Selasa, 14 Juli 2020

SEJARAH: SOPHIA, MANG DOGAN & BUNG KARNO

SEJARAH: SOPHIA, MANG DOGAN & BUNG KARNO

Oleh: Hendy UP *)

     Nama di KTP-nya mungkin Recep Tayyip Erdogan. Untuk mengefisienkan narasi, orang Muarabeliti menjolokinya Mang Dogan. Bukan Mang Ogan! Yaa, sembari menunggu acara pembagian BLT, kami asyik-masyuk terlibat 'diskusi panas'. Tentu saja, aku bukan calon penerima: BLT, PKH, BLT-DD dan aneka bansos lainnya.

     "Aku salut dengan Mang Dogan", kata Udin, sarjana, yang 5 kali gagal test PNS dan kini 'motong para' walaupun harganya cuma berkisar 6-8 ribu saja. "Harusnya pemimpin kita berani seperti Mang Dogan itu, atau Idi Amin, Saddam Husein atau Bung Karno kita", sambungnya berapi-api.

      "Menurutku, Mang Dogan itu sangat nasionalis, otonom, tidak mau didikte oleh pimpinan partai, hantu oligarki dan bahkan dak takut dengan Mang Trump yang arogan itu". Tiba-tiba dia dipanggil Panitia untuk mengambil jatah. Diskusi terhenti. Aku hanyalah penabuh gong, dan pengendali partitur 'obrolan dusun' yang kadang tendensius dan melabrak siapa saja dan kemana-mana. Yaa... begitulah psikogram politik pedesaan di era teknologi digital kini.

      Sejujurnya, agak ngeri-ngeri sedap menulis artikel ini. Agak sensitif. Tapi semua media sudah menurunkan artikel ini. Tentang rencana alih fungsi Hagia Sophia (HS) dengan berbagai angle dan sudut ragam analisis. Bung DI's Way yang biasanya sangat 'updater', rasanya belum menulis ini. Mungkin aku yang 'kurapin' muta'akhir!

    Ya, tentang kenekadan & keberanian Presiden Erdogan! Segera setelah Dewan Negara mengabulkan petisi agar HS dikembalikan ke fungsi lama sebagai masjid, Mang Dogan dengan tegas mendeklarasikan akan mengembalikan fungsi HS sebagai masjid (kembali) pada 10 Juli 2020 kemarin. "Ini adalah hak kedaulatan Turki yang tidak bisa diintervensi siapa pun", kata Mang Dogan dengan full Pe-De!

     Dalam al-tarikh, pada tahun 325 M di era Byzantium, dibangunlah oleh Kaisar Konstatin I sebuah gereja Katedral Ortodoks sebagai tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel. Hingga tahun 1453, HS adalah gereja katedral terbesar selama 100 tahun sebelum terbangun Katedral Sevilla di Spanyol. Itulah Hagia Sophia yang megah nan historikal.

     Dalam perjalanan sejarahnya, pada tahun 1453 kekaisaran Byzantium berakhir, setelah penaklukan oleh Kaisar Ottoman atas Konstantinopel yang kelak menjadi Istanbul. Menurut catatan, bangunan Hagia Sophia itu dijual kepada Sultan Mehmet II dan dijadikan yayasan. Namanya berubah menjadi Ayasofya. Pada 29 Mei 1453, resmi berfungsi sebagai masjid.

     Di era itu ada 2 bangunan lainnya yang berubah fungsi menjadi masjid, yakni: Saint Paul dan Mesa Dominica. Pada abad 16 hingga 17, HS terus diperluas fungsi dan bangunannya, antara lain: 4 menara luar untuk adzan, mihrab dan mimbar hingga madrasah, pertokoan dll. Dan ketika Turki dipimpin rezim sekuler Mustafa Kemal Ataturk, atas keputusan Kabinet tahun 1934, masjid Ayasofya dijadikan museum. Dan lembaga UNESCO telah mensyahkannya sebagai warisan budaya dunia.

      Membaca sejarah Hagia Sophia, tiba-tiba kita diingatkan kembali oleh keberanian Bung Karno ketika 'memaksa' Khrushchev agar memfungsikan kembali masjid yang dialihfungsikan menjadi museum. Itu terjadi tahun 1956, ketika kali pertama Bung Karno diundang ke Uni Soviet. Dan Khruschev mengiyakan permintaan Bung Karno.

      Masjid terbesar di Rusia yang dibangun 1904 itu berada di Kota Leningrad (kini St. Petersburg) dengan tinggi kubah 46 m, menara 72 m menghabiskan dana renovasi sekitar Rp. 2,43 triliun. Kebetulan Mang Dogan dan Mahmoud Abbas hadir di saat peresmian "Blue Mosque" itu tahun 2005. Presiden Megawati pernah berkunjung ke sana pada April 2003, dan konon merasa terhenyak nan bangga atas karya bapaknya, Bung Karno.

     Barangkali, keberanian Mang Dogan melawan keangkuhan dunia dan senantiasa tegar memeluk otoritasnya sebagai presiden, terinspirasi oleh Bung Karno. Bung Karno memang hebat! Allohua'lam bishshowab!

Muarabeliti, 13 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 09 Juli 2020

SINEOL: KALUNG ANTIKORONA?

