Selasa, 25 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (8)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (8)

Oleh: Hendy UP *)

     Karakteristik desa-desa purba yang masih murni ikatan sosial-genealogisnya, jauh sebelum pengaruh agama ardhi (Hindu-Budha) dan agama samawi (Nasrani-Islam), ternyata belum ada hubungan hierarkis antara desa dan raja-penguasa. Entitas kerajaan belum sepenuhnya terlembagakan.

    Ajaran Kapitayan, pada ghalibnya adalah pengakuan terhadap dzat ghoib yang esa. Interpretasi terhadap ke-esaan dzat ghoib itu terpatri dalam perilaku budaya, khususnya dalam semiotika-sosial yang artikulatif; kemudian diekspresikan ke dalam semiotika-bahasa yang mewakili keseharian hakikat kehidupan masyarakatnya. Istilah-istilah agama Kapitayan inilah yang kelak memperkaya entri kosa-kata Indonesia yang dipungut dari bahasa Sansekerta.

     Menurut sejarawan Islam Agus Sunyoto (2012), Sanghyang TU-nggal yang mahabaik itu disebut juga TU-han yang maha berwenang (Sanghyang Wenang). Sedangkan sifat mahajahatnya disebut TU-lah (Sanghyang Manikmaya). Penganut Kapitayan yang 'shaleh' akan dikaruniai kekuatan ghoib yang positif (TU-ah) dan yang negatif (TU-lah).

    Karena kedua sifat tadi bersifat abstrak, maka untuk mendekatinya diperlukan simbol 'benda-materialistik' agar bisa dikenali panca indra demi kemantapan jiwa-rohani. Dalam bahasa Sansekerta kita mengenal simbol benda yang dianggap mewaikili sifat ghoib yang dahulu dianggap keramat (memiliki karomah).

     Sebagai contoh, kita mengenal sebutan: TU-gu dan TU-ngkup (bangunan suci), TU-nda (bangunan punden-berundak), TU-nggul (panji-panji), TU-ban (air terjun keramat), TU-mbak (pusaka keramat), dll. Juga terpatri dalam simbol TO, seperti: TO-pong (mahkota), TO-san/TO-peng (pusaka), TO-porem (baju pusaka), TO-rana (gapura desa/keraton). Untuk memuja-bakti Tuhan, penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa TU-mpeng (nasi), TU-mpi (kue-tepung) yang disajikan dalam TU-mbu (keranjang bambu); dilengkapi dengan TU-kung (ayam) dan TU-ak (arak).

    Dalam ritual sembahyang(dari kata menyembah Sanghyang) di sebuah Sanggar ~ kelak diadopsi menjadi Langgar ~ pemimpin spiritualnya melaksanakan SOR (Standar Operasional Ritual), yakni: melakukan TU-lajeg (berdiri tegak, lama) menengadah ke arah TU-tuk (lobang di atap sanggar), sembari mengangkat kedua tangan, menghadirkan TU-han dalam TU-tud (jiwa).

     Setelah diyakini Tuhan telah bersemayam dalam jiwa, maka kedua tangan berswa-dikep (mendekap) dada, mengheningkang cipta dengan 'khusyu'. Jika telah merasa khusyu, lalu badan melakukan TU-ngkul (membungkuk, ruku), kemudian memosisikan diri ber TU-lumpak (bersimpuh, kedua tumit diduduki), dan posisi terakhir melakukan TO-ndhem yakni bersujud berlama-lama, seperti posisi bayi dalam perut ibu).

    Seseorang yang 'shaleh' akan terlihat perilakunya dalam keseharian, doanya makbul, memiliki kehebatan, disegani; dan dianugrahi sifat "Pi". Jika memberi penghargaan disebut PI-agam; jika berbicara resmi disebut PI-dato, jika mendengar PI-harsa, jika mengajar PI-wulang, jika berfatwa PI-tutur, jika memberi petunjuk PI-tuduh, jika menghukum PI-dana, dan jika memberi semangat disebut PI-andel.

     Demikianlah, para pengikut yang taat kepada Sang Rohaniawan ini akan memperoleh TU-ah darinya; dan yang mengingkarinya akan mendapat TU-lah yang mencelakakan sepanjang hidupnya.

C.4. TOKOH SPIRITUAL DESA

    Seseorang yang telah memiliki TU-ah dan TU-lah inilah, yang potensial menjadi Pemimpin adat/Kepala Suku yang kelak diberi gelar: ra-TU (keraton) atau dha-TU (kedhaton). Dan sosok inilah yang kelak menjadi kepala desa purba Nusantara.

    Mirip dengan prinsip pemilihan tokoh negara/politik Yunani kuno; di Nusantara pun dahulu kala mereka para Kades/Pesirah adalah merupakan "primus inter pares" (yang terunggul/pertama dari yang setara) di wilayah itu.

    Bahkan di desa purba Nusantara dulu, kedudukan tokoh adat/kepala desa jauh melampau prinsip 'primus inter pares', karena hanya ada satu tokoh unggul yang eksis karena memiliki ragam kelebihan TU-ah dan TU-lah. [Bersambung...]

Muarabeliti, 21 Agustus 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 18 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (7)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (7)

Oleh: Hendy UP *)

    Untuk memahami asas otonomi desa adat (self governing community), terlebih dahulu kita harus mengaitkan konsep agama purba Nusantara. Pun pula, harus dimaknai bahwa pada era itu belum ada pengaruh agama Hindu-Budha, apatah lagi agama samawi (Islam, Kristen) yang dibawa para saudagar asing.

    Penyebarannya sangat luas, seluas jaringan pelabuhan yang memiliki ikatan pertukaran barang (barter) yang kelak menghasilkan entitas agama-kebudayaan 'angin muson'. Yakni meliputi: India, Tiongkok Selatan, Indocina, Nusantara dan sebagian kawasan Fasifik.

    Dari konsepsi keyakinannya, yang 'meng-esa-kan' zat ghoib sebagai inti ketauhidan ~ maka dapat diduga bahwa agama itu terkelindan dengan ajaran agama (al-din) yang dibawa oleh para Nabi sebelum turunnya al-Quran. Bukankah sejak Nabi Adam As semua ajaran yang dibawa untuk kaum (dan ummatnya) adalah merupakan 'huddan li nas'?

