Selasa, 30 Juni 2020

HUT MUREKS 12TH (1)

MUREKS 12th: LEGASI UNTUK DIs-WAY

Oleh : Hendy UP *)

     Rabu 1 Juli 2020, koran Musirawas Ekspres (Mureks) genap berusia 12 tahun. Ditakdirkan sebagai 'adik kandung' Linggau Pos yang lahir 7 tahun lebih tua (Senin, 12 Feb 2001). Berbeda dengan kakaknya, Mureks memilih frasa "Koran Kebanggaan Masyarakat Silampari" sebagai tagline; komplementer dengan Sang Kakak yang mengklaim "Pertama dan Terbesar di Bumi Silampari".

     Niscaya sebuah kebetulan, bahwa HUT Mureks ke-12 bersamaan dengan HUT Bhayangkara ke-74, yang mengingatkan kita akan sebuah peristiwa penyatuan (sentralistik) manajemen kepolisian yg semula bersifat 'kedaerahan' lalu diikat oleh PP No. 11 Tahun 1946. Mungkin kelak akan ada sinergi perayaan HUT kedua institusi ini.

     Masyarakat Silampari niscaya mafhum bahwa jaringan koran~koran (dan TV): LinggauPos - Mureks - Silampari - Sumeks - Jawa TV (JTV) dan puluhan lainnya mutlak di bawah kendali 'manajemen agung' Jawa Pos Grup (JPG) dan Jawa Post National Network (JPNN). Soal modal awal dan 'kompetisi' bisnis, niscaya 'dijamin' aman oleh sistem manajemen DIs Way di Graha Pena, yang mangkal di kawasan Ketintangbaru Surabaya.

     Tapi masyarakat mungkin banyak belum tahu bahwa sejarah 'nenek~moyang' koran Mureks sebenarnya sangat panjang. Di pangkal riwayat ada: The Chung Shen, Eric Samola dan Dahlan Iskan yang agaknya ditakdirkan sebagai 'wirausahawan koran'.

     Adalah seorang bernama The Chung Shen (lahir 1893) dengan kepiawaian bisnisnya, mendirikan koran 'Djava Post' di Surabaya pada 1 Juli 1949. Untuk melayani aneka segmen, diterbitkan pula koran Hwa Chiao Sien Wen (berbahasa Mandarin) dan koran de Vrije Pers (berbahasa Belanda) dan Daily News (Inggris).

     Dalam perjalanannya, karena dinamika politik dan bisnis, akhirnya tiga korannya tutup; tersisa Djawa Post sebagai metamorfosis dari Djava Post plus 3 koran mendiang. Untuk mengelola koran~korannya ditunjuk Pemred Goh Tjing Hok (1953) dan diteruskan oleh Thio Oen Sik. Konon, selama 4 tahun, Chung Shen mengelola sendiri dari: mencari, menyeleksi, mengompilasi dan mengedit hingga proses pencetakan koran.

     Ketika tahun 1982 nyaris bangkrut (tersisa 6.800 eks/hari), maka diserahkan kepada teman bisnisnya di Majalah Tempo (Grup) yakni Bung Eric FH Samola. Dahlan Iskan kala itu menjabat Kabiro Tempo di Surabaya, dan dikenal sebagai wartawan 'kawakan' yang tahan banting plus memiliki karakter petarung tak kenal menyerah. Tanggal 1 April 1982 adalah hari bersejarah bagi Dahlan ketika menerima mandat sebagai Manajer Jawa Post.

     Duet Eric~Dahlanlah prestasi Jawa Post melejit membumbung langit. Di luar dugaan banyak pihak, oplahnya melejit hingga 300 ribu eksemplar hanya dalam tempo 5 tahun (1987). Tidak hanya itu, dalam tahun itu juga terbentuk JPNN yang memiliki 40 jaringan percetakan, menerbitkan aneka produk: tabloid, majalah dan koran lokal di 80 kota di seantero Nusantara. Luar biasaaa!

     Kepiawaian Sang Dahlan Iskan yang cerdas~tawadu dan 'super~inovatif' telah teruji oleh waktu. Kariernya merambah aneka gelanggang, menginspirasi banyak petinggi hingga kaum millenial. Dari memotong 'kabel PLN' yang kusut-berbelit, hingga mengudek manajemen BUMN yang lamban nan koruptif.

     Namun 'segerombolan' orang yang iri-dengki merasa gerah dan menghadang di tengah jalan. Menjegal di tikungan kala Dahlan melaju dg 'mobil listrik'nya. Tergelincir gara2 kulit pisang yang sengaja di lempar di jalanan nan licin. Syukurlah doa~doanya makbul. Alhamdulillah. Si pelempar kulit pisang patah arang. Orang jujur ternyata lebih makmur! Semoga Bung Dahlan tetap istiqomah.

     Sebagai pembaca Mureks, saya berharap agar Keluarga Besar Mureks wajib meneladani 'ghiroh' Bung Dahlan dalam berjibaku menggelorakan nilai-nilai filosofi dan sejarah pers nasional dengan konten kearifan lokal. Terus senantiasa menjadi kebanggaan masyarakat Bumi Silampari.

     Dirgahayu Mureks! Tegaklah di depan memandu generasi millenial; bukan mengekor di buritan..! [*]

Muarabeliti, 29 Juni 2020.

*) Blogger: www.andikatuan.net

HUT MUREKS 12TH (2)

MUREKS 12TH: TANTANGAN DI ABAD MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Di tahun 1995, karena terikat tugas riset lapangan, saya harus kulu-kilir Bogor-Karawang selama satu smester. Ba'da subuh Senin gelap, saya sudah nongkrong di Terminal Baranangsiang (Tugu IPB) untuk menunggu Bus Agra Mas atau Rosalia Indah yang terpagi menuju Karawang. Di bawah temaram neon, di bangku tunggu terminal, mayoritas penunggu asyik-masyuk membaca koran.

