Sabtu, 28 Desember 2019

WESEL DARI LANGIT

WESEL DARI LANGIT

Oleh: Hendy UP *)

      Alkisah, awal Juli 1992, di tengah kesibukan kantor Dinas Pertanian Rakyat Kab. Musirawas di Talangjawa Lubuklinggau, bergesahlah temanku Saeyono sembari menekan-nekan font mesin tik Oliveti yang berisik-misik. Orkestrasi ruangan semakin berantakan partiturnya, karena ditimpali suara kunyah gorengan ubikepar dan denting sendok-gelas kopi yang menggairahkan kerja.

     Gesah Saeyono itu tentang penyakit "aneh" yang diderita Mulyadi bin Kasimin di Desa Samberejo Curup Provinsi Bengkulu. Sayang, kala itu belum ada HP Android yang bisa memfoto objek apa pun, sehingga aku hanya menangkap tutur cerita dan mengimajikannya setara dengan daya elaboratif nalarku.

     Kata Yono, kaki kanan Mul bengkak sebesar ember karena "keseleo" saat main bola. Setelah berulang-ulang diurut dukun kampung, lalu berobat ke RS-DKT Lubuklinggau, namun bengkaknya tak kunjung kempes. Setelah terkuras uangnya, Pak Kasimin yang memang miskin, akhirnya "menggeletakkan" anaknya sembari menunggu keajaiban Tuhan. Pak Kasimin "pasrah-bongkokan" karena tak mampu lagi berikhtiar secara medikal yang berimbas ekonomik.

      Cerita Yono itu sungguh membuat aku berempatik, tapi aku tak bisa berkutik untuk membantu sepeser duit. Maka malam harinya, di tengah kesunyian dusun Muarabeliti, tergeraklah aku menulis artikel "humanistik" untuk Tempo. Kala itu memang aku jarang absen membaca majalah mingguan Tempo untuk melengkapi berita harian koran Kompas yang harga langganannya masih Rp 30 ribuan per bulan.

      Pada tgl 25 Juli 1992 tulisanku dimuat Majalah Tempo tentang penyakit aneh yang diderita Mulyadi. Kira-kira dua mingguan setelah artikelku di muat, datanglah wesel Rp. 30 ribu dari Tuan X di Jakarta untuk membantu pengobatan Mulyadi.

        Setelah kucairkan di kantor Pos bersama Saeyono si penutur cerita, aku pesankan agar amanah Tuan X ini segera disampaikan kepada Mulyadi di Curup, yang berjarak sekitar 40-an km dari Lubuklinggau. Beberapa hari kemudian bergegaslah Yono ke Curup. Namun apa nasib: sakit Mulyadi telah sembuh total, karena penyakitnya telah diangkat oleh Sang Maha Pemilik Penyakit beberapa hari sebelum wesel tiba. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un!

      Gesah humaniora ini menyajikan  "ibroh" (pada era itu) tentang: sistem jaminan sosial-kesehatan oleh negara, kondisi kemiskinan akut masyarakat, dan kepedulian pemerintahan (lokal-regional-nasional) atas derita warganya.

     Ketiga aspek tersebut sudah banyak diseminarkan di hotel berbintang oleh para petinggi negeri, baik yang birokrat maupun teknokrat; bahkan dihadirkan pula para konglomerat yang siap peduli untuk "membantu" negeri ini dengan sistem "ekonomik-ribawi" jangka panjang, putik-bunga berlipat-lipat seperti perangai IMF, CGI dan konco-konconya.

      Okelah, itu soal klasik! Dan aku lebih tertarik untuk bergesah tentang aspek lain: semangat "solidaritas- spiritualnya". Tuan X di Jakarta, yang tergerak jiwanya utk mengirim wesel, agaknya orang yang terpilih oleh Malaikat untuk mewakili jutaan ummat-Nya bahwa masih ada keikhlasan yang rapat-rapat disembunyikan. Di masa kini, orang justru berlomba memamerkan kesalehannya setiap saat di status instagram dan WAG.

       Tuan X niscaya bukan orang yang baru belajar agama tentang bagaimana praktik berbagi. Akan tetapi sedang mengamalkan metode "berperang" melawan "keserakahan" ibukota Jakarta yang serba "ekonomik-ribawi" nan menuhankan dunia. Dan kini mulai "dilawan" oleh para "homo-spiritualis" baik dari kalangan Islam, Katholik, Hindu-Budha dan komunitas yang lain.

     Soal-soal kemanusiaan, sering kali berhimpit dengan himpunan lingkar keagamaan kita. Jika kita tak cerdas menyintesisnya, lalu tak bijak menyikapinya, niscaya kita terjebak dalam "perselisihan", bahkan menjurus kepada "pertengkaran teo-ideologis".

      Kasus kemanusiaan di Uighur dan dentum meriam yang meluluh-lantakan kawasan Allepo pagi tadi, sungguh bukan lagi persoalan agama. Tapi  telah melampaui jerajak teologia yang mengisyaratkan perlunya solidaritas-kemanusiaan. Allohu a'lam! [*]

*) Muarabeliti, 28 Desember 2019

Jumat, 13 Desember 2019

GELIAT KULTUR MASY. MUARABELITI

GELIAT KULTUR MASYARAKAT IBUKOTA MUARABELITI

Oleh: Hendy UP *)

      Antara tahun 2009-2012 aku diberi amanah oleh The Big-Bos sebagai Chief of SATPAM sebuah kantor OPD Pemda di Muarabeliti. Salah satu anak-buahku yang paling setia dalam mengamankan kantor siang-malam, namanya Yono. Bukan main Yono ini: fisiknya kekar-mekar, trengginas mengoperasikan 'lawn-mower' dan piawai menggoreng pisang lanang. Dan jangan sepelekan: dia pernah memiliki SIM B1-Umum di era reformasi, sehingga mampu mengejar RISAU sekencang dia meluncurkan truk gandeng 22 roda di Toll CIPALI.

    Kabarnya, Yono telah "menyatpami" kantor itu sejak tahun 2007, dua tahun sebelum aku di-SATPAM-kan di situ. Sekadar catatan, kantor Pemda yang muawal dibangun di Muarabeliti (2006) adalah: Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Dinas Pertanian yang ku-SATPAM-i.