Oleh: Hendy UP *)

      Di siang bolong 6 Juli 2020, seorang Peneliti Utama (Dr. Rostiana) di sebuah Litbang Kementan Bogor membalas WA saya: "..... kami sedang menghadapi badai Eukaliptus di tengah pandemi .....". Maknanya kira-kira, kantornya sedang 'glomat' memroduksi jamu herbal dan kalung eukaliptus yang sedang viral di media TV, koran dan dunia maya.

     Saya merasa perlu mengklarifikasi dari beliau sebagai 'orang dalam' Kementan, karena saya pernah bertemu langsung dengannya dan 'ngobrol' tentang prospek serai wangi dan lada di Bumi Silampari, beberapa bulan lalu. Beliau adalah pakar rempah dan fitofarmaka. Bahkan, beliau pernah ijin mengutip artikel saya di blog (www.andikatuan.net) perihal "Sejarah Lada Rawas Era 1800-an".

     Muasal kehebohan ini berawal dari acara Kementan: "Launching Antivirus Corona Berbahan Eucalyptus" pada 8 Mei 2020, yang dibumbui Sang Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) bahwa 'mampu membunuh 80-100% Covid-19 (Kompas, 7/7/2020). Beberapa kalangan politisi mulai mempolitisir. Litbang Depkes dan Farmakolog yang merasa lebih 'pas' berikhtiar soal antivirus-memirus merasa kalah gesit. Mungkin! Tapi, apa salahnya jika Kementan menginisiasi pencarian antivirus dari bahan alam? Toh urusan rempah dan obat di bawah kewenangan Kementan.

      Bumbu inilah yang bikin heboh nan viral, dan buru-buru 'diluruskan' oleh Kabanlitbang Kementan (Fadjry Djufri) bahwa produk yang berupa: jamu herbal, inhaler dan kalung eukaliptus itu, belum diuji praklinis (ke hewan), apatah lagi uji klinis (ke manusia) sebagai produk fitofarmaka anti Covid-19. "Baru tahapan registerasi hak paten di BPOM sebagai jamu herbal", katanya. Untuk memroduksi ketiga produk itu, Balitbang telah menggandeng PT. Eagle Indo Pharma sebagai mitra lisensi(Kompas, 6/7/2020).

     Tapi karena derasnya antusiasme psikologi massa untuk segera mengakhiri era korona, maka viralitas berita ini mengundang gelombang pro-kontra. Waket DPD-RI Sultan B. Najamuddin mengkritik tajam: ".... Kementan itu fokus sajalah ngurusi pangan ..... boleh saja mengembangkan kalung anti korona, asalkan jangan menggunakan APBN...", kira-kira begitu makna verbatimnya (Republika.co.id: 7/7/2020).

     Apa itu kalung sineol eukaliptus? Eukaliptus adalah jenis tumbuhan famili Myrtaceae yang konon berasal dari Tasmania-Australia. Ada 700 spesies, satu di antaranya (E. globulus atau Blue Gum) potensial mengandung zat antioksida (flavonoid) dan antiflamasi (tannin); terikat dalam minyak atsiri yang memiliki senyawa 1,8 eukaliptol atau yang lazim disebut seneol. Nah, virus korona itu terbagi dua: beta korona dan gamma korona. Si Covid ini termasuk beta korona yang tengah diuji Litbang Kementan. Jadi secara metodologis memang masih panjang tahapannya. Itu kata ahlinya.

     Material inilah yang diteliti oleh Litbang Pertanian dengan melibatkan 3 institusi: Balai Besar Veteriner, Balit Tanaman Rempah & Obat, dan Balai Besar Lit Pascapanen, dengan tahapan kerja ilmiah Nanoteknologi. Yakni teknologi canggih untuk memanipulasi material pada skala atomik dan molekuler.

      Materi super kecil ini, konon berdiameter 62-520 pikometer. Molekul hasil kombinasinya berukuran nanometer, yakni sepermilyar meter. Kita yang awam 'nanologi', tak perlu pusing membayangkan ini. He...he. Terlepas dari 'kemaharumitan' metodologis itu, saya mencoba memahami untuk menghargai ikhtiar Kementan dan para researchernya, dan berharap segera berkolaborasi dengan Litbang Depkes plus Perguruan Tinggi demi kemaslahatan ummat. Tak perlu heboh berebut antivirus dengan semangat ego sektoral, sementara ekonomi kerakyatan semakin berantakan!

  .  Ingat, rakyat kebanyakan hanya butuh: makan kenyang pagi-petang, hidup tidak tegang, beribadah khusyuk-tenang, wajah demokrasi tidak centang-perenang, pembegal-maling tidak lintang-pukang, pikiran tidak mengawang-awang, dan satu lagi Pemerintah jangan keseringan "ngasah parang". Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 8 Juli 2020

*)Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 06 Juli 2020

STAGFLASI PASCAKORONA

STAGFLASI PASCAKORONA: AYAM VERSUS CABE?

Oleh: Hendy UP *)

     Di awal Juli 2020, Kepala BPS Suhariyanto merilis data bahwa harga ayam ras dan telornya adalah penyumbang inflasi terbesar komponen pangan untuk Juni 2020. Kontribusinya: ayam 0,14% dan telor 0,04% terhadap angka inflasi yg sebesar 0,18%.

     Alasannya karena peternak mandiri kehabisan modal usaha, pasokan pakan terhambat transportasinya sehingga produksinya anjlog. Bahkan telur ayam 'dituding' sebagai biang-kerok gejolak harga tak menentu (volatile price) di 86 kota yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen (IHK)-nya.

