Jumat, 28 Februari 2020

SEJARAH GUBERNUR JENDERAL BELANDA

GUB. JENDERAL BELANDA & INGGRIS DI INDONESIA

Oleh: Hendy UP *)

     Ketika Belanda pertama kali datang di Banten pada 23 Juni 1596 hingga 1609, kedudukannya murni berdagang dengan para Sultan di Nusantara. Dengan desakan akan perlunya sentralisasi administrasi, maka diangkatlah utk pertama kalinya GG dengan suatu Raad van Indie 1609.

A. PARA GOUVERNEUR GENERAAL BELANDA:

1. Pieter Both (1610-1614);
2. Cerrit Reynst (1614-1615);
3. Laurens Rezal (1615-1619);
4. Jan Pietersz Coen (1619-1623);
5. Pieter Carpentier (1623-1627);
6. Jan Pietersz Coen (1627-1629);
7. Jacques Specx (1629-1632);
8. Hendrik Brouwer (1632-1636);
9. Antonie van Diemen (1636-1645);
10. Cornelis van der Lyn (1645-1650); 11. Carel Reiniersz (1650-1653);
12. Mr. Joan Maetsuyker (1653-1678); 13. Ryklof van Coen (1678-1681);
14. Cornelis J. Speelman (1681-1684); 15. Johannes Camphuys (1684-1691); 16. Willem van Outhoorn (1691-1704); 17. Joan van Hoorn (1704-1709);
18. Abraham van Riebeeck (1709-1713); 19. Christoffel van Swol (1713-1718); 20. Hendrik Zwaardecroon (1718-1725); 21. Mattheus De Haan (1725-1729);
22. Mr. Diederik Durven (1729-1732); 23. Dirk van Cloon (1732-1735);
24. Abraham Patras (1735-1737);
25. Adriaan Valekenier (1737-1741);
26. Johannes Thedens (1741-1743);
27. Gustaaf WB van Imhoff (1743-1750);
28. Jacob Mossel (1750-1761);
29. Petrus A. van der Parra (1761-1775);
30. Jeremis van Riemsdyk (1775-1777); 31. Reinier De Klerk (1777-1780);
32. Mr. Willem Arnold Alting (1780-1796);
33. Mr. Pieter G. van Ov. (1796-1801); 34. Johannes Sieberg (1801-1804);
35. Albertus Hen Ricus W (1804-1808); 36. Mr. Herman W. Daendels (1808-1811);
37. Jan Willem Janssen (1811-1811);

B. PARA PETINGGI INGGRIS (SEMENTARA: 1811-1816)

1. Lord Minto (1811).
2. Thomas Stamfort Raffles (Luitenant Gouverneur: 1811-1816).
3. John Fendall (Luitenant Gouverneur: 1816).

C. GG BELANDA KEMBALI

38. Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen (1819-1826); 39. Hendrik Merkus De Kock, Luitntenan Gouverneur Generaal, (1826-1830);
40. Johannes G. van Den Bosch (1830-1833);
41. Joan Chretian Baud (1833-1836);
42. Dominique J. De Eerens (1836-1840);
43. Carel Sirardus Willem Graaf van Hogendorp, waarnemed (1840-1841): 44. Mr. Pieter Merkus, waarnemend (wd) (1841-1843);
45. Mr. Pieter Merkus, wd (1843-1844); 46. Jhr. Joan Cornelis Reynst (1844-1845);
47. Jan Jacob Rochussen (1845-1851); 48. Mr. George Isaac Bruce (wafat di Bld sebelum berangkat ke Nusantara); 49. Mr. Albertus Jacob Duymaer van Twist (1851-1856);
50. Charles Ferdinand Pahud (1856-1861);
51. Mr. Ary Frins, wd (1861);
52. Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Slect van Der Beele (1861-1866);
53. Mr. Ary Prins, wd (1866);
54. Mr. Pieter Myer (1866);
55. Mr. James Loudon (1872-1875);
56. Mr. Johan Willem van Lansberg (1875-1881);
57. Frederik S'Jacob (1881-1884);
58. Otto van Rees (1884-1888);
59. Mr. Cornelis Pynacker Hordyk (1888-1893);
60. Jhr. Karel Herman Aart van Der Wyck (1893-1899);
61. Willem Rooseboom (1899-1904);
62. Joannes Benedictus van Heutsz (1904-1909);
63. Alexander Willem Frederik Idenburg (1909-1916);
64. Mr. Johan Paul Graaf van Linburg Stirum (1916-1921);
65. Mr. Dirk Foek (1921-1926);
66. Mr. Andries Cornelis Dirk de Graaff (1926-1931);
67. Mr. Boninfacius Cornelis de Jonge (1931-1936);
68. Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stashouwer (1936-1942).

D. PARA KOMISARIS GENERAAL

1. Henrik Adriaan van Reede tot Drakenstein (1684-1692);
2. Mr. Sebastiaan Cornelis Nederburgh (1791);
3. Simon Hendrik Frykenis (1791);
4. Mr. Willem Arnold Alting (1791);
5. Johanes Siberg (1793);
6. Mr. Pieter G. van Overstraten (1796); 7. Mr. C. Th. Elout (1805-1806);
8. C.H. van Grasveld (1805-1806);
9. Mr. Cornelis Theodorus Elout (1816-1819);
10. Godert Alexander Gerard Philip Baron van Der Capellen (1816-1819); 11. Arnold Adriaan Buyskes (1816-1819);
12. Leonard Pieter Josef Burggraaf Du Bus de Gisignies (1826);
13. Johannes Graaf van Den Bosch (1833).

*)Muarabeliti, 27 Februari 2020.

[Ditukil dari buku "SEJARAH PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA", Karya Irawan Soejito, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976].

Kamis, 20 Februari 2020

TOKOH BUNG KARNO (2)

BUNG KARNO & HARI-HARI BERSEJARAH DI AWAL NKRI (2-HABIS)

Oleh: Hendy UP *)

● 27 November 1949:
Penyelenggaraan Konferensi Medja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda. Bung Hatta bertindak mewakili RI dan menandatangani dokumen perjanjian KMB.

● 17 Desember 1949:
Bung Karno dipindahkan ke Djakarta.

● 28 Desember 1949:
Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.

● 17 Oktober 1952:
Meriam tentara diarahkan ke Istana Negara yang dikenal dengan "Peristiwa 17 Oktober".

