunyah-ludah dan sekapur-sirih! 

Alkisah, ketika saya mengambil tugas riset kecil-kecilan dari sebuah lembaga pendidikan, saya ingin mencari tahu: kenapa ada trend penurunan produktivitas padi supra-insus di Musirawas sejak tahun 1985 hingga 1989? Sebagaimana di daerah lain di Indonesia? Pada saat itu, istilah kerennya adalah gejala levelling off. Agak-agak mirip dengan gejala involusi pertanian menurut teori ekolog Clifford Geertz. 

Pasca-olah data lapangan dan mencari rujukan literatur, ketemulah saya dengan nama Dudung. Lengkapnya: Dr. Ir. H. Dudung Abdul Adjid; anak guru ngaji H. Mahmudin, petani sederhana yang mukim di Desa Sukarindik, Kecamatan Indihiang Tasikmalaya. Pada tahun itu, tidak terlalu sulit mencari rujukan seberharga itu, karena karya disertasinya lagi ngetop-viral di kalangan masyarakat ilmuwan pertanian. 

Cukuplah datang ke Pusat Perpustakaan Pertanian di Jln. Ir. Djuanda Bogor, tepatnya di depan Kantor Pos Kebun Raya, sederetan dengan Gedung Herbarium Bogoriense. Dan Mang Dudung memang salah seorang petinggi Departemen Pertanian RI kala itu, sekolega dengan para profesor: Gunawan Satari, Herman Soewardi, Didi Atmadilaga, IGB Teken dan kawan-kawan. 

Disertasinya yang dicetak Penerbit Orba Shakti Bandung tahun 1985 itu berjudul "Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana". Tebalnya 354 halaman, lengkap dengan lampiran olah data persamaan regresi untuk menguji lima hipotesis yang didalilkan, dengan lima landasan postulat yang dirasakan nyata di pedesaan. 

Kesimpulan penelitian Mang Dudung itu sangat berharga, dan kelak menjadi rujukan utama bagi Kementerian Pertanian dalam menyelenggarakan Tupoksinya. 

Adakah disertasi Dudung yang lain? Jawabnya ada! Tapi ini lain Dudung-nya, yakni Prof. Dr. Dudung Abdurrahman. Dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kondang dengan disertasinya: "Suksesi Takhta Mataram, Antara Perang & Damai (1586 - 1755)". Saya ingin membaca buku ini, mungkin esok atau lusa. Atau di lain hari! 

Adakah Dudung yang lain? Jawabnya banyak! Salah satunya adalah petinggi ABRI yang lagi viral-naikdaun. Nama lengkapnya: Jenderal TNI Dudung Abdurachman, S,E., M.M, yang qodarulloh sejak 17 November 2021 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Sungguh tugas yang mahaberat untuk menjaga kedaulatan NKRI, termasuk harus awas jika ada baleho liar yang bergambar provokatif. Hehe! 

Alumni SMA 9 Bandung yang lulus AKABRI tahun 1988 ini, lahir pada Jumat 19 November 1965 atau 25 Rejeb 1385 Hijriyah. Kabarnya sekitar tahun 2004-2006 pernah bertugas di Kodim 0406 Lubuklinggau. Wajar sekali, jika pekan-pekan ini sangat-super-sibuk para petinggi MLM (Musirawas-Linggau-Muratara) dalam rangka menerima tourni Sang Jenderal. Rencana awal 24 Januari 2022 kelak: "Marhaban yaa Jenderal! Semoga pulangnya lebih keren karena sudah disiapkan tanjak khusus ber-"BATIK-DUREN". [*]

*) Muarabeliti, 20 Januari 2022

Minggu, 02 Januari 2022

MENGGALI UNTUK SESUAP NASI


Jika hari~hari ini melintasi jalan raya Tugumulyo~Megangsakti, khususnya sekitaran SPBU Trikoyo, Anda akan menyaksikan 'rombongan' penggali kabel  raksasa oranye milik PT. Indosat.

Gambar: Anto dan Abi,  buruh pasang kabel Indosat di depan SPBU Trikoyo [4 Feb 2019].

Adalah Anto, Abi, Harun, Sakib dan tigapuluhan temannya yang mendapat 'kontrak kerja'  pembangunan jaringan kabel PT. Indosat. Kontrak memasang kabel sepanjang 25 km dari Srikaton ke Megangsakti. Mereka tiba pada 1 Januari 2019 lalu dan menetap di P2. Purwodadi menyewa rumah di dekat kantor desa.