     Di sisi lain, komoditas cabe merah, rawit, bawang putih, minyak goreng dan gula pasir, harganya anjlok. Komoditas ini mengalami deflasi. Bawang putih dan cabe merah menyumbang 0,07% terhadap deflasi Juni 2020 kemarin.

     Lagi-lagi, Permendag No. 7 tahun 2020 yg mengatur harga langit-langit tak ada gunanya. Pada akhirnya, hukum ekonomi pasar masih berdalil klasik: harga di pasar berada pada kekuatan supplay & demand; bukan pada aturan harga legal formal di atas kertas.

      Volatile-price telor ayam ini ternyata terasa di manapun; juga di Lubuklinggau, sebagaimana dirilis Kepala BPS Lubuklinggau Eka Yuliani (Harian Silampari, 3 Juli 2020). Angka inflasi Juni 2020 untuk Kota Lubuklinggau sebesar 0,31%; inflasi kumulatif sebesar 1,31% dan YoY sebesar 1,37%.

      Memang, sejak dahulu kala hantu inflasi harga pangan sangat ditakuti oleh pemerintah terutama menjelang lebaran, paceklik atau pageblug. Tapi kaum tani malah berdoa agar terjadi inflasi harga komoditas pangan dan kebun, asalkan 'cost input' material saprotannya (terutama pupuk) konstan.

      Soal inflasi, Mang Udin Dusun Muarabeliti dan Lik Parjo Megangsakti sungguh tak peduli, apa itu inflasi, deflasi apatah lagi stagflasi. Sa'karepmu Broth .....!

     Tapi soal kendali-mengendali harga pangan ternyata pemerintah tak berkutik, mati-kutu! Bahkan kini, sudah bertahun-tahun justru terjadi deflasi harga karet (para) yang membuat masyarakat kehilangan ghiroh berkebun. Sungguh, kini ekonomi pedesaan Negeri Silampari sedang terjerembab.

     Lihat saja data perputaran uang di BI yg melemah dan laporan NPL (Non Performing Loan) perbankan yang meninggi. Banyaknya papan merk 'DIJUAL' di depan rumah dan lokasi usaha, adalah indikator banyaknya kreditur nunggak angsuran. Jika rasio NPL perbankan mendekati angka 5%, niscaya akan berkelindan dengan profitabilitas, rentabilitas, likuiditas perbankan dan aneka tas-tas lainnya.

     Mayoritas kaum tani kita, yang lebih pas disebut 'peasent' (tani pas-pasan) ketimbang disebut 'farmer' (pengusaha tani), sama sekali tidak paham dengan 'teori ekonomi gombal'. Bagi petani padi misalnya, yang penting ada jaminan pasokan air irigasi, tersedia bibit unggul dan pupuk dengan harga terjangkau, serta harga jual beras yang memadai. Pun bagi pekebun karet, ada bantuan kredit peremajaan kebun dan harga jual jedol (slab) tidak 'gila'; minimal 1 kg jedol para dusun setara dengan harga 1 hingga 2 kg beras. Itu sudah cukup untuk menggairahkan ekonomi pedesaan. Kini sekilo para tak sampai sekilo beras!

     Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 antara -0,4% hingga 2,3%. Tapi Lembaga Kerjasama Ekonomi & Pembangunan (OECD) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka -2,8 hingga -3,9%. Buru-buru Sri Mulyani meralat bahwa akibat bla bla bla, pertumbuhan ekonomi TW II 2020 akan terkonstraksi hingga -3,1%.(Kompas, 3 Juli 2020).

       Kondisi inilah yang dikhawatirkan para ahli ekonomi bakal terjadi stagflasi. Stagflasi adalah kondisi perekonomian negara dengan tingkat output rendah yg dibarengi oleh inflasi. Kondisi sekarang ini, jika tidak ada langkah kongkrit Pemerintah untuk menjaga basis ekonomi kerakyatan (UMKM) dan penyetopan kran impor, gejalanya mengarah ke stagflasi. Dalam kamus, stagflasi disebabkan oleh kekuatan ganda: kurangnya permintaan agregat secara relatif terhadap potensial PNB; dan meningkatnya cost input aneka usaha masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi. [*]

Muarabeliti, 4 Juli 2020 *)

Selasa, 30 Juni 2020

HUT MUREKS 12TH (3)

TANTANGAN MUREKS 12TH: IDEOLOGI, BISNIS & STRATEGI

Oleh: Hendy UP *)

      Kasus 'koin Prita' yang dikabulkan MA pada 7 Agustus 2012, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.

      Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga ke gang buntu, dusun-teluk dan ume-talang, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah yang menyampah, ketimbang sari berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.

     Sebagai 'insan pembaca', setiap pagi saya wajib membuang sampah dengan cara membuka menu: pilih lainnya dan bersihkan chat di 17 WAG aneka segmen!

     Saya sungguh prihatin terhadap koran Mureks dkk! Baru berumur 12 tahun, menjelang akil balig, sudah harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, manyong, delirium dan merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterai ngedrop.

     Seorang psikolog kondang jebolan UGM yang lahir di F. Trikoyo Musirawas (Nita Subarjo, MPsi) dalam artikelnya (22 Juni 202o) menguraikan bahwa 'gangguan' jiwa yang terkait dengan ketergantungan gadget-ponsel ada 4 grade, yaitu: selfitis, nomopobia, technoference dan cyberchondria. Sungguh sangat berbahaya: seperti bahaya laten narkoba dan ideologi Neo-PKI.