      Konon, salah satu pertimbangan ditunjuk sebagai CEO-SATPAM di situ, karena aku pernah mukim di wilayah itu hampir 30 tahun; dan bertalian secara emosional-genealogis dengan warga dusun. Mungkin aku dianggap memahami lekuk topografi wilayah hamparan DAS Beliti, Kelingi, Satan, Temam, Kilan, Terap, Ululesing, Sekunyit, hingga ke Sungai Miyang dan Belua di ujung Durianremuk.

     Atau mungkin, aku dianggap cukup paham tentang sejarah dan dialektika "sosio-localpolitiko" sekitar ibukota yang "agropolis": dari jaman kemargaan Proatin Lima jauh sebelum De Meye menjabat Controleur Onderafdeling Musi Ulu tahun 1940-an hingga era "bedol-kantor" dari Tabapingin ke Muarabelitibaru.

    Alkisah, pagi itu pasca menjadi IRUP apel Senin, datanglah Yono tergopoh-gopoh: "Lapor nDan! Ahad petang kemarin, buah mangga dan lengkeng kita dipanen orang". Maksud Lu, dimaling?, tanyaku spontan. "Bukan dimaling nDan, dipanen orang! Aku kejar nDan! Mereka lari ke repuhan belakang. Tapi tiga anak-anak tanggung berhasil kuamankan", lapor Yono bersemangat, seakan ingin menunjukkan kredit point ke-SATPAM-annya, bahwa dia benar-benar layak mendapat anugrah medali "PRASETYA KARYA SEKURITAS".

      Lalu diapakan ketiga anak itu?, selidikku. "Terpaksa kulepas, nDan! Karena mereka beralasan bahwa kebon buah itu adalah Kebon Mang Endi. Aku khawatir mereka adalah keluarga Komandan dari Dusunbaru", jelas Yono. Aku tersenyum dan bersijingkat memeriksa setiap tegakan pohon. Yono menguntitku sembari mendeskripsikan ciri-miri anak Dusunbaru yang tertangkap.

     Bersiap hendak ke dusun menemui orangtua si pemanen buah itu, langkahku tersanggat, lantas sejenak bermenung-geli. Pertama, Yono tidak menyebut "dimaling", tetapi "dipanen-orang". Ia menggunakan diksi eufemisme-amelioratif dengan dua kemungkinan: utk menghormati aku jika benar mereka bertalian keluarga dengan istriku; atau memang Yono tak biasa mengoleksi kosa-kata bernuansa negatif-peyoratif.

     Kontras dengan kaum milenial kini yang acap menerakan "status dan serapah" nya di WA-Instagram dengan diksi kasar nan lebay. Jadi, Yono adalah prototipe SATPAM yang beradab. Bukankah "nur-keadaban" perilaku tidak hanya harus dipancarkan dari pejabat-petinggi atau orang suci?

     Kemudian aku lebih jauh bermenung kontemplatif. Begini: secara kultural, anak-anak warga "Dusun-Ibukota" belum merasa berada di kawasan ibukota, sebagai "enclave" dari wilayah dusunnya. Kawasan perkantoran masih dianggapnya sebagai "territorial-genealogis" dalam asas hukum adat nenek-moyangnya. Yakni, area tempat mereka "berayao- kume", sembari berburu: diyan, macang, rambay, nere, kemang, payang, kweni, putaran, lobi-lobi, tehung dan buahan lainnya.

      Maka kurang eloklah rasanya, jika SATPAM menangkap anak-anak dengan delik KUHP hanya karena "memanen" buahan di perkantoran. Memang, proses transisi kultural dari "klasik-kedusunan" ke "modernitas-milenial" memerlukan waktu panjang, karena menyangkut perubahan fondasi kebudayaan dan hukum.

     Ya, mirip gerakan pemikiran baru ketika menafsirkan "Philosophische Grondslag" dalam dialektika asas Pancasila. Yang niscaya masih akan panjang diperdebatkan. Allohu a'lam!

*) Muarabeliti, 12 Desember 2019.

Rabu, 27 November 2019

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

Oleh: Hendy UP *)

      Sebagai orang kampung nun jauh di Muarabeliti-Sumsel yang belajar ngelmu 'agro~psikologi', menganalogikan KANGEN itu mirip tumpukan unsur phosfor di dalam tanah. Kata Buckman, sang pakar tanah, hingga kiamat kurang dua hari pun, unsur phosfor itu tak akan bermanfaat, jika tak berbentuk senyawa ortophosfat.

       Katanya, bulu-bulu akar (radix pili) yang berujung pada epidermis folikular dalam anatomi flora, hanya akan mampu menjerap fosfor berkomposisi H2PO4 dalam ikatan ortophosfat.

        Sedangkan "REUNIAN" itu menyerupai sosio-teknologi modern sebagai ikhtiar pengutuhan kembali sebuah peradaban komunitas, kaum atau ummat yang pernah menyatu. Bukankah naluri kita selalu ingin menikmati masa lalu? Betapa pun konyolnya, gilanya? Sedihnya, senangnya?

      Karena kita yakin masa lalu mustahil hadir kembali, maka reaksi kita adalah menghadirkan memori masa lalu yang jauh. Mungkin jauh sekali! Sejarak Kampung Edensor di Inggris Utara hingga Kampungku Cimanggu di ujung Banyumas Barat. Yaa, semacam recollecting memories in the past!

        Masih meminjam istilah ilmu pertanahan; ketika momen reunian terjadi, hakekatnya adalah mengondisikan area tanah (yang menumpuk phosfor) kepada nuansa potensial-Hidrogen (pH) yang pas, sehingga terbentuk ortophosfat.

       Maka, unsur-unsur phosfor kerinduan itu meleburlah! Rasa kangen itu membuncahlah! Tawa-ria itu gelorakanlah! Tangis-rindu itu meledaklah! Airmata-syahdu itu melelehlah! Lalu dalam riuh-rendah yang membeliung kelenjar jiwa persahabatan itu, akan kembali tenang nan syahdu. Tanpa geriak nan hiruk-pikuk kekanak-kanakan lagi.