● 7 Juli 1953:
Bung Karno menikah (ke-3) dengan Ny. Hartini.

● 18 April 1955:
Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika dibuka Bung Karno di Bandung.

● Juli 1955:
Bung Karno menunaikan ibadah haji.

● 29 September 1955:
Pemilu I untuk memilih anggt. DPR.

● 15 Desember 1955:
Pemilu II untuk memilih anggt. Konstituante.

● 10 November 1956:
Pembukaan Sidang Konstituante di Bandung.

● 1 Desember 1956:
Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres.

● 21 Februari 1957:
Konsepsi Presiden diumumkan Bung Karno di Istana Negara.

● 1957:
Percobaan pembunuhan kepada Bung Karno yang dikenal "Peristiwa Tjikini".

● 14 September 1957:
Pernyataan bersama Bung Karno dan Bung Hatta.

● 15 Februari 1958:
Pemberontakan PRRI/PERMESTA meletus.

● 5 Juli 1959:
Dekrit Presiden tentang Pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945.

● 17 Agustus 1959:
Manifesto Politik (Manipol) RI dinyatakan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara.

● 1960:
Percobaan pembunuhan kpd Bung Karno dengan serangan roket ke Istana Negara.

● 30 September 1960:
Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB yang berjudul "To Build The World a New" dan mendapat sambutan luas.

● 1961:
Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno dg pistol ketika melaksanakan ibadah shalat Idul Adha di halaman Istana Merdeka.

● 19 Desember 1961:
Tri Komando Rakyat (Trikora) diumumkan di Yogyakarta.

● 3 Maret 1962:
Bung Karno menikah (ke-4) dengan Ratna Sari Dewi dari Jepang.

● 1 Oktober 1962:
Irian Barat (Papua Barat) diserahkan Belanda kpd United Temporary Executive Administration (UNTEA).

● 24 April 1963:
Pembukaan Konferensi Wanita Asia-Afrika di Jakarta.

● 1 Mei 1963:
Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI.

● 4 Mei 1963:
Bung Karno berkunjung ke Irian Barat.

● 21 Mei 1963:
Bung Karno menikah (ke-5) dengan Ny. Haryati.

● 10 November 1963:
Pembukaan Games of New Emerging Forces (GANEFO) yang pertama di Jkt, sebagai pesta olahraga bagi negara-negara berkembang untuk menyaingi pesta olahraga Olimpiade.

● 3 Mei 1964:
Dwi Konando Rakyat (Dwikora) diumumkan.

● 6 Maret 1965:
Pembukaan Konferensi Islam Asia-Afrika dibuka di Bandung.

● 18 April 1965:
Peringatan pertama Dasawarsa Konferensi Asia-Afrika di Jkt.

● 30 September 1965:
Gerakan kontra revolusi meletus di Jkt yang dikenal dengan "G-30S PKI".

● 1 Oktober 1965:
Para pahlawan gugur akibat pembantaian di Lubangbuaya oleh PKI.

● 11 Maret 1966:
Presiden Soekarno mengeluarkan SURAT PERINTAH SEBELAS MARET (Supersemar) kepada Menteri Pangad Letnan Soeharto utk mengendalikan keamanan negara.

● 20 Februari 1967:
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Djenderal Soeharto.

● 7-12 Maret 1967:
Bung Karno diberhentikan sebagai Presiden RI oleh MPRS setelah pidato pertanggunganjawaban yang berjudul "Nawaksara" ditolak MPRS.

● 21 Juni 1970:
Bung Karno wafat setelah dikenai tahanan rumah selama 3 tahun, di Wisma Yaso Jkt dan di Batutulis Bogor.

● 21 Juni 1979:
Peresmian Pemugaran Makam Bung Karno di Blitar oleh Presiden Soeharto.

● 14 Mei 1980:
Ibu negara Fatmawati wafat di Jakarta.  [*]

*) Muarabeliti, 20 Februari 2020.

TOKOH BUNG KARNO (1)

BUNG KARNO & HARI-HARI BERSEJARAH DI AWAL NKRI (1)

Oleh: Hendy UP *)

[Catatan ini ditukil dari: (1) Buku Seri Dokumenter "HARI-HARI TERAKHIR BUNG KARNO". Penerbit Vision-03, PT. Visi Gagas Komunika Depok; Jakarta, Agustus 2006, 66 hal. (2) Buku API SEJARAH: MAHAKARYA PERJUANGAN ULAMA DAN SANTRI DLM MENEGAKKAN NKRI (Jilid 1 dan 2), karya Ahmad Mansur Suryanegara. Penerbit Surya Dinasti, Bandung. Cetakan ke-1, edisi revisi, Maret 2016. Total 597 + 597 hal; (3) Buku "NEGARA PARIPURNA: HISTORISITAS, RASIONALITAS, DAN AKTUALITAS PANCASILA" karya Yudi Latif. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, cet ke-1, Jakarta, 2011. 667 hal].

● 6 Juni 1901 :
Soekarno lahir di Lawang Seketeng, Surabaya, Jawa Timur. Nama awal yang diberikan orangtuanya adalah Koesno.

●1915:
- Tamat Europeshe Lager School di Mojokerto, Jawa Timur.
- Soekarno dikhitan (sunatan/Islam).

● 1917:
Mendirikan Trikoro Dharmo yg kemudian berubah menjadi Jong Java.

● 1920:
Menikah (pertama) dengan Siti Oetari putri Haji Oemar Said (HOS) Tjokro Aminoto.

● 10 Juni 1921:
Tamat dari Hooger Burger School (HBS) di Surabaya.

● 24 Maret 1923:
Menikah (kedua) dengan Ny. Inggit Garnasih di Bandung.

● 25 Mei 1926:
Tamat dan lulus dari Technische Hoge School (THS) Bandung dengan gelar 'civiel ingeneur'. THS kelak menjadi Institut Teknologi Bandung.

● 1926:
Menulis artikel tentang "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme".

● 26 Juli 1926:
Mendirikan Biro Insinyur Soekarno & Anwari di Bandung (Jln. Dewi Sartika/Regensweg No. 22).

● 4 Juli 1927:
Mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI).

● 1928:
Mulai mengajarkan TRILOGI-nya yang terkenal dengan: Nationale Geest, Nationale Wil, Nationale Daad. Bahwa: "Revolutie is daad; Revolutie is niet een decreet van achter de schriff-tafel".