Abi~Anto dan kawan~kawannya adalah perantau yg telah malang melintang dalam hal gali~menggali pinggiran jalan raya utk memasang kabel jaringan: Telkomsel, Indosat, Muratel dll. Mereka pernah menggali di seantero Nusantara dari Aceh hingga Flores NTT. Mengitari Sulawesi ~ Batam hingga Kalimantan.

Rupanya profesi 'menggali' jalanan utk memasang jaringan kabel ini ditekuni oleh warga Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes, khususnya desa Tegalreja. 

Ketika pada Senin siang  4 Feb 2019, saya wawancara dg mereka tentang upah kerja, dengan semburat sedih~memilu mengatakan bahwa upah per meter penggalian dan pemasangan kabel itu Rp. 11 ribu plus uang makan Rp. 50 ribu. Sehari bisa memasang sekitar 20 meter maju. Jadi perolehan kotor per hari 200 ribuan. "Yaa... bersihnya 100 ribuan, Pak", kata Abi memelas. Kalau penggalian ketemu batu atau akar kayu itu risiko sendiri dan pasti akan mengurangi pendapatan. Mereka kerja rata2 berpasangan dua orang. 

"Kami bekerja menggali ini sudah sejak tahun 2007~an. Pulang ke kampung menemui anak istri paling cepat dua bulan sekali. Di rumah paling lama semingguan", sambung Abi sambil memungut bongkahan tanah di lobang sedalam hampir dua meter berlumpur.


Gambaran kehidupan pekerja musiman itu menunjukkan bahwa lapangan kerja kini sedemikian sulit dengan upah yg rendah. Ketidakmampuan bersaing dalam merebut lapangan kerja yg 'lebih layak' adalah faktor un~skill pada mayoritas penduduk perdesaan. Di sektor industri mereka tak dikehendaki, sementara di sektor tani mereka tak punya lahan (dan modal). Maka, kita hanya berharap ada kebijakan Pemerintah RI yang mampu berfikir cerdas untuk menghalau 'kedunguan massal'. Allohua'lam...!!

Senin, 15 November 2021

STAMPLAT KEBONDALEM 1974

Oleh: Hendy UP  *)

    Rasa~rasanya baru tahun kemarin, ketika aku bersama pamanku berbecak nan terburu-buru menuju Stamplat Kebondalem, demi mengejar  mobil angkutan starwagon trayek Majenang. Hari itu,  Rabu, 18 Desember 1974 adalah hari bersejarah bagiku. Yaa, pagi tadi aku baru saja didaftarkan oleh pamanku sebagai calon siswa di dua sekolah: SPG Negeri dan SPMA Purwokerto. 

     Pagi itu, kota Purwokerto baru saja berdandan rapi ketika kami memasuki  jalan Gatot Subroto kulon. Semenjak naik minibus dari Pasar Senen Cimanggu pagi subuh tadi, dua jam lalu, Pak Sopir menerabas ngebut hingga terminal Karangpucung, lalu mulai menanjak, meliuk-liuk di Gunung Sengkala. Lalu, kepala terserang puyeng; serasa kunang-kunang dan setengah-mati menahan muntah dengan memelihara mual hingga di Ajibarang. Memasuki Karanglewas, perasaan perut baru agak-agak aman-terkendali. 

    Kami berhenti. Turun di mulut jalan Gereja berjalan menuju  kompleks SPG Negeri yang mulai ramai. Setelah pamanku melengkapi seluruh persyaratan, kami bergegas membecak menuju SPMA. Melewati lapangan bola yang luas, di depan SMA 2  yang konon eks gedung  Kweekschool  yang dibangun Belanda 1929. Sejurus kemudian  kami berbelok-kiri masuk ke kompleks SMA Negeri 1 sebelum melewati Tugu Keresidenan. Rupanya siswa SPMA  bersekolah di SMAN 1 dan dikepalai oleh orang yang sama: Sugiyanto, BA. Dan sementara kawan,  sering "mengaku" siswa  SMA 1 Sore. 

    Setelah kelar seluruh persyaratannya, kami kembali berbecak ke arah Kebondalem. Di dalam becak, pamanku bercerita, bahwa waktu test seleksi SPG pada 30-31 Desember 1974 dan test seleksi di SPMA pada 1-3 Jamuari 1975.