      Namun hati2, dan ingatlah: bahwa teman rindu kita yang berlainan jenis itu bukanlah mahrom kita. Stoppp.... berpelukan! Sesungging senyummu yang tulus dan gestur kerinduan yang tak bisa kita 'bikin-bikin', adalah lebih mulia ketimbang berpelukan erat bagaikan kaum tak beradab dan ketinggalan ta'lim!

      Cukuplah satukan telapak tangan, seperti "mojang Priangan" bersalaman, tanpa sentuh jemari tangan. Bagi yang sama-sama non-Muslim, silakanlah! Atau sesama jenis, monggo-kerso dendam berpelukan: sa'kuate, sa'karepe!

       Penentu titik ekuilibrium dalam momen reunian, boleh jadi postulat dan variabelnya multi ragam. Ada yang ingin mendaki bukit monumen kebersamaan: di ruang kelas, di kantin, di lapangan praktek traktor, di ruang sunyi laboratorium kimia. Atau bahkan ada yang ingin ketemu pacar lama yang tak berjodo. Ada belasan atau bahkan puluhan monumen-memorial yang momennya ingin terulang.

       Hanya sehari berkumpul, tentu ada pengelompokan kaum reunian. Secara alamiyah, gerombolan kelas dan tahun angkatan akan terbentuk. Pasti! Dalam waktu yang relatif pendek, kita tak mungkin menyapa semua. Ada semacam geometrika keakraban yang terpotong oleh garis lengkung yang lain. Sebutlah prioritas memorandum yang pernah terbangun dulu. Entah tentang apa, sepanjang rentang waktu yang menahun.

       Sependek memoriku, paling banter hanya mampu mengingat monumen wajah (dan perangai) teman sekelas yang akrab, teman sesekolah segang kos-kosan, adik kelas yang pernah diplonco dan berkesan, kakak kelas yang pernah berbaik hati. Selebihnya adalah teman alumni yang statusnya ibarat ketemu di ruang tunggu Bandara atau lapangan kampanye Pilkada. Tak saling kenal secara person-emosional.

        Sobatku sealumni, aku berharap kita dipertemukan di arena 'peleburan rindu' kelak. Kita akan menyatu dalam tungku panas peluruhan karat yang telah mewindu membelenggu jiwa. Setidaknya akan merasakan suasana lampau di sekitar Tugu Keresidenan, yang mungkin agak berlumut dan sedikit angkuh.

       PURWOKERTO ...oh Purwokerto! Kota rantauku 44 tahun lalu. Ada jutaan jejak kaki tlah tertimbun masa dan bau tetesan keringat menguyup baju seragam perjuangan!  Sobatku, jika niatku tak kesampaian ke Reunian kelak; karena berbagai kemungkinan, aku hanya mampu bergumam: "Someday you will know, that no one can love and miss you, as much as I do".

*) Blogger: www.andikatuan.net.
     [Muarabeliti, 3 Sept 2019].

Senin, 25 November 2019

JERAMBAH BARU NIUK

JERAMBAH NIUK

Oleh: Hendy UP *)

     Sejak awal November 2019 ini, alhamdulillah jembatan beton Tanahperiuk sudah fungsional walau belum berambu-lalin dan diresmikan Pak Gubernur Deru. Jembatan milik provinsi yang relatif pendek bentangnya namun panjang masa pengerjaannya itu, merupakan penghubung dua wilayah otonom, yakni Kab. Mura dan Kota Lubuklinggau. Rasanya hampir tiga tahun, besi gelagar itu "nyelonjor-bedegang" terlunta-lunta nan mengenaskan jiwa.

     Lambannya pembangunan Jerambah Niuk itu, kabarnya disebabkan negosiasi alot antara pemilik tanah warga Dusun Niuk dengan Pemerintah Provinsi Sumsel. Jerambah ini berada di jalan provinsi yg berpangkal di Simpangperiuk (Lubuklinggau) lalu meliuk membelah kawasan Tugumulyo (eks Kolonisasi), nyambung ke kawasan Kec.  Sumberharta hingga di Simpangterawas sepanjang lebih kurang 22 kilometer.

      Sebutan "JERAMBAH NIUK" itu adalah bahasa Lembak Silampari, yang bermakna Jembatan Tanahperiuk. Apakah kosa-kata 'jerambah' ada kaitan dengan bahasa Belanda "de brug" (jembatan) yang mengalami perubahan gramatikal-fonetik seperti halnya "Buitenzorg" yang berubah menjadi Bogor? Wallohu a'lam!

     Arkian, dahulu kala Jerambah Niuk itu berupa jembatan gantung yang dibangun Belanda seiring dibukanya Kolonisasi Toegoemoeljo antara 1937-1940; dan paralel dengan masa pembangunan Watervang 1939-1941. Menurut para orangtua (saksi sejarah), jerambah gantung itu posisinya persis di jembatan baru sekarang ini.

       Konstruksi gantungannya menggunakan 'baja seling' dan lantai papan, sedikit 'beguyang-guyang' dan bisa dilalui mobil kecil untuk mengangkut material dan hasil bumi dari dan menuju kawasan Kolonisasi Toegoemoeljo. Sekitar tahun 1960-1962 jerambah gantung itu pernah putus (Biografi Bupati Ibnu Amin, 2005, hal. 24). Menurut mBah Keling warga Kartomas (77 thn) yang pernah ikut menjadi kuli bangunan Jerambah Niuk, jembatan lama (kini masih fungsional) dibangun pada tahun 1971 hingga 1972. Persis serempak dengan Jembatan Musi Tebingtinggi, yang berjajar dengan jembatan rel Kereta Api sekarang.

      Di tengah masa pengerjaan jerambah Niuk lama, pernah terjadi banjir-bandang Kelingi, sehingga tiang dan gelagar penyangga sementaranya hanyut-lanyut berantakan. Maka terjadi hambatan teknis beberapa pekan, karena mengganti tiang penyangga baru dari batang kelapa berikut kawat behel pengikatnya. Material tanah timbunan untuk oprit abutment jembatan diambil dari lahan warga, dengan harga angkut borongan seringgit (Rp 2,50) per kubik galian tegak. Konon, pemborongnya berasal luar daerah, mungkin dari Jawa dengan manajer lapangannya bernama Prajitno.