● 18 Agustus 1930:
Dihadapkan ke Pengadilan Kolonial di Bandung, dan keluar pidato pembelaannya "Indonesia Menggugat".

● 1932:
Mendirikan Biro Insinyur Soekarno & Rooseno di Bandung (Jl. Banceuy No. 18).

● 1934:
Dibuang ke Endeh Flores. Banyak belajar tentang Islam dan banyak menulis artikel ttg keislaman. Terbit risalah yang terkenal "Surat-Surat Islam dari Endeh". Menderita sakit malaria tropika; sehingga Moh. Husni Thamrin protes kepada Kolonial di Volksraad; dan akhirnya memindahkan Bung Karno ke Bengkulu.

● 1938:
Bung Karno dibuang ke Bengkulu. Aktif di organisasi Muhammadiyah, menjabat sbg Ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah Daerah Bengkulu; aktif menulis artikel tentang ke-Islaman.

● 9 Juli 1942:
Dipindahkan ke pulau Djawa.

● 9 Maret 1943:
Membentuk POETERA (Poesat Tenaga Ra'jat). Tampaknya Bung Karno berkolaborasi dengan Djepang (sebuah strategi) selama pendudukan Djepang. Fokus mempersiapkan tenaga rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan RI kelak.

● Juni 1943:
Menikah dengan Fatmawati binti H. Hasan dari Bengkulu (Tokoh organisasi Muhammadiyah).

● 1 Juni 1945:
Bung Karno menyampaikan pidato di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dikenal HARI LAHIRNYA PANCASILA.

● 22 Juni 1945:
Lahirnya Piagam Djakarta.

● 17 Agustus 1945:
Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

● 18 Agustus 1945:
Pengesahan UUD 1945. Bung Karno dipilih sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden pertama RI.

● 5 Oktober 1945:
Dekrit Presiden tentang pembentukan Angkatan Perang.

● 4 Januari 1946:
Bung Karno pindah Yogyakarta.

● 3 Juli 1946:
Usaha pembunuhan (pertama) terhadap Presiden Soekarno yg terkenal dengan "Peristiwa Tiga Juli".

● 25 Maret 1947:
Perjanjian Linggarjati oleh Sutan Sjahrir.

● 21 Juli 1947:
Aksi Militer Belanda Pertama.

● 17 Januari 1948:
Perjanjian Renville ditandatangani oleh Mr. Amir Sjarifuddin.

● 18 September 1948:
Pemberontakan PKI meletus di Madiun yang dipimpin oleh Muso.

● 19 Desember 1948:
Aksi Militer Belanda Kedua. Yogyakarta diduduki oleh Belanda. Bung Karno bersama2 pejuang pemimpin bangsa lainnya dibuang/diasingkan ke Brastagi dan Prapat SUMUT, dan dipindahkan ke Bangka.

● 6 Juli 1949:
Bung Karno dkk dikembalikan ke Yogyakarta setelah Perjanjian di Kapal "Roem van Royen".

[Bersambung...]

Rabu, 29 Januari 2020

RASIHAN ANWAR & NOVEL BEAU GESTE

ROSIHAN ANWAR: WARTAWAN, STORY-TELLER & NOVEL BEAU GESTE

Oleh: Hendy UP *)

     "Waratawan itu seharusnya juga seorang story-teller, penutur kisah dan penggembira khalayak". Ini petuah Rosihan Anwar (RA) ketika usianya mendekati 70 tahun, dan semacam obsesi beliau akan standar seorang wartawan di era milenial.

      Yaa, di era 1970 hingga 1980-an banyak wartawan sekaliber RA yang tidak hanya piawai memburu berita, mahir menganalisis setumpuk data, trengginas menyintesis ragam fakta dan fasih mengalkulasi kemungkinan rentetan fakta (baru); tetapi juga sangat jeli memilih diksi dalam menyusun narasi pemberitaan.

      Sekadar contoh untuk menyebut beberapa: Adam Malik, Goenawan Mohamad, Harmoko, Taufik Ismail, Karni Ilyas, Dahlan Iskan, Putut Tri Husodo dan 'temen gue' Suwidi Tono yang mantan news editor Sriwijaya Post dan kini menjadi penulis buku merangkap juragan penerbit Vision-3 di Depok.

      Anehnya, kebanyakan mereka bukan alumni Fakultas Sastra atau Sekolah Publisistik, tapi dari alumni apapun: teknik, ekonomi, pertanian dan bahkan fakultas kedokteran hewan dan pondok pesantren. Cak Nun dan Andrea Hirata adalah sekadar teladan tokoh. Jadi pada galibnya, profesi wartawan adalah profesi terbuka yang tidak mensyaratkan lulusan apapun.

       Bahkan di era 'home schooling' kelak, menjadi wartawan niscaya tak perlu-perlu amat ijazah, tapi lebih pada keahlian dan kemahiran spesifik: speed-logic, falsafah hidup, dignitas, kejujuran, sintaksis-morfologi bahasa plus sejuta kosa-kata!

      Misalnya: kecepatan merangkum narasi sebuah buku 300 halaman menjadi 3 lembar kuarto, doble spasi, ukuran font 12 dalam 30 menit. Mahir mengaplikasikan navigasi explorer, microsoft excel, dan membuat workbook serta keahlian searching & googling di dunia IT.

      Kembali ke sosok RA, beliau adalah wartawan yang melampaui jamannya. Beliau lahir di Sirukam Solok (Sumbar), 10 Mei 1922; dan wafat di Jakarta 14 April 2011 (88 tahun). Alumni Hollanch Indische School (HIS/SR) Padang 1935, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO/SMP) Padang 1939, dan Algemeene Midelbaare School (AMS/SMA) Yogya 1942. Pernah mengikuti kelas Drama Workshop di Yale University (1950) dan menimba ilmu di School of Journalism di Columbia University (1954).

      Mulai berkarir di dunia jurnalistik sebagai reporter "ASIA RAYA" dari 1943 - 1945. Ada belasan koran dan majalah baik di dalam maupun luar negeri yang pernah beliau geluti sebagai reporter dan wartawan. Puncak karirnya adalah menjadi pendiri sekaligus Pemred Majalah "SIASAT" (1947-1957) dan harian "PEDOMAN" (1948-1961 dan (1968-1974) yang kemudian dibredel pasca-MALARI 1974.

