Rabu, 05 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (1)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (1)

Oleh: Hendy UP *)

A. Pengantar

     Sungguh aku merasa bangga lahir di desa! Bahkan di sebuah dukuh, kampung atau dusun. Anda pasti mafhum, di tahun 1957 itu, sangat sedikit ~ bahkan mendekati nol ~ penghuni desa yang berstatus pegawai negeri, swasta, yayasan, konsultan, apatah lagi anggota dewan yang berjas-dasi biru kupu-kupu.

     Kala itu, satu-satunya jabatan negeri yang kukenal adalah guru. Oh ya, satu lagi: klerek! Ada sepupu Neknang yang kupanggil mBah Kakung, yang setiap hari, bertahun-tahun hingga pensiun, naik sepeda ontel sejauh lima kilometeran (pp) dari kampungku ke kantor kecamatan.

     Nun jauh di timur laut kampungku ada tembok agung meraksasa, menghijau-biru bertapis gumpalan awan. Membatasi jarak pandang siang, menyembulkan gerak pelan volatile fatamorgana dan menghilang menjelang petang. Lalu menyisakan elun asap jerami yang membumbung langit nan membakar semangat jiwa kaum tani.

     Di saat kemarau panjang, di temaram suasana subuh yang mengajuk kalbu, tampak gunung-gemunung membagikan aroma sengak belerang-magma dari lubang-lubang kawah kaldera. Itulah pegunungan Baturaden yang mengokohkan paku bumi setinggi 4.328 meter: Slamet, namanya! Gunung terbesar di pulau Jawa.

     Di saat 'mongso kasongo', ketika musim halilintar hingar-menyambar, di halaman kampungku terbentang karpet alam: hijau-kekuningan nan semakin menguning. Atau, di saat pageblug korona, eh bukan; maksudku pandemik wereng atau tikus, rona hamparan itu kadang mencoklat-kekuningan.

     Barangkali, hamparan kuning itulah yang menginspirasi Pak Harto, atau Pak Suhardiman (salah satu pencetus Sekber-Golkar dari SOKSI) yang menggabungkan semiotika kokohnya akar-tunggang beringin yang dilatari kesuburan kuning rerumputan Oryza sativa. Kala itu, niscaya mereka berpikir: asal jangan ada pageblug wereng coklat 'Nilaparvata lugens', atau si tikus 'Rattus argentiventer, tiomanicus apatah lagi Rattus tanazumi.

     Di pangkal peradaban manusia, di pojok bumi manapun, dalam kajian antropologi- budaya, geologi, arkeologi, genetika, linguistik dan foklore, bahwa komunitas kuno itu mula-mula lahir di desa. Bermula desa pinggiran pantai, terus di pelipir muara sungai semakin ke hulu hingga ke lereng perbukitan yang terjal meliuk-gunung melempit-bukit. Itu memakan waktu jutaan bahkan milyaran tahun di era prasejarah. Ini setidaknya kata ilmuwan Stephen Oppenheimer yang menulis "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia".

     Desa, kampung, dusun, gampong, huta, negeri, negorij, marga, wanua, gaukay atau apapun sebutannya, adalah tempat tinggal bersama yang diikat oleh: karakter dasar sebagai makhluk sosial, unsur kejiwaan, alam sekitar, visi hidup yang sekepentingan serta kuda-kuda komunitas atas ancaman dari luar (binatang buas atau kelompok etnik lain).

     Masyarakat desa itu awalnya adalah ikatan geneologis, lalu bertumbuh menjadi ikatan sosial-teritorial, dan selanjutnya menjadi badan hukum adat di pedesaan. Dulu, kolonialis Belanda menyebutnya 'waterschap', sebuah komunitas yang diikat hidupnya oleh satu aliran air. Orang Inggris menyebutnya 'parish', bukan town atau village. Sedangkan orang Amerika (dulunya imigran Spanyol) menyebutnya 'borough'. Baca saja buku 'Desa' karya antropolog Sutarjo Kartohadikoesoemo tahun 1965.

     Menurut Hanif Nurcholis, seorang doktor sejarah pedesaan jebolan UI-UNPAD, yang mantan Stafsus Bupati Cilacap dan Tim Stafsus Mendagri, sejak jaman Nusantara hingga pasca-reformasi ini, ada 5 model pendekatan penguasa terhadap desa yang tidak searah: (1) penundukan, (2) pengawasan & pengendalian, (3) otonomi pribumi, (4) militerisasi, dan (5) desentralisasi, birokratisasi administrasi, dan otonomi khusus (adat) yang terlambat.

     Katanya, puncak kerusakan struktur desa adalah pada era Orde Baru, ketika terbit UU No. 5 Tahun 1979 yang memorak-porandakan desa adat seperti marga-marga di Sumatera Selatan.

                                      [Bersambung ...]

Muarabeliti, 1 Agustus 2020
*) Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 03 Agustus 2020

JANGAN BAKAR JERAMI!

JANGAN BAKAR JERAMI!

Oleh: Hendy UP *)

     "Saudara-saudaraku, sedusun seirigasi! Menghadapi kemarau ini, jangan sekali-kali membakar jerami, sampah, baliho bekas.... opo wae lah! Apolagi spanduk yang ada fotooo ..... Pokoknya hindari asap! Ya, saudara-saudaraku seee .....".