     Riuh-rendah logat Sunda yang menjajakan kopi hangat dan koran pagi, seakan menjadi elegi nan harmonis kendati partiturnya agak berantakan. Saya menghabiskan waktu hampir dua jam utk melahap Kompas hingga turun di Pasar Johar Karawang menuju lokasi riset di Lemahabang dekat Pantai Cilamaya.

     Beberapa tahun yang lalu, sengaja saya napak-tilas di Terminal Baranangsiang ~ setelah jenuh muter-muter di Botanical Square, mall tebesar di seberang Tugu IPB ~ ternyata sungguh sangat mengejutkan! Nyaris tak ada lagi orang membaca koran. Setiap orang asyik dengan gadgetnya, ponselnya atau hand book. Tukang jaja koran masih ada, tapi orang agaknya tak peduli, karena isi koran sudah tergenggam di handphone cerdasnya.

     Setahun terakhir ini, saya pun hampir tak lagi 'mencari' koran Mureks, Lipos, Kompas, Republika, atau Majalah Tempo. Hampir setiap pagi buta, pascaritual pagi usai, sembari menunggu asap kopi menipis di atas gelas; saya bisa membaca DIs'Way yang dikirim Mas Sugi (Diseminator Mureks) ba'da subuh.

     Atau setiap saat bisa membaca berita lokal Silampari di LinggauPos Online yang disebarkan oleh Bung Endang Kusmadi. Sedangkan untuk jenis berita sosio-politik dan gonjang-ganjing kabinet Jokowi dari sumber yang kredibel bisa dilacak di Majalah Tempo.Co atau Tempo.Pdf dengan harga langganan cukup murah.

     Jadi siapakah, hari ini yang masih membaca koran kertas? Strategi Mureks untuk bertahan hidup di era milenial pasti sudah dipikir matang oleh para petinggi JPG dan JPNN-nya. Siap-siaplah menggudangkan 'mesin cetak' yang mungkin masih milik aset bersama JPG Lokal Silampari. Kalau dulu strategi "SPLIT MANAJEMEN" lagi ngetrend dan menguntungkan secara bisnis, era ke depan mungkin sebaliknya.

     Kabarnya, dulu, Split manajemen Linggau Pos melahirkan: Mureks, Silampari Post dan TVSilampari. Di era milenial, barangkali strategi merger-korporat akan lebih menjanjikan keutuhan bisnis kosa-kata. Mirip-mirip situasi Jerman pasca runtuhnya Tembok Berlin pada November 1991, setelah era 'political spliting' selama 30 tahun.

      Kunci sukses bisnis apapun di era milenial adalah SDM Unggul nan bermutu. Mureks memerlukan SDM yang profesional di bidangnya, tangguh menjaga visinya dan ulet memperjuangkan amalan misinya. Karena Mureks adalah entitas bisnis KOSA-KATA, maka SDM-nya wajib unggul nan mumpuni di bidang bahasa komunikasi tulisan, inovatif dalam menerjemahkan situasi dan kebutuhan (informasi) masyarakat yang dinamis-fluktuatif, serta senantiasa berlari mengejar rujukan informasi yang kredibel. Tidak bermental 'kopipaste' hanya mengejar full-rubrik halaman yang telah dimuat di media lain dua-tiga hari yang lalu.

     Sungguh, persaingan bisnis koran (nasional dan daerah) ke depan sangat multi tantangan. Maka hanya orang-orang yang piawai dalam mengolah kata-kata, yang bisa bertahan maju; bukan jalan di tempat sembari mengunyah aset yang lama kelamaan akan susut. Niscaya DIs'Way telah menyiapkan pedoman praktis: BERTAHAN BISNIS KORAN DI ERA NDAK KARUAN! [*]

Muarabeliti, 30 Juni 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 25 Juni 2020

RAMALAN JAYABAYA (3)

RAMALAN JAYABAYA (3)

C. KONSEP NEGARA KERAJAAN &
    SINKRETISME AGAMA

      Karena masih kuatnya pengaruh agama Hindu dan Budha serta mulai merebaknya da'wah Islam dari jazirah Arab, bentuk negara Kediri cenderung menganut negara kekuasaan (staatsmatch) dan dlm beberapa aspek mulai mengadopsi model khilafah (Islam). Sudah mulai merebak model 'sinkretisme' kekuasaan. Raja berfungsi sbg kepala negara, sedangkan pelaksana kebijakan negara (raja) adalah tupoksi Pemerintah (eksekutif) yang dibentuk dewan negara yg bertanggung jawab kepada Raja sebagai kepala negara.

      Kehidupan spiritualitas masy. masih didominasi ajaran Budha. Jika masy. sakit, bukan berihtiar dengan berobat tapi menyembah dewa-dewa kepada Budha. Pada bulan kelima, diadakan 'pesta air', bersuka-ria dengan perahu di sungai (dan laut) seperti ritual Hindu di sungai Gangga.

      Pada bulan kesepuluh, diadakan pesta rakyat di gunung; dengan keramaian musik seruling, gendang dan gambang dari kayu. Raja digambarkan berpakaian sutera, sepatu kulit dengan perhiasaan emas, rambutnya disanggul. Setiap saat Raja menerima pejabat yg mengurus pemerintahan dan duduk di singgasana yg berbentuk segi empat. Pascasidang, para pejabat menyembah Raja tiga kali. Jika Raja keliling daerah, menunggang gajah atau kereta dan dikawal 500 sampai 700 prajurit. Rakyat menyembah di pinggir jalan yang dilalui.