    Ketika orang Eropa memasuki wilayah Nusantara pada awal abad ke-17, mereka menyebutnya 'agama animisme-dinamisme'. Animisme dari kata Latin 'anima' yang berarti 'roh-ghoib' yang telah keluar dari raga (jasad), namun masih memengaruhi kehidupan manusia. Sedangkan dinamisme adalah keyakinan akan adanya kekuatan ghoib yang terikat benda-benda tertentu (yang dianggap keramat) dan mampu memengaruhi peri-kehidupan manusia.

    Di kawasan teritorial Jawa-Bali, catatan tentang keyakinan itu disebut agama 'Kapitayan' atau 'Sunda-Wiwitan'. Sunda Wiwitan pesat berkembang dan masih terlestarikan hingga kini terutama di Wilayah Baduy (Banten) dan Sukabumi. Apakah Baduy-Banten ada kelindan dengan suku Baduy-Arabia? Allohua'lam!

    Di luar Jawa-Bali niscaya terdapat keyakinan serupa, namun sangat minim literatur yang mengupas agama/keyakinan yang serupa dengan Kapitayan. Dari pelacakan epigraf dan dokumen lainnya, agama ini menggunakan bahasa Sansekerta yang pada jamannya merupakan bahasa umum (lingua-franca) di wilayah Nusantara.

    Adalah seorang sejarawan Islam Agus Sunyoto (2012) ~ saya mendapat ijin tertulis (sms) untuk menukilnya ~ yang mengkaji perihal agama Kapitayan yang masih terasa jejak-kulturalnya terutama di masyarakat Jawa Tengah & Timur dan Bali. Dalam cerita purba, para penganut Kapitayan (khususnya etnik Jawa keturunan Homo Wajakensis), leluhur mereka adalah tokoh mitologi Danghyang Semar bin Sanghyang Wungkuham, zuriyat dari Sanghyang Ismaya.

    Konon, asal-usul Danghyang Semar adalah dari sebuah negeri Lemuria atau Swetadwipa yang tenggelam akibat banjir-bandang mahadahsyat, sehingga mengungsi ke pulau-pegunungan yang tersisa yang kelak disebut Jawadwipa. Semar memiliki saudara bernama Hantaga (Togog) yang terpisah saat mengungsi dan mukim di luar pulau Jawadwipa.

    Mereka sama-sama mengajarkan agama Kapitayan dengan 'mazhab' yang agak berbeda. Leluhur Semar bernama Sang Manikmaya yang menjadi penguasa alam ghoib yang bertahta di 'arasy' Kahyangan. Mungkin karena berbeda tafsir awal ajaran (dan model amalannya) berikut faktor lingkungan fisik-geografis yang melingkupinya, maka kelak terjadi varian dalam kronik kebudayaannya bagi penganut Kapitayan (mazhab Togog) di luar Jawadwipa.

    Kapitayan bermakna 'kepercayaan' dan berasal dari kata 'pitaya' yang berarti percaya. Secara sederhana, Kapitayan digambarkan sebagai keyakinan yang memuja sembahan utama 'Sanghyang Taya', yang bermakna 'hampa' atau 'absolut'; tidak mampu dibayangkan, dipikirkan dan tak pula bisa dikenali oleh pancaindra. Dalam frasa Sansekerta disebut "tan kena kinaya ngapa' alias tidak mampu disentuh keberadaan-Nya.

    Karena keterbatasan ilmu dan instrumen adi-kodrati dalam membangun kerangka filsafat keagamaan, maka dicari metode 'shortcut' dengan semiotika sebagai 'menyatu' dalam sifat Illahiyah yang disebut Tu atau To.

    Tu atau To bermakna daya ghoib yang bersifat tunggal/esa/adi-kodrati/ (superhuman~> adjective noun). Dan sebutannya Sanghyang "TU-nggal"; dengan dua sifat: mahabaik & mahajahat. [Bersambung...]

Muarabeliti, 17 Agustus 2020

*)Blogger: www.andikatuan.net

Minggu, 16 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (6)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (6)

Oleh: Hendy UP *)

    Dalam kajian antropologi budaya, penghuni desa-desa purba Nusantara memiliki perbedaan karakter dalam membangun model otonominya, terutama diwarnai oleh adat-istiadat; baik karena karakter genetika asal-usul ras, proses campur-kawin antar-etnik, maupun karena faktor fenotipe akibat adapatasi lingkungan selama jutaan tahun.

    Di samping itu, dalam kajian antropologi-ragawi dan etnologi, bahwa penghuni desa-desa Nusantara didominasi dua ras utama: Austronesia dan Melanesia plus hasil campur-silangnya.

    Kajian lain adalah teori Peter Bellwood dalam "Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago"; bahwa Ras Australo-Melanesia purba adalah 'saudara-sepupu' ras penghuni Australia dan Nugini. Perubahan genetik yang kelak menurunkan ras Australoid dan Mongoloid adalah dua ras yang telah hidup di kawasan Cina dan Nusantara lebih kurang 50.000 tahun lalu.

    Ras Austroloid (juga disebut ras Mongoloid Selatan) ternyata berkembang lebih cepat. Dimungkinkan akibat faktor lingkungan, ketersediaan aneka flora-fauna dan tradisi kuliner di kawasan katulistiwa; sehingga mendesak ras Melanesia dan hanya menyisakan sedikit di Taiwan (Negrito), Malaysia, Filipina, Andaman, Polinesia, Hokkaido, Papua dan sekitarnya.

     Penghuni desa-desa pesisir Asia Tenggara (termasuk Nusantara), karena proses kawin-silang, kemudian melahirkan ras baru Proto-Melayu dan kelak lahir pula varian Deutro-Melayu. Ras inilah yang mendominasi penghuni desa-desa purba di Nusantara. Ras Proto-Melayu ini mula-mula menyebar di Filipina (suku Bontoc & Igorot), Taiwan (suku Tayal), Sulawesi (suku Toraja), Sum-Sel (suku Ranau), suku Wajo di Lingga (Kep-Riau) hingga pulau Cepu (Filipina). Juga suku Karen dan Meo (di Burma & Thailand).