     Tiba-tiba dipotong pemuda Haykal: "Maksud Pak Kadus .... foto Habib Rizieq! .... Saudara seiman! Semazhab! Pak Kadus.... perlu diingat yaa, .... di dusun kita ini multi-etnik, multi-agama, multi-profesi, multi-partai! Jangan coba-coba kami ini diadu-kambing...!" (Di dusun itu memang sudah tak ada domba, terlarang oleh Distannak Mura).

      Interupsi Haykal itu nadanya terkendali, terukur intonasinya, tanpa basa-basi tengik. Memang Haykal ini dijoloki 'milenial-nakal'; sepupu jauh Udin Beliti yang raib entah kemana setelah didatangi tiga orang 'asing' pada Ahad kemarin. Menjelang adzan maghrib. Mungkin imbas cuitan twitternya!

    Pak Kadus kaget! Gagap-gelagapan: "Wahai anakku Haykal, maksud saya itu..... maksud Pak Lik ituuuu .... foto seorang tokoh, siapa wae! Saudara .... se... kaliyyaaan! Bukan seiman! Makanya, kalau ada pejabat lagi pidato jangan dipotong. Tonton hingga tamat, biar dak gagal panen ..... eh .... paham", suara Kadus pelan, terbata-merah, agak gemetaran.

    .Perseteruan itu, ternyata residu-politik Pilkades masa lalu yang menanah-lumpur, mengendap-resap hingga ke bulu-bulu akar rumput lapangan bola.

     Konon, 'inner-cycle' dzuriyat Pak Kadus ini melimpah di seantero pojok dusun. Terbilang 'hogih': agen beras, gilingan padi tiga, traktor empat, warung sembako dua ruko dan hobbi nyembur duit kalau ada pesta orgen tunggal. Apatah lagi sewaktu nyalon Kades kalah tempo hari.

     Sialnya, yang menang adalah Pak Lik-nya Haykal. Tiga kali kontestasi Pilkades, selalu berhadapan dua kubu: kaum konservatif-tradisional vs progresif-radikal. Musuh bebuyutan!

     Tapi konon, IQ Kadus itu agak jongkok. Di Jawa dulu, tiga kali pindah kuliah, sekolah partikelir, akreditasi BAN-PT level C. Sebelas tahun tak tamat, dijemput paksa ortu, seanak-bininya. Ternyata kuliah nyambi 'mbojo'! Karena ambisius menempel titel, qodarullah akhirnya tamat juga. S1entah dimana!

     Ijazah itulah modal nyalon Kades tempo hari. Makanya, bahasa pidatonya sering ngacau, pakai istilah-istilah yang 'gak genah', logikanya loncat tupai. Lucu! Agak cerdik-culas dan punya keahlian tunggal: nyogok!

     Adapun si Haykal, adalah pemuda cerdas, nakal-milenial. Konon, mBah Buyutnya dulu sekampung Bung Karno, Blitar. Tapi Neknangnya orang Belitilama. Setamat SMP, Haykal hijrah ke Gontor. Kota Malang-Jogya-Bogor, hafal hingga gang buntunya. IQ-nya tegak-punjul, tamat S1 dua prodi, summa cum laude S2 Fisika Nuklir dari Univ. ternama. Pernah iseng ikut-ikutan jadi 'hacker'. Gara-gara si Covid, lantas tertunda ambil beasiswa S3 di almamaternya Mas Gotri: Birmingham, UK.

     Proposal risetnya mencengangkan: "Explosive Power Straw and Material Smoke of Indonesian Politics" (Dayaledak Jerami dan Material Asap Politik Indonesia). Mungkin si Haykal agak mengidap kelainan jiwa ringan: skizoid-skizotipal. Mirip gila-edan nomor 13 yang disebut Gendeng. Kendaklah ongah .. Kal!

      Mirip dengan Kadus, si Haykal juga punya keahlian. Ganda: sombong dan anti kerja Tim! Mau menang sendiri. Ketika dikoreksi judul proposal risetnya, Haykal mulai congkak: "Saya punya Kamus Grammar, stuktur gramatikal, tiga bahasa ....". Mata sombongnya berbinar.

     Pikiran Pak Kadus dan Haykal pasti ada benarnya. Hanya, keduanya beda pandang; diperparah oleh sikap dasar memendam-dendam. Karena IQ pas-pasan, Kadus tak piawai meramu. Larangan membakar jerami, pasti urgen; untuk mengurangi dampak perubahan iklim selaras dengan 17 butir Sustainable Development Goals.

     Tapi ya, mbokyao ... nggak usah diramu dengan berita viral minggu ini tentang pembakaran spanduk Habieb Rieziq! Biarlah, itu urusan para-pihak. Kita di kampung, cukup berdoa untuk keberkahan negeri ini. Allohua'lam bishshowab!

Muarabeliti, 4 Agustus 2020

Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 28 Juli 2020

IKLAN-IKLAN TAK SOPAN

IKLAN-IKLAN TAK SOPAN!

Oleh: Hendy UP *)

     Seorang teman di Bengkulu merasa risi ketika membaca artikel-artikel saya di sebuah media online. Dengan canda khas mBantul-Birmingham dia menyentil: ".... artikel sampeyan itu dipenuhi iklan (agak porno) sebuah produk untuk mengecilkan perut .... hahaha". Begitu kira-kira makna keluh-protesnya.

     Dalam hati, saya menyarankan, jangan sekali-kali menyentuh iklan 'Pneumatic Rotary Union'. Jangan! Saya pun tak pernah berani. Melihat cover iklannya saja sudah 'wadduh'. Lalu teringat petuah santun dari UAH, UAS dan Ust. Syafik RB! Yaa... narju 'an yubarikuu!