    Paman juga memberi 'warning' bahwa pendaftar di SPG lebih seribuan, dan hanya akan diterima sebanyak duaratus siswa.  Paman tidak menceritakan tentang pelamar si SPMA. Di depan STM-75 , Paklik Becak belok ke kanan menurun menuju Stamplat Bus. Sesampai di Stamplat Kebondalem, paman tidak berhenti, tetapi menyuruh Paklik terus ke arah cucian mobil, melewati Masjid At-Taqwa di Jalan Safei, untuk kemudian memotong Jalan Suprapto menuju Gang 4 Kebondalem. Rupanya paman hendak memperkenalkan kepada pemilik rumah kost yang pernah Paman tinggali selama ia bersekolah di STM-75, lima tahunan yang lalu. 

   Lalu kami pamit, untuk kemudian bergegas menuju ke Stamplat Kebondalem, mengejar Starwagon jurusan Majenang! [***]
-------------------
Catatan: Stamplat, dari bahasa Belanda Staanplaat, artinya tempat kendaraan (bus & angkutan) mangkal, menurun-naikkan penumpang. 

*) Blogger: https.www.andikatuan.net











Senin, 11 Januari 2021

INFRASTRUKTUR PEDESAAN

PAK GUB. DERU, JALAN NIUK~SIRGUNG TAK LAYAK! 

Oleh: Hendy UP *)

    Semenjak beberapa tahun yang lalu, jalan provinsi yang berfungsi sebagai lingkar luar Kota Lubuklinggau khususnya ruas Simpangperiuk ~ Siringagung ~ GOR Petanang, menjadi jalur sibuk bagai warung makan pasca-Jum'atan.

   Betapa tidak! Jenis kendaraan bus AKAP dan truk diesel-fuso jurusan Padang~ Medan dan seterusnya wajib masuk jalur ini karena diharamkan lewat kota di siang hari. Kesibukan ruas jalan ini niscaya akan semakin nir-kendali manakala kelak mulai berfungsinya 'traffic-light' di prapatan Simpangperiuk, karena jalur dari Muarabeliti ke Bengkulu diarahkan ke Lingkar Luar Selatan (L2SL) dan menimbulkan 'delay' dari arah  Tanahperiuk. Apatah lagi jika kelak ditegakkan monumen nan megah "TUGU BUNDARAN NANSUKO" di Simpangperiuk. Mengapa tak layak? Faktor utamanya adalah sempitnya jalan provinsi sepanjang tiga kilometeran ini.

   Pada saat ini, titik kemacetan akut setidaknya ada 4 lokasi: Pertama di mulut jalan Amula Rahayu sebelum jembatan kembar yang membentangi sungai Kelingi. Kedua di Simpang Satan, ketiga di Simpang Siringagung yang berhimpit dengan RM Mangking plus kios kaki-limanya. Yang ke-empat di sepanjang Dusun Tanahperiuk (Kab. Musirawas), khususnya jika belasan kendaraan parkir di momen keramaian (kematian dan persedekahan).

   Ada lagi, lokasi baru yang potensial macet di masa mendatang adalah di pangkal jembatan kembar yakni di tanjakan yang merupakan 'nyawe-gudu' (bottle-neck) ke kompleks perumahan baru di pucuk banyu Kelingi.

   Kemacetan laten ini diperparah oleh adanya 'nyawe-gudu' di dua lokasi lain: yakni di pangkal Simpangperiuk, karena ada sungai kecil yang belum diperlebar 'box-culvert'-nya dan kedua di Dam Payung Siringagung yang kini sudah berlobang. Box-culvert kanal irigasi sekunder ke Ekamarga dan Tanahperiuk yang dibangun Belanda tahun 1941 itu, pasti tidak didesain untuk bobot mobil dengan tonase seberat Bus AKAP dan truck overload muatan, apatah lagi untuk Fuso-gandeng dan Tronton delapan belas roda.

   Apakah ruas ini masih bisa diperlebar? Jawabannya: BISA! Jikalau kita amati secara seksama, masih ada space kiri-kanan jalan sekitar 2-3 meteran. Hal ini terlihat dari posisi tiang listrik permanen. Tentu saja, kanal drainasenya yang sebelah kiri harus dipindah dan di atasnya bisa dibangun trotroar yang kokoh sehingga bisa berfungsi untuk pejalan kaki, kendaraan motor atau parkir darurat kendaraan roda 4.