     Jika Mureks ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.

     Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Mureks antara 3 - 5 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Di mana-mana, income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap (kantor Pemda/Desa) dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!

     Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.

     Jangan bermimpi Mureks akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Mureks harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Mureks.

     Yang perlu dipikirkan petinggi Mureks dan JPG kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.

      Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" pekan ini. Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 30 Juni 2020

*) Blogger: www.andikatuan..net

HUT MUREKS 12TH (1)

MUREKS 12th: LEGASI UNTUK DIs-WAY

Oleh : Hendy UP *)

     Rabu 1 Juli 2020, koran Musirawas Ekspres (Mureks) genap berusia 12 tahun. Ditakdirkan sebagai 'adik kandung' Linggau Pos yang lahir 7 tahun lebih tua (Senin, 12 Feb 2001). Berbeda dengan kakaknya, Mureks memilih frasa "Koran Kebanggaan Masyarakat Silampari" sebagai tagline; komplementer dengan Sang Kakak yang mengklaim "Pertama dan Terbesar di Bumi Silampari".

     Niscaya sebuah kebetulan, bahwa HUT Mureks ke-12 bersamaan dengan HUT Bhayangkara ke-74, yang mengingatkan kita akan sebuah peristiwa penyatuan (sentralistik) manajemen kepolisian yg semula bersifat 'kedaerahan' lalu diikat oleh PP No. 11 Tahun 1946. Mungkin kelak akan ada sinergi perayaan HUT kedua institusi ini.

     Masyarakat Silampari niscaya mafhum bahwa jaringan koran~koran (dan TV): LinggauPos - Mureks - Silampari - Sumeks - Jawa TV (JTV) dan puluhan lainnya mutlak di bawah kendali 'manajemen agung' Jawa Pos Grup (JPG) dan Jawa Post National Network (JPNN). Soal modal awal dan 'kompetisi' bisnis, niscaya 'dijamin' aman oleh sistem manajemen DIs Way di Graha Pena, yang mangkal di kawasan Ketintangbaru Surabaya.

     Tapi masyarakat mungkin banyak belum tahu bahwa sejarah 'nenek~moyang' koran Mureks sebenarnya sangat panjang. Di pangkal riwayat ada: The Chung Shen, Eric Samola dan Dahlan Iskan yang agaknya ditakdirkan sebagai 'wirausahawan koran'.

     Adalah seorang bernama The Chung Shen (lahir 1893) dengan kepiawaian bisnisnya, mendirikan koran 'Djava Post' di Surabaya pada 1 Juli 1949. Untuk melayani aneka segmen, diterbitkan pula koran Hwa Chiao Sien Wen (berbahasa Mandarin) dan koran de Vrije Pers (berbahasa Belanda) dan Daily News (Inggris).

     Dalam perjalanannya, karena dinamika politik dan bisnis, akhirnya tiga korannya tutup; tersisa Djawa Post sebagai metamorfosis dari Djava Post plus 3 koran mendiang. Untuk mengelola koran~korannya ditunjuk Pemred Goh Tjing Hok (1953) dan diteruskan oleh Thio Oen Sik. Konon, selama 4 tahun, Chung Shen mengelola sendiri dari: mencari, menyeleksi, mengompilasi dan mengedit hingga proses pencetakan koran.

     Ketika tahun 1982 nyaris bangkrut (tersisa 6.800 eks/hari), maka diserahkan kepada teman bisnisnya di Majalah Tempo (Grup) yakni Bung Eric FH Samola. Dahlan Iskan kala itu menjabat Kabiro Tempo di Surabaya, dan dikenal sebagai wartawan 'kawakan' yang tahan banting plus memiliki karakter petarung tak kenal menyerah. Tanggal 1 April 1982 adalah hari bersejarah bagi Dahlan ketika menerima mandat sebagai Manajer Jawa Post.

     Duet Eric~Dahlanlah prestasi Jawa Post melejit membumbung langit. Di luar dugaan banyak pihak, oplahnya melejit hingga 300 ribu eksemplar hanya dalam tempo 5 tahun (1987). Tidak hanya itu, dalam tahun itu juga terbentuk JPNN yang memiliki 40 jaringan percetakan, menerbitkan aneka produk: tabloid, majalah dan koran lokal di 80 kota di seantero Nusantara. Luar biasaaa!

     Kepiawaian Sang Dahlan Iskan yang cerdas~tawadu dan 'super~inovatif' telah teruji oleh waktu. Kariernya merambah aneka gelanggang, menginspirasi banyak petinggi hingga kaum millenial. Dari memotong 'kabel PLN' yang kusut-berbelit, hingga mengudek manajemen BUMN yang lamban nan koruptif.

     Namun 'segerombolan' orang yang iri-dengki merasa gerah dan menghadang di tengah jalan. Menjegal di tikungan kala Dahlan melaju dg 'mobil listrik'nya. Tergelincir gara2 kulit pisang yang sengaja di lempar di jalanan nan licin. Syukurlah doa~doanya makbul. Alhamdulillah. Si pelempar kulit pisang patah arang. Orang jujur ternyata lebih makmur! Semoga Bung Dahlan tetap istiqomah.

     Sebagai pembaca Mureks, saya berharap agar Keluarga Besar Mureks wajib meneladani 'ghiroh' Bung Dahlan dalam berjibaku menggelorakan nilai-nilai filosofi dan sejarah pers nasional dengan konten kearifan lokal. Terus senantiasa menjadi kebanggaan masyarakat Bumi Silampari.