     Dalam menjalankan kebijakan negara, Raja didampingi oleh 4 komponen jabatan: Rakaryan Kanuruhan, Mahamenteri I Halu, Rakaryan Mahamenteri I Rangga, dan Mahapatih. Tidak ada catatan, apakah ke-empat komponen itu adalah terdiri atas: unsur penasihat spiritual, unsur keamanan negara, unsur kehakiman negara, dan unsur eksekutif pemerintahan.

     Mereka tidak mendapat gaji tetap, tetapi menerima hasil bumi pada waktu tertentu (panen) dan fasilitas lainnya. Aparatus pemerintahan terdiri dari 300 orang yg mengurusi tatabuku (akuntansi) dan tatausaha. Sebanyak 1000 orang pegawai rendahan mengurusi: perbentengan, aset (perbendaharaan), gudang persediaan pangan dan kebutuhan para prajurit.

      Panglima tentara setiap smester memperoleh 10 tail emas; sedangkan prajurit yg berjumlah 30.000 org mendapat bayaran sesuai tingkat jabatan. Gambaran situasi dan kondisi Kediri di era Jayabaya itu tercatat dalam manuskrip Cina, khususnya kitab Chu-fan-chi yg ditulis Chau-Ju-Kua pada tahun 1.225.  Sumber-sumber ini representatif dan relevan dg bukti-bukti penemuan prasasti2 (candi, arca dll) di kawasan Jawa Timur.

                                   (Bersambung ...)

Muarabeliti, Kamis 25 Juni 2020.

Kamis, 18 Juni 2020

RAMALAN JAYABAYA (2)

B. SOSOK JAYABAYA

      Nama aslinya Jayabaya. Karena dia seorang raja (Kediri) maka sebutannya adalah Prabu Djajabaja. Dalam literatur antropologi, di era perkembangan 'agama' kuno Nusantara (Jawa: Kapitayan; Priangan: Sunda Wiwitan), hingga masuknya Hindu dan Budha, nama-nama tokoh sering menggunakan nama hewan yang 'powership' seperti buaya, singa, gajah, burung dll.

      Masa pemerintahannya di Kediri tercatat selama lk. 30 tahun di abad XII antara 1.130 - 1.160 M; bergelar CRI MAHARAJA CRI DHARMMECWARA MADHUSUDANA WATARANINDITA SURTSINGHA PARAKRAMA DIGJAYOTUNGGADEWA.

      Secara geneologis dia adalah keturunan langsung ke sekian dari Prabu Airlangga (Raja Kahuripan: lk. 1.019 - 1.042) melalui keturunannya Raja Kameswara. Kerajaan Kediri (1.042 - 1.222) adalah merupakan pemekaran dari kerajaan Kahuripan yang dibagi dua oleh Airlangga menjelang "lengser keprabon" untuk "mandhita" di pertapaan sunyi.

      Kedua kerajaan baru itu adalah Jenggala (kelak menjadi Singosari) beribukota di Kahuripan; dan Panjalu (kelak menjadi Kediri) dengan ibukota Daha. Dalam perjalanan sejarah, akibat perseteruan antarahliwaris Airlangga yg. berakibat kecamuk perang saudara, akhirnya Jenggala takluk dan menjadi bagian dari Kerajaan Kediri.

      Jadi secara teritorial-geografis, kerajaan Kediri sama dengan Kahuripan di masa awal. Dalam khasanah sastra dan cerita rakyat Jawa, kisah romantika percintaan, ketabahan dan kesetiaan pasangan orangtua Brawijaya yakni Prabu Kameswara dengan permaisurinya (garwa padmi) yg bernama Cri Kirana sungguh sangat legendaris. Legenda itu masyhur dikenal dengan RADEN PANJI INUKERTAPATI - DEWI GALUH CANDRA KIRANA. Cerita itu terungkap dalam Kidung Smaradahana karya Mpu Darmadja yang hidup di era itu. Beberapa dekade sebelumnya, telah lahir  karya monumental Mpu Kanwa berjudul Arjunawiwaha (perkawinan Arjuna) sebagai persembahan spesial utk peristiwa pernikahan Raja Airlangga dengan putri Raja Sriwijaya dari Palembang.

      Mirip catatan sejarah emas kepenyairan (Syi'ir) di Jazirah Arab pra-Islam, di kala zaman Prabu Jayabaya hidup pula dua orang pujangga besar yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Atas perintah Jayabaya, pada tahun 1.157 Mpu Sedah menggubah naskah Kitab Bharatayudha ke dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.

     Karya sastra lainnya gubahan Mpu Panuluh adalah Kitab Hariwangsa dan Gatotkacacraya. Sedangkan Kitab Bharatayuda juga disusun era Airlangga yg memeritahkan Mpu Sedah (1.157) utk menyadur Kitab Mahabharata (kisah pergulatan sifat mulia dg sifat dzolim antara Pandawa versus Kurawa) ke dalam bahasa Jawa kuno.

      Bagian terpenting dlm babad Bharatayuda adalah Bhagawadgita (kidung Illahiyah) yang menarasikan petuah Sri Kresna (raja Dwarawati) kepada Arjuna dalam rangka mengamalkan dharma seorang ksatria utama.

     Gambaran kondisi stabilitas politik-kekuasaan, ekonomi dan religiusitas di Kerajaan Kediri era Jayabaya banyak terekam dalam manuskrip Tionghoa, antara lain dalam Kitab Ling-wai-tai-ta karya Chou Khu Fei seorang pengembara pada tahun 1.178.

     Diceritakan bhw masy. Kediri menggunakan kain hingga bawah lutut, rambutnya dibiarkan terjurai. Rumahnya sangat rapi nan bersih dan berlantai ubin, dominan berwarna hijau dan kuning.

    Sektor perekonomian disupport penuh oleh negara dan bertumpu pada bidang agraris (swasembada pangan dan tanaman industri khususnya kapas dengan budidaya ulat sutera) yang memacu perdagangan ekspor ke mancanegara.