    Adapun kanal drainase yang sebelah kanan jalan dari Simpang Satan hingga ke simpang Siringagung, agaknya bertahun2 sudah tidak berfungsi lagi. Dan itu bisa ditutup permanen demi pelebaran jalan. Yang jadi kendala mungkin tiang telepon yang centang-perenang yang harus dipindahkan segaris dengan tiang listrik sekarang.

   Pelebaran jalan ini sungguh sangat mendesak, karena sudah beberapa kali terjadi kecelakaan mobil yang terjerembab ke kanal drainase khususnya di malam hari.

   Sekadar info sejarah, ruas jalan provinsi ini awalnya adalah merupakan akses jalan Simpangperiuk ~ Tugumulyo ~ Sumberharta - Babat- Terawas sepanjang lk. 28 km. Tapi sejak 2007-an ada jalur 'shortcut' Siringagung ~ GOR Petanang sepanjang lk. 9 km yang menjadi jalur alternatif demi mengurangi kemacetan kota. Sayangnya perubahan fungsi jalan tersebut baru diimbangi dengan penambahan jembatan, tapi belum diimbangi dengan pelebaran jalannya.

   Jika dua tahun ke depan Pak Gubernur segera menggenjot pelebaran jalan ruas pendek ini, maka niscaya akan menjadi lebih "PD" saat kampanye 2024 kelak. AYO, PASTI BISA! Allohu a'lam bishshowab!

Muarabeliti, 11 Januari 2021

*)Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 01 Januari 2021

SEJARAH EKAMARGA LUBUKLINGGAU

SEJARAH EKAMARGA KOTA LUBUKLINGGAU

Oleh: Hendy UP *)

    Kelurahan Ekamarga Kota Lubuklinggau, dahulu kala bernama Airketuan I dan merupakan bagian dari Desa Tanahperiuk, Marga Proatin V Kecamatan Muarabeliti, Kab. Moesi Oeloe Rawas.

   Disebut Airketuan I, karena merupakan kampung yang berada di hulu/pangkal sungai Ketuan. Hulu sungai Ketuan dahulu berada di rawa-rawa (kini persawahan) di seberang saluran irigasi primer, di belakang Masjid Ekamarga sekarang.

   Sungai kecil itu meliuk-liuk melintasi Dam Payung Sohe (Ketuan II/ Karangketuan), Kampung Ketuan III, Ketuan IV terus melintasi Desa V. Surodadi dan Bumiagung; yang kini menjadi batas alam wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Tugumulyo.

  Alkisah, menurut penuturan Muslimin bin Mad Salim (77 th) mantan Ginde/Kades Ekamarga (1975-1984) dan Misyarto (65 th), awal mula Kampung Airketuan I dibuka (trukah), diperkirakan beriringan sesudah pembukaan Kolonisasi Toegoemuljo (1937-1940).

   Namun catatan yang bisa dilacak adalah ketika mulai dijadikan status "kampung" dipimpin Punggawa Slamet tahun 1958 di bawah wilayah Dusun Tanahperiuk, Marga Proatin V dengan Pesirah H. Oemar Hasan. Almarhum Slamet adalah Punggawa pertama (1958 ~1965) dengan jumlah penduduk sekitar 20-an KK. Hampir semua penduduk Ketuan I awalnya adalah penggarap sawah milik H. Abdoesomad Mantap. Dan Punggawa Slamet merupakan 'anakbuah' kepercayaannya yang dipindahkan dari Talangpuyuh. Dan kelak, H. Abdoesomad Mantap menjabat Bupati Mura periode November 1966 ~ 12 Agustus 1967.

   Pada tahun 1965 hingga 1968 jabatan Punggawa dipegang oleh Muhammad yg juga anak kandung Punggawa Slamet. Lalu tahun 1968 hingga 1975 dijabat oleh Punggawa Tamroni. Baru tahun 1975, status Kampung Airketuan I berubah menjadi Desa Ekamarga (berbarengan dengan Desa Margamulya) terlepas dari Desa Tanahperiuk (era Ginde Ruslan) masih dalam wilayah Marga Proatin V.