      Saya haqul yakin, siapa pun yang 'normal-jiwa' pasti terganggu oleh iklan tak senonoh itu. Masalahnya, siapakah yang berwenang mengawasi muncul-timbulnya iklan setan itu? KPI kah? Kominfo kah? Atau lembaga apa! Tapi menurut R. Kristiawan dari lembaga Koalisi Independen & Demokratisasi Penyiaran, keberadaan KPI masih sangat lemah (Tirto.id; 25/10/2017).

     Ihwal lemahnya KPI itu bisa kita lacak dari dikalahkannya oleh PTUN Jakarta ketika menerbitkan SE No. 225/K/KPI/31.2/04/2017 tentang Iklan Parpol yang tayang di luar masa kampanye. Juga ketika UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di-judicial review di MK, dan akhirnya harus berbagi kewenangan pengawasan atas penyiaran dengan Pemerintah cq. Kementrian Kominfo. Kalau demikian halnya, maka masing-masing kitalah yang harus membentengi diri dari aneka model iklan 'dak karuan' masa kini yang nongol setiap detik.

     Jika kita lacak tentang perangai pebisnis yang super canggih dan diskusi para pemerhati iklan, ada statement seorang pakar IT begini: "mustahil sebuah iklan keluar sendiri tanpa ditrigger oleh publisher. Makanya mereka menawarkan escapenya: jika ada iklan Google Ads yang dirasa mengganggu, suruh mengunjungi link: https://support.google.com/google.ads/contact/thirdparty_complaint?hl=id", ujar sobat tadi. Wadduhh tambah pusing gue ...!

     Kata para sarjana hukum, secara legal formal, perihal iklan-iklan porno itu sudah diancam pidana menurut KUHP. Bahkan ada dua UU yang dengan tegas melarangnya, yakni UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Jadi kurang apa lagi!

      Pun pula, definisi pelanggaran kesusilaan sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE sudah sangat klir. Apatah lagi bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf (d) di UU Pornografi, sudah sangat gamblang nan terang-benderang. Rasanya para ahli bahasa Indonesia tak perlu berdebat tentang makna "ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan" seperti iklan 'Pneumatic RU itu'.

     Setuo ini, saya lantas bergumam: "Kalaulah Pemerintah yang gagah- powership, yang menguasai 'ngelmu' teknologi super-sophisticated saja tak berkutik? Apa jadinya? Apakah kita masih memerlukan seorang Empu untuk menghadapi mBah Google dengan senjata keris plus klenik dari era Singasari? Mungkin Anda punya jawabannya! [*]

Muarabeliti, 21 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 21 Juli 2020

GENERASI PENDOBRAK

GENERASI: PENDOBRAK, PENERUS & PENIKMAT

Oleh: Hendy UP *)

     Lagi-lagi, Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal membuat ulah-aneh: bicara tentang psiko-antropologi. Padahal ia hanyalah tukang 'motong-para' yang harga jedolnya (slab) masih sangat parah. Bergerak antara 6.000 - 8.000 perak per kilo.

     Katanya, dalam kajian karakteristik generasi, khususnya ihwal 'elan-vital' kehidupan sosial kultur Indonesia, terbagi menjadi 3 karakter generasi: pendobrak, penerus dan penikmat.

      Sebagaimana lazimnya ilmu sosial, selalu ada 'status antara' atau kombinasi karakter; tidak hitam putih. Misalnya: agak berkarakter penerus tetapi agak-agak penikmat. Si Udin barangkali tidak sedang bicara kultur Indonesia. Terlalu luas. Mungkin hanya sebatas subkultur Silampari Bari wilayah Sumbagsel yang diwariskan ke generasi kini.

     Tetapi kini ada cabang ilmu spesialisasi baru: psiko-antropologi. Yakni ilmu yang mengkaji perkembangan manusia dan enkulturasi dengan kelompok budaya tertentu yang terkait dengan pengalaman sejarah dan bahasanya. Inilah yang melahirkan konsep kognisi, emosi dan persepsi etnologis yang kelak membentuk karakteristik generasi di wilayah kultur tertentu.

      Sebenarnya, sedari dulu masyarakat Nusantara sudah memiliki sejarah hitam karakter generasi: antara lain akibat benturan 3 jenis karakter dalam satu jalur nukleus-geneologis. Dua beradik kandung Anak-Raja yang berbeda karakter: penerus dan penikmat, niscaya potensial berbenturan pada zuriyatnya, bahkan bisa pada dirinya jika tanpa basis agama yang kuat.

     Sebagai teladan bari: Prabu Kameswara adalah founder kerajaan Kahuripan kuno. Ia adalah sang pendobrak. Salah satu anaknya, yang bernama Prabu Airlangga (1.019-1.042 M) adalah generasi penerus yang sukses dan bijak. Ketika Airlangga menua, demi kedamaian turunannya yang dua orang, maka kerajaan Kahuripan dibagi dua: Jenggala (kelak menjadi Singosari) dan Panjalu (kelak menjadi Kediri).

     Tetapi apa lacur? Kedua jalur dzuriyatnya berbeda karakter dan berseteru hingga babak-belur dan saling memutuskan silaturakhim. Setelah perang sedarah beberapa generasi, alhasil pertumpahan darah itu menyatukan kembali eks wilayah Kahuripan yang berdarah-darah, dan kemudian berubah menjadi Kerajaan Kediri dengan Raja Agungnya Prabu Jayabaya (1.042-1.222). Itu adalah salah satu contoh: betapa perbedaan karakter generasi yang sulit didamaikan ternyata mengelamkan peradaban.