       Bidang keamanan sangat diprioritaskan dlm kerangka 'law enforcement'; tidak ada hukuman penjara melainkan sistem denda. Pencuri dan perampok dihukum mati. Mata uangnya terbuat dari perak; tapi maskawin dalam pernikahan masyarakat menggunakan emas. Tampaknya pengaruh Islam telah mulai merasuk di era Jayabaya.

       Konon, Jayabaya pernah berguru kepada Syech Ali Syamsu Zain dari Jazirah Arab yg mengembara ke Nusantara. Dalam Jangka Jayabaya Musabar disebut Ngali Syamsujen. Dari Ulama inilah Prabu Jayabaya mampu menjabarkan RAHASIA DUNIA utk memrediksi masa depan dlm kitab ramalannya (*)

                                     [Bersambung...]

Senin, 15 Juni 2020

RAMALAN JAYABAYA (1)

A. PENGANTAR

      Dalam khasanah kebudayaan dan perpolitikan Jawa, nama Jayabaya agaknya telah menjadi referensi utama dalam hal-ihwal peramalan, prediksi dan "penjangkaan" masa depan Bumi Indonesia, yang dahulu disebut Nusantara.

     Bahkan para pujangga (ahli sastra) sekaliber Yosodipuro I dan Ki Ronggo Warsito yg hidup beberapa abad kemudian - entah sengaja atau tidak - menjadikan jangka Jayabaya sebagai rujukan dalam menyusun karya-karya sastra monumentalnya.

     Ketokohan Jayabaya menjadi legendaris nan bertuah, khususnya bagi kalangan penganut "dunia-dalam", "kejawen" dan penganut Aliran Kepercayaan dan/atau Kapitayan yang masih hidup di pedalaman Jawa; dan beberapa aspek ritual "kejawen" masih tampak pada komunitas lingkar eks Keraton Jawa.

     Karya agung Jayabaya yang berupa KITAB RAMALAN, di era kini barangkali bisa disebut sebagai karya "meta-ilmiah" dari seorang Futurolog Nusantara, jauh sebelum hiruk-pikuk teknologi IT beredar di tengah kehidupan masyarakat dunia. Namanya bisa disejajarkan dengan: John Naisbitt (Megatrend 2000), Alvin Toffler (The Third Wave), Kenichi Ohmae (The Borderless World), Francis Fukuyama (The End of Ideology).

    Atau bahkan secara konten ramalan bisa pula disejajarkan dengan pakar demokrasi-politik Samuel Huntington (1993) dengan karya monumentalnya: "The Third Wave: Democratization in the Late 20th Century", yang mengurai proses kelindan demokratisasi di kawasan Amerika-Latin dan Asia-Pasifik.

     Berbeda dengan kelima futurolog asing di abad kini tersebut, dalam menyusun dokumen ramalan-visionernya, niscaya Jayabaya tidak melandaskannya pada data empiris yang ilmiah. Akan tetapi lebih mengandalkan kemampuan metafisik yang diterobos oleh mata batinnya dengan penuh kehati-hatian dan ruh-kebijakan berpikir.

     Tentu saja, kepiawaian dan kekhusyukan serta pengalaman batin (linuwih) Prabu Jayabaya tidak dimiliki oleh manusia kebanyakan kala itu. Untuk menjaga kehati-hatian dan kebijakannya menentukan koridor masa depan bangsa Nusantara, Raja Jawa abad XII itu menggunakan sastra "surat sanepa" (ungkapan penuh perlambang) yang memerlukan kecerdasan tafsir dan konsistensi konteks antara masa lalu dan masa kini demi prediksi masa depan.

     Bahwa ada sementara kalangan yg menganggap kebenaran ramalan Jayabaya sebagai suatu kebetulan (koinsidensi) belaka, atau klenik-nujum dan sejenisnya adalah wajar dan sangat lazim dalam dunia keilmuan. Terlepas dari kontroversinya, tokoh Jayabaya adalah merupakan aset kebudayaan (dan keilmuan) serta fakta sejarah kuno Nusantara; bukan tokoh mitos-kejawen atau hayalan semata.

      Eksistensi dalam sejarah Nusantara belum terbantahkan hingga era milenial kini. Bahkan dari sisi kecerdasan spritual-ilmiah, Jayabaya bisa dikategorikan sebagai FUTUROLOG SEJATI yang belum tertandingi di jamannya. Kita yang hidup di abad ini, banyak nian menyaksikan aneka peristiwa yang telah diprediksi Jayabaya jauh sebelum ilmu forcesting dikembangkan oleh ilmu statistika terapan; yang margin errornya suka-suka researcher dan validitas datanya direkayasa sponsorship. [*]

                                      [Bersambung]

Muarabeliti, 6 Juni 2020

*) Tulisan ini diresume dari: (1) RAMALAN JAYABAYA" (Bagian Akhir), INDONESIA MASA LAMPAU, MASA KINI DAN MASA DEPAN. Diedit oleh Suwidi Tono: Cetakan III Agustus 2006, Penerbit Vision03, 56 hal; (2) GELOMBANG KETIGA INDONESIA, Peta Jalan Menuju Masa Depan, karya Anis Matta. Penerbit Sierra & The Future Institut, Cet ke-1, 2014, 128 hal.

Kamis, 04 Juni 2020

SEPEDA ANTIK

SEPEDA ANTIK

Oleh: Hendy UP *)

    Di kota-kota besar Indonesia, telah bertumbuh komunitas GOES sejak beberapa tahun belakangan ini. Mula-mula diinisiasi oleh para pensiunan baik TNI, POLRI maupun ASN dan kalangan BUMN atau wiraswasta. Mungkin pertimbangan awalnya adalah model olahraga ringan di kawasan kompleks perumahan.