      Setelah mengalami 'kepahitan' politik Orde Baru, beliau lebih menikmati sebagai kolumnis, editor dan reporter free-lancer untuk penerbitan luar dan dalam negeri. Tidak heran jika sosok RA dikenal sebagai Tokoh Pers, Sejarawan sekaligus Sastrawan dan Budayawan.

         Sebagai pembaca literasi yang tamak dan cepat menuangkannya dalam aneka gaya tulisan yang lugas, RA dikenal sebagai sosok penulis-reporter yang prolifik (subur), menulis apa saja yang fenomenal: evergreen, momental dan sustainable stories. Ketika menjelang ultahnya ke-70 (1992), terdengar "operasi senyap", bahwa rekan-rekannya, antara lain: Jakob Oetama, Djafar Assegaf, Sabam Siagian dan Tribuana Said akan menghadiahi buku tentang dirinya, maka ia teringat sebuah novel Beau Geste karya PC Wren. Itu bahasa Prancis yang berarti sikap ramah nan mulia.

        Novel itu kemudian diangkat ke layar lebar oleh sutradara WA. Wellman pada tahun 1939. Sang bintang utama Gary Cooper, Ray Milland dan Robert Preston mampu memerankan operasi "senyap nan mulia" di tengah dalu, demi memperebutkan permata yang ternyata palsu. Operasi senyap rekan-rekannya itulah yang menginspirasi RA menghadiahi ulang tahunnya sendiri dengan menyusun buku "INDONESIA 1966-1983".

        Buku itu melengkapi buku karya beliau yang lain: Kisah-Kisah Zaman Revolusi (1975), Sebelum Prahara (1981), Menulis dalam Air (1983), Musim Berganti (1985) dan Perkisahan Nusa (1986). [***]

*) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 16 Januari 2020

DOKTER DJAWA ITU SETARAF SMP

DOKTER DJAWA ITU SETARA SMP SEKARANG

Oleh: Hendy UP *)

     Alkisah, awalnya otoritas VOC tidak mengontrol persoalan religio pribumi Nusantara termasuk institusi pendidikan tradisionalnya, khususnya pesantren.

     Selama hampir 200 tahun (1602-1800) VOC bercokol, ada semacam arogansi-superioritas yang diyakini bahwa dalam kamus evolusi modernisme yang mereka anut: jika masyarakat modern pasang, maka kepercayaan dan ketaatan terhadap agama akan surut (Yudi Latif, 2011).

      Namun demikian, ketika terjadi pergeseran ideologi Eropa dengan munculnya pertentangan antara pandangan sekuler di Belanda dengan hasrat Kolonial untuk meredam perlawanan sporadis pribumi yang berbasis agama, maka dimulailah gerakan 'religiosasi' ruang publik. Pada tahun 1664, VOC membatasi perjalanan pribumi untuk berhaji ke Makkah.

        Ketika upaya memberangus perlawanan pribumi yang dimotori Pesantren tidak berhasil, maka pasca- VOC dibubarkan (31 Desember 1799) serta merta Gubernur Jenderal HW Daendels menerbitkan Dekrit (1810) yang membatasi bepergian para ulama walau hanya di dalam wilayah Nusantara.

     Tonggak penting perubahan politik-pendidikan era Kolonial, berawal dari kemenangan rezim Liberal di Belanda pada tahun 1848. Ruang publik sekuler mulai terbangun di Nusantara, yang menjelmakan antara lain: institusi sekolah, lembaga penelitian, pers vernakular dan pelbagai penerbitan (print capitalism).

       Guna mendukung liberalisasi ekonomi-industri yang 'modern' di Nusantara dan memperbesar pundi-pundi kolonial, maka diperluaslah layanan birokrasi sipil untuk pribumi dan kolonial. Sedari awal disadari, bahwa gerakan pendidikan ini bersifat dilematis yang bisa menggerogoti superioritas kolonial dan berujung pada gerakan masif nasionalisme pribumi.

     Maka disusunlah desain pendidikan yang berprinsip segregatif-etnik dan hierarkis-status yang anti-asimilasi, elitis dan dualistik. Desain ini terutama dirancang oleh Snouck Hurgronye, dan agaknya mengukuhkan kesan untuk menghadang hegemoni pesantren dan gerakan tarekat sebagai Gerakan Pan-Islamisme Pribumi.

     Menurut catatan sejarawan Sartono Kartodirdjo (1984) dalam buku "Pembrontakan Petani Banten 1888" setidaknya terdapat 300-an Pesantren yang terkenal kala itu, antara lain: Pesantren Lengkon dan Punjul di Cirebon, Dayeuhluhur di Tegal, Brangkal di Bagelen, Tegalsari dan Banjarsari di Madiun, dan Sidacerma di Surabaya.

     Pada tahun 1818 mulailah dibangun model pendidikan di Nusantara. Mula-mula didirikan ELS (Europesche Lager School) untuk anak-anak kolonial; dan sedikit anak bangsawan pribumi (anak raja). Untuk etnis Cina dibangun HCS (Hollandsch Chinese School), dan etnis Ambon adalah satu-satunya yang diberi keistimewaan dengan dibentuknya ABS (Ambonsche Burger School) atas loyalitas tingginya kepada Kolonial Belanda (AM Suryanegara, 2015).

      Pada tahun 1907, barulah didirikan sekolah untuk pribumi Islam dengan 3 tahapan dan kejuruan, yaitu: Lager Onderwijs (rendah), Muddelbaar Onderwijs (lanjutan), Hooger Onderwijs (tinggi), dan Vokonderwijs (kejuruan). Khusus sekolah rendah terdiri 6 model. Menurut Soemarsono (1986) dalam buku "Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman", ke-enam LO itu adalah: (1) Indische School/Sekolah India 5 th, (2) Volk School/Sekolah Desa 3 th, (3) Vervolg School/Sekolah Rendah 2 th, (4) Schakel School/Sekolah Peralihan 5 th, (5) Hollanch Indische School/Sekolah India Belanda 6 thn, dan (6) Hoofden School (Sekolah Raja).

      Selanjutnya, untuk memenuhi tenaga kerja di perkebunan, didirikan Middle Onderwijs (menengah) yakni Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbaare School (AMS) setingkat SLTA. Di sektor kesehatan, pada tahun 1902 didirikan School Tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA). Muridnya berasal dari lulusan SR 5 thn, lama studi 3 tahun dengan gelar Dokter Djawa.

