BERBURU HANTU AYO!
Oleh: Hendy UP *)
Dalam beberapa pekan ini, media lokal mengangkat lead tentang air irigasi yang hilang. Koran Mureks 10 Agustus 2020 menulis: "Petani Ngadirejo Berburu Air". Sebagai insan-tani, jiwa saya bergumam: "Apakah air telah 'reinkarnasi' menjadi 'supernatural being' di desa-desa sehingga perlu diburu melibatkan Babinsa?
Sebelum musim kemarau pun, ibarat mulut sudah berbuih-buih, sendi jemari nan letih menulis, tentang kondisi irigasi di Musirawas. Pada 13 Agustus 2019, di koran Mureks saya menulis: "Kisah Hilangnya Air dan Dinas Pengairan". Intinya adalah betapa pentingnya Dinas Pengairan di Musirawas, dan betapa 'gagal-pahamnya" para kreator UU Pemda (UU No. 23/2014) di Batavia ketika merumuskan Pasal 12.
Saya juga pernah menulis artikel provokatif: "Menggugat Pasal 12 UU Pemda" (Mureks, 12-12-2018), karena Pemerintah gagal memahami hakikat 'kebutuhan-dasar' masyarakat, sehingga di pasal 12 tertulis bahwa "pangan adalah termasuk urusan wajib non-pelayanan dasar.
Padahal UU Pangan yang 'lex-specialis' mengatakan sebaliknya! Betapa naifnya negara agraris ini! Tapi, mungkin saja saya yang salah tafsir terhadap UU itu; alias gila nomor sepuluh yang keren disebut dungu!
Apakah hilangnya air irigasi DI Kelingi-Tugumulyo ada kaitannya dengan hilangnya Dinas Pengairan Musirawas? Mengapa ketika masih ada Dinas Pengairan dulu juga terjadi kekeringan? Lantas apa makna-hubungannya dengan Pemda Musirawas menerbitkan Perda No. 3/2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)?
Jawabannya bisa debatable. Dan jangan sekali-kali mengadakan "zoom-minar" dengan mengundang Haykal si "milenial-nakal" dari Muarabelitilama, karena bisa memproduksi novel-fiksi sekebat tebal. That's unlogic! Tapi, begini! Ketika Pemda Mura menyusun OPD, tampaknya tidak berkutik menggoalkan Dinas Pengairan, karena terikat oleh Pasal 37 PP 18/2016 juncto Lamp. II bidang ke-PU-an.
Dari 18 item variabel bobot, hanya 6 item dengan bobot maksimal 16 yang terkait dengan terbentuknya Dinas Pengairan. Nilai bobot yang tidak mungkin membentuk OPD Dinas Pengairan. Untuk kondisi kini, jika variabel jumlah sungai dan panjang sungai bisa dihitung ulang dan lebih realistis-lapangan (utk menambah bobot); dan telah adanya revisi lampiran UU Pemda tentang pembagian urusan pengelolaan irigasi, serta dibatalkannya UU No. 7/2004 tentang SDA oleh Mahkamah Konstitusi, maka ada peluang dibentuknya Dinas Pengairan Musirawas di masa mendatang.
Tapi itu upaya bersama yang agak jangka nenengah-panjang. Yang dibutuhkan petani sekarang adalah: "bisakah air irigasi nyampai ke Ngadirejo, Mataram, Mangunharjo, Rejosari, Kertosari atau bahkan ke ujung Purwodadi? Kaum tani sangat pedih teriris air.
Cobalah kita lihat! Di Siringagung air bergulung-gulung. Di DAM PAYUNG SOHE, air melimpah-ruah ke sungai Ketuan. Bahkan sungai Ketuan yang berfungsi sebagai "siring- avour" yang dulunya didesain Belanda hanya untuk pembuangan darurat jika jadwal perehaban, kini meluber membanjiri kolam-kolam siapa sepanjang sungai Ketuan hingga entah kemana!
Lantas dimana hilangnya air irigasi? Maka, lacaklah lagi bersama para BABINSA -BABINKAMTIB sepanjang jaman. Bila perlu menggerakkan para DUKUN AIR se wilayah eks Kolonisasi Toegoemuljo. Karena kita khawatir, AIR IRIGASI sudah berubah jadi HANTU AYO! Allohua'lam bishshowab!
Muarabaliti, 10 Agustus 2020 *) Blogger: www.andikatuan.net