    Barang kali juga terprovokasi oleh gelombang pemikiran lingkungan sehat dengan olahraga kebugaran yang cocok bagi para manula. Belakangan mulai tumbuh pula komunitas pesepeda plus pengoleksi sepeda antik yang merambah kalangan eksekutif muda di kompleks perumahan elit menengah atas.

    Di antara ribuan pemuda milenial Jakarta, adalah seorang pemuda sang penggemar sepeda antik. Namanya Andy Andriana (32 th: 2008). Bermula dari tahun 2000 ketika ia merasa beruntung mampu membeli sepeda Raleigh (utk perempuan) yang diproduksi tahun 1953, dari sebuah pasar di kawasan Mentengpulo, Jakarta Pusat. Sepeda tua yang masih tertempel logo "R" itu dibeli dengan harga Rp 375.000,- Andy sangat senang demi memiliki sepeda tua tersebut yang bisa terkategori sebagai "sepeda antik" nan langka. Ia sudah berkeliling dari bengkel ke bengkel, pasar loak dan barang bekas yang berada di kawasan Jakarta, bahkan hingga ke Depok dan Bogor. Setamat kuliah, perburuan sepeda antik hingga ke kota lama seperti Yogya dan Solo.

    Pemuda penggemar sepeda antik ini adalah putra Pak Rachmad Nugroho, seorang pilot pesawat kepresidenan sejak jaman Pak Harto; dan tinggal di Blok A-9 No. 2 Kompleks Perumahan Jatiwaringin Asri, Pondokgede. Memburu sepeda antik ke berbagai pasar loak dan bengkel sepeda ini, dilakoninya di kala senggang waktu dalam kesibukannya sebagai mahasiswa Desain Universitas Paramadina Jakarta Selatan.

    Tak puas dengan hanya memiliki sepeda Raleigh (1953), ia terus berburu sepeda. Di sebuah bengkel di Warungbuncit (Jaksel), tertengger sepeda kuno merek Gazelle yang dipasang harga Rp 1,5 juta. Sungguh Andy sangat kecewa, karena sepeda itu tergolong sangat tua dan paling dicari oleh para kolektor sepeda kuno. Sayang, ia tak punya uang sejumlah itu; dan ketika hampir setahun kemudian ia hendak membelinya, ternyata bengkel sepeda itu telah raib (jadi bengkel motor) berikut Gazelle yang diidamkannya!

    Dasar Andy si pemburu sepeda, gagal memiliki Gazelle, eh.. tiba2 ditawari oleh seorang kolektor sepeda, merek tua Philips buatan Belanda tahun1930-an dengan harga Rp 175.000,- Di tengah kesibukannya sebagai "car audio spesialis & salon mobil", kini Andy telah mengoleksi 18 sepeda (tua dan baru), antara lain bermerek: Raleigh, Philips dan Centaur buatan Inggris tahun 1940-an. Sepeda Centaur dibeli seharga Rp 175.000,- dari sebuah bengkel sepeda di sebelah Carrefour Jln MT. Haryono Jaksel di tahun 2002.

    Sebagai kolektor sepeda, Andy memiliki komunitas tersendiri yang kadang berkumpul di Silang Monas untuk saling unjuk koleksi sepeda antik dengan aneka variasi dan inovasi keantikannya. (*)

*) Muarabeliti: Erakorona,
     Kamis 4 Juni 2020.

[Ditukil dari Kompas edisi Jumat, 5 Desember 2008; Rubrik Otomotif, hal. 40; Ditulis oleh Musni Muis, wartawan].

Kamis, 26 Maret 2020

PENGANTAR BUKU (3)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian  III

     "Saya bukan saja tidak menyadari adanya konflik itu. Bahkan tidak menyadari hubungan keduanya. Kalau saya menulis cerita fiksi, itu sajalah yang menjadi fokus. Saya merasa bahwa saya punya hubungan naif yang biasa dengan fantasi, yang dengan itu orang harus memulainya; kemudian saya berjuang dengan kata kerja, kata keadaan, atau koma. Dan saya jarang membayangkan apa jadinya cerita fiksi itu. Tentu saja, saya tidak pernah menulis fiksi sebagai ilustrasi dari gagasan yang ada pada diri saya sebagai penulis esai". Begitu pendapat lugas Novelis Susan Sondag, sebagaimana dikutip Ignas Kleden (1989), ketika mengantarkan "Catatan Pinggir II", karya Goenawan Muhamad.

      Sekali pun Susan itu mungkin benar dan jujur, hal itu tidaklah menafikan keperluan untuk melihat, apakah aku sebagai birokrat sekaligus penulis opini kritik kepada Pemerintah tidak melahirkan "modus vivendi" yang baru? Sebagai birokrat, aku berusaha bekerja sesuai dengan "TUPOKSI". Sepanjang karirku sebagai PNS di berbagai instansi, aku berusaha melaksanakan tugas pokok organisasi sebisa mungkin. Walau itu tidak mudah. Ada "job discription" sebagai panduan per eselon, per jabatan, walau kadang tak selamanya jelas. Sering campur-baur, dan selalu ada klausal Tupoksi yang sulit disangkal: "melaksanakan tugas yang diberikan atasan". Tafsirnya bisa melebar-jembar.

     Mungkin karena profesionalitas birokrasi pemerintahan saat ini masih sebatas ungkapan formal- labial. Entah sampai kapan masanya! Untuk melaksanakan Tupoksi, pada galibnya, pertama-tama diperlukan rujukan aturan: UU, PP, Per-Men, Per-Da, atau apa pun produk hukum yang wajib dibaca, dipahami dan direnungkan. Lantas, menuliskannya dalam proposal kebijakan administratif dan/atau teknis operasional.