      Pada tahun 1913, diubah menjadi Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), muridnya lulusan MULO dengan masa studi 7 tahun; dan gelarnya diubah menjadi Indische Artsen.

*) Muarabeliti, 16 Des 2020

Jumat, 03 Januari 2020

CATATAN RABU TAHUN BARU 2020

CATATAN RABU DI TAHUN BARU

Oleh: Hendy UP *)

     Sedari masa kecil hingga remaja di akhir dekade 70-an, aku memang tak terbiasa dengan tradisi 'hura-hura' tahun baruan. Yang aku ingat, hanya tumpengan Sedekah Bumi 1 Muharam-Syuroan, atau Mauludan di Langgar-Mushola plus takiran.

     Maklumlah... aku dibesarkan di pojok kampung Indonesia yang sangat kampungan. Di ujung Banyumas Barat yang bahasa ibunya gak' genah. Campursari kultur Banyumas yang lugas-memberontak, plus Priangan Timur yang mulai kehilangan imaji kelenturan Sundaismenya.  Dalam kajian budaya, mungkin terkategori subkultur pesisir PANSELVA (Java) antonim dari PANTURA yang lebih masyhur.

       Dalam khasanah sejarah, lahan kami yang sangat subur itu barangkali karena ada tumpukan remah al-janazah dan genangan darah dendam pascaperang Bubat (1357 M) di masa kelam Majapahit versus Kerajaan Sundayana.

       Konon gara-garanya sepele. Soal salah paham atau strategi (?) Patih Gadjah Mada yang ambisius-ekspansionis, untuk menguasai tanah Sunda dengan melamar Dyah Pitaloka binti Linggabuana yang akan dipermaisuri oleh Mas Hayam Wuruk. Yaa... itu sejarah yang masih 'debatable', tapi silakan baca sinopsis tarjamah: Serat Pararaton atau Kidung Sundayana!

     Okelah kita tutup sementara sejarah dahulu kala! Kembali ke fokus gesah. Aku sangat mafhum bahwa aku tak biasa pesta tahun baruan. Aku lahir dari petani miskin. "My parent is a yeoman, cropter, or small peasant. Not a small farmer, what more farmer". Aku kadang 'kesal' dengan Tim Programer bahasa Google, yang masih dungu menerjemahkan 'petani kecil' sebagai 'small farmers'.  Mungkin mereka belum baca buku James C. Scott "The Moral Economy of the Peasant", atau yang lebih update "The Rational Peasant" nya Samuel Popkin.

     Sembari melupakan kedunguan mereka, aku baru sadar bahwa malam ini adalah malam tahun baru. Agak malam, aku buka gawai. Maka berdentinganlah notifikasi: e-mail, WA, twitter, tempo.co, linggaupos.co.id di dapur buri yang sunyi. Sudah limatahunan, kami MANULA hanya berdua, tanpa sesiapa, di rumah yang hampa.   Sesekali di akhir pekan ada para cucu yang sibuk-masyuk dengan dunianya. Kami sering tertawa-ria bagai melepas sendawa.

      Gerimis malam masih mengintai. Tak ada bunyi petasan atau gendang dangdutan. Mungkin karena himbauan para Bupati/Walikota yang mujarab, yang kubaca di WAGrup pejabat Pemda. Nomor HP-ku nyasar di Grup mereka, mungkin lantaran namaku masih tercatat sebagai CEO-SATPAM sebuah lembaga non-organik Pemda.

        Yang memrihatinkan menjelang malam, baik di medsos maupun postingan member WAG yang kuikuti adalah: hujan deras di Bogor-JABODETABEK, kali Ciliwung yang marah-serapah dan warning Jakarta yang, siap tak siap bakal melumpuh di Tahun Baru. Aku mulai memantau Google Map kawasan Jakarta yang potensial banjir utk memastikan tak melanda pemukiman anak-cucuku.

    Untunglah pagi harinya ada instruksi Gubernur Anies yang berdurasi 3,26 menit tentang kewajiban moral para aparatnya. Rabu di awal tahun baru, kami tak kemana-mana. Aku tahu, jalanan Mirasi bakal macet seperti dua tiga tahun lalu. Sebagai orang yang mukim di kawasan eks Kolonisasi-Mirasi, yang menjadi daerah incaran wisata di libur panjang, aku belajar dari orang Bandung mana kala menjelang Jumat hinggau Ahad petang:
     "Silakan kalian warga Jakarta datang bermacet-macetan ke Lembang, kami mah tos bosan, dan lebih nyaman menikmati hidup dengan majelis pengajian....".

     Agak siang, agak jenuh memandang angsa berenang dan tupai berlompatan riang, sembari memungut jatuhan durian di laman belakang, aku beranjak ke perpustakaan. Agak berdebu nan centang-perenang. Lalu kuambil sebuah novel di rak sudut yang kesepian.

        Kubuka serampangan, di akhir halaman, di paragraf yang pungkasan: "Langit memang mulai memerah di tepi lereng Pegunungan Kendeng. Senja akan segera turun!" Itu kata Umar Kayam dlm menutup novel Sang Priyayi, 1991. Dua puluh tahun yang lalu, ia berkarya. Dan hari ini aku membaca ulang karyanya. [*]

*) Muarabeliti, 2 Januari 2020
    

Sabtu, 28 Desember 2019

WESEL DARI LANGIT

WESEL DARI LANGIT

Oleh: Hendy UP *)

      Alkisah, awal Juli 1992, di tengah kesibukan kantor Dinas Pertanian Rakyat Kab. Musirawas di Talangjawa Lubuklinggau, bergesahlah temanku Saeyono sembari menekan-nekan font mesin tik Oliveti yang berisik-misik. Orkestrasi ruangan semakin berantakan partiturnya, karena ditimpali suara kunyah gorengan ubikepar dan denting sendok-gelas kopi yang menggairahkan kerja.

     Gesah Saeyono itu tentang penyakit "aneh" yang diderita Mulyadi bin Kasimin di Desa Samberejo Curup Provinsi Bengkulu. Sayang, kala itu belum ada HP Android yang bisa memfoto objek apa pun, sehingga aku hanya menangkap tutur cerita dan mengimajikannya setara dengan daya elaboratif nalarku.