    Kajian lain adalah karya Harold Foster dalam: "Flowering Lotus: A View of Java in the 1950s". Bahwa suku-suku dari Ras Melayu di Nusantara terbagi dua, yakni: Proto-Malayan dan Neo-Malayan (Deutro-Melayu). Ras Proto-Malayan menurunkan suku-suku yang menghuni Batak, Toraja, Karen, Igarot, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal dan Wajo. Sedangkan Ras Neo-Malayan menurunkan suku-suku: Jawa, Bugis, Aceh, Minang, Sunda, Madura dan Bali.

     Perbedaan karakter adat yang melahirkan otonomi desa purba, juga dipengaruhi oleh lingkungan geografis (pesisir, daratan dan pegunungan) dan keyakinan/agama purba yang dianut para kepala suku.

C.3. Agama Purba Desa Nusantara

     Menurut kajian sejarawan Agus Sunyoto (2012) dalam bukunya "Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Walisongo sebagai Fakta Sejarah", menyimpulkan bahwa semenjak Kala Pleistosen penghuni Nusantara telah mengenal peradaban yang berkaitan dengan agama/keyakinan.

    Berbagai penelitian produk budaya purba seperti: menhir, dolmen, yupa, sarkofagus, dan punden-berundak; telah ada sejak era Paleolithikum berlanjut hingga era Messolithikum, Neolithikum hingga kala Megalithikum. Aneka ritual pemujaan dalam agama bari tersebut diturunkan hingga jaman Perunggu.

     Hasil kajian arkeologis terhadap benda-benda kuno yang bertalian dengan sarana pemujaan dan penguburan mayat, membuktikan bahwa agama kuno Nusantara telah hidup jutaan tahun dan terlestarikan dalam ritual agama-budaya di berbagai kawasan. Ini menunjukkan bukti kultural-antropologis bahwa psikologi penghuni Nusantara telah terikat dalam hubungan integral antara agama dan kebudayaan khas Nusantara kuno yang dipraktekan secara ritual di desa-desa.

     Sejarawan P. Mus dalam "L'Inde vue de l'Est: Cultes indiens etindigenes au Champa", menemukan fakta bahwa sedari dahulu agama mampu menyatukan persepsi tentang hal ghoib melalampaui ras dan teritorial yang luas, yang kemudian melahirkan "agama angin muson". Tersebar dari India, Tiongkok Selatan, Indocina, dan Nusantara.

     Kepercayaan adanya roh ghoib, hantu penunggu air, hutan dan tempat keramat serta kesaktian benda dan manusia telah melekat di masyarakat Nusantara. [Bersambung ... ]

Muarabeliti, 14 Agustus 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 14 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (5)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (5)

Oleh: Hendy UP *)

C.1. Geografi Nusantara

     Gugus kepulauan Nusantara, dahulu kala disebut Swetadwipa atau Lemuria. Secara geologis berada di tiga persimpangan lempeng bumi, yakni: Eurasia, Filipino dan Australia, bahkan nyaris mengiris lempeng India. Hal ini sangat potensial menimbulkan tekanan, gesekan dan benturan lempeng yang mengangkat lapisan kulit bumi; dan potensial setiap saat terjadi gempa tektonik-vulkanik serta letusan gunung berapi dahsyat.

     Gesek-tekan kulit bumi ke atas ini membentuk hamparan luas paparan Benua Sunda (Sundaland) dari tenggara lempeng India dan Eurasia hingga ke lempeng utara Australia. Sebelum era Glacial Wurm (jaman es akhir), ketika terjadi penurunan permukaan air laut ratusan meter, hamparan ini didominasi pegunungan berapi yang menjulang tinggi.

     Di kala Glacial Wurm, kira-kira 5 ratus ribu tahun silam, es di Kutub Utara dan Kutub Selatan mencair dalam tiga tahap; menimbulkan gelombang dahsyat dan menaikkan permukaan laut setinggi satu mil. Maka, tenggelamlah hamparan Benua Sunda dan menyisakan gugus kepulauan Sunda Besar (Nusantara Barat)dan Sunda Kecil (Nusatenggara), yang sebenarnya merupakan puncak pegunungan yang terendam lautan.

     Hamparan Sunda Besar yang berada di atas tindihan lempeng Eurasia Tenggara dan lempeng Australia, memunculkan gugus pegunungan api dari Aceh hingga Bali. Pulau Jawa adalah hamparan yang paling didominasi gunung api sehingga tanahnya subur akibat tumpukan abu vulkanik.

     Menurut Arysio Santos (2010), ahli fisika-nuklir dan geolog yang dikutip Agus Sunyoto (2012), bahwa banjir besar di era Glacial Wurm dalam cerita purba itu telah menenggelamkan Benua Atlantis, dan menyisakan gugusan pulau yang kelak disebut Benua Sunda atau Lemuria. Hal ini terungkap dalam bukunya "Atlantis: The Lost Continent Finnaly Found", yang memperkuat teori Stephen Oppenheimer (1998).

     Kepulauan Nusantara membentang dari barat ke timur sejauh 5000 km, dan dari utara ke selatan sepanjang 2000 km, dihuni oleh lebih 300 suku-bangsa dan sub-etniknya berikut varian dan derivat bahasanya. Karena topografinya yang dominan bergunung, maka penyebaran penduduknya melalui jalur laut, dari gugus pulau yang satu ke gugus yang lain. Maka tidak heran, di jaman Kerajaan dan Kesultanan Nusantara dahulu, teknologi transportasi lautnya jauh melampaui negara lain, seperti Cina dan India.

C.2. Etnik Penghuni Nusantara

     Catatan kajian antropologi ragawi, menyimpulkan bahwa bangsa Nusantara memiliki rantai panjang yang berkelit-kelindan. Eugene Dubois, sang penemu fosil manusia purba Phithecanthropus Erectus; yang disusul temuan Homo Mojokertensis, Meganthropus Paleojavanicus, Homo Soloensis dan Homo Wajakensis; menunjukkan bukti bahwa Nusantara sudah dihuni manusia dalam rentang waktu antara 1.000.000 ~ 12.000 tahun silam.