     Tentu dengan argumentasi yang sehat dan kredibel. Ada Standar Operasional Prosedur (SOP) hingga Pedum dan Juknis. Birokrat, sesungguhnya senantiasa bekerja dengan huruf, kosa-kata, kalimat, paragraf, kadang retorika, hingga apostrof titik koma atau bahkan tanda tanya. Sebagai birokrat, aku bekerja dengan kosa-kata, kalimat dan paragraf.

     Pun pula sebagai penulis aku bergulat dengan material yang sama, menyusun serial paragraf. Aku kadang ber-aposisi dalam menyusun kalimat agar lebih susastra. Bahkan, sebagai penulis artikel, aku lebih leluasa berinovasi dalam membangun proposal, merumuskan dan menderivasi tema. Dalam menulis artikel, aku lebih bergairah menggali dan mempromosikan: ide baru yang "out of the box", mengungkit kosa kata "bari" yang lokalistik ke level nasional, membuat kosa-kata baru yang terdengar "aneh".

     Misalnya: membeliung, mendedag, melebar-jembar, pekat-lekat, kabur-baur, melejit-gesit, selip-melip dan banyak lagi; yang tidak mungkin ditemukan di KBBI atau KATEGLO Ivan Lanin. Motifku hanya berekreasi sembari berkreasi demi rasa bahasa, taste dan lebih pada "suka-suka gue". Dan itu menghadirkan kegembiraan dalam berkarya. Bukankah evoluasi bahasa apa pun selalu berkelindan dengan derap peradaban baru? Invensi dan inovasi baru? Demi kegembiraan dan kemaslahatan ummat?

     Ketika kesukaanku memunculkan kosa-kata "aneh" yang mengalir dari jiwaku, tiba-tiba aku disokong oleh genius lokal SILAMPARI yang menjulang namanya dengan vitalisme, kapitalisasi kata dan paragrafisasi cerita lokal Silampari. Dan kini telah meloncat jauh dari pusaran lubuk Silampari: ke kampung asing di Pakistan dan terus ke pusat peradaban dunia di Eropa.

      Dan entah akan kemana lagi kelak! Karya-karyanya melejit-gesit, membumbung langit, menapaki gemawan di puncak ionosfir. Bahkan merayap-kayap di belantara flora Nusantara yang berlekuk. Mendesis diam-diam, dan "meracuni" novelis lain yang merasa sudah mapan di zona nyaman.

     Itulah BENNY ARNAS, bujang genuin SILAMPARI yang memprovokasiku untuk segera membukukan arsip tulisanku ini. Padahal, karyaku ini tak lebih dari: GAGASAN LIAR-LIUR YANG MAHANGAWUR. Bukan apa-apa! [***]

Muarabeliti, 1 Desember 2019

PENGANTAR BUKU (2)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian  II

      Kebiasaan menulis dan membaca: mana yang lebih awal? Bagiku, berawal dari membaca. Setidaknya itu pengalamanku. Orang lain boleh beda pendapat. Tapi kini, setelah menulis menjadi hobi, membaca adalah ikhtiar pengayaan tulisan, pelacakan referensial, pemutahiran isu, data dan informasi, agar tak ketinggalan pokok bahasan. Kini, prosesnya menjadi paralel-serial. Menulis sembari membaca. Atau sebaliknya.

     Arkian, samar lamat-lamat, nun jauh di masa kecil, aku terbiasa menyaksikan ayahku membaca. Sambil menunggu ibu bertanak, Ayah mengaisku dengan kain di pinggang kiri, menyuapi mulutku dengan nasi atau ubi bakar; atau menggendongku di petang hari, ayahku senantiasa membaca. Membaca dan membaca! Entah apa yang dibaca, aku tak mungkin ingat!

     Di tahun 60-an, saat aku masih Balita, hidup di kampung, entah buku apa yang Ayah baca. Yang masih kuingat, jika ada momen penting, ayahku menulis di belakang pintu kamar: tanggal lahirku dan kakakku ada di sana. Menjual sapi ada di sana. Merehabilitasi rumah ada di sana. Pendeknya semua event yang dianggap monumental!

   Atau di blandongan belakang. Semacam 'dapur kotor' yang centang-perenang, bertumpuk aneka piranti tani: cangkul, bajak, garu dkk, bersebelahan dengan kandang kerbau-sapi; ayahku menulis dengan arang di dinding gedeg: tanggal lahir sapi atau hari mulai bajak sawah. Dan lain-lain. Dan ingatan itu melekat-pekat dalam pengalaman kecilku.

     Ketika menginjak masa SD-SMP aku mulai meniru, mencatat hal-hal penting di buku bekas, bagian belakang buku atau bekas kalender. Dan kala SPMA, aku mulai rutin mencatat kegiatan harian. Kadang tiap hari, dua hari kemudian, seminggu kemudian atau dirangkum setiap sebulan dan bahkan setiap akhir tahun. Semacam evaluasi diri menjelang menapaki tahun baru.

      Ternyata, kebiasaan itu berlanjut hingga menjadi PNS, baik sebagai staf bawahan maupun ketika aku harus membina banyak orang. Menulis artikel opini di koran, atau di blog/website, atau apa pun namanya, pada hakekatnya adalah menyampaikan pandangan, gagasan atau pemikiran secara personal.

     Ada adagium kuno bahwa menyampaikan gagasan yang (mungkin) benar kepada siapa pun, harus dengan cara yang benar, sopan-beretika dengan menggunakan pilihan diksi-narasi yang santun. Baik ketika berdiskusi langsung (apalagi dengan atasan), maupun ketika beropini di media cetak atau media maya-elektronika.

