IKLAN-IKLAN TAK SOPAN!
Oleh: Hendy UP *)
Seorang teman di Bengkulu merasa risi ketika membaca artikel-artikel saya di sebuah media online. Dengan canda khas mBantul-Birmingham dia menyentil: ".... artikel sampeyan itu dipenuhi iklan (agak porno) sebuah produk untuk mengecilkan perut .... hahaha". Begitu kira-kira makna keluh-protesnya.
Dalam hati, saya menyarankan, jangan sekali-kali menyentuh iklan 'Pneumatic Rotary Union'. Jangan! Saya pun tak pernah berani. Melihat cover iklannya saja sudah 'wadduh'. Lalu teringat petuah santun dari UAH, UAS dan Ust. Syafik RB! Yaa... narju 'an yubarikuu!
Saya haqul yakin, siapa pun yang 'normal-jiwa' pasti terganggu oleh iklan tak senonoh itu. Masalahnya, siapakah yang berwenang mengawasi muncul-timbulnya iklan setan itu? KPI kah? Kominfo kah? Atau lembaga apa! Tapi menurut R. Kristiawan dari lembaga Koalisi Independen & Demokratisasi Penyiaran, keberadaan KPI masih sangat lemah (Tirto.id; 25/10/2017).
Ihwal lemahnya KPI itu bisa kita lacak dari dikalahkannya oleh PTUN Jakarta ketika menerbitkan SE No. 225/K/KPI/31.2/04/2017 tentang Iklan Parpol yang tayang di luar masa kampanye. Juga ketika UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di-judicial review di MK, dan akhirnya harus berbagi kewenangan pengawasan atas penyiaran dengan Pemerintah cq. Kementrian Kominfo. Kalau demikian halnya, maka masing-masing kitalah yang harus membentengi diri dari aneka model iklan 'dak karuan' masa kini yang nongol setiap detik.
Jika kita lacak tentang perangai pebisnis yang super canggih dan diskusi para pemerhati iklan, ada statement seorang pakar IT begini: "mustahil sebuah iklan keluar sendiri tanpa ditrigger oleh publisher. Makanya mereka menawarkan escapenya: jika ada iklan Google Ads yang dirasa mengganggu, suruh mengunjungi link: https://support.google.com/google.ads/contact/thirdparty_complaint?hl=id", ujar sobat tadi. Wadduhh tambah pusing gue ...!
Kata para sarjana hukum, secara legal formal, perihal iklan-iklan porno itu sudah diancam pidana menurut KUHP. Bahkan ada dua UU yang dengan tegas melarangnya, yakni UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Jadi kurang apa lagi!
Pun pula, definisi pelanggaran kesusilaan sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE sudah sangat klir. Apatah lagi bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf (d) di UU Pornografi, sudah sangat gamblang nan terang-benderang. Rasanya para ahli bahasa Indonesia tak perlu berdebat tentang makna "ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan" seperti iklan 'Pneumatic RU itu'.
Setuo ini, saya lantas bergumam: "Kalaulah Pemerintah yang gagah- powership, yang menguasai 'ngelmu' teknologi super-sophisticated saja tak berkutik? Apa jadinya? Apakah kita masih memerlukan seorang Empu untuk menghadapi mBah Google dengan senjata keris plus klenik dari era Singasari? Mungkin Anda punya jawabannya! [*]
Muarabeliti, 21 Juli 2020
*) Blogger: www.andikatuan.net