     Homo Sapiens yang dianggap manusia modern penghuni Nusantara sekitar 40.000 tahun lalu, memiliki perbedaan morfologi dengan Homo Erectus; sehingga disimpulkan bahwa Homo Sapiens bukanlah perkembangan evolutif dari Homo Erectus.

     Menurut kajian Lembaga Eijkman, Homo Erectus pertama yang hidup di Nusantara antara 1.000.000 ~ 100.000 tahun silam telah punah; mungkin saat banjir es pertama. Yang kemudian menghuni Nusantara adalah Homo Erectus dari Afrika yang datang 50.000 ~ 40.000 tahun lalu. Keturunan Homo Erectus Afrika inilah yang disebut Ras Melanesia.

    .Sedangkan keturunan Homo Sapiens asal Asia disebut Ras Austronesia. Ras Melanesia dengan varian suku-sukunya, sejak 70 ribu tahun SM telah menyebar di Papua, Nugini, Australia dan wilayah Fasifik seperti Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji.

     Sedangkan nenek-moyang suku Melanesia yang menghuni pulau Jawa yang disebut Proto Melanesia adalah termasuk Homo Wajakensis. Akibat proses asimilasi campur-kawin dengan ras pendatang lain, maka Homo Wajakensis praktis hilang identitasnya.

[Bersambung ....]

Muarabeliti, 13 Agustus 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 13 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (4)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (4)

Oleh: Hendy UP *)

C. ASAS SELF-GOVERNING

     Sebelum mengudar-urai muasal asas otonomi desa adat (self-governing community) yang terbentuk secara bertahap dan evolutif, ada baiknya kita mundur ke belakang, jauh sebelum peradaban desa-desa Nusantara dicatat dalam sejarah antropologi budaya.

     Jika kita menolak teori Darwinisme, maka kita percaya bahwa manusia pertama di muka bumi adalah Nabi Adam Alaihissalam, sebagaimana termaktub di dalam surat al-Baqarah ayat (31) dan al-Araf ayat (24-25).

     Sebagian ahli dan semua umat Islam meyakini bahwa Nabi Adam turun dari 'surga' di langit ke bumi sebagai khalifah (inni ja'ilun fil ardhi khalifah). Konon, ada yang menyebut turun di daratan Afrika, atau India, juga di jazirah Arab.

     Para antropolog meyakini bahwa awal penyebaran manusia dari zuriyat Nabi Adam As ke seluruh penjuru bumi selama milyaran tahun adalah melalui jalur laut dan daratan. Tentu saja belum ada pesawat terbang yang ide awalnya diinisiasi Ibnu Firnas sang cendekia Muslim; kendatipun diklaim Barat sebagai karya "Duo-Wright" bin Milton Wright.

     Nusantara sebagai kawasan kepulauan, dulunya disebut sebagai 'Sundaland' atau paparan Benua Sunda; bahkan kini masih diperdebatkan sebagai Benua 'Atlantis' yang hilang.

     Adalah seorang pakar geologi Oki Oktariadi (2010), yang mengusung tesis bertajuk "Awal Peradaban Atlantis versus Sundaland" yang membentangkan peta sebaran gen Nusantara jauh di era prasejarah.

      Bermula dari kajian ilmiah kontroversial yang diangkat Stephen Oppenheimer (1998) dalam bukunya "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia", bahwa nenek moyang bangsa Eurasia sesungguhnya berasal dari Sundaland (Nusantara-Asia).

     Tentu saja, tesis Stephen ini dibangun sangat kredibel, penuh kehati-hatian, ilmiah nan holistik-komprehensif, meliputi aspek: geologi, arkeologi, genetika, linguistik dan folklore termasuk mitologi. Niscaya ini menguatkan pendapat, bahwa asas otonomi desa adat (self-governing community) di Nusantara adalah evolusi kultural berabad-abad yang bisa dikategorikan asli Nusantara. Masih kata Stephen, bahwa daratan Benua Sunda (Sundaland) yang terbentang dari Asia Tenggara hingga ke Papua, dahulu kala berkebudayaan maju yang tenggelam selama tiga perode di era akhir "Jaman Es". Banjir besar itu, ada yang menduga adalah banjir-bandang di masa Nabi Nuh Alaihissalam.

     Tiga periode banjir itulah yang diyakini menyebarkan sebagian gen dan peradaban Sundaland ke wilayah Eurasia, dan wilayah lain. Semua itu bermula dari lautan yang dikembara para pioner- pemberani, menyelusuri pantai-pantai dan 'bertrukah-menalang' di muara-muara sungai.

     Lalu, untuk mempertahankan hidup komunitasnya mereka berladang di pelipir sungai, terus ke hulu, merambah perbukitan dan membuka kebun perladangan (nomaden) di lembah- ngarai hingga ke sela-sela lempitan gunung-gemunung.

     Itulah awal terbangunnya klaster etnik dan suku-bangsa, yakni: suku laut, suku pesisir, orang pedalaman atau etnik pegunungan yang selalu berpindah-pindah selama milyaran tahun. Termasuk karena bencana alam dan gerak perubahan lempeng-geologis yang tidak pernah tercatat dalam sejarah kontemporer, seperti meletusnya Gunung Toba yang konon mampu mengubah perilaku bumi secara geofosik-klimatologis.

      Untuk menyederhanakan tesis awal tentang asas self-governing desa Nusantara, ada baiknya kita telaah berbagai variabel yang terkait, antara lain: data geografi Nusantara, etnik penghuni awal Nusantara, agama bari Nusantara dan pengaruh etnik luar seperti Cina, Champa, India-Persia dan Arabia.

     Uraian berikut ini niscaya bukan folklore atau mitologi, tetapi dari literatur yang kredibel, historikal-ilmiah yang dirangkum dari berbagai sumber. [Bersambung...]

