B. SOSOK JAYABAYA
Nama aslinya Jayabaya. Karena dia seorang raja (Kediri) maka sebutannya adalah Prabu Djajabaja. Dalam literatur antropologi, di era perkembangan 'agama' kuno Nusantara (Jawa: Kapitayan; Priangan: Sunda Wiwitan), hingga masuknya Hindu dan Budha, nama-nama tokoh sering menggunakan nama hewan yang 'powership' seperti buaya, singa, gajah, burung dll.
Masa pemerintahannya di Kediri tercatat selama lk. 30 tahun di abad XII antara 1.130 - 1.160 M; bergelar CRI MAHARAJA CRI DHARMMECWARA MADHUSUDANA WATARANINDITA SURTSINGHA PARAKRAMA DIGJAYOTUNGGADEWA.
Secara geneologis dia adalah keturunan langsung ke sekian dari Prabu Airlangga (Raja Kahuripan: lk. 1.019 - 1.042) melalui keturunannya Raja Kameswara. Kerajaan Kediri (1.042 - 1.222) adalah merupakan pemekaran dari kerajaan Kahuripan yang dibagi dua oleh Airlangga menjelang "lengser keprabon" untuk "mandhita" di pertapaan sunyi.
Kedua kerajaan baru itu adalah Jenggala (kelak menjadi Singosari) beribukota di Kahuripan; dan Panjalu (kelak menjadi Kediri) dengan ibukota Daha. Dalam perjalanan sejarah, akibat perseteruan antarahliwaris Airlangga yg. berakibat kecamuk perang saudara, akhirnya Jenggala takluk dan menjadi bagian dari Kerajaan Kediri.
Jadi secara teritorial-geografis, kerajaan Kediri sama dengan Kahuripan di masa awal. Dalam khasanah sastra dan cerita rakyat Jawa, kisah romantika percintaan, ketabahan dan kesetiaan pasangan orangtua Brawijaya yakni Prabu Kameswara dengan permaisurinya (garwa padmi) yg bernama Cri Kirana sungguh sangat legendaris. Legenda itu masyhur dikenal dengan RADEN PANJI INUKERTAPATI - DEWI GALUH CANDRA KIRANA. Cerita itu terungkap dalam Kidung Smaradahana karya Mpu Darmadja yang hidup di era itu. Beberapa dekade sebelumnya, telah lahir karya monumental Mpu Kanwa berjudul Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna) sebagai persembahan spesial utk peristiwa pernikahan Raja Airlangga dengan putri Raja Sriwijaya dari Palembang.
Mirip catatan sejarah emas kepenyairan (Syi'ir) di Jazirah Arab pra-Islam, di kala zaman Prabu Jayabaya hidup pula dua orang pujangga besar yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Atas perintah Jayabaya, pada tahun 1.157 Mpu Sedah menggubah naskah Kitab Bharatayudha ke dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.
Karya sastra lainnya gubahan Mpu Panuluh adalah Kitab Hariwangsa dan Gatotkacacraya. Sedangkan Kitab Bharatayuda juga disusun era Airlangga yg memeritahkan Mpu Sedah (1.157) utk menyadur Kitab Mahabharata (kisah pergulatan sifat mulia dg sifat dzolim antara Pandawa versus Kurawa) ke dalam bahasa Jawa kuno.
Bagian terpenting dlm babad Bharatayuda adalah Bhagawadgita (kidung Illahiyah) yang menarasikan petuah Sri Kresna (raja Dwarawati) kepada Arjuna dalam rangka mengamalkan dharma seorang ksatria utama.
Gambaran kondisi stabilitas politik-kekuasaan, ekonomi dan religiusitas di Kerajaan Kediri era Jayabaya banyak terekam dalam manuskrip Tionghoa, antara lain dalam Kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou Khu Fei seorang pengembara pada tahun 1.178.
Diceritakan bhw masy. Kediri menggunakan kain hingga bawah lutut, rambutnya dibiarkan terjurai. Rumahnya sangat rapi nan bersih dan berlantai ubin, dominan berwarna hijau dan kuning.
Sektor perekonomian disupport penuh oleh negara dan bertumpu pada bidang agraris (swasembada pangan dan tanaman industri khususnya kapas dengan budidaya ulat sutera) yang memacu perdagangan ekspor ke mancanegara.
Bidang keamanan sangat diprioritaskan dlm kerangka 'law enforcement'; tidak ada hukuman penjara melainkan sistem denda. Pencuri dan perampok dihukum mati. Mata uangnya terbuat dari perak; tapi maskawin dalam pernikahan masyarakat menggunakan emas. Tampaknya pengaruh Islam telah mulai merasuk di era Jayabaya.
Konon, Jayabaya pernah berguru kepada Syech Ali Syamsu Zain dari Jazirah Arab yg mengembara ke Nusantara. Dalam Jangka Jayabaya Musabar disebut Ngali Syamsujen. Dari Ulama inilah Prabu Jayabaya mampu menjabarkan RAHASIA DUNIA utk memrediksi masa depan dlm kitab ramalannya (*)
[Bersambung...]