     Dirgahayu Mureks! Tegaklah di depan memandu generasi millenial; bukan mengekor di buritan..! [*]

Muarabeliti, 29 Juni 2020.

*) Blogger: www.andikatuan.net

HUT MUREKS 12TH (2)

MUREKS 12TH: TANTANGAN DI ABAD MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Di tahun 1995, karena terikat tugas riset lapangan, saya harus kulu-kilir Bogor-Karawang selama satu smester. Ba'da subuh Senin gelap, saya sudah nongkrong di Terminal Baranangsiang (Tugu IPB) untuk menunggu Bus Agra Mas atau Rosalia Indah yang terpagi menuju Karawang. Di bawah temaram neon, di bangku tunggu terminal, mayoritas penunggu asyik-masyuk membaca koran.

     Riuh-rendah logat Sunda yang menjajakan kopi hangat dan koran pagi, seakan menjadi elegi nan harmonis kendati partiturnya agak berantakan. Saya menghabiskan waktu hampir dua jam utk melahap Kompas hingga turun di Pasar Johar Karawang menuju lokasi riset di Lemahabang dekat Pantai Cilamaya.

     Beberapa tahun yang lalu, sengaja saya napak-tilas di Terminal Baranangsiang ~ setelah jenuh muter-muter di Botanical Square, mall tebesar di seberang Tugu IPB ~ ternyata sungguh sangat mengejutkan! Nyaris tak ada lagi orang membaca koran. Setiap orang asyik dengan gadgetnya, ponselnya atau hand book. Tukang jaja koran masih ada, tapi orang agaknya tak peduli, karena isi koran sudah tergenggam di handphone cerdasnya.

     Setahun terakhir ini, saya pun hampir tak lagi 'mencari' koran Mureks, Lipos, Kompas, Republika, atau Majalah Tempo. Hampir setiap pagi buta, pascaritual pagi usai, sembari menunggu asap kopi menipis di atas gelas; saya bisa membaca DIs'Way yang dikirim Mas Sugi (Diseminator Mureks) ba'da subuh.

     Atau setiap saat bisa membaca berita lokal Silampari di LinggauPos Online yang disebarkan oleh Bung Endang Kusmadi. Sedangkan untuk jenis berita sosio-politik dan gonjang-ganjing kabinet Jokowi dari sumber yang kredibel bisa dilacak di Majalah Tempo.Co atau Tempo.Pdf dengan harga langganan cukup murah.

     Jadi siapakah, hari ini yang masih membaca koran kertas? Strategi Mureks untuk bertahan hidup di era milenial pasti sudah dipikir matang oleh para petinggi JPG dan JPNN-nya. Siap-siaplah menggudangkan 'mesin cetak' yang mungkin masih milik aset bersama JPG Lokal Silampari. Kalau dulu strategi "SPLIT MANAJEMEN" lagi ngetrend dan menguntungkan secara bisnis, era ke depan mungkin sebaliknya.

     Kabarnya, dulu, Split manajemen Linggau Pos melahirkan: Mureks, Silampari Post dan TVSilampari. Di era milenial, barangkali strategi merger-korporat akan lebih menjanjikan keutuhan bisnis kosa-kata. Mirip-mirip situasi Jerman pasca runtuhnya Tembok Berlin pada November 1991, setelah era 'political spliting' selama 30 tahun.

      Kunci sukses bisnis apapun di era milenial adalah SDM Unggul nan bermutu. Mureks memerlukan SDM yang profesional di bidangnya, tangguh menjaga visinya dan ulet memperjuangkan amalan misinya. Karena Mureks adalah entitas bisnis KOSA-KATA, maka SDM-nya wajib unggul nan mumpuni di bidang bahasa komunikasi tulisan, inovatif dalam menerjemahkan situasi dan kebutuhan (informasi) masyarakat yang dinamis-fluktuatif, serta senantiasa berlari mengejar rujukan informasi yang kredibel. Tidak bermental 'kopipaste' hanya mengejar full-rubrik halaman yang telah dimuat di media lain dua-tiga hari yang lalu.

     Sungguh, persaingan bisnis koran (nasional dan daerah) ke depan sangat multi tantangan. Maka hanya orang-orang yang piawai dalam mengolah kata-kata, yang bisa bertahan maju; bukan jalan di tempat sembari mengunyah aset yang lama kelamaan akan susut. Niscaya DIs'Way telah menyiapkan pedoman praktis: BERTAHAN BISNIS KORAN DI ERA NDAK KARUAN! [*]

Muarabeliti, 30 Juni 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 25 Juni 2020

RAMALAN JAYABAYA (3)

RAMALAN JAYABAYA (3)

C. KONSEP NEGARA KERAJAAN &
    SINKRETISME AGAMA

      Karena masih kuatnya pengaruh agama Hindu dan Budha serta mulai merebaknya da'wah Islam dari jazirah Arab, bentuk negara Kediri cenderung menganut negara kekuasaan (staatsmatch) dan dlm beberapa aspek mulai mengadopsi model khilafah (Islam). Sudah mulai merebak model 'sinkretisme' kekuasaan. Raja berfungsi sbg kepala negara, sedangkan pelaksana kebijakan negara (raja) adalah tupoksi Pemerintah (eksekutif) yang dibentuk dewan negara yg bertanggung jawab kepada Raja sebagai kepala negara.