     Kata Yono, kaki kanan Mul bengkak sebesar ember karena "keseleo" saat main bola. Setelah berulang-ulang diurut dukun kampung, lalu berobat ke RS-DKT Lubuklinggau, namun bengkaknya tak kunjung kempes. Setelah terkuras uangnya, Pak Kasimin yang memang miskin, akhirnya "menggeletakkan" anaknya sembari menunggu keajaiban Tuhan. Pak Kasimin "pasrah-bongkokan" karena tak mampu lagi berikhtiar secara medikal yang berimbas ekonomik.

      Cerita Yono itu sungguh membuat aku berempatik, tapi aku tak bisa berkutik untuk membantu sepeser duit. Maka malam harinya, di tengah kesunyian dusun Muarabeliti, tergeraklah aku menulis artikel "humanistik" untuk Tempo. Kala itu memang aku jarang absen membaca majalah mingguan Tempo untuk melengkapi berita harian koran Kompas yang harga langganannya masih Rp 30 ribuan per bulan.

      Pada tgl 25 Juli 1992 tulisanku dimuat Majalah Tempo tentang penyakit aneh yang diderita Mulyadi. Kira-kira dua mingguan setelah artikelku di muat, datanglah wesel Rp. 30 ribu dari Tuan X di Jakarta untuk membantu pengobatan Mulyadi.

        Setelah kucairkan di kantor Pos bersama Saeyono si penutur cerita, aku pesankan agar amanah Tuan X ini segera disampaikan kepada Mulyadi di Curup, yang berjarak sekitar 40-an km dari Lubuklinggau. Beberapa hari kemudian bergegaslah Yono ke Curup. Namun apa nasib: sakit Mulyadi telah sembuh total, karena penyakitnya telah diangkat oleh Sang Maha Pemilik Penyakit beberapa hari sebelum wesel tiba. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un!

      Gesah humaniora ini menyajikan  "ibroh" (pada era itu) tentang: sistem jaminan sosial-kesehatan oleh negara, kondisi kemiskinan akut masyarakat, dan kepedulian pemerintahan (lokal-regional-nasional) atas derita warganya.

     Ketiga aspek tersebut sudah banyak diseminarkan di hotel berbintang oleh para petinggi negeri, baik yang birokrat maupun teknokrat; bahkan dihadirkan pula para konglomerat yang siap peduli untuk "membantu" negeri ini dengan sistem "ekonomik-ribawi" jangka panjang, putik-bunga berlipat-lipat seperti perangai IMF, CGI dan konco-konconya.

      Okelah, itu soal klasik! Dan aku lebih tertarik untuk bergesah tentang aspek lain: semangat "solidaritas- spiritualnya". Tuan X di Jakarta, yang tergerak jiwanya utk mengirim wesel, agaknya orang yang terpilih oleh Malaikat untuk mewakili jutaan ummat-Nya bahwa masih ada keikhlasan yang rapat-rapat disembunyikan. Di masa kini, orang justru berlomba memamerkan kesalehannya setiap saat di status instagram dan WAG.

       Tuan X niscaya bukan orang yang baru belajar agama tentang bagaimana praktik berbagi. Akan tetapi sedang mengamalkan metode "berperang" melawan "keserakahan" ibukota Jakarta yang serba "ekonomik-ribawi" nan menuhankan dunia. Dan kini mulai "dilawan" oleh para "homo-spiritualis" baik dari kalangan Islam, Katholik, Hindu-Budha dan komunitas yang lain.

     Soal-soal kemanusiaan, sering kali berhimpit dengan himpunan lingkar keagamaan kita. Jika kita tak cerdas menyintesisnya, lalu tak bijak menyikapinya, niscaya kita terjebak dalam "perselisihan", bahkan menjurus kepada "pertengkaran teo-ideologis".

      Kasus kemanusiaan di Uighur dan dentum meriam yang meluluh-lantakan kawasan Allepo pagi tadi, sungguh bukan lagi persoalan agama. Tapi  telah melampaui jerajak teologia yang mengisyaratkan perlunya solidaritas-kemanusiaan. Allohu a'lam! [*]

*) Muarabeliti, 28 Desember 2019

Jumat, 13 Desember 2019

GELIAT KULTUR MASY. MUARABELITI

GELIAT KULTUR MASYARAKAT IBUKOTA MUARABELITI

Oleh: Hendy UP *)

      Antara tahun 2009-2012 aku diberi amanah oleh The Big-Bos sebagai Chief of SATPAM sebuah kantor OPD Pemda di Muarabeliti. Salah satu anak-buahku yang paling setia dalam mengamankan kantor siang-malam, namanya Yono. Bukan main Yono ini: fisiknya kekar-mekar, trengginas mengoperasikan 'lawn-mower' dan piawai menggoreng pisang lanang. Dan jangan sepelekan: dia pernah memiliki SIM B1-Umum di era reformasi, sehingga mampu mengejar RISAU sekencang dia meluncurkan truk gandeng 22 roda di Toll CIPALI.

    Kabarnya, Yono telah "menyatpami" kantor itu sejak tahun 2007, dua tahun sebelum aku di-SATPAM-kan di situ. Sekadar catatan, kantor Pemda yang muawal dibangun di Muarabeliti (2006) adalah: Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Dinas Pertanian yang ku-SATPAM-i.

      Konon, salah satu pertimbangan ditunjuk sebagai CEO-SATPAM di situ, karena aku pernah mukim di wilayah itu hampir 30 tahun; dan bertalian secara emosional-genealogis dengan warga dusun. Mungkin aku dianggap memahami lekuk topografi wilayah hamparan DAS Beliti, Kelingi, Satan, Temam, Kilan, Terap, Ululesing, Sekunyit, hingga ke Sungai Miyang dan Belua di ujung Durianremuk.

     Atau mungkin, aku dianggap cukup paham tentang sejarah dan dialektika "sosio-localpolitiko" sekitar ibukota yang "agropolis": dari jaman kemargaan Proatin Lima jauh sebelum De Meye menjabat Controleur Onderafdeling Musi Ulu tahun 1940-an hingga era "bedol-kantor" dari Tabapingin ke Muarabelitibaru.