      Namun sayang, kokohnya Jerambah Niuk yang baru ini belum didukung oleh pelebaran jalan yang memadai, baik dari arah Simpangpriuk maupun dari Siringagung khususnya sepanjang Dusun Niuk. Kita maklum, bahwa jalan milik provinsi itu dirancang sekitar 80 tahun yang lalu. Untuk pelebaran jalan sepanjang Dusun Niuk memang agak problematik. Ongkos sosialnya cukup tinggi, khususnya terkait dengan prosesi Pilkada Gub/Bupati yang seringkali berdampak nyata terhadap elektabilitas para kandidat, jika dianggap bertentangan dengan hak msyarakat pemilih.

       Satu-satunya alternatif adalah membuka ulang dokumen perencanaan jalan provinsi, yang dulu pernah digagas membuat jalur alternatif: yakni dari Bundaran Agropolitan Muarabeliti - Kampung Bali - Airsatan - terus 'shortcut' ke Jalan Baru Siringagung (via persawahan), menuju Petanang melalui "Jalur Simpanglima Sirgung" yang kini masih berjolok "SIMPANGBINGUNG".

       Ini sekadar pikiran liar-liur nan sedikit ngawur. Allohu'alam bishawab!

     *) Blogger: www.andikatuan.net    [Muarabeliti, 25 November 2019]

KARTOMAS: DELINKUEN & NARKOBA?

KARTOMAS: DELINKUEN & NARKOBA?

Oleh: Hendy UP *)

      Kartomas adalah nama sebuah jalan. Merujuk ke UU No. 38 Tahun 2004 juncto PP No. 34 Thn 2006 tentang Jalan, mungkin berstatus jalan desa. Sedangkan menurut UU No. 22 Tahun 2009 ttg LLAJR, mungkin berkelas II dengan muatan sumbu maksimal 8 ton. Karena proses simplikasi "penjolokan bahasa", nama jalan itu kini berubah menjadi nama kampung.

    Secara administratif pemerintahan, kampung Kartomas merupakan tlatah RT 03, Kelurahan Karangketuan Kec. Lubuklinggau Selatan II, di wilayah Kota Lubuklinggau yang berada di ujung Barat Laut Provinsi Sumatera Selatan.

     Dua puluh tahun yang lalu, kampung Kartomas yang dulu disebut Talangdarat - Lubuktube sungguh terasa nyaman, asri nan aman. Di pagi buta, kanal irigasi sekunder menuju Airlesing yang dibangun tahun 1971-1972 itu, airnya bening nir-sampah dan menghanyutkan keberkahan bagi kemakmuran Masyarakat Tani di wilayah hilirnya. Barangkali itulah nilai gagasan moral-ideologisnya ketika Van Deventer meluncurkan tagline "Edukasi-Imigrasi-Irigasi" terlepas dari konteks "balas jasa" atas kekejaman Kolonialis negerinya.

     Atau barang pasti, sebuah obsesi Sang Pangeran Amin Ratoe Asmaraningrat (Pesirah Proatin V), ketika "berduel-argumentasi" dengan Controleur Onderafdeling Musi Ulu untuk membangun jaringan irigasi di luar Kolonisasi Toegoemuljo di tahun 1935/1936. Sekadar catatan, 20 desa Kolones yang dibentuk tahun 1937 hingga 1940 semuanya berada di wilayah Marga Proatin V (Disertasi KJ Pelzer, 1945).

       Tapi hari-hari ini, jika di pagi buta kita mengamati aliran irigasi, sungguh sangat memrihatinkan: aneka koloni sampah berarak, berbuntal plastik dan kardus tersanggat-sanggat di jembatan usahatani, mengalir entah kemana! Betapa masyarakat masih rendah kesadarannya akan kebersihan lingkungan. Subhanalloh...!

     Tapi ada yg lebih menggusarkan jiwa. Kondisi ekonomi masyarakat Kartomas yang mayoritas penggarap sawah, buruh tani dan kerja srabutan, melahirkan "generasi delinkuen" yang diformat lingkungan tak sehat seperti sabu, narkoba dan sejenisnya.

      Secara sosiologis, Dilinkuen adalah sebuah kondisi penyimpangan dan/atau penyelewengan perilaku remaja akibat kurangnya pengasuhan orangtua dan berbasis ketakharmonisan keluarga. Pada galibnya, faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan (dan agama) adalah pangkalnya. Dan gejala ini agaknya terjadi tidak hanya di kawasan Kartomas, namun gejala umum di semua kawasan.

     Meminjam istilah sosiologis, bahwa motif penyimpangan sikap remaja, baik yang tunggal maupun yang gabungan, bisa bersifat: biogenetis, sosiogenetis atau bahkan teogenetis. Utk kasus delinkuen Kartomas - yang terbentuk antara tahun 1990-an hingga 2000-an - agaknya lebih akibat gabungan aspek sosiogenetis dan teogenetis. Sebagai studi kasus, Pemerintah (dan Pemkot Lubuklinggau) bisa memperdalamnya dengan metode survei sederhana atau metode kajian lain yang kredibel.

      Banyaknya anak putus sekolah dan/atau tamatan SD-SMP-SMA (tanpa keterampilan) di tengah sulitnya lapangan kerja serta status delinkuen para remaja, menjadikan warga Kartomas gusar oleh kejadian pencurian dalam tiga tahun terakhir ini; baik siang hari, apatah lagi malam hari.

       Dari perilaku mereka, menguatkan dugaan bahwa pengaruh narkoba telah berdampak akut atas kasus: maling motor, ayam, pisang, kelapa, mesin air, paralon kolam, fasilitas masjid, seng pondok di sawah atau apa saja yang bisa ditampung oleh penadah entah di mana.