      Kehidupan spiritualitas masy. masih didominasi ajaran Budha. Jika masy. sakit, bukan berihtiar dengan berobat tapi menyembah dewa-dewa kepada Budha. Pada bulan kelima, diadakan 'pesta air', bersuka-ria dengan perahu di sungai (dan laut) seperti ritual Hindu di sungai Gangga.

      Pada bulan kesepuluh, diadakan pesta rakyat di gunung; dengan keramaian musik seruling, gendang dan gambang dari kayu. Raja digambarkan berpakaian sutera, sepatu kulit dengan perhiasaan emas, rambutnya disanggul. Setiap saat Raja menerima pejabat yg mengurus pemerintahan dan duduk di singgasana yg berbentuk segi empat. Pascasidang, para pejabat menyembah Raja tiga kali. Jika Raja keliling daerah, menunggang gajah atau kereta dan dikawal 500 sampai 700 prajurit. Rakyat menyembah di pinggir jalan yang dilalui.

     Dalam menjalankan kebijakan negara, Raja didampingi oleh 4 komponen jabatan: Rakaryan Kanuruhan, Mahamenteri I Halu, Rakaryan Mahamenteri I Rangga, dan Mahapatih. Tidak ada catatan, apakah ke-empat komponen itu adalah terdiri atas: unsur penasihat spiritual, unsur keamanan negara, unsur kehakiman negara, dan unsur eksekutif pemerintahan.

     Mereka tidak mendapat gaji tetap, tetapi menerima hasil bumi pada waktu tertentu (panen) dan fasilitas lainnya. Aparatus pemerintahan terdiri dari 300 orang yg mengurusi tatabuku (akuntansi) dan tatausaha. Sebanyak 1000 orang pegawai rendahan mengurusi: perbentengan, aset (perbendaharaan), gudang persediaan pangan dan kebutuhan para prajurit.

      Panglima tentara setiap smester memperoleh 10 tail emas; sedangkan prajurit yg berjumlah 30.000 org mendapat bayaran sesuai tingkat jabatan. Gambaran situasi dan kondisi Kediri di era Jayabaya itu tercatat dalam manuskrip Cina, khususnya kitab Chu-fan-chi yg ditulis Chau-Ju-Kua pada tahun 1.225.  Sumber-sumber ini representatif dan relevan dg bukti-bukti penemuan prasasti2 (candi, arca dll) di kawasan Jawa Timur.

                                   (Bersambung ...)

Muarabeliti, Kamis 25 Juni 2020.

Kamis, 18 Juni 2020

RAMALAN JAYABAYA (2)

B. SOSOK JAYABAYA

      Nama aslinya Jayabaya. Karena dia seorang raja (Kediri) maka sebutannya adalah Prabu Djajabaja. Dalam literatur antropologi, di era perkembangan 'agama' kuno Nusantara (Jawa: Kapitayan; Priangan: Sunda Wiwitan), hingga masuknya Hindu dan Budha, nama-nama tokoh sering menggunakan nama hewan yang 'powership' seperti buaya, singa, gajah, burung dll.

      Masa pemerintahannya di Kediri tercatat selama lk. 30 tahun di abad XII antara 1.130 - 1.160 M; bergelar CRI MAHARAJA CRI DHARMMECWARA MADHUSUDANA WATARANINDITA SURTSINGHA PARAKRAMA DIGJAYOTUNGGADEWA.

      Secara geneologis dia adalah keturunan langsung ke sekian dari Prabu Airlangga (Raja Kahuripan: lk. 1.019 - 1.042) melalui keturunannya Raja Kameswara. Kerajaan Kediri (1.042 - 1.222) adalah merupakan pemekaran dari kerajaan Kahuripan yang dibagi dua oleh Airlangga menjelang "lengser keprabon" untuk "mandhita" di pertapaan sunyi.

      Kedua kerajaan baru itu adalah Jenggala (kelak menjadi Singosari) beribukota di Kahuripan; dan Panjalu (kelak menjadi Kediri) dengan ibukota Daha. Dalam perjalanan sejarah, akibat perseteruan antarahliwaris Airlangga yg. berakibat kecamuk perang saudara, akhirnya Jenggala takluk dan menjadi bagian dari Kerajaan Kediri.

      Jadi secara teritorial-geografis, kerajaan Kediri sama dengan Kahuripan di masa awal. Dalam khasanah sastra dan cerita rakyat Jawa, kisah romantika percintaan, ketabahan dan kesetiaan pasangan orangtua Brawijaya yakni Prabu Kameswara dengan permaisurinya (garwa padmi) yg bernama Cri Kirana sungguh sangat legendaris. Legenda itu masyhur dikenal dengan RADEN PANJI INUKERTAPATI - DEWI GALUH CANDRA KIRANA. Cerita itu terungkap dalam Kidung Smaradahana karya Mpu Darmadja yang hidup di era itu. Beberapa dekade sebelumnya, telah lahir  karya monumental Mpu Kanwa berjudul Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna) sebagai persembahan spesial utk peristiwa pernikahan Raja Airlangga dengan putri Raja Sriwijaya dari Palembang.

      Mirip catatan sejarah emas kepenyairan (Syi'ir) di Jazirah Arab pra-Islam, di kala zaman Prabu Jayabaya hidup pula dua orang pujangga besar yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Atas perintah Jayabaya, pada tahun 1.157 Mpu Sedah menggubah naskah Kitab Bharatayudha ke dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.