    Alkisah, pagi itu pasca menjadi IRUP apel Senin, datanglah Yono tergopoh-gopoh: "Lapor nDan! Ahad petang kemarin, buah mangga dan lengkeng kita dipanen orang". Maksud Lu, dimaling?, tanyaku spontan. "Bukan dimaling nDan, dipanen orang! Aku kejar nDan! Mereka lari ke repuhan belakang. Tapi tiga anak-anak tanggung berhasil kuamankan", lapor Yono bersemangat, seakan ingin menunjukkan kredit point ke-SATPAM-annya, bahwa dia benar-benar layak mendapat anugrah medali "PRASETYA KARYA SEKURITAS".

      Lalu diapakan ketiga anak itu?, selidikku. "Terpaksa kulepas, nDan! Karena mereka beralasan bahwa kebon buah itu adalah Kebon Mang Endi. Aku khawatir mereka adalah keluarga Komandan dari Dusunbaru", jelas Yono. Aku tersenyum dan bersijingkat memeriksa setiap tegakan pohon. Yono menguntitku sembari mendeskripsikan ciri-miri anak Dusunbaru yang tertangkap.

     Bersiap hendak ke dusun menemui orangtua si pemanen buah itu, langkahku tersanggat, lantas sejenak bermenung-geli. Pertama, Yono tidak menyebut "dimaling", tetapi "dipanen-orang". Ia menggunakan diksi eufemisme-amelioratif dengan dua kemungkinan: utk menghormati aku jika benar mereka bertalian keluarga dengan istriku; atau memang Yono tak biasa mengoleksi kosa-kata bernuansa negatif-peyoratif.

     Kontras dengan kaum milenial kini yang acap menerakan "status dan serapah" nya di WA-Instagram dengan diksi kasar nan lebay. Jadi, Yono adalah prototipe SATPAM yang beradab. Bukankah "nur-keadaban" perilaku tidak hanya harus dipancarkan dari pejabat-petinggi atau orang suci?

     Kemudian aku lebih jauh bermenung kontemplatif. Begini: secara kultural, anak-anak warga "Dusun-Ibukota" belum merasa berada di kawasan ibukota, sebagai "enclave" dari wilayah dusunnya. Kawasan perkantoran masih dianggapnya sebagai "territorial-genealogis" dalam asas hukum adat nenek-moyangnya. Yakni, area tempat mereka "berayao- kume", sembari berburu: diyan, macang, rambay, nere, kemang, payang, kweni, putaran, lobi-lobi, tehung dan buahan lainnya.

      Maka kurang eloklah rasanya, jika SATPAM menangkap anak-anak dengan delik KUHP hanya karena "memanen" buahan di perkantoran. Memang, proses transisi kultural dari "klasik-kedusunan" ke "modernitas-milenial" memerlukan waktu panjang, karena menyangkut perubahan fondasi kebudayaan dan hukum.

     Ya, mirip gerakan pemikiran baru ketika menafsirkan "Philosophische Grondslag" dalam dialektika asas Pancasila. Yang niscaya masih akan panjang diperdebatkan. Allohu a'lam!

*) Muarabeliti, 12 Desember 2019.

Rabu, 27 November 2019

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

Oleh: Hendy UP *)

      Sebagai orang kampung nun jauh di Muarabeliti-Sumsel yang belajar ngelmu 'agro~psikologi', menganalogikan KANGEN itu mirip tumpukan unsur phosfor di dalam tanah. Kata Buckman, sang pakar tanah, hingga kiamat kurang dua hari pun, unsur phosfor itu tak akan bermanfaat, jika tak berbentuk senyawa ortophosfat.

       Katanya, bulu-bulu akar (radix pili) yang berujung pada epidermis folikular dalam anatomi flora, hanya akan mampu menjerap fosfor berkomposisi H2PO4 dalam ikatan ortophosfat.

        Sedangkan "REUNIAN" itu menyerupai sosio-teknologi modern sebagai ikhtiar pengutuhan kembali sebuah peradaban komunitas, kaum atau ummat yang pernah menyatu. Bukankah naluri kita selalu ingin menikmati masa lalu? Betapa pun konyolnya, gilanya? Sedihnya, senangnya?

      Karena kita yakin masa lalu mustahil hadir kembali, maka reaksi kita adalah menghadirkan memori masa lalu yang jauh. Mungkin jauh sekali! Sejarak Kampung Edensor di Inggris Utara hingga Kampungku Cimanggu di ujung Banyumas Barat. Yaa, semacam recollecting memories in the past!

        Masih meminjam istilah ilmu pertanahan; ketika momen reunian terjadi, hakekatnya adalah mengondisikan area tanah (yang menumpuk phosfor) kepada nuansa potensial-Hidrogen (pH) yang pas, sehingga terbentuk ortophosfat.

       Maka, unsur-unsur phosfor kerinduan itu meleburlah! Rasa kangen itu membuncahlah! Tawa-ria itu gelorakanlah! Tangis-rindu itu meledaklah! Airmata-syahdu itu melelehlah! Lalu dalam riuh-rendah yang membeliung kelenjar jiwa persahabatan itu, akan kembali tenang nan syahdu. Tanpa geriak nan hiruk-pikuk kekanak-kanakan lagi.

      Namun hati2, dan ingatlah: bahwa teman rindu kita yang berlainan jenis itu bukanlah mahrom kita. Stoppp.... berpelukan! Sesungging senyummu yang tulus dan gestur kerinduan yang tak bisa kita 'bikin-bikin', adalah lebih mulia ketimbang berpelukan erat bagaikan kaum tak beradab dan ketinggalan ta'lim!

      Cukuplah satukan telapak tangan, seperti "mojang Priangan" bersalaman, tanpa sentuh jemari tangan. Bagi yang sama-sama non-Muslim, silakanlah! Atau sesama jenis, monggo-kerso dendam berpelukan: sa'kuate, sa'karepe!

       Penentu titik ekuilibrium dalam momen reunian, boleh jadi postulat dan variabelnya multi ragam. Ada yang ingin mendaki bukit monumen kebersamaan: di ruang kelas, di kantin, di lapangan praktek traktor, di ruang sunyi laboratorium kimia. Atau bahkan ada yang ingin ketemu pacar lama yang tak berjodo. Ada belasan atau bahkan puluhan monumen-memorial yang momennya ingin terulang.