     Duit hasil curian, dibelanjakan utk: narkoba, rokok, minuman dan pulsa. Mayoritas warga gusar, Pak RT 03 sangat kesal dan Lurah hanya terima laporan. Beberapa kali warga lapor ke Polsek atas rekom RT, namun hanya memperbanyak dokumen pelaporan saja. Ikhtiar POLSEK utk membekuk oknum maling tak pernah terdengar beritanya, apatah lagi hasil buruannya.

      Kartomas... oh Kartomas, nasibmu semakin  merisaukan, karena para penghuni remajanya banyak yang berprofesi sebagai "RISAU". Wallohu a'lam bi shawwab!

*) Muarabeliti, 25 November 2019.

Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 29 Oktober 2019

IRIGASI AIR-RAWAS: QUO VADIS? (2)

IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (2)

Oleh: Hendy UP *)

      Pasca-terbentuknya DOB Muratara, Bupati Musirawas bersurat kepada Penjabat Bupati Muratara, bahwa demi keberlanjutan program ketahanan dan kemandirian pangan nasional (khususnya beras) Proyek Irigasi Air Rawas perlu dilanjutkan.

      Surat bertanggal 26 Februari 2014 itu juga menginformasikan bahwa pada tahun 2013 Pemda Mura telah menganggarkan Rp. 10 milyar untuk pembebasan lahan tapak bendung perangkap air (watervang). Namun, karena bersamaan terbitnya Perppres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah utk Kepentingan Umum; dan menunggu aturan teknikalitasnya (sebagai derivat atas UU No. 2 Tahun 2012), maka kegiatan tersebut tidak bisa dilaksanakan.

     Berdasarkan dokumen Studi Kelayakan (FS) Air Rawas, keperluan tanah untuk tapak bendung dan jaringan pendukungnya diperlukan lahan seluas lk. 141,73 hektar yang berada di Desa Sungaibaung dan Pulaulebar dan beberapa desa di holirnya. Untuk proses pembebasan lahan tersebut telah terbit Kpts. Gubernur Sumsel No. 714/Kpts/I/2013 tentang Pendelegasian Kewenangan Pelaks. Persiapan Pengadaan Tanah Kepada Bupati Mura. Namun lagi-lagi terbentur aturan teknis dari Pusat yang belum terbit.

     Selain Desa Sungaibaung dan Pulaulebar yang menjadi lokasi bendung, beberapa desa lainnya yang potensial terdampak pembangunan jaringan irigasi dan percetakan sawah adalah: Kertadewa, Sungaijauh, Sungaikijang, Remban, Lesungbatu, Lesungbatumuda, Surolangun, Lawangagung, Karangwaru, Simpangnibung, Sungailanang, Lubukkemang, Karanganyar, Kertasari, Rantaukadam, Karangdapo, Biarolamo, Aringin, Binginteluk, Beringinsakti dan Desa Tanjungraja.

     Untuk membangun partisipasi masyarakat yang akan terdampak pembangunan irigasi, tentunya memerlukan strategi multi-aspek yang bijak-bestari, transparansi dan kejujuran dengan aneka pendekatan yang 'mahasabar' dari aparatur Pemda. Jaringan urat sabar perlu lebih dilenturkan dan dua daun kuping wajib diperlebar.

     Akan tetapi, belajar dari pengalaman penerapan teknologi baru di bidang apapun (sosial-teknikal-manajerial), khususnya dari kultur berkebun dan model usahatani ekstraktif lainnya ke sistem persawahan 'padat kerja', diperlukan waktu lama dan percontohan usahatani yang nyata nan realistis. Perubahan jarak psikologi-kultural dari tradisional ke semi modern, modern dan post modern, niscaya perlu panduan dan mentor terus-menerus dari Pemerintah dan tak kenal lelah.

      Apapun cerita perjuangannya kelak dan sikap antisipasif untuk mewujudkan Proyek Irigasi Air Rawas, yang jelas para Birokrat dan Teknokrat Negeri ini, baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan ke bawahnya, harus diniatkan untuk ibadah.

     Bukankah kata al-mukarrom UAS dan UAH menjadi Pejabat itu akan berpeluang memperoleh pahala (dan bonusnya) untuk cepat lolos ke Surga dari pintu mana pun? Allohu'alam. Semoga saja! [*]

Muarabeliti, Oktober 29, 2019.

*)Blogger: www.andikatuan.net

IRIGASI AIR-RAWAS: QUO VADIS? (1)

IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (1)

Oleh: Hendy UP *)

     Proyek irigasi Air Rawas yang dulu digadang-gadang bakal mencetak 10.000 hektar sawah baru, kini seakan tenggelam ditelan pusaran Muararawas atau tertimbun bongkahan batu galena di Pulaukida Rawas Ulu. Bagaimana nasibnya?

      Sebagai insan pertanian yang prihatin dengan konversi puluhan hektar sawah subur menjadi rumah dan kebun di Kawasan eks Kolonisasi Merasi - baik karena kebutuhan pemukiman maupun kekesalan petani karena tak kebagian air irigasi - saya berharap akan tergantikan dengan percetakan sawah baru di Kab. Muratara. Ini semata demi stabilitas pangan di Negeri Silampari secara berkelanjutan.

      Secara nasional, pertumbuhan produksi beras yang 'naik tak memadai' (involutif, tak sebanding dg naiknya kebutuhan) dan cenderung 'mentok-naik' (levelling off) belakangan ini, merangsang Petinggi Negeri berpikir keras nan jangka panjang.

     Presiden Jokowi di era pertama (2014-2019), bertekad membangun sektor pertanian dengan tagline #satutiga-49. Maksudnya: akan mencetak sawah baru 1 juta hektar, merehabilitasi sawah (dan irigasinya) 3 juta hektar, serta membangun 49 bendung irigasi baru. Apakah kini sudah tercapai? Berita di portal website mengabarkan: banyak bendungan mangkrak, irigasi kerontang dengan aneka persoalan klasik. Allohu'alam!

      Sebagai DOB, Kab. Muratara memiliki kekayaan luar biasa. Di samping tanahnya menyimpan deposit aneka tambang mineral dan gas bumi, di bagian hulunya menyimpan jutaan mata air yang mengalirkan sumberdaya mahapenting untuk keberlanjutan ummat: it's million of cubic water!