     Contoh generasi pendobrak di Musirawas antara lain adalah: para Pesirah/Kepala Marga di awal pembentukan marga. Setidaknya ada 18 Marga asli di wilayah eks Onderafdeeling Musi Ulu Rawas yang kemudian bubar, akibat lahirnya Permendagri sebagai derivasi atas UU No. 5 Thn 1979 tentang Desa. Era kemargaan berakhir pada 1 April 1983. Siapakah generasi PENERUS dan PENIKMAT-nya pasca bubarnya Marga? Anda bisa menginventarisir lebih lengkap di sekitar Anda. Ini penting sebagai ibroh generasi milenial.

      Contoh lagi, generasi Pendobrak di era Kolonisasi Toegoemuljo mungkin mereka para transmigran pertama di tahun 1937-1940, yang hanya menempati 20 desa sebelum NKRI terbentuk. Mereka membuka hutan belantara demi kemaslahatan anak-dzuriyatnya. Beberapa di antara mereka berhasil! Tapi selalu saja mewarisi dua jenis generasi yang dominan: penerus dan penikmat!

     Yang mengerikan, di era digital-milenial kini, jika orangtua tak berhati-hati membangun karakter bijak lalu menyekolahkan anaknya ke sekolah sekuler, maka orangtua bagaikan memelihara anak MACAN di dalam rumah sendiri. Siap-siaplah kita diterkam tengah dalu! Allohua'alam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

TANTANGAN KORAN LOKAL

TANTANGAN KORAN LOKAL DI ERA MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Mengamati berita Lipos Online (Senin 20 Juli 2020) tentang acara Gathering Tim Linggau Pos (LP) dan Linggau Pos Online (LPO), ada metafora tergantung dari statement GM-LP Budi Santoso. Rombongan sedang berada di perbukitan Danau Mas Harun Bastari. "Kita sedang berada di wisata perbukitan, maka lihatlah ke bawah agar mengetahui apa yang harus kita lakukan ke depan". Begitu kira-kira makna verbatimnya.

      Sebagai peminat bahasa dan pemerhati koran lokal, saya menangkap ada semiotika tantangan dan harapan dari pelaku bisnis koran (kertas). Ada semacam 'kegalauan' akan nasib koran kertas. Di Ultah Mureks ke-12 tempo hari, saya menulis artikel bersambung tentang ideologi dan bisnis media lokal di era pascakorona. Ada pesaing baru hadir: medsos!

     Kasus 'Koin Prita' yang dikabulkan MA, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.

     Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga dusun-teluk, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah, ketimbang berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.

      Saya sungguh prihatin terhadap koran lokal yang harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, delirium, merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterainya ngedrop.

      Jika koran lokal (kertas) ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.

     Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Lipos antara 5-9 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!

     Sekadar kritik, iklan di Lipos Online sungguh variatif. Tapi saya menyangkan! Prihatin berat: kok ada iklan seronok yang tak santun. Pornografis! Subhanalloh!

     Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.

     Jangan bermimpi Lipos akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Lipos harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Lipos.

     Yang perlu dipikirkan petinggi Lipos kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.

     Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" bulan lalu. Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan..net

Sabtu, 18 Juli 2020

METAPOLITIKA 2020: PORTAL TUHAN MENAHAN SIAPA?

METAPOLITIKA 2020: PORTAL TUHAN MENAHAN SIAPA?

Oleh: Hendy UP *)

      Politik menurut Ridwan Saidi, pada dasarnya adalah "bagaimana ikhtiar-ikhtiar perumusan kehendak dilakukan dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung" (KolomTempo, 9 Mei 1987).

     Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal menambahkan: "idealnya, perumusan kehendak itu adalah program yang membumi, bernuansa genuin-lokalistik, berspektrum milenial-global, plus strategi pencapaian yang terukur". Sedangkan strategi dalam Kamus Webster: "seni mengelola kemampuan-kemampuan, sehingga muncul kemampuan baru dengan daya dorong yang lebih besar".

      Semakin ngawur konsepsi program yang dijual, semakin demagog pula pidato Jurkamnya. Namun, soal menang-kalah dalam Pilkada (dan kontestasi politik apapun), sungguh variabelnya multi ragam. Di atas segalanya: kodrat-irodat Tuhan yang maha mengatur!

     Menurut catatan KPU, di tahun 2020 ini ada 270 daerah (prov/kab/kota) yang akan 'pesta' Pilkada. Niscaya ada 540 insan yang telah ditetapkan Tuhan di buku-Nya, yang akan diuji dengan aneka instrumen Illahiyah: keadilan, kenegarawanan, kewenangan, ketaatan, dan ketahanan batin akan besarnya kemungkinan melenceng dari maqom keadilan, jika kelak memangku jabatan itu.

     Dan, ada ribuan insan (yang pasti gagal) yang langsung diuji kesabarannya, dalam menghayati "wa ilaa robbika farghob". Hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap! Barangkali, jika dirinya menang, belum mampu berbuat adil. Kriteria adil adalah 'the first important criterion to be tested'. Tuhan mahatahu!

     Metapolitika adalah cabang filsafat politik yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental tentang keberadaan kepemimpinan politik kenegaraan (imarah) dan realitas yang menyertainya. Hal ini mengandung makna bahwa seluruh konsekuensi jabatan yang dipangkukan dan kemudian diamalkannya, akan diuji akuntabilitasnya di hadapan Tuhan. Barangkali ini terkait dengan sabda Rasulullah SAW: "Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatih".