Muarabeliti, 12 Agustus 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 10 Agustus 2020

BERBURU HANTU AYO

BERBURU HANTU AYO!

Oleh: Hendy UP *)

     Dalam beberapa pekan ini, media lokal mengangkat lead tentang air irigasi yang hilang. Koran Mureks 10 Agustus 2020 menulis: "Petani Ngadirejo Berburu Air". Sebagai insan-tani, jiwa saya bergumam: "Apakah air telah 'reinkarnasi' menjadi 'supernatural being' di desa-desa sehingga perlu diburu melibatkan Babinsa?

     Sebelum musim kemarau pun, ibarat mulut sudah berbuih-buih, sendi jemari nan letih menulis, tentang kondisi irigasi di Musirawas. Pada 13 Agustus 2019, di koran Mureks saya menulis: "Kisah Hilangnya Air dan Dinas Pengairan". Intinya adalah betapa pentingnya Dinas Pengairan di Musirawas, dan betapa 'gagal-pahamnya" para kreator UU Pemda (UU No. 23/2014) di Batavia ketika merumuskan Pasal 12.

     Saya juga pernah menulis artikel provokatif: "Menggugat Pasal 12 UU Pemda" (Mureks, 12-12-2018), karena Pemerintah gagal memahami hakikat 'kebutuhan-dasar' masyarakat, sehingga di pasal 12 tertulis bahwa "pangan adalah termasuk urusan wajib non-pelayanan dasar.

     Padahal UU Pangan yang 'lex-specialis' mengatakan sebaliknya! Betapa naifnya negara agraris ini! Tapi, mungkin saja saya yang salah tafsir terhadap UU itu; alias gila nomor sepuluh yang keren disebut dungu!

     Apakah hilangnya air irigasi DI Kelingi-Tugumulyo ada kaitannya dengan hilangnya Dinas Pengairan Musirawas? Mengapa ketika masih ada Dinas Pengairan dulu juga terjadi kekeringan? Lantas apa makna-hubungannya dengan Pemda Musirawas menerbitkan Perda No. 3/2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)?

     Jawabannya bisa debatable. Dan jangan sekali-kali mengadakan "zoom-minar" dengan mengundang Haykal si "milenial-nakal" dari Muarabelitilama, karena bisa memproduksi novel-fiksi sekebat tebal. That's unlogic! Tapi, begini! Ketika Pemda Mura menyusun OPD, tampaknya tidak berkutik menggoalkan Dinas Pengairan, karena terikat oleh Pasal 37 PP 18/2016 juncto Lamp. II bidang ke-PU-an.

     Dari 18 item variabel bobot, hanya 6 item dengan bobot maksimal 16 yang terkait dengan terbentuknya Dinas Pengairan. Nilai bobot yang tidak mungkin membentuk OPD Dinas Pengairan. Untuk kondisi kini, jika variabel jumlah sungai dan panjang sungai bisa dihitung ulang dan lebih realistis-lapangan (utk menambah bobot); dan telah adanya revisi lampiran UU Pemda tentang pembagian urusan pengelolaan irigasi, serta dibatalkannya UU No. 7/2004 tentang SDA oleh Mahkamah Konstitusi, maka ada peluang dibentuknya Dinas Pengairan Musirawas di masa mendatang.

     Tapi itu upaya bersama yang agak jangka nenengah-panjang. Yang dibutuhkan petani sekarang adalah: "bisakah air irigasi nyampai ke Ngadirejo, Mataram, Mangunharjo, Rejosari, Kertosari atau bahkan ke ujung Purwodadi? Kaum tani sangat pedih teriris air.

     Cobalah kita lihat! Di Siringagung air bergulung-gulung. Di DAM PAYUNG SOHE, air melimpah-ruah ke sungai Ketuan. Bahkan sungai Ketuan yang berfungsi sebagai "siring- avour" yang dulunya didesain Belanda hanya untuk pembuangan darurat jika jadwal perehaban, kini meluber membanjiri kolam-kolam siapa sepanjang sungai Ketuan hingga entah kemana!

     Lantas dimana hilangnya air irigasi? Maka, lacaklah lagi bersama para BABINSA -BABINKAMTIB sepanjang jaman. Bila perlu menggerakkan para DUKUN AIR se wilayah eks Kolonisasi Toegoemuljo. Karena kita khawatir, AIR IRIGASI sudah berubah jadi HANTU AYO! Allohua'lam bishshowab!

Muarabaliti, 10 Agustus 2020 *) Blogger: www.andikatuan.net

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (3)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (3)

Oleh: Hendy UP *)

     Kegagalan memperjuangkan Desapraja di tahun 1965 itu, di samping keburu terjadi tragedi G.30S-PKI, juga adanya kesadaran baru bahwa di masa depan ikatan sosial warga desa itu lebih karena 'kesatuan-teritorial' dan 'ikatan formal-kenegaraan', ketimbang ikatan sosial-genealogis atau ikatan norma-istiadat yang diwariskan secara utuh.

     Memang demikianlah progres sosial-antropologisnya, walaupun saat itu belum terlalu radikal akan perubahan tatanan desa: dari karakteristik 'gemeinschaft' (kekeluargaan) menuju kondisi 'gesellschaft' (patembayan, individual).

     Perdebatan para ahli pun beragam, sebagaimana pendefinisian desa oleh para ahli sosiologi-hukum yang tak serupa; yang seharusnya dijadikan landasan akademik dalam penyusunan regulasi Pemerintah dalam penempatan desa sebagai entitas masyarakat demokratis.

     Sebut saja misalnya pendefinisian desa dari: R. Bintarto (1968), PJ Bournen (1971), I Nyoman Beratha (1982), RHU Soenardjo (1984), Bayu Surianingrat (1992), dan Hanif Nurcholis (2011), yang senafas namun berbeda dalam kedudukan dan ruang lingkup penerapannya.