     Hasil studi kelayakan (FS) pada tahun 2007, debit Air Rawas tercatat 20 liter per detik. Secara konstruktif-teknologis, dengan tingkat elevasi dan level kemiringan, dan derajat porositas tanahnya plus manajemen tata kelola irigasi yg ketat, diperkirakan mampu mengairi sawah minimal 10.000 hektar.

      Tentu saja, untuk mempertahankan debit itu, Pemda Muratara wajib menjaga keutuhan kawasan hulu sebagaimana diamanatkan UU Sumberdaya Air terbaru, yakni UU No. 17 Tahun 2019 yang baru diundangkan beberapa minggu lalu. Lantas, apa persolaan mandegnya Proyek Irigasi Air Rawas? Bahasa kerennya: Quo Vadis? Alumni pesantren menggumam: kayf masir alwazifa?

      Persisnya saya tak pernah tahu. Tapi tahapan langkah proseduralnya sudah cukup memadai. Catatan harian saya di tahun 2005, ketika saya masih berstatus birokrat, utk pertama kalinya saya mendengar paparan Ir. Intan dari Dinas Pengairan Mura di hadapan Bupati tentang prospek pembangunan irigasi Air Rawas.

     Dalam catatan saya, Pemkab Mura (sebelum ada DOB Muratara) telah melaksanakan FS tahun 2006/2007, studi AMDAL tahun 2008/2009; dan kemudian Pemprov. Sumsel telah menyusun Detail Enginering Desain (DED) pada tahun 2012. Pada tahun 2015/2016 (pascaterbentuk DOB Muratara) pihak Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII telah rampung mengadakan Review DED.

      Dilanjutkan pada tahun 2017/2018, studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) telah menjadi bundel dokumen yang sangat berharga. Sekadar mengingatkan saja, bahwa studi LARAP adalah persyaratan mutlak utk memulai pembangunan skala besar, yakni berupa dokumen atas aktivitas pencarian pola/model aksi dlm. proses pembebasan lahan, bangunan dan tanam-tumbuh serta pemindahan penduduk yang terkena dampak pembangunan dengan pendekatan partisipatif.

     Jika tahapan studi LARAP sudah usai, maka langkah selanjutnya mungkin perlu ijin pendelegasian dari Gubernur untuk pembebasan lahan, baik utk tapak bendung maupun jaringan konstruksi primer, sekunder, tersier, dam bagi dan seterusnya.

      Sembari menunggu proses penyusunan RAPBN-P tahun 2020 dan APBN 2021, dalam hiruk-pikuk koalisi Kabinet Indonesia Maju Jilid II, niscaya Bupati Muratara telah menyiapkan berbagai dokumen untuk melengkapi usulan baru tentang keberlanjutan Proyek Irigasi Air Rawas. [*]

Muarabeliti, Okt 29, 2019.

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 09 Oktober 2019

BUNDARAN SIMPANG BINGUNG

BUNDARAN SIMPANG LIMA "SIR-GUNG" & TUGU NANSUKO

Oleh: Hendy UP *)

    Demi menghindari kemacetan pagi mulai dari KOMPI Tabapingin hingga Simpang RSEA (Reconstruction South East Asia, bukan RCA), saya sering kali memilih jalur 'short-cut': Ketuan - Siringagung - Batuuripbaru - Kenanga II - Simpang RSEA Lubuklinggau.

    Di Simpanglima Siringagung, beberapa meter dari SPBU, para driver harus hati2 karena akan berbelok 'kiri-patah' sekitar 45°, lalu mengular kanan patah 45° menuju Kenanga II. Kondisi Oktober 2019 ini, khususnya jam-jam pagi, sudah lumayan sibuk kacau-balau. Orang Sunda menyebutnya'ribeut-pabeulieut'. Sedemikian kacaunya dan tanpa rambu penunjuk arah, warga setempat menyebutnya "SIMPANG BINGUNG".  Di pagi hari yang dominan adalah: pelajar (SMAN 4 & SMAN 7)- para ASN dan buruh-tani.

   Lalu saya membayangkan kondisi lalu-lintas yang potensial 'kacau-macau' ini pada 20 atau 50 tahun yang akan datang. Karena pembaca blog saya [www.andikatuan.net] tidak hanya 'Wong Silampari' (Lubuklinggau-Mura-Muratara) saja; bahkan 2- 3% nya warga USA, Australia dan Eropa, maka perlu saya definisikan Simpanglima SIR-GUNG itu apa.

    Sir-Gung itu kata pangkasan dari Siringagung, sebuah kelurahan di wilayah Lubuklinggau Selatan II, kota kecil di ujung Baratdaya Provinsi Sumatera Selatan. Kota ini dijuluki Kota Transito, karena dilalui jalur tradisional Trans Sumatera dari Jawa - Lampung - Palembang - Bengkulu - Jambi - Padang hingga ke Aceh. Simpanglima Sir-Gung berada di jalur ini.

   Simpanglima ini adalah titik sirkuit yang memecah lima trace-akses: (1) menuju GOR Petanang/Lintas Sumatera, Jambi, Padang dst, (2) menuju Kawasan Tugumulyo/Ibukota Muarabeliti/Tanahperiuk Musirawas, (3) menuju Batuurip/Kenanga II/Lubuklinggau, (4) menuju Watervang/Kelurahan Siringagung, (5) menuju SMAN 4/Kel. Siringagung. Dan mulai sekarang, Simpanglima ini harus segera dipikirkan solusinya agar kelak menjadi "SIMPANGLIMA SIR-GUNG" yang megah nan indah, bahkan bisa dijadikan "Ikonik Lubuklinggau Kota Metropolis Madani".

     Di tengahnya menjulang monumen TUGU NANSUKO yang bersorban bunga Celosia aneka warna; di malam hari terpendar terang 'lampu bar-lip' seolah mendesau-risau mengejar percik lengkung geometrika air mancurnya. Dan 'petang-ahay' menjadi objek selfi anak milenial yang lelah setelah belajar seharian. Tugu monumen berjolok NANSUKO adalah wajar sebagai bentuk penghargaan atas legasi yang akan diingat sepanjang masa.