     Kata Meta, yang berasal dari Yunani kuno memang bermakna melampaui, melebihi (beyond) area tataran ilmu politik yang cenderung sekuleristik sebagaimana yang difahami Dunia Barat. Tentu saja, seperti halnya lingkup kajian metafisika, analisis metapolitika juga terkait dengan: eksistensi sistem politik, kondisi eksternal dan karakter struktur kenegaraan yang dianut, dan relasi ruang dan waktu dalam prosesi kontestasi kepemimpinannya.

     Tentang hiruk-pikuk Pilkada Mura dan Muratara, sungguh saya tidak mampu menulis sekadar analisis politik versi kampung, karena tak sedikit pun memiliki basis ilmunya. Saya hanya ingin menyumbang pemikiran bahwa ke depan, para politisi (legislator maupun pejabat daerah) wajib semakin mampu memahami 6 titik koneksi untuk membangun "political-branding" dalam proses kontestasi limatahunan. Keenam titik itu adalah: political desire, political awareness, perceived quality, political loyalty, political endorser dan political evangelist. Uraian detailnya bisa ditelaah di buku "Political Branding & Public Relations", karya SA Wasesa (hal. 166-168).

     Jika mengamalkan 6 item ini, maka dalam membangun branding politisi tidak lagi sekadar membangun reputasi dan persepsi baik-buruk an sich. Namun lebih dari itu, yakni pada proses retensi (mengelola loyalis/lama) sembari mengakuisisi dan meyakinkan konstituen baru. Ini akan memperkaya dukungan pelaksanaan program di level akar rumput. Tentu saja, semuanya diawali dengan prinsip dasar metapolitika.

     Jika metapolitika sudah dipahami, maka apapun hasil akhir kontestasi niscaya akan tertegun dihadang PORTAL ILLAHIYAH. Yang lolos akan diuji lebih panjang dalam mengamalkan niatnya sesuai koridor sunnah Rasulullah. Yang 'tertunda-suksesnya' segera diuji kesabarannya sembari diberi waktu untuk: meluruskan niat, mematut-matut diri untuk jabatan itu, sembari mengalkulasi ulang berapa banyak 'korbanan' (uang, teman dll) yang telah hilang. Allohua'alam bishshowab. [*]

Muarabeliti, 17 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 15 Juli 2020

BULUH~BULUH TALANGPUYUH

BULUH-BULUH TALANGPUYUH

Oleh: Hendy UP *)

     Buluh-buluh di Talangpuyuh yang merimbuni jalan aspal jalur ibukota Muarabeliti itu sungguh berbahaya! Sangat mengganggu pengendara motor dan mobil, khususon para ASN Pemda Musirawas dan sesiapa yang melintasi jalan Trans Lintas Tengah Sumatera. Hanya truck Fuso dan mobil gandeng roda 22 yang cuek-bebek tak peduli.

     Buluh itu bahasa asli Melayu. Kadang disebut perindu, yakni buluh tipis yang sering dibuat suling. Bunyi suling itulah yang dipinjam sebagai metafora rindu-kasih remaja di jaman 'bahauela'. Buluh perindu! Orang Bule menyebutnya reed atau bamboo. Kata para botanis: it's family of Poaceae, subfam Bambusoideae.

     Sedangkan Talangpuyuh itu nama area, talang, rompok atau perkebunan, persis di hulu ibukota Muarabeliti. Dulu ada CV Haruma Amin di situ. Bahwa ada nama jalan Talangpuyuh di pinggir masjid agung 'Assalam' Lubukinggau, itu mungkin terkait dengan pemilik rumah Bachtiar Amin (mantan Bupati Muda Musi Ulu Rawas) di pinggir masjid agung, yang terkelindan dengan CV. Haruma. Allohua'lam!

    Sungguh keterlaluan! Rumpun buluh-buluh itu hanya dua tiga meter dari bibir jalan lintas. Sepanjang kisaran 500 meter di jalanan yang meliuk-liuk. Jikalau pascahujan angin, pucuk buluh itu meliuki jalanan. Batangnya mendoyong-sembah, merampas jalan aspal. Tajam sembilu. Kalau bermotor tak hati-hati, bisa terpaut, terjungkal dan tersayat perih. Mobil-mobil yang mengarah ke ibukota Muarabeliti dari Lubuklinggau, dan pas berpapasan mobil lain pasti terberet-beret. Yang disumpahi pasti pemerintah!

     Sebagai orang awam, saya tak paham, tugas siapakah 'merapikan' para buluh itu agar tak membahayakan pengendara? Kadus, Kades, Camat, Bupati, Gubernur atau barangkali Pak Wapres Makruf Amin? Just suddenly, saya teringat statement Pak Drs. Zainuddin Anwar dan Pak Drs. Sofian Zurkasie (mereka pensiunan pejabat Pemda Musirawas, alumni IIP) ketika ngajar ilmu pemerintahan di klas SPADA tahun 1994, tentang tugas pemerintahan umum.

     Dengan semangat berapi-api Pak Zainudin mengajarkan: "... kalau ada 'buntang' anjing atau gangguan lain di jalanan ... maka itu adalah bagian tugas umum pemerintahan yang didelegasikan kepada Camat sebagai pelaksana urusan umum pemerintahan ...". Kira-kira begitu makna verbatimnya!