     Dari pembacaan epigraf Himad-Walandit, Bayu Surianingrat menyumpulkan bahwa:

(1) desa sebagai lembaga pemerintahan terendah sudah ada jauh sebelum ada pengaruh luar,

(2) pada awal sistem kerajaan Nusantara, kedudukan desa berada langsung di bawah Raja,

(3) masyarakat asli Nusantara telah mengenal sistem otonomi pemerintahan lokal yang disebut "swatantera" (mengatur rumah tangga sendiri) berikut sebutan jabatan dalam pengurusan otonominya, seperti: samget (ahli/tetuo adat), rajadikara, pamget, jayapatra (hakim), patih (eksekutif), dyaksa (jaksa) dan lainnya,

(4) ada klasifikasi desa berdasarkan karakteristik dan fungsi otonomi khusus yang diakui raja/negara. Menurut Kern & van Den Berg, model desa-desa (khususnya di Jawa/Bali) diadopsi dari India karena ada kesamaan nama-nama jabatan dan sebutan lain dengan pedesaan di India.

     Namun menurut van Vollenhoven dan Brandes, daerah hukum yang berada di Jawa, Madura dan Bali adalah ciptaan asli Nusantara karena mirip dengan model pemerintahan desa di Filipina yang tidak pernah mendapatkan pengaruh Hindu.

     Mencermati sejarah kelahiran desa di era kerajaan kuno Nusantara (pra-Islam), masa Kesultanan (Islam) dan pasca-kemerdekaan, setidaknya ada 4 tahapan asal desa. Pertama, lahir dan tumbuh atas kekerabatan murni (genealogis) yang membentuk persekutuan hukum (adat).

     Kedua, terbentuk atas asas sekepentingan dalam satu wilayah (persekutuan hukum teritorial). Ketiga, terbentuk karena ada tujuan khusus (ekologis/lingkungan alam) yang diinisiasi oleh entitas suku tertentu dan mendapat pengakuan dari raja/negara.
     Dan ke-empat, adanya strategi dan kebijakan tertentu dari raja/ordonansi pemerintah seperti desa Perdikan atau desa-desa Transmigrasi. Adapun berdasarkan karakteristik wilayah dan strategi pembangunan, dibedakan atas: (1) desa pesisir/pantai sebagai wilayah komunitas nelayan, (2) desa daratan rendah/pedalaman (kaum tani/ternak dan industri), dan (3) desa pegunungan (kehutanan).

     Sebagai catatan khasanah sejarah pedesaan kita, dahulu kala dikenal beberapa kedudukan desa khusus yang diakui oleh raja atau negara/pemerintah. Pertama desa Perdikan, yakni berstatus 'merdeka' atau 'mahardika'yang tidak dibebani upeti atau pajak dikarenakan tokoh pendirinya sangat berjasa kepada negara.

     Kedua, desa Mutihan yakni desa yang terbentuk adanya komunitas Pondok Pesantren (berbusana serba putih) secara ketat menerapkan syariat Islam di desa tersebut. Ketiga, desa Pekuncen, yakni di area pemakaman para raja/Sultan yang dianggap suci/keramat. Orang yang diberi mandat pengurusan tersebut adalah seorang Kunci yang kemudian membentuk desa Kelima desa Mijen (dari kara ijen, sendiri) yakni desa yang tumbuh atas prakarsa seorang tokoh Ulama yang kemudian diangkat oleh penguasa menjadi penasihat spiritual kerajaan.

                                  [Bersambung]

Muarabeliti, 9 Agustus 2020
*) Blogger: www.andikatuan.net

Minggu, 09 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (2)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (2)

Oleh: Hendy UP *)

B. Sejarah Desa

     Pada awal abad ke-4, ketika awal ditemukannya prasasti dan piagam tertulis, para sejarawan Indonesia sepakat bahwa sebelum tahun 400 M disebut jaman prasejarah. Dalam prasasti Himad-Walandit, ditemukan kata 'desa' yg berasal dari bahasa Sansekerta, yang digunakan oleh masyarakat Nusantara khususnya di lingkar Keraton Jawa.

     Pada 1949, Prof. Burger menulis buku "Structuurveranderingen in de Javaanse samenieving Indonesia" yang dikutip oleh Bayu Surianingrat (1976) bahwa baru awal abad ke-17 bangsa Eropa berhubungan dagang dengan Nusantara, melalui tiga strata pemerintahan: para raja, para bupati dan para kepala desa.

      Menurut Burger bahwa norma adat (tidak tertulis, turun-temurun) bermula dari kesepakatan desa untuk menata peri-kehidupan masyarakatnya yang wajib ditaati tanpa syarat. Inilah yang dimaksud sebagai masy. hukum (rechtsgemeenschap), sedangkan teritorinya disebut 'daerah hukum' (rechtsgebied atau rechtsstreek).

     Karena pembentukan desa berawal dari ikatan geneologis yang bertumbuh menjadi ikatan sosial-teritorial, maka setiap region tertentu norma adatnya relatif berbeda. Tetapi karena ada imbas dari koneksi dan asosiasi ekonomi-barter antar-wilayah, maka nilai-nilai etika dan budayanya saling mengadopsi sehingga relatif senafas dan berorientasi kepada aspek keadilan dan kesejahteraan warga masyarakatnya.

      Istilah mengatur (bukan memerintah) awalnya bersifat membina (mengemong, Jawa), maka dahulu pemerintah desa itu disebut Pamong Praja/Desa. Dalam perkembangannya, di era sebelum Kolonialis Eropa masuk, kita mengenal istilah jabatan-jabatan pemerintahan seperti: raja, prabu, ratu, bupati, patih, wedana, ngabehi, pangeran, pesirah, gindo, krio, lurah, kuwu dan sebutan lainnya.

     Pada tahun 1.930 M ditemukan Prasasti (epigraf) Himad-Walandit di Jawa Timur, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1.350 M di jaman Kerajaan Singasari. Pada tahun 1939 (era Kolonial Belanda), prasasti itu dipindahkan dari Surabaya ke Dinas Purbakala Batavia oleh A. Gall. Lalu diteliti oleh Prof. JG de Casparis dan dipublish pada 1940 di majalah Inscripties van Nederland Indische.