     Karya sastra lainnya gubahan Mpu Panuluh adalah Kitab Hariwangsa dan Gatotkacacraya. Sedangkan Kitab Bharatayuda juga disusun era Airlangga yg memeritahkan Mpu Sedah (1.157) utk menyadur Kitab Mahabharata (kisah pergulatan sifat mulia dg sifat dzolim antara Pandawa versus Kurawa) ke dalam bahasa Jawa kuno.

      Bagian terpenting dlm babad Bharatayuda adalah Bhagawadgita (kidung Illahiyah) yang menarasikan petuah Sri Kresna (raja Dwarawati) kepada Arjuna dalam rangka mengamalkan dharma seorang ksatria utama.

     Gambaran kondisi stabilitas politik-kekuasaan, ekonomi dan religiusitas di Kerajaan Kediri era Jayabaya banyak terekam dalam manuskrip Tionghoa, antara lain dalam Kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou Khu Fei seorang pengembara pada tahun 1.178.

     Diceritakan bhw masy. Kediri menggunakan kain hingga bawah lutut, rambutnya dibiarkan terjurai. Rumahnya sangat rapi nan bersih dan berlantai ubin, dominan berwarna hijau dan kuning.

    Sektor perekonomian disupport penuh oleh negara dan bertumpu pada bidang agraris (swasembada pangan dan tanaman industri khususnya kapas dengan budidaya ulat sutera) yang memacu perdagangan ekspor ke mancanegara.

       Bidang keamanan sangat diprioritaskan dlm kerangka 'law enforcement'; tidak ada hukuman penjara melainkan sistem denda. Pencuri dan perampok dihukum mati. Mata uangnya terbuat dari perak; tapi maskawin dalam pernikahan masyarakat menggunakan emas. Tampaknya pengaruh Islam telah mulai merasuk di era Jayabaya.

       Konon, Jayabaya pernah berguru kepada Syech Ali Syamsu Zain dari Jazirah Arab yg mengembara ke Nusantara. Dalam Jangka Jayabaya Musabar disebut Ngali Syamsujen. Dari Ulama inilah Prabu Jayabaya mampu menjabarkan RAHASIA DUNIA utk memrediksi masa depan dlm kitab ramalannya (*)

                                     [Bersambung...]

Senin, 15 Juni 2020

RAMALAN JAYABAYA (1)

A. PENGANTAR

      Dalam khasanah kebudayaan dan perpolitikan Jawa, nama Jayabaya agaknya telah menjadi referensi utama dalam hal-ihwal peramalan, prediksi dan "penjangkaan" masa depan Bumi Indonesia, yang dahulu disebut Nusantara.

     Bahkan para pujangga (ahli sastra) sekaliber Yosodipuro I dan Ki Ronggo Warsito yg hidup beberapa abad kemudian - entah sengaja atau tidak - menjadikan jangka Jayabaya sebagai rujukan dalam menyusun karya-karya sastra monumentalnya.

     Ketokohan Jayabaya menjadi legendaris nan bertuah, khususnya bagi kalangan penganut "dunia-dalam", "kejawen" dan penganut Aliran Kepercayaan dan/atau Kapitayan yang masih hidup di pedalaman Jawa; dan beberapa aspek ritual "kejawen" masih tampak pada komunitas lingkar eks Keraton Jawa.

     Karya agung Jayabaya yang berupa KITAB RAMALAN, di era kini barangkali bisa disebut sebagai karya "meta-ilmiah" dari seorang Futurolog Nusantara, jauh sebelum hiruk-pikuk teknologi IT beredar di tengah kehidupan masyarakat dunia. Namanya bisa disejajarkan dengan: John Naisbitt (Megatrend 2000), Alvin Toffler (The Third Wave), Kenichi Ohmae (The Borderless World), Francis Fukuyama (The End of Ideology).

    Atau bahkan secara konten ramalan bisa pula disejajarkan dengan pakar demokrasi-politik Samuel Huntington (1993) dengan karya monumentalnya: "The Third Wave: Democratization in the Late 20th Century", yang mengurai proses kelindan demokratisasi di kawasan Amerika-Latin dan Asia-Pasifik.

     Berbeda dengan kelima futurolog asing di abad kini tersebut, dalam menyusun dokumen ramalan-visionernya, niscaya Jayabaya tidak melandaskannya pada data empiris yang ilmiah. Akan tetapi lebih mengandalkan kemampuan metafisik yang diterobos oleh mata batinnya dengan penuh kehati-hatian dan ruh-kebijakan berpikir.

     Tentu saja, kepiawaian dan kekhusyukan serta pengalaman batin (linuwih) Prabu Jayabaya tidak dimiliki oleh manusia kebanyakan kala itu. Untuk menjaga kehati-hatian dan kebijakannya menentukan koridor masa depan bangsa Nusantara, Raja Jawa abad XII itu menggunakan sastra "surat sanepa" (ungkapan penuh perlambang) yang memerlukan kecerdasan tafsir dan konsistensi konteks antara masa lalu dan masa kini demi prediksi masa depan.

     Bahwa ada sementara kalangan yg menganggap kebenaran ramalan Jayabaya sebagai suatu kebetulan (koinsidensi) belaka, atau klenik-nujum dan sejenisnya adalah wajar dan sangat lazim dalam dunia keilmuan. Terlepas dari kontroversinya, tokoh Jayabaya adalah merupakan aset kebudayaan (dan keilmuan) serta fakta sejarah kuno Nusantara; bukan tokoh mitos-kejawen atau hayalan semata.