     Gagasan itu kadang berasal dari potret situasi, deskripsi, atau sebuah obsesi yang harus diraih dan diperjuangkan. Tapi tak jarang artikelku berupa kritik terhadap penguasa. Tentu dengan gaya bahasa santun, menyodorkan fakta baru atau gagasan alternatif atas kebijakan yang kuanggap kurang tepat. Dalam hal mengritik, kadang terasa dilematis. Dan pikiranku harus netral demi menyodorkan kebenaran.  Bahwa kemudian Sang Atasan tak setuju, itu persoalan lain. Yang penting aku sudah memberi "warning" jauh sebelum kondisi yang tak diharapkan nyata terjadi.

     Dulu, ketika aku masih menyandang baju "ESELON", aku paling suka membuat "Telaahan Staf". Dengan instrumen tata naskah ini, aku lebih leluasa mengemukakan argumen teknikalitas, rujukan aturan perundangan, latar belakang gagasan, bahkan tafsir konteks bahasan hingga ke alternatif keputusan bagi Sang Bigbos. Sayang, sependek amatanku, tidak banyak pejabat yang menyukainya. Apa penyebabnya? Wallohu a'lam!

     Melakoni dua pekerjaan yang sama sekali berbeda, barangkali lebih mudah. Tetapi agak sulit, manakala seorang birokrat, sekaligus menjadi pengritik kebijakan pemerintah. Seringkali aku agak gamang untuk menulis hal yang demikian berhimpit. Tapi aku harus tetap tegar demi menyampaikan kebenaran dan alternatif kebijakan.

      Tentu saja ini bukanlah suatu proposisi yang mutlak-absolut. Ada arsir yang samar, putus-putus, seperti yang dialami Susan Sontag yang novelis sekaligus esais dan kritikus sastra. Apa kata Susan? [***]

PENGANTAR BUKU (1)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian   I

Oleh: Hendy UP *)

      Pembukuan kumpulan artikel ini muasalnya berawal dari membaca-baca arsip tulisanku yang pernah dimuat di berbagai media cetak, dan sebagiannya telah terbundel sebagai "kliping koran" yang terserak. Ada di lempitan buku-buku, di map plastik agak berdebu-debu, yang bahkan terselip-melip di rak perpustakaan pribadi yang sunyi, horor nan "wingit". Maklum, ruangan perpustakaan itu semacam paviliun, menjorok- terpisah di halaman depan, sekaligus berfungsi sebagai ruang baca; sembari menunggu jika ada pelanggan dan pembeli air minum galonan berteknologi Reverse Osmosis System (RO). Yaa... sebelah luar paviliun itu, yang terhubung pintu besi, berfungsi sebagai ruang niaga untuk menjual air minum RO.

     Di ruang khusus 4 x 6 meter itu, dipajangi rak buku bertingkat lima dari plat besi siku, dan ternyata semakin sulit melacaknya jika ingin membaca ulang. Maklum, bundel kliping koran itu telah berumur. Ada artikelku yg ditulis tahun 1978, 1979 hingga akhir 1980-an, walaupun tak semuanya layak dibukukan. Ketika mulai membangun website dan mencoba menjadi blogger pada tahun 2014 ~ untuk sekadar merawat minat baca, menghalau kejenuhan dan menahan laju kepikunan ~ arsip tulisan itu diketik ulang secara bertahap.

     Di usia yang menua, mengetik berlama-lama sungguh menyiksa punduk pangkal leher, nyeri pegel-begel: otot nadi tulang punggung bagaikan tersegel kumparan kawat begel! Mata mulai cepat mengabur, berkaca-kaca, seakan terhalang bayang fotopsia, mirip penderita ablasio retina. Mula-mula ngetik di laptop ACER pentium yang semakin lemot, kemudian belakangan berganti menggunakan gawai untuk kepraktisan menulis: kapan dan di mana saja!

     Artikelku di koran, sering dimuat di rubrik opini. Tapi sejujurnya, itu hanya semacam gumaman orang kecil. Meminjam istilah Goenawan Muhamad, tak lebih dari sekadar marginalia, seperti beliau menjoloki CATATAN PINGGIR-nya. Marginalia adalah catatan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca. Kadang bertinta merah, bertanggal baca, untuk menandai dan mengingatkan kembali pembacanya akan hal-hal penting yang termuat pada halaman itu. Catatan-catatan itu sendiri sebenarnya tak penting, kecuali merujuk kepada teks utama sebagai pokok bahasan.

     Jika diingat ulang, sejak mulai menulis, barangkali hampir mendekati duaratus buah artikel yang pernah diterbitkan berbagai koran, majalah, bulletin pertanian dari 1978 hingga 2019 ini. Ada Cerpen dan Cerbung yang berlatar romansia remaja. Ada tentang teknologi dan sosial pertanian, tentang kritik terhadap kebijakan pembangunan pedesaan; bahkan merambah ke soal sosial-keagamaan dan peradaban.

     Ada juga tulisan tentang seseorang, teman atau tokoh yang aku kagumi. Pendeknya, aku menulis tentang apa saja, yang kuanggap perlu diketahui, dipahami dan direnungkan oleh berbagai kalangan, khususnya tokoh masyarakat dan pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah. Ya, semacam ikhtiar menyemai kreator peradaban! Tapi sejujurnya, kalau boleh mengurut prioritas atensi dan ketertarikan bidang, aku lebih nyaman dan 'PD' menulis tentang: sejarah, sastra-kebahasaan, humaniora, sosial pertanian dan pedesaan. Selebihnya, aku menulis tentang sesuatu jika ada rangsangan yang menyembulkan desire dan kuriositas.

     Yaa ..., ide menulis kadang muncul dari hasil membaca buku, koran, twitter, instagram, portal berita, blog sastra atau bahkan celotehan emak-emak di WA Grup. Juga dari restan memori setelah nonton tayangan film-tv, youtube, film pendek atau panjang. Bahkan sering kali berasal dari perjalanan kluyuran ke desa-desa, ngobrol "ngalor-ngidul" dengan sesiapa, atau bahkan pascamenyaksikan lingkungan yang asri, yang jorok centang-perenang nan berantakan!