     Tapi itu dulu. Pascareformasi mungkin lain lagi. Atau, kini mungkin ada di UU Pemda No. 23 Th 2014 juncto PP No. 17 Thn 2018 tentang Kecamatan. Allohua'lam, saya hanya menduga. Mahaf saya semakin dungu!

     Terlepas dari tugas siapa yang wajib mengamankan buluh-buluh itu, yang pasti masyarakat (dan para ASN yang mukim di Lubuklinggau) merasa terganggu sepergi-pulang ngantor. Tapi diam saja. Dalam kepasrahan sikap masyarakat, toh Pak Bupati bisa perintahkan Camat, Satpol PP atau pejabat PU-BM Musirawas atau UPT- PUBM provinsi. Atau istilah kini berkolaborasi antarpemangku kepentingan.

     "Masa, urusan gitu aja harus Pak Djokowi~Makruf Amin..." celoteh Udin Muarabeliti si Milenial nakal. Bahkan si Udin membayangkan: sebagai kawasan ibukota, suatu saat, dari jerambah Kupang hingga ke Simpanggegas, jalan lintas dibuat dua jalur plus taman tengah nan anggon, sebagaimana layaknya Metropolis Muarabeliti yang SEMPURNA DARUSSALAM. Wadduhh .... hebat lu Din.! [*]

Muarabeliti, 15 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 14 Juli 2020

SEJARAH: SOPHIA, MANG DOGAN & BUNG KARNO

SEJARAH: SOPHIA, MANG DOGAN & BUNG KARNO

Oleh: Hendy UP *)

     Nama di KTP-nya mungkin Recep Tayyip Erdogan. Untuk mengefisienkan narasi, orang Muarabeliti menjolokinya Mang Dogan. Bukan Mang Ogan! Yaa, sembari menunggu acara pembagian BLT, kami asyik-masyuk terlibat 'diskusi panas'. Tentu saja, aku bukan calon penerima: BLT, PKH, BLT-DD dan aneka bansos lainnya.

     "Aku salut dengan Mang Dogan", kata Udin, sarjana, yang 5 kali gagal test PNS dan kini 'motong para' walaupun harganya cuma berkisar 6-8 ribu saja. "Harusnya pemimpin kita berani seperti Mang Dogan itu, atau Idi Amin, Saddam Husein atau Bung Karno kita", sambungnya berapi-api.

      "Menurutku, Mang Dogan itu sangat nasionalis, otonom, tidak mau didikte oleh pimpinan partai, hantu oligarki dan bahkan dak takut dengan Mang Trump yang arogan itu". Tiba-tiba dia dipanggil Panitia untuk mengambil jatah. Diskusi terhenti. Aku hanyalah penabuh gong, dan pengendali partitur 'obrolan dusun' yang kadang tendensius dan melabrak siapa saja dan kemana-mana. Yaa... begitulah psikogram politik pedesaan di era teknologi digital kini.

      Sejujurnya, agak ngeri-ngeri sedap menulis artikel ini. Agak sensitif. Tapi semua media sudah menurunkan artikel ini. Tentang rencana alih fungsi Hagia Sophia (HS) dengan berbagai angle dan sudut ragam analisis. Bung DI's Way yang biasanya sangat 'updater', rasanya belum menulis ini. Mungkin aku yang 'kurapin' muta'akhir!

    Ya, tentang kenekadan & keberanian Presiden Erdogan! Segera setelah Dewan Negara mengabulkan petisi agar HS dikembalikan ke fungsi lama sebagai masjid, Mang Dogan dengan tegas mendeklarasikan akan mengembalikan fungsi HS sebagai masjid (kembali) pada 10 Juli 2020 kemarin. "Ini adalah hak kedaulatan Turki yang tidak bisa diintervensi siapa pun", kata Mang Dogan dengan full Pe-De!

     Dalam al-tarikh, pada tahun 325 M di era Byzantium, dibangunlah oleh Kaisar Konstatin I sebuah gereja Katedral Ortodoks sebagai tempat kedudukan Patriark Ekumenis Konstantinopel. Hingga tahun 1453, HS adalah gereja katedral terbesar selama 100 tahun sebelum terbangun Katedral Sevilla di Spanyol. Itulah Hagia Sophia yang megah nan historikal.

     Dalam perjalanan sejarahnya, pada tahun 1453 kekaisaran Byzantium berakhir, setelah penaklukan oleh Kaisar Ottoman atas Konstantinopel yang kelak menjadi Istanbul. Menurut catatan, bangunan Hagia Sophia itu dijual kepada Sultan Mehmet II dan dijadikan yayasan. Namanya berubah menjadi Ayasofya. Pada 29 Mei 1453, resmi berfungsi sebagai masjid.

     Di era itu ada 2 bangunan lainnya yang berubah fungsi menjadi masjid, yakni: Saint Paul dan Mesa Dominica. Pada abad 16 hingga 17, HS terus diperluas fungsi dan bangunannya, antara lain: 4 menara luar untuk adzan, mihrab dan mimbar hingga madrasah, pertokoan dll. Dan ketika Turki dipimpin rezim sekuler Mustafa Kemal Ataturk, atas keputusan Kabinet tahun 1934, masjid Ayasofya dijadikan museum. Dan lembaga UNESCO telah mensyahkannya sebagai warisan budaya dunia.