       Hanya sehari berkumpul, tentu ada pengelompokan kaum reunian. Secara alamiyah, gerombolan kelas dan tahun angkatan akan terbentuk. Pasti! Dalam waktu yang relatif pendek, kita tak mungkin menyapa semua. Ada semacam geometrika keakraban yang terpotong oleh garis lengkung yang lain. Sebutlah prioritas memorandum yang pernah terbangun dulu. Entah tentang apa, sepanjang rentang waktu yang menahun.

       Sependek memoriku, paling banter hanya mampu mengingat monumen wajah (dan perangai) teman sekelas yang akrab, teman sesekolah segang kos-kosan, adik kelas yang pernah diplonco dan berkesan, kakak kelas yang pernah berbaik hati. Selebihnya adalah teman alumni yang statusnya ibarat ketemu di ruang tunggu Bandara atau lapangan kampanye Pilkada. Tak saling kenal secara person-emosional.

        Sobatku sealumni, aku berharap kita dipertemukan di arena 'peleburan rindu' kelak. Kita akan menyatu dalam tungku panas peluruhan karat yang telah mewindu membelenggu jiwa. Setidaknya akan merasakan suasana lampau di sekitar Tugu Keresidenan, yang mungkin agak berlumut dan sedikit angkuh.

       PURWOKERTO ...oh Purwokerto! Kota rantauku 44 tahun lalu. Ada jutaan jejak kaki tlah tertimbun masa dan bau tetesan keringat menguyup baju seragam perjuangan!  Sobatku, jika niatku tak kesampaian ke Reunian kelak; karena berbagai kemungkinan, aku hanya mampu bergumam: "Someday you will know, that no one can love and miss you, as much as I do".

*) Blogger: www.andikatuan.net.
     [Muarabeliti, 3 Sept 2019].

Senin, 25 November 2019

JERAMBAH BARU NIUK

JERAMBAH NIUK

Oleh: Hendy UP *)

     Sejak awal November 2019 ini, alhamdulillah jembatan beton Tanahperiuk sudah fungsional walau belum berambu-lalin dan diresmikan Pak Gubernur Deru. Jembatan milik provinsi yang relatif pendek bentangnya namun panjang masa pengerjaannya itu, merupakan penghubung dua wilayah otonom, yakni Kab. Mura dan Kota Lubuklinggau. Rasanya hampir tiga tahun, besi gelagar itu "nyelonjor-bedegang" terlunta-lunta nan mengenaskan jiwa.

     Lambannya pembangunan Jerambah Niuk itu, kabarnya disebabkan negosiasi alot antara pemilik tanah warga Dusun Niuk dengan Pemerintah Provinsi Sumsel. Jerambah ini berada di jalan provinsi yg berpangkal di Simpangperiuk (Lubuklinggau) lalu meliuk membelah kawasan Tugumulyo (eks Kolonisasi), nyambung ke kawasan Kec.  Sumberharta hingga di Simpangterawas sepanjang lebih kurang 22 kilometer.

      Sebutan "JERAMBAH NIUK" itu adalah bahasa Lembak Silampari, yang bermakna Jembatan Tanahperiuk. Apakah kosa-kata 'jerambah' ada kaitan dengan bahasa Belanda "de brug" (jembatan) yang mengalami perubahan gramatikal-fonetik seperti halnya "Buitenzorg" yang berubah menjadi Bogor? Wallohu a'lam!

     Arkian, dahulu kala Jerambah Niuk itu berupa jembatan gantung yang dibangun Belanda seiring dibukanya Kolonisasi Toegoemoeljo antara 1937-1940; dan paralel dengan masa pembangunan Watervang 1939-1941. Menurut para orangtua (saksi sejarah), jerambah gantung itu posisinya persis di jembatan baru sekarang ini.

       Konstruksi gantungannya menggunakan 'baja seling' dan lantai papan, sedikit 'beguyang-guyang' dan bisa dilalui mobil kecil untuk mengangkut material dan hasil bumi dari dan menuju kawasan Kolonisasi Toegoemoeljo. Sekitar tahun 1960-1962 jerambah gantung itu pernah putus (Biografi Bupati Ibnu Amin, 2005, hal. 24). Menurut mBah Keling warga Kartomas (77 thn) yang pernah ikut menjadi kuli bangunan Jerambah Niuk, jembatan lama (kini masih fungsional) dibangun pada tahun 1971 hingga 1972. Persis serempak dengan Jembatan Musi Tebingtinggi, yang berjajar dengan jembatan rel Kereta Api sekarang.

      Di tengah masa pengerjaan jerambah Niuk lama, pernah terjadi banjir-bandang Kelingi, sehingga tiang dan gelagar penyangga sementaranya hanyut-lanyut berantakan. Maka terjadi hambatan teknis beberapa pekan, karena mengganti tiang penyangga baru dari batang kelapa berikut kawat behel pengikatnya. Material tanah timbunan untuk oprit abutment jembatan diambil dari lahan warga, dengan harga angkut borongan seringgit (Rp 2,50) per kubik galian tegak. Konon, pemborongnya berasal luar daerah, mungkin dari Jawa dengan manajer lapangannya bernama Prajitno.

      Namun sayang, kokohnya Jerambah Niuk yang baru ini belum didukung oleh pelebaran jalan yang memadai, baik dari arah Simpangpriuk maupun dari Siringagung khususnya sepanjang Dusun Niuk. Kita maklum, bahwa jalan milik provinsi itu dirancang sekitar 80 tahun yang lalu. Untuk pelebaran jalan sepanjang Dusun Niuk memang agak problematik. Ongkos sosialnya cukup tinggi, khususnya terkait dengan prosesi Pilkada Gub/Bupati yang seringkali berdampak nyata terhadap elektabilitas para kandidat, jika dianggap bertentangan dengan hak msyarakat pemilih.

       Satu-satunya alternatif adalah membuka ulang dokumen perencanaan jalan provinsi, yang dulu pernah digagas membuat jalur alternatif: yakni dari Bundaran Agropolitan Muarabeliti - Kampung Bali - Airsatan - terus 'shortcut' ke Jalan Baru Siringagung (via persawahan), menuju Petanang melalui "Jalur Simpanglima Sirgung" yang kini masih berjolok "SIMPANGBINGUNG".

       Ini sekadar pikiran liar-liur nan sedikit ngawur. Allohu'alam bishawab!

     *) Blogger: www.andikatuan.net    [Muarabeliti, 25 November 2019]