    Saya tidak pernah membaca dokumen RTRW atau RDTR Kota Lubuklinggau. Tapi saya yakin sudah ada, termasuk planning Simpang Sirgung ini. Tentu saja saya tidak perlu mengutip butir-butir pikiran Melville C. Branch, Aurosseau atau Interpreting The City-nya Mang Truman Hartshorn. Tapi yang pasti, 10 hingga 50 tahun ke depan, Simpang Lima Sir-Gung akan sangat potensial kacau jika tak dipikirkan mulai sekarang. Dua hal yang saya bayangkan.

    Pertama, laju aktivitas transportasi yang akan melintasi Simpanglima Sir-Gung pasti sangat tinggi. Ditambah kemacetan di jalur kota akan memindahkan jalur kemacetan ke Jalur Kenanga II dan/atau jalur GOR Petanang. Pertumbuhan kawasan permukiman, kompleks pendidikan dan industri jasa lainnya di jalan baru Siringagung - GOR Petanang sangat potensial berkembang.

     Hal ini didukung oleh status jalan tersebut sebagai jalan poros Lintas Sumatera. Kedua, akan sangat tersiksa dan tidak nyaman para pemilik rumah yang berada di sirkuit Simpanglima. Sangat berbahaya bagi anak-anak mereka dan sangat sulit manuver kendaran yang akan keluar-masuk garasi rumahnya. Mungkin sekarang mulai merasakannya pada jam-jam sibuk. Apakah Pemerintah Kota akan diam saja? Tentu harus segera bertindak dengan penuh kebijakan dan visioner!

    Saya berharap, political-will Pemkot Lubuklinggau yang sungguh-sungguh visioner akan menuntaskan apa pun kendala teknikalitas di lapangan. Kuncinya adalah membangun komunikasi yang setara tanpa harus kehilangan wibawa Pemerintah.[*]

Muarabeliti, Rabu 9 Oktober 2019 *) Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 07 Oktober 2019

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR (2)

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR, AHAD HARI PERTAMA NGANTOR (2)

Oleh: Hendy UP *)

        Sepanjang pelacakan sejarah, ternyata mayoritas negara di dunia meliburkan aktivitas pemerintahannya pada hari AHAD, dengan alasan utk melaksanakan ibadah. Lain halnya negara-negara Jazirah Arab dan Timur Tengah yang meliburkan aparatur negaranya pada hari Jumat, dengan alasan yang sama: utk mengkhusyukan ibadah. Hanya Israel yang berlibur Sabtu, juga dengan alasan utk ritual di Sinagog dan 'menghadap' Rabbi Dovid Gutnick.

     Demi menguji nalar sejarah bangsa tentang hari AHAD sebagai Hari Libur Nasional, saya melacak sumber hukum yang mendasarinya, yakni: (1) Penetapan Pemerintah (Penpem) Thn 1946 No. 02/Um; (2) Kepres Thn 1953 No. 24; (3) Penpem Tahun 1964 No. 2/Um, 7/Um dan 10/Um juncto Penetapan Menteri Agama Tahun 1952 No. 8 tentang Hari Libur.

      Dasar hukum yang lebih bersifat teknikalitas antara lain: (1) Keppres No. 68 Th 1995 tentang Hari Kerja Di Lingkungan Lembaga Pemerintah, yang merujuk kepada UU No. 8 Thn 1978 ttg Pokok-Pokok Kepegawaian; (2) PP No. 30 Thn 1980 yang diganti PP No. 53 Thn 2010. Itu pun hanya terkait dengan disiplin dan jam kerja PNS; (3) UU No. 5 Tahun 2014 ttg ASN yang terdiri dari 141 pasal, hanya satu ayat (Pasal 86) yang terkait dengan disiplin ASN.

       Jadi, sependek pengetahuan saya, landasan hukum hari kerja (dan hari libur) nasional di Republik ini adalah Keppres No. 68 Tahun 1995. Mungkin saja, saya mengidap penyakit 'kurapan' (kurang update aturan).

      Tapi sejujurnya, saya belum pernah membaca naskah akademik atau 'legal reasoning' atas aturan hukum tentang Hari Libur Nasional. Saya terkejut ketika membaca naskah penjelasan Kepres RI No. 24 Th 1953 tentang Hari Libur. Begini: "Dengan menyimpang dari Penetapan Pemerintah Th 1946 No. 2/Um Pasal 5, maka di samping hari minggu, yang pada umumnya dijadikan hari istirahat, ditetapkan hari-hari libur sebagai tertera dalam Pasal 1 Keputusan ini". Kata kuncinya: "yang pada umumnya".

     Jadi bukan kajian naskah akademik dan legal reasoning yang dijadikan dasar penetapan. Sedangkan Penpem Tahun 1946 No. 2/Um, hanya mengatur tentang Hari Raya: 2 hari utk Hari Raya Umum; 8 hari utk Hari Raya Islam; 5 hari utk Hari Raya Kristen; 4 hari utk Hari Raya Tion Hwa.

        Agaknya, sejak Proklamasi Kemerdekaan RI hingga hari ini, Pemerintah mengalami 'delirium' akut. Memang kita mafhum, di awal tegaknya Republik ini belum terpikirkan akan dampak liburnya hari Ahad sebagai hari libur nasional. Akan tetapi secara tak sadar, masyarakat Muslim dikacaukan aqidah Islamiyahnya. Dan itulah strategi intelektual Non-Muslim dalam melucuti budaya Islamiyah secara halus dan terencana.

       Di pedesaan Silampari, khususnya Kecamatan Muarabeliti, TPK, Muarakelingi, Muaralakitan, Terawas dan sekitarnya, yang nota bene mayoritas Muslim, dan sebagian warga masih mukim di Talang/Kebun, terdapat istilah: "Ahay Jemat belik kusun" (hari Jumat pulang ke dusun). Maknanya, sesibuk apa pun di kebun, pada hari Jumat niscaya mereka pulang ke dusun untuk shalat Jumat (dan silaturahim, memaknai kata 'sayyidul ayyam'). Bahkan istilah 'sepekan' sering disebut "sejemat", bukan 'seminggu'.