     Dari situlah dipertemukan antara cerita legenda rakyat dengan fakta sejarah, bahwa pernah ada Kerajaan Majapahit dengan patihnya Gadjah Mada (surat rakryan apatih mpu mada) pada tahun 1.331 M. Sebagai ahli hukum, de Casparis menyimpulkan bahwa jauh sebelum bangsa Eropa masuk Nusantara telah ada 'hukum tata negara' dan 'hukum acara' untuk menyelesaikan persoalan kemasyarakatan.

     Rangkuman tulisan dalam epigraf yang terdiri dari 2 bab dengan 16 pasal itu, antara lain menunjukkan kedudukan 'otonomi' Desa Walandit (yang bertikai dengan desa Himad) yang tidak bisa diganggu-gugat oleh penguasa di atasnya, kecuali dengan cara permusyawaratan desa.

     Prof. M. Yamin, yang tahun 1962 baru sempat menulis buku "Tata Negara Majapahit", barangkali terinspirasi oleh Prasasti Walandit ketika bersama 'founding father' lainnya menyusun naskah UUD 1945 dengan perdebatan panjang hingga terlahir konsensus tentang Pasal 18 UUD 1945.

     Namun akhirnya kalah argumen dengan Prof. Soepomo yang mengusung konsep negara-integralistik, sehingga Desapraja menjadi bagian dari otonomi kabupaten (Dati II). Pada tahun 1965, Desapraja dimunculkan lagi di dalam UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, yang mendefinisikan:

"Desapraja adalah kesatuan masy. hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasa sendiri dan mempunyai harta benda sendiri".

     Desapraja adalah pemerintahan otonom yang berstruktur gemuk karena didesain sebagai wadah Pemerintahan Tk. III. Hal ini tercermin pada pasal (7) UU Desapraja, yakni:

"A0lat kelengkapan Desapraja terdiri dari kepala desapraja, badan musyawarah desapraja, pamong desapraja, panitera desapraja, petugas desapraja dan badan pertimbangan desapraja". (*)

                               [Bersambung ...]

Muarabeliti, 5 Agustus 2020
*) Bogger: www.andikatuan.net

Jumat, 07 Agustus 2020

PENDAMPING H2G

PENDAMPING HENDRA GUNAWAN?

Oleh: Hendy UP *)

     Di acara masak-masak a'la dusun menjelang akhir waktu dhuha pekan kemarin, aku menjadi pendengar setia, atas gesah politik warga dusun yang varian tabi'atnya multi-ragam.

     Kami para lelaki asyik-masyuk ngobrol di bawah tarup tiga kodi, sementara para umak-umak glomat begesah di 'dapur-kotor' yang asap-pengapnya meliuk-liuk seperti siamang mabuk.

     Dusun yang kusanjoi itu dekat secara geografis dengan ibukota Muarabeliti. Dusun ini dulunya masuk Marga Tiang Poengpoeng Kepoengoet (TPK), bukan Tiang Pumpung Kepungut seperti tertulis di Perda Musirawas. Sebutannya "Yan-Mok". Maksudnya Durianremuk. Konon, dulunya habitat durian yang buahnya (atau bijinya?) kecil-kecil alias remok.

     Yang mengasyikan 'begesah' ala dusun adalah: topiknya serba-serbi tergantung mood, umpan pancingan atau penabuh gendang obrolan. Juga sangat polos, to de poin, agak tendensius, berbau stereotif dan nakal-bingal secara pemikiran. Materinya bisa apa saja dan melebar kemana-mana. Di era pandemi dan stagflasi ekonomi ini, porsinya kira-kira 90% kritik, 9% berita viral dan sisanya agak-agak humanis; kadang "pornostory".

      Kalau ditanya rujukannya selalu 'konon' alias uji wang atau uji-TV. Kalau kalah berdebat, tunggu! Gelas kopi bisa tumpah-belah. Maka, dalilnya sederhana: jangan pernah berdebat di tengah dusun. Topik gesah mula-mula sekitar harga jedol para yang tidak manusiawi. Itu tesis yang diusung Mamang, yang rambut-kumisnya nyaris putih sempurna.

     Lalu tentang korona, tentang Jokowi pusing, tentang Donald Trump yang arogan. Tentang hebatnya Mang Dogan Turki, tentang pendemo Hongkong yang lupa tragedi Tian An Men dengan ribuan korban digilas buldozer; just suddenly menyingung soal pendamping H2G? Tiba-tiba pula Bi Mey yang nyelonong membawa cerek kopi, masuk tarub dengan statement polos. "Ongah ka galak niah pikun, ..... pendamping H2G, jelas Bu Novi lah! Tuu... hape gi?". Kami kompak tertawa dan Bi Mey bligat balik ke dapur kotor, setelah nyomot sebatang rokok Insta dari meja tarub.

     Adalah Haykal, si milenial-nakal dari Belitilama yang mancing soal Pilkada dan pendamping petahana. Si Haykal sangat fasih mengulas figur para calon, rekam-jejaknya, rangking popularitasnya, potensial elektabilitasnya, peta dukungan partainya hingga ke aspek metapolitiknya.

      Kami hanya mendengar penuh ta'dzim sambil nyeruput kopi hangat Bi Mey. Agaknya si Haykal hapal menyimak ulasan analis politik, sekaliber Eka Rahman, M. Fadhillah atau Mukhlis M. Isa. Haykal juga tipe penadah berita medsos yang melimpah-ruah.  Ini tampak dari tangan kirinya yang lepas dari gadget tipe terbaru: Samsung S20 265 GB.

     Sepulang dari dusun, aku teringat kalimat Bi Mey. Kata kuncinya: pendamping. Yaa, pendamping kalau dalam konteks rumah tangga, memang harus saling melengkapi dan mengisi kekurangan, layaknya PASANGAN SETIA sehidup-semati.

      Sebagai mantan birokrat yang sudah hampir sepuluh tahun mengenyam 'pahit-manisnya' menjadi mahluk politisi, H2G pasti sudah punya  "Buku Catatan" dan "Catatan Kaki" yang tersimpan rapi di juru kamar pribadi. Isinya, hanya dia yang tahu; dan hanya "Dia" yang mahatahu.