      Membaca sejarah Hagia Sophia, tiba-tiba kita diingatkan kembali oleh keberanian Bung Karno ketika 'memaksa' Khrushchev agar memfungsikan kembali masjid yang dialihfungsikan menjadi museum. Itu terjadi tahun 1956, ketika kali pertama Bung Karno diundang ke Uni Soviet. Dan Khruschev mengiyakan permintaan Bung Karno.

      Masjid terbesar di Rusia yang dibangun 1904 itu berada di Kota Leningrad (kini St. Petersburg) dengan tinggi kubah 46 m, menara 72 m menghabiskan dana renovasi sekitar Rp. 2,43 triliun. Kebetulan Mang Dogan dan Mahmoud Abbas hadir di saat peresmian "Blue Mosque" itu tahun 2005. Presiden Megawati pernah berkunjung ke sana pada April 2003, dan konon merasa terhenyak nan bangga atas karya bapaknya, Bung Karno.

     Barangkali, keberanian Mang Dogan melawan keangkuhan dunia dan senantiasa tegar memeluk otoritasnya sebagai presiden, terinspirasi oleh Bung Karno. Bung Karno memang hebat! Allohua'lam bishshowab!

Muarabeliti, 13 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 09 Juli 2020

SINEOL: KALUNG ANTIKORONA?

Oleh: Hendy UP *)

      Di siang bolong 6 Juli 2020, seorang Peneliti Utama (Dr. Rostiana) di sebuah Litbang Kementan Bogor membalas WA saya: "..... kami sedang menghadapi badai Eukaliptus di tengah pandemi .....". Maknanya kira-kira, kantornya sedang 'glomat' memroduksi jamu herbal dan kalung eukaliptus yang sedang viral di media TV, koran dan dunia maya.

     Saya merasa perlu mengklarifikasi dari beliau sebagai 'orang dalam' Kementan, karena saya pernah bertemu langsung dengannya dan 'ngobrol' tentang prospek serai wangi dan lada di Bumi Silampari, beberapa bulan lalu. Beliau adalah pakar rempah dan fitofarmaka. Bahkan, beliau pernah ijin mengutip artikel saya di blog (www.andikatuan.net) perihal "Sejarah Lada Rawas Era 1800-an".

     Muasal kehebohan ini berawal dari acara Kementan: "Launching Antivirus Corona Berbahan Eucalyptus" pada 8 Mei 2020, yang dibumbui Sang Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) bahwa 'mampu membunuh 80-100% Covid-19 (Kompas, 7/7/2020). Beberapa kalangan politisi mulai mempolitisir. Litbang Depkes dan Farmakolog yang merasa lebih 'pas' berikhtiar soal antivirus-memirus merasa kalah gesit. Mungkin! Tapi, apa salahnya jika Kementan menginisiasi pencarian antivirus dari bahan alam? Toh urusan rempah dan obat di bawah kewenangan Kementan.

      Bumbu inilah yang bikin heboh nan viral, dan buru-buru 'diluruskan' oleh Kabanlitbang Kementan (Fadjry Djufri) bahwa produk yang berupa: jamu herbal, inhaler dan kalung eukaliptus itu, belum diuji praklinis (ke hewan), apatah lagi uji klinis (ke manusia) sebagai produk fitofarmaka anti Covid-19. "Baru tahapan registerasi hak paten di BPOM sebagai jamu herbal", katanya. Untuk memroduksi ketiga produk itu, Balitbang telah menggandeng PT. Eagle Indo Pharma sebagai mitra lisensi(Kompas, 6/7/2020).

     Tapi karena derasnya antusiasme psikologi massa untuk segera mengakhiri era korona, maka viralitas berita ini mengundang gelombang pro-kontra. Waket DPD-RI Sultan B. Najamuddin mengkritik tajam: ".... Kementan itu fokus sajalah ngurusi pangan ..... boleh saja mengembangkan kalung anti korona, asalkan jangan menggunakan APBN...", kira-kira begitu makna verbatimnya (Republika.co.id: 7/7/2020).

     Apa itu kalung sineol eukaliptus? Eukaliptus adalah jenis tumbuhan famili Myrtaceae yang konon berasal dari Tasmania-Australia. Ada 700 spesies, satu di antaranya (E. globulus atau Blue Gum) potensial mengandung zat antioksida (flavonoid) dan antiflamasi (tannin); terikat dalam minyak atsiri yang memiliki senyawa 1,8 eukaliptol atau yang lazim disebut seneol. Nah, virus korona itu terbagi dua: beta korona dan gamma korona. Si Covid ini termasuk beta korona yang tengah diuji Litbang Kementan. Jadi secara metodologis memang masih panjang tahapannya. Itu kata ahlinya.

     Material inilah yang diteliti oleh Litbang Pertanian dengan melibatkan 3 institusi: Balai Besar Veteriner, Balit Tanaman Rempah & Obat, dan Balai Besar Lit Pascapanen, dengan tahapan kerja ilmiah Nanoteknologi. Yakni teknologi canggih untuk memanipulasi material pada skala atomik dan molekuler.

      Materi super kecil ini, konon berdiameter 62-520 pikometer. Molekul hasil kombinasinya berukuran nanometer, yakni sepermilyar meter. Kita yang awam 'nanologi', tak perlu pusing membayangkan ini. He...he. Terlepas dari 'kemaharumitan' metodologis itu, saya mencoba memahami untuk menghargai ikhtiar Kementan dan para researchernya, dan berharap segera berkolaborasi dengan Litbang Depkes plus Perguruan Tinggi demi kemaslahatan ummat. Tak perlu heboh berebut antivirus dengan semangat ego sektoral, sementara ekonomi kerakyatan semakin berantakan!