     Atau hasil mengendus situasi fenomenal tentang sebuah isu yang sedang viral, dibincangkan masyarakat umum, baik di WA-Grup maupun Facebook. Semisal dampak dari: Narkoba, Corona virus, Pileg, Pilkada- Pilkades. Belakangan ada produk demokrasi baru tentang Pilsung Badan Permusyawaratan Desa. Yaa ... semacam lembaga legislatif di tingkat desa. [***]

Rabu, 25 Maret 2020

FILM HAYYA: MELEPAS KORTISOL & ENDORFIN

FILM HAYYA: MELEPAS KORTISOL & GUGUS ENDORFIN

Oleh: Hendy UP *)

     Seratusan menit menikmati Film Hayya, aku mengalami tiga hal: ejakulasi batin, permenungan jiwa dan pelepasan endorpin otak yang mangkal pada sirkuit kegembiraan. Aku tak tahu, apakah penonton lain termasuk Benny Arnas yang duduk di depanku meraih pengalaman yang sama? Entahlah! Sepuluh menit pertama, dalam kegelapan gedung Sinemaxx Lippo, penonton disuguhi adegan sedih. Keceriaan gadis kecil Hayya dan puluhan anak Palestin di Pasar Jabalia melambungkan rasa bersalah kita.

     Kegembiraan anak-anak kita di pedesaan Musirawas: dari Muarabeliti  hingga dusun Selangit, adalah kegembiraan otentik-genuin yang tak terbeban kemungkinan tertembus peluru atau desing mesiu di atas ubunnya. Kerekatan gadis kecil Hayya dengan Rahmat selama di barak pengungsian, tiba-tiba harus ditetak jiwanya, karena Rahmat akan kembali ke Indonesia. Hayya kecil memberontak, tak terima.

      Inilah awal kisah yang membuat gadis kecil  Hayya nekad masuk ke koper besar Rahmat, terikut serta berlayar kapal  ke Indonesia. Memang potongan episode yang ini agak melawan rasionalitas penonton.

      Tanpa sadar, ada kilatan bayang fotopsia menghalangi layar lebar. Aku menahan air bening yang menggelayuti kelopak mata, seakan sedang menderita ablasio retina; sejurus kemudian syaraf simpatetik mataku menegang, kemudian melepaskan hormon kortisol. Dan jatuhlah lelehan air kesedihan itu!

     Sebaliknya, ada adegan kocak Adhin, berlari menyungging Hayya ketika menyelamatkannya dari kejaran Polisi. Ada hiruk-pikuk para 'Banci' yang menggelakkan beruyak-tawa. Penonton terpingkal-pingkal histeria! Background kampung kumuh dan "AWAS ANJING GALAK", mampu melupakan sejenak jejak keprihatinan nasib Hayya. Syaraf penonton dipaksa melepas endorfin dan memainkan sirkuit kegembiraan yang meluap-luap.

     Agaknya sutradara Jastis Arimba sangat mumpuni dalam menakar harmonik osilasi jiwa penonton, dan menghitung ujung amplitudonya: titik ekstrim syaraf jiwa-sedih dan titik ekstrim bahak- kegembiraan. Tentu saja, sutradara telah mengalkulasi potensi populasi penontonnya, yakni kaum milenial dan generasi-Z yang kini dominan dalam statistik demografi Indonesia.

     Kejelian sang sutradara Jastis niscaya selaras dengan kepiawaian produser Erik Yusuf bersama Helvy TR di bawah bendera Warna Pictures. Pasti bukan tanpa alasan ketika setting-place yang dipilih adalah Pasar Jabalia, Gaza Palestina dan kota Tasikmalaya Jawa Barat, dengan riak-dialek Priangan Timur yang agak vulgar dan kadang khas mendayu-dayu.

    Sungguh selaras, kompromi pemilihan para bintang yang pas dalam memerankan karakter yang dibangun penovelnya: Helvy dan Benny. Tokoh Rahmat Asyraf Pranaja (Fauzi Baadila) seorang jurnalis sang pendosa yang bersemangat menebus masa lalunya, mampu mengekspresikan kegelisahan dan irrasionalitas tindakannya. Sementara tokoh Hayya Qasim (Amna Hasanah Shahab) dipoles karakternya persis sebagaimana persepsi kita terhadap anak-anak Palestin yang full-traumatik, sarat bully dan nyaris kehilangan masa kanaknya karena direnggut Zionis super-biadab.

       Tokoh penting lain yang menyempurnakan multi adegan itu adalah: Adhin Abdul Hakim sebagai Adhin, sangat berhasil meluruhkan 'pembrontakan' jiwa Rahmat dan mampu menyuguhkan banyolan-intelek dalam kebersamaan peran di pelataran jihadnya. Bintang-bintang berbakat lain yang mendukung keberhasilan HAYYA ini adalah mereka yang terbukti mampu memerankan sekuel The Power of Love 2. Mereka adalah novelis Asma Nadia, Meyda Sefira, Ria Ricis, Humaidi Abas dan Hamas Syahid.

       Betapapun, film HAYYA adalah simbol kebangkitan ghiroh ummat dunia, beragama apa pun, yg masih peduli akan peri kemanusiaan dan peri keadilan demi mendukung eksistensi Bangsa Palestin. Lebih dari itu, bagi "Wong Linggau" novel dan film HAYYA adalah menjulang-tingginya bendera SILAMPARI yang bertajuk #JIHADBUDAYA.

       Yang menjulangkannya adalah seorang sarjana pertanian: BENNY ARNAS. Bukan yang lain! Allohu'alam bishowab.

[Muarabeliti, September 24, 2019] *) Blogger: www.andikatuan.net