   Menurut penuturan Muslimin (wawancara 1 Jan 2021), nama Ekamarga diusulkan oleh tokoh masy. Ekamarga dan disepakati oleh Pasirah Oemar Hasan. Kata "eka" merujuk kepada nama asal Ketuan I, sedangkan"marga" diambil dari bagian wilayah Marga Proatin V.

   Masih menurut Muslimin, pelebaran dan pengoralan jalan dari Simpangperiuk ke Tugumulyo yg melintasi Ekamarga adalah pada Tahun 1962 di era Bupati Zainal Abidin Ning (1958-1964). Sekadar flashback sejarah, jembatan Simpangperiuk awalnya berupa jembatan gantung (1955/1956-an), dan pernah putus tahun 1963-an.

   Bahkan jauh sebelum itu, sekitar di tahun 1937 hingga 1957-an jalur Lubuklinggau ke Tugumulyo melalui tanggul Siringagung dan menyeberangi sungai Kelingi di Tabapingin (sekitar Pemda). Mobil angkut Chevrolet dan Power Wagon yang membawa hasil bumi ke Lubuklinggau hanya bisa menyeberang jika sungai Kelingi surut.

   Pembangunan jembatan beton Simpangperiuk baru dilaksanakan pada tahun 1972-1974 (berbarengan dengan pembangunan Jembatan Musi di Tebingtinggi/Empatlawang) oleh BUMN Waskita Karya dan hingga kini masih fungsional sebagai jembatan kembar.

   Pasca-terbit UU No. 5 Th 1979 dan aturan derivasinya, maka sebutan Dusun diganti menjadi Desa sedangkan jabatan Ginde diubah menjadi Kades; dan yang memprihatinkan dengan Kpts Gub. Sumsel No. 142 Tahun 1983, maka status Pemerintah Marga dihilangkan dalam sistem pemerintahan daerah. Kades kedua adalah Sdr. Sahuri (1984-1991) dan dilanjutkan oleh Sdr. Legiman sebagai Kades ketiga (1991-2002). Ketika terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), maka status Desa Ekamarga berubah menjadi Kelurahan Ekamarga Kec. Lubuklinggau Selatan.

    Catatan sejarah lokal ini lebih merupakan inisiatif awal bagi penulisan sejarah yang lebih lengkap dan akurat, secara berkelanjutan. Kesulitan merekonstruksi catatan sejarah adalah minimnya dokumen tertulis dan semakin langkanya narasumber yang kredibel dengan daya ingat kuat. Semoga tulisan ini mengilhami siapa pun yang berminat untuk mendalaminya; dan dukungan pejabat daerah sungguh sangat besar manfaatnya. Allohu'alam bishshowab.

[*] Muarabeliti, 1 Januari 2021 *) Blogger : www.andikatuan.net

Senin, 07 Desember 2020

SERIAL SEJARAH SILAMPARI (2)

DESEMBER: MONUMEN HEROIK DI BUMI SILAMPARI (2)

Oleh: Hendy UP

   Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Perang Dunia II melibatkan dua kekuatan: negara-negara "SEKUTU" dan negara-negara "POROS". Terjadi mulai 1-9-1939, ketika Jerman menginvasi Polandia sebagai anggota "Sekutu" (Uni Soviet, USA, Inggris, Prancis, Cina, Australia, Belanda, Norwegia, Polandia, dll).

   Jerman bersama Italia, Jepang dll, yang membentuk negara "Poros" menyerah pada 2 September 1945, setelah Hirosima dan Nagasaki di bom-atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Walaupun pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito telah mendeklarasikan kekalahannya, namun ternyata masih terjadi dualisme antar-petinggi di Jepang.

   Dewan Penasihat Militer Jepang, khususnya PM Suzuki dan Men-AD Korechika Anami menginginkan terus berperang ketimbang menyerah. Sementara, Men-AL Mitsumasa Yonai (yang didukung Kaisar) menginginkan menyerah. Demikianlah menurut sejarawan militer Amerika Richard B. Frank, dalam buku "Downfall: The End of the Imperial Japanese Empire" (1999).

   Akibatnya adalah, para petinggi Militer Jepang di Indonesia bersifat ambigu dalam menyerahkan kekuasaannya. Lebih-lebih karena Lubuklinggau memiliki dua jenis perkebunan besar (sawit di Tabarejo dan karet di Belalau).