  .  Ingat, rakyat kebanyakan hanya butuh: makan kenyang pagi-petang, hidup tidak tegang, beribadah khusyuk-tenang, wajah demokrasi tidak centang-perenang, pembegal-maling tidak lintang-pukang, pikiran tidak mengawang-awang, dan satu lagi Pemerintah jangan keseringan "ngasah parang". Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 8 Juli 2020

*)Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 06 Juli 2020

STAGFLASI PASCAKORONA

STAGFLASI PASCAKORONA: AYAM VERSUS CABE?

Oleh: Hendy UP *)

     Di awal Juli 2020, Kepala BPS Suhariyanto merilis data bahwa harga ayam ras dan telornya adalah penyumbang inflasi terbesar komponen pangan untuk Juni 2020. Kontribusinya: ayam 0,14% dan telor 0,04% terhadap angka inflasi yg sebesar 0,18%.

     Alasannya karena peternak mandiri kehabisan modal usaha, pasokan pakan terhambat transportasinya sehingga produksinya anjlog. Bahkan telur ayam 'dituding' sebagai biang-kerok gejolak harga tak menentu (volatile price) di 86 kota yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen (IHK)-nya.

     Di sisi lain, komoditas cabe merah, rawit, bawang putih, minyak goreng dan gula pasir, harganya anjlok. Komoditas ini mengalami deflasi. Bawang putih dan cabe merah menyumbang 0,07% terhadap deflasi Juni 2020 kemarin.

     Lagi-lagi, Permendag No. 7 tahun 2020 yg mengatur harga langit-langit tak ada gunanya. Pada akhirnya, hukum ekonomi pasar masih berdalil klasik: harga di pasar berada pada kekuatan supplay & demand; bukan pada aturan harga legal formal di atas kertas.

      Volatile-price telor ayam ini ternyata terasa di manapun; juga di Lubuklinggau, sebagaimana dirilis Kepala BPS Lubuklinggau Eka Yuliani (Harian Silampari, 3 Juli 2020). Angka inflasi Juni 2020 untuk Kota Lubuklinggau sebesar 0,31%; inflasi kumulatif sebesar 1,31% dan YoY sebesar 1,37%.

      Memang, sejak dahulu kala hantu inflasi harga pangan sangat ditakuti oleh pemerintah terutama menjelang lebaran, paceklik atau pageblug. Tapi kaum tani malah berdoa agar terjadi inflasi harga komoditas pangan dan kebun, asalkan 'cost input' material saprotannya (terutama pupuk) konstan.

      Soal inflasi, Mang Udin Dusun Muarabeliti dan Lik Parjo Megangsakti sungguh tak peduli, apa itu inflasi, deflasi apatah lagi stagflasi. Sa'karepmu Broth .....!

     Tapi soal kendali-mengendali harga pangan ternyata pemerintah tak berkutik, mati-kutu! Bahkan kini, sudah bertahun-tahun justru terjadi deflasi harga karet (para) yang membuat masyarakat kehilangan ghiroh berkebun. Sungguh, kini ekonomi pedesaan Negeri Silampari sedang terjerembab.

     Lihat saja data perputaran uang di BI yg melemah dan laporan NPL (Non Performing Loan) perbankan yang meninggi. Banyaknya papan merk 'DIJUAL' di depan rumah dan lokasi usaha, adalah indikator banyaknya kreditur nunggak angsuran. Jika rasio NPL perbankan mendekati angka 5%, niscaya akan berkelindan dengan profitabilitas, rentabilitas, likuiditas perbankan dan aneka tas-tas lainnya.

     Mayoritas kaum tani kita, yang lebih pas disebut 'peasent' (tani pas-pasan) ketimbang disebut 'farmer' (pengusaha tani), sama sekali tidak paham dengan 'teori ekonomi gombal'. Bagi petani padi misalnya, yang penting ada jaminan pasokan air irigasi, tersedia bibit unggul dan pupuk dengan harga terjangkau, serta harga jual beras yang memadai. Pun bagi pekebun karet, ada bantuan kredit peremajaan kebun dan harga jual jedol (slab) tidak 'gila'; minimal 1 kg jedol para dusun setara dengan harga 1 hingga 2 kg beras. Itu sudah cukup untuk menggairahkan ekonomi pedesaan. Kini sekilo para tak sampai sekilo beras!

     Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 antara -0,4% hingga 2,3%. Tapi Lembaga Kerjasama Ekonomi & Pembangunan (OECD) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka -2,8 hingga -3,9%. Buru-buru Sri Mulyani meralat bahwa akibat bla bla bla, pertumbuhan ekonomi TW II 2020 akan terkonstraksi hingga -3,1%.(Kompas, 3 Juli 2020).

       Kondisi inilah yang dikhawatirkan para ahli ekonomi bakal terjadi stagflasi. Stagflasi adalah kondisi perekonomian negara dengan tingkat output rendah yg dibarengi oleh inflasi. Kondisi sekarang ini, jika tidak ada langkah kongkrit Pemerintah untuk menjaga basis ekonomi kerakyatan (UMKM) dan penyetopan kran impor, gejalanya mengarah ke stagflasi. Dalam kamus, stagflasi disebabkan oleh kekuatan ganda: kurangnya permintaan agregat secara relatif terhadap potensial PNB; dan meningkatnya cost input aneka usaha masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi. [*]

Muarabeliti, 4 Juli 2020 *)