      Istrinya, Bu Novi, pasti banyak sekali tahu, tapi masih tersisa "pengetahuan" yang berada di balik catatan itu. Di dalam ilmu membaca buku, ada yang namanya "marginalia", yakni catatan di pinggir teks yang hanya bisa difahami oleh penggoresnya. Ia menguar emosi-magis di saat menggoresnya, dan akan merekam gumam-gesah di dalam kalbunya, dan terus terngiang di saat membaca ulang. Yang tahu, hanya dia dan Dia!

     Sebagai desainer 'dingin' nan super teliti, mungkin Pak Gun sedang menyusun grand-strategi: "Memenangkan Pilkada 2020, Sembari Menyiapkan Pelana untuk Berkuda di Lapangan Sriwijaya". Dua area inilah yang membuat super hati-hati dalam memilih pasangan. Menyusun puzzle untuk dua area pertandingan.

     Tapi kriteria pasangannya agak tertebak: pendiam, tegas, potensial peraih suara di 4 kecamatan gemuk, bisa mandiri secara ekonomi, dan piawai dalam 'memelihara' dinasti birokrasi. Selebihnya bla bla bla. Allohua'lam!

Muarabeliti, 6 Agustus 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 05 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (1)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (1)

Oleh: Hendy UP *)

A. Pengantar

     Sungguh aku merasa bangga lahir di desa! Bahkan di sebuah dukuh, kampung atau dusun. Anda pasti mafhum, di tahun 1957 itu, sangat sedikit ~ bahkan mendekati nol ~ penghuni desa yang berstatus pegawai negeri, swasta, yayasan, konsultan, apatah lagi anggota dewan yang berjas-dasi biru kupu-kupu.

     Kala itu, satu-satunya jabatan negeri yang kukenal adalah guru. Oh ya, satu lagi: klerek! Ada sepupu Neknang yang kupanggil mBah Kakung, yang setiap hari, bertahun-tahun hingga pensiun, naik sepeda ontel sejauh lima kilometeran (pp) dari kampungku ke kantor kecamatan.

     Nun jauh di timur laut kampungku ada tembok agung meraksasa, menghijau-biru bertapis gumpalan awan. Membatasi jarak pandang siang, menyembulkan gerak pelan volatile fatamorgana dan menghilang menjelang petang. Lalu menyisakan elun asap jerami yang membumbung langit nan membakar semangat jiwa kaum tani.

     Di saat kemarau panjang, di temaram suasana subuh yang mengajuk kalbu, tampak gunung-gemunung membagikan aroma sengak belerang-magma dari lubang-lubang kawah kaldera. Itulah pegunungan Baturaden yang mengokohkan paku bumi setinggi 4.328 meter: Slamet, namanya! Gunung terbesar di pulau Jawa.

     Di saat 'mongso kasongo', ketika musim halilintar hingar-menyambar, di halaman kampungku terbentang karpet alam: hijau-kekuningan nan semakin menguning. Atau, di saat pageblug korona, eh bukan; maksudku pandemik wereng atau tikus, rona hamparan itu kadang mencoklat-kekuningan.

     Barangkali, hamparan kuning itulah yang menginspirasi Pak Harto, atau Pak Suhardiman (salah satu pencetus Sekber-Golkar dari SOKSI) yang menggabungkan semiotika kokohnya akar-tunggang beringin yang dilatari kesuburan kuning rerumputan Oryza sativa. Kala itu, niscaya mereka berpikir: asal jangan ada pageblug wereng coklat 'Nilaparvata lugens', atau si tikus 'Rattus argentiventer, tiomanicus apatah lagi Rattus tanazumi.

     Di pangkal peradaban manusia, di pojok bumi manapun, dalam kajian antropologi- budaya, geologi, arkeologi, genetika, linguistik dan foklore, bahwa komunitas kuno itu mula-mula lahir di desa. Bermula desa pinggiran pantai, terus di pelipir muara sungai semakin ke hulu hingga ke lereng perbukitan yang terjal meliuk-gunung melempit-bukit. Itu memakan waktu jutaan bahkan milyaran tahun di era prasejarah. Ini setidaknya kata ilmuwan Stephen Oppenheimer yang menulis "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia".

     Desa, kampung, dusun, gampong, huta, negeri, negorij, marga, wanua, gaukay atau apapun sebutannya, adalah tempat tinggal bersama yang diikat oleh: karakter dasar sebagai makhluk sosial, unsur kejiwaan, alam sekitar, visi hidup yang sekepentingan serta kuda-kuda komunitas atas ancaman dari luar (binatang buas atau kelompok etnik lain).

     Masyarakat desa itu awalnya adalah ikatan geneologis, lalu bertumbuh menjadi ikatan sosial-teritorial, dan selanjutnya menjadi badan hukum adat di pedesaan. Dulu, kolonialis Belanda menyebutnya 'waterschap', sebuah komunitas yang diikat hidupnya oleh satu aliran air. Orang Inggris menyebutnya 'parish', bukan town atau village. Sedangkan orang Amerika (dulunya imigran Spanyol) menyebutnya 'borough'. Baca saja buku 'Desa' karya antropolog Sutarjo Kartohadikoesoemo tahun 1965.

     Menurut Hanif Nurcholis, seorang doktor sejarah pedesaan jebolan UI-UNPAD, yang mantan Stafsus Bupati Cilacap dan Tim Stafsus Mendagri, sejak jaman Nusantara hingga pasca-reformasi ini, ada 5 model pendekatan penguasa terhadap desa yang tidak searah: (1) penundukan, (2) pengawasan & pengendalian, (3) otonomi pribumi, (4) militerisasi, dan (5) desentralisasi, birokratisasi administrasi, dan otonomi khusus (adat) yang terlambat.

     Katanya, puncak kerusakan struktur desa adalah pada era Orde Baru, ketika terbit UU No. 5 Tahun 1979 yang memorak-porandakan desa adat seperti marga-marga di Sumatera Selatan.

                                      [Bersambung ...]

Muarabeliti, 1 Agustus 2020
*) Blogger: www.andikatuan.net