      Eksistensi dalam sejarah Nusantara belum terbantahkan hingga era milenial kini. Bahkan dari sisi kecerdasan spritual-ilmiah, Jayabaya bisa dikategorikan sebagai FUTUROLOG SEJATI yang belum tertandingi di jamannya. Kita yang hidup di abad ini, banyak nian menyaksikan aneka peristiwa yang telah diprediksi Jayabaya jauh sebelum ilmu forcesting dikembangkan oleh ilmu statistika terapan; yang margin errornya suka-suka researcher dan validitas datanya direkayasa sponsorship. [*]

                                      [Bersambung]

Muarabeliti, 6 Juni 2020

*) Tulisan ini diresume dari: (1) RAMALAN JAYABAYA" (Bagian Akhir), INDONESIA MASA LAMPAU, MASA KINI DAN MASA DEPAN. Diedit oleh Suwidi Tono: Cetakan III Agustus 2006, Penerbit Vision03, 56 hal; (2) GELOMBANG KETIGA INDONESIA, Peta Jalan Menuju Masa Depan, karya Anis Matta. Penerbit Sierra & The Future Institut, Cet ke-1, 2014, 128 hal.

Kamis, 04 Juni 2020

SEPEDA ANTIK

SEPEDA ANTIK

Oleh: Hendy UP *)

    Di kota-kota besar Indonesia, telah bertumbuh komunitas GOES sejak beberapa tahun belakangan ini. Mula-mula diinisiasi oleh para pensiunan baik TNI, POLRI maupun ASN dan kalangan BUMN atau wiraswasta. Mungkin pertimbangan awalnya adalah model olahraga ringan di kawasan kompleks perumahan.

    Barang kali juga terprovokasi oleh gelombang pemikiran lingkungan sehat dengan olahraga kebugaran yang cocok bagi para manula. Belakangan mulai tumbuh pula komunitas pesepeda plus pengoleksi sepeda antik yang merambah kalangan eksekutif muda di kompleks perumahan elit menengah atas.

    Di antara ribuan pemuda milenial Jakarta, adalah seorang pemuda sang penggemar sepeda antik. Namanya Andy Andriana (32 th: 2008). Bermula dari tahun 2000 ketika ia merasa beruntung mampu membeli sepeda Raleigh (utk perempuan) yang diproduksi tahun 1953, dari sebuah pasar di kawasan Mentengpulo, Jakarta Pusat. Sepeda tua yang masih tertempel logo "R" itu dibeli dengan harga Rp 375.000,- Andy sangat senang demi memiliki sepeda tua tersebut yang bisa terkategori sebagai "sepeda antik" nan langka. Ia sudah berkeliling dari bengkel ke bengkel, pasar loak dan barang bekas yang berada di kawasan Jakarta, bahkan hingga ke Depok dan Bogor. Setamat kuliah, perburuan sepeda antik hingga ke kota lama seperti Yogya dan Solo.

    Pemuda penggemar sepeda antik ini adalah putra Pak Rachmad Nugroho, seorang pilot pesawat kepresidenan sejak jaman Pak Harto; dan tinggal di Blok A-9 No. 2 Kompleks Perumahan Jatiwaringin Asri, Pondokgede. Memburu sepeda antik ke berbagai pasar loak dan bengkel sepeda ini, dilakoninya di kala senggang waktu dalam kesibukannya sebagai mahasiswa Desain Universitas Paramadina Jakarta Selatan.

    Tak puas dengan hanya memiliki sepeda Raleigh (1953), ia terus berburu sepeda. Di sebuah bengkel di Warungbuncit (Jaksel), tertengger sepeda kuno merek Gazelle yang dipasang harga Rp 1,5 juta. Sungguh Andy sangat kecewa, karena sepeda itu tergolong sangat tua dan paling dicari oleh para kolektor sepeda kuno. Sayang, ia tak punya uang sejumlah itu; dan ketika hampir setahun kemudian ia hendak membelinya, ternyata bengkel sepeda itu telah raib (jadi bengkel motor) berikut Gazelle yang diidamkannya!

    Dasar Andy si pemburu sepeda, gagal memiliki Gazelle, eh.. tiba2 ditawari oleh seorang kolektor sepeda, merek tua Philips buatan Belanda tahun1930-an dengan harga Rp 175.000,- Di tengah kesibukannya sebagai "car audio spesialis & salon mobil", kini Andy telah mengoleksi 18 sepeda (tua dan baru), antara lain bermerek: Raleigh, Philips dan Centaur buatan Inggris tahun 1940-an. Sepeda Centaur dibeli seharga Rp 175.000,- dari sebuah bengkel sepeda di sebelah Carrefour Jln MT. Haryono Jaksel di tahun 2002.

    Sebagai kolektor sepeda, Andy memiliki komunitas tersendiri yang kadang berkumpul di Silang Monas untuk saling unjuk koleksi sepeda antik dengan aneka variasi dan inovasi keantikannya. (*)

*) Muarabeliti: Erakorona,
     Kamis 4 Juni 2020.

[Ditukil dari Kompas edisi Jumat, 5 Desember 2008; Rubrik Otomotif, hal. 40; Ditulis oleh Musni Muis, wartawan].