   Karena hingga Desember 1945 Jepang masih bercokol di Lubuklinggau, dan tampaknya berkolaborasi dengan Sekutu untuk menguasai kembali RI, maka para Laskar Pejuang SILAMPARI merasa jengkel dan marah terutama setelah menangkapi para pejuang dan memenjarakannya serta menurunkan bendera MERAH PUTIH di kantor Pemerintah Daerah (sekarang jadi Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau).

   Para pejuang yang ditangkap dan dianiaya Jepang di penjara (Butai) Lubuktanjung (kini Markas Kodim 0406) antara lain adalah: Pangeran Mantap (Pasirah Tiang Pungpung Kepungut), Pangeran Amin RA (Pasirah Proatin V), dan Djikun Gindo Tabapingin.

    Penyerangan Markas Jepang direncanakan pada Sabtu, 29 Desember 1945; dan telah mendapat persetujuan Panglima Mayjen Emir M. Noor, Mayor Alamsjah, Mayor Doelhak, Mayor Sanaf, Letkol Ryakudu, Kol. Aboenjani, Kapten Sulaiman Amin, Mayor Saihusin, yakni pada saat kunjungan maraton ke Lahat, Lubuklinggau dan Jambi.

   Ratusan pemuda dan sejumlah Suku Anak Dalam mendaftarkan diri. Untuk jaminan konsumsi disiapkan dapur umum di Dusun Selangit, yang dikoordinir oleh M. Sani (Pasirah Marga BK Lakitan).

   Komandan penyerangan dipimpin Kapten Sulaiman Amin, yang dibantu oleh KH. Mansyur, KH Latif, HM Tohir, H. Matajah, Lambun; dari TKR Kewedanaan Rawas antara lain H. Hasan, Yusuf Randi dan Yusuf Holidi.

   Maka terjadilah serangan heroik Sabtu pagi dengan senjata seadanya yang dibalas senapan mesin Jepang di kawasan Permiri, Stasiun KA dan Simpangtiga Jln. Sudirman. Adapun anggota pasukan yang gugur sebanyak 39 orang lebih, 83 orang penumpang KA (dan para pedagang) dan 85 orang tentara Jepang. Ke-39 orang pejuang itu adalah:

● Dipimpin oleh H. Markati bin Pg. Akim: (1) Kodar bin H. Kudus, (2) Naman bin Bujud, (3) Sutar bin Talib, (4) Sur bin Sehak, (5) Cik Ani bin Samid, (6) Marsin bin Rosik, (7) Alikati bin Manan/Muaratiku, (8) Tupat.

● Dipimpin oleh H. Bani Binginrupit: (9) Sarikan bin Abdul Ani, (10) Saleh bin Salusin, (11) Kacing bin Rahambang, (12) Lingsir, (13) Musa bin Nimat, (14) Usup bin Bujang, (15) Jalal bin Nahting, (16) Abu bin H. Dusin, (17) Haroman bin M. Zen, (18) Dahasan bin Dilisin.

● Dipimpin Jemak dari Karangdapo: (19) Jemak, (20) Makrup/Sungaibaung, (21) Pak Long.

● Dipimpin oleh H. Toher-Matsyah: (22) Mu'is bin H. Hasyim/Maurlama, (23) To'ib bin Zaila, (24) Muhamad bin H. Uning.

● Dari Surulangun Rawas: (25) Rajo, (26) Basir bin Lujud, (27) Nadin bin Bakom, (28) Maid, (29) Sulai bin Tanding, (30) H. Kasim bin H. Kodir, (31) Dua orang Suku Anak Dalam, (33) Dusin, (34) Mahmud bin H. Din, (35) Tohir bin Sain/Maurlama, (36) Ismin bin Jamaludin/Maurlama, (37) Muhamad bin H. Unang/Maurlama, (38) Kartak bin Karto/Maurlama, (39) Dan lain2 yang tidak terinventarisir. [Bersambung...]

*)Muarabeliti, 4 Desember 2020 Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 04 Desember 2020

SERIAL SEJARAH SILAMPARI (1)

DESEMBER: MONUMEN HEROIK DI BUMI SILAMPARI (1) 

Oleh: Hendy UP *) 

   Bagi pemerhati sejarah bari Silampari, Desember adalah bulan heroik yang mencatat momen-momen berdarah, yang kemudian menggumpal menjadi monumen sakral perjuangan rakyat semesta Bumi Silampari.