       Saya mengusulkan bahwa kondisi 'delirium' akut Pemerintah perlu disadarkan; dengan menggerakkan 'civil society'. Dalam istilah ilmu jiwa delirium itu adalah kondisi gangguan serius pada kemampuan mental yang menyebabkan kebingungan dan kurang sadar akan lingkungan sekitar.

     Mungkin saja, selama periode 1945 - 2019 ini Pemerintah terlalu banyak mengkonsumsi 'kortikosteroid-ideologis' dan lupa membuka 'kompendium' ketatanegaraan sebagai pertimbangan legal.

     Perlu diterbitkan dasar hukum yang kuat tentang Penetapan Hari Kerja dan Hari Libur Nasional (HK-HLN), tidak sekadar Perpres, tapi dengan UU. Dan saya 'haqqul yaqin' landasan 'naskah akademik' dan 'legal reasoning' RUU HK-HLN akan sangat klir, baik pada aspek kajian filosofis, yuridis, sosiologis maupun teologisnya. [*]

Muarabeliti, Minggu 6 Oktober 2019.

*) Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 04 Oktober 2019

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR (1)

KEMBALIKAN SEJARAH: JUMAT-SABTU LIBUR, AHAD HARI PERTAMA NGANTOR

( Oleh: Hendy UP *)

   Sudah cukup lama saya mengendapkan gagasan ini! Dan beberapa tahun ini, telah berkeliaran wacana sejenis di berbagai portal berita. Sebagai orang yang suka membaca sejarah, mengkaji dan merenungkan filosofi kehidupan, termasuk budaya birokrasi, saya meyakini bahwa ada warisan tradisi Kolonial penjajah yang 'menulang-sumsum' di masyarakat dan harus segera dienyahkan dari Bumi Indonesia.

    Renungan itu mulai menggumpal dan memunculkan gagasan kontroversial, tatkala saya menamatkan dua jilid Buku "Api Sejarah, Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan NKRI" karya Ahmad Mansur Suryanegara (Surya Dinasti, 2016). Buku yang dihasilkan dari pelacakan dokumen otentik, sarat data dan fakta (baru) yang selama ini disembunyikan Penjajah Kolonialis, kini menjadi rujukan utama dalam studi-studi sejarah kontemporer di Indonesia dan Dunia Islam.

    Dari renungan aspek sosio-religius, historiografi dan demografi, saya mengusulkan bahwa sudah saatnya Pemerintah (Presiden dan DPR) menerbitkan keputusan politik berupa Keppres atau Surat Edaran (SE), atau selemah-lemahnya Maklumat Presiden tentang perubahan hari kerja nasional. Isinya: hari Jumat-Sabtu libur nasional dan Ahad adalah hari pertama masuk kerja kantor pemerintah.

    Di level Pemda kab/kota, saya haqqul yakin, jika ketiga atau salah satu Petinggi Silampari ini berani 'take risk' dengan mendeklarasikan ini, akan viral ke seantero jagad dalam beberapa pekan. Petinggi negeri RI dan bahkan Dunia Islam akan terbelalak demi menyaksikan keberanian langka dlm 'berjihad' menegakkan tradisi Islam dari lembah ngarai yang telah tertimbun konspirasi Tri-G (Gold, Glory, Gospel) pasca-perjanjian Tordesilas (1494 M) antara Kerajaan Katolik Spanyol dengan Kerajaan Katolik Portugis.

      Apa argumentasi yang valid untuk mendeklarasikan ide ini? Pertama, adalah dukungan fakta demografis bahwa mayoritas penduduk (>90%) adalah Muslim. Mayoritas Muslim, niscaya dalam jiwanya berkeinginan untuk mengembalikan tradisi syar'i Islamiyah.

     Selama hampir 4 abad, tanpa disadari telah dikooptasi oleh tradisi Penjajah Kolonialis, sehingga kata 'Ahad' entah sejak kapan berubah menjadi 'Minggu'. Padahal kata 'minggu' diambil dari bahasa Portugis 'dominggo' yang berasal dari bahasa Latin 'dominicus' --> Dia do Senhor (Hari Tuhan Kita). Jadi liburnya hari Ahad itu, karena mereka (penjajah) akan pergi ke rumah ibadah.

      Birokrasi pemerintahan RI yang adalah warisan Kolonial, tidak pernah menyadari atau tidak ada keberanian utk mengembalikan tradisi lama Kesultanan bahwa semestinya birokrasi Pemerintahan meliburkan pegawainya pada hari Jumat utk mengkhusyukan ibadah Jumat. Bukankah hari Jumat itu disebut sebagai 'sayyidul ayyam"?

        Memang ada keanehan sejarah, bahwa setidaknya pada akhir tahun 1980-an terjadi 'penghapusan' kata Ahad di kalender; dan diganti kata Minggu. Istilah 'sepekan' diganti 'seminggu'. Konspirasi yang luar biasa telanjang! Kedua, dari aspek kajian historiografi bahwa jauh sebelum negeri ini dijajah, telah terbangun kultur Islamiyah dalam model Kesultanan.

      Aspek budaya yang paling kentara adalah bahasa tutur dan tulis. Buktinya, lebih dari 60% kosa kata Indonesia berakar dari tradisi Islam. Di awal peradaban, kita hanya mengenal sebutan hari: Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Tidak ada yang menyangkal bahwa kata-kata tersebut diserap dari bahasa Arab.

       Secara sosio-religius mungkin bisa diujicoba di beberapa provinsi, kab/kota yang mayoritas beragama Islam. Bahkan, kalau saja ada keberanian Bupati Musirawas, Muratara dan Walikota Lubuklinggau mendeklarasikan hal ini, pasti akan menjadi legasi dan bahkan akan menjadi catatan tersendiri bagi Bangsa Indonesia. Sekali-kali dong! Petinggi Silampari bikin Prestasi Nasional Islami (PNI) yang mungkin oleh sebagian orang dianggap 'out of the box'.

Muarabeliti, Jumat 4 Oktober 2019. *) Blogger: www.andikatuan.net