   Yang dimaksud perjuangan rakyat semesta Bumi Silampari, masa kini adalah mencakup wilayah Kabupaten Musirawas, Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Muratara. Sejarah "Desember Heroik" ini bisa kita baca pada dokumen "Monumen Perjuangan Kab. Musi Rawas" yang diterbitkan oleh Bupati Drs. HM Syueb Tamat pada 28 Januari 1987. Juga dilengkapi dokumen Peringatan HUT RI Ke-9 tahun 1954 di Palembang pada era Gubernur Dr. M. Isa.

    Kebetulan saya pernah menggali hal-ihwal sejarah ini kepada Sekretaris Tim Penyusun Dokumen tersebut, yakni Drs. H. Sofian Zurkasie, yang pada saat itu menjabat Kabag Pemerintahan Setwilda Tk II Musirawas. Menurut catatan Sofian Zurkasie, pada hari Ahad pagi, 19 Desember 1948 (17 Syafar 1368 H) tentara NICA (Netherlands Indische Civil Administration) yang dipimpin oleh Jenderal Spoor membombardir tiga kota penting di Indonesia, yakni: Yogyakarta, Bukittinggi dan Lubuklinggau.

   Serangan Belanda itu menggunakan pesawat Bomber B.25 dan Mustang, menghamburkan peluru dari senapan mesin dan menerjunkan tentara payung di Lubuklinggau dan sekitarnya.

   Mengapa ketiga kota ini dianggap vital oleh Belanda/NICA?

1. Yogyakarta, sejak 4 Januari 1946, adalah menjadi ibukota RI. Hal ini terkait dengan keikhlasan dan dukungan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang bergabung dengan RI pada 19 Agustus 1945. Pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi I dan menyerang Yogya karena RI dianggap tidak menepati Perjanjian Linggarjati, untunglah Dewan Keamanan PBB menghentikan arogansi Belanda. Akan tetapi pada serangan Agresi II ini (19 Desember 1948), Belanda berhasil menguasai Yogya dan menawan Presiden Soekarno, Hatta dan beberapa Menteri termasuk KSAU Surya Dharma (baca: Tahta untuk Rakyat: 1982, hal 139-141).

2. Bukittinggi adalah ibukota Pemerintah Darurat RI, pasca-direbutnya Yogya pada 19 Desember 1948 Ahad pagi. Sebelum Soekarno-Hatta tertawan, beliau berdua mengirim surat kawat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran Rakyat (yang sedang berada di Sumatera) agar membentuk Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi. Mr. Syafrudin secara resmi berhasil membentuk PDRI pada 31 Maret 1949.

3. Kota Lubuklinggau adalah merupakan Markas Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) sementara, di bawah pimpinan Kol. Maludin Simbolon (24 Juli 1947 hingga 31 Desember 1948. Maka jelaslah bahwa Lubuklinggau memiliki posisi strategis di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Di samping itu, Lubuklinggau adalah ibukota sementara Keresidenan Palembang (Residen A. Rozak) pasca-Agresi I hinggau Agresi II.

   Sekadar flash back, pada 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno menginstruksikan dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Presiden mengangkat Kol. Soedirman menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal Mayor dan Kepala Staf Oerip Soemohardjo dengan pangkat Letnan Jenderal.

   Menjelang akhir 1945, Pemerintah mengangkat dr. AK Gani sebagai Koordinator TKR Wilayah Sumatera yang membawahkan 6 Divisi. Divisi I dan II berada di Sumsel. Tiga tahun sebelumnya, yakni pada 29 Desember 1945, terjadi perjuangan berdarah perebutan kota Lubuklinggau dari Jepang karena belum menyerahkan kekuasaannya.

   Maka terjadilah jihad pagi merebut kota Lubuklinggau. Adapun pejuang yang gugur, luka serta ditawan Jepang/Belanda pada Agresi I dan Agresi II yang telah terinventarisir per 21 Januari 1987: 56 orang gugur, luka-luka 6 dan ditawan 15 orang.

[Bersambung].

*) Muarabeliti, 1 Desember 2020     Blogger: www.andikatuan.net

Ditukil dari: (1) MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT MUSI RAWAS; (2) Tahta Untuk Rakyat; Gramedia, 1982, hal 139-141; (3) Api Sejarah Jilid II, Surya Dinasti, 2016, hal 267-273.