Senin, 10 Agustus 2020

BERBURU HANTU AYO

BERBURU HANTU AYO!

Oleh: Hendy UP *)

     Dalam beberapa pekan ini, media lokal mengangkat lead tentang air irigasi yang hilang. Koran Mureks 10 Agustus 2020 menulis: "Petani Ngadirejo Berburu Air". Sebagai insan-tani, jiwa saya bergumam: "Apakah air telah 'reinkarnasi' menjadi 'supernatural being' di desa-desa sehingga perlu diburu melibatkan Babinsa?

     Sebelum musim kemarau pun, ibarat mulut sudah berbuih-buih, sendi jemari nan letih menulis, tentang kondisi irigasi di Musirawas. Pada 13 Agustus 2019, di koran Mureks saya menulis: "Kisah Hilangnya Air dan Dinas Pengairan". Intinya adalah betapa pentingnya Dinas Pengairan di Musirawas, dan betapa 'gagal-pahamnya" para kreator UU Pemda (UU No. 23/2014) di Batavia ketika merumuskan Pasal 12.

     Saya juga pernah menulis artikel provokatif: "Menggugat Pasal 12 UU Pemda" (Mureks, 12-12-2018), karena Pemerintah gagal memahami hakikat 'kebutuhan-dasar' masyarakat, sehingga di pasal 12 tertulis bahwa "pangan adalah termasuk urusan wajib non-pelayanan dasar.

     Padahal UU Pangan yang 'lex-specialis' mengatakan sebaliknya! Betapa naifnya negara agraris ini! Tapi, mungkin saja saya yang salah tafsir terhadap UU itu; alias gila nomor sepuluh yang keren disebut dungu!

     Apakah hilangnya air irigasi DI Kelingi-Tugumulyo ada kaitannya dengan hilangnya Dinas Pengairan Musirawas? Mengapa ketika masih ada Dinas Pengairan dulu juga terjadi kekeringan? Lantas apa makna-hubungannya dengan Pemda Musirawas menerbitkan Perda No. 3/2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)?

     Jawabannya bisa debatable. Dan jangan sekali-kali mengadakan "zoom-minar" dengan mengundang Haykal si "milenial-nakal" dari Muarabelitilama, karena bisa memproduksi novel-fiksi sekebat tebal. That's unlogic! Tapi, begini! Ketika Pemda Mura menyusun OPD, tampaknya tidak berkutik menggoalkan Dinas Pengairan, karena terikat oleh Pasal 37 PP 18/2016 juncto Lamp. II bidang ke-PU-an.

     Dari 18 item variabel bobot, hanya 6 item dengan bobot maksimal 16 yang terkait dengan terbentuknya Dinas Pengairan. Nilai bobot yang tidak mungkin membentuk OPD Dinas Pengairan. Untuk kondisi kini, jika variabel jumlah sungai dan panjang sungai bisa dihitung ulang dan lebih realistis-lapangan (utk menambah bobot); dan telah adanya revisi lampiran UU Pemda tentang pembagian urusan pengelolaan irigasi, serta dibatalkannya UU No. 7/2004 tentang SDA oleh Mahkamah Konstitusi, maka ada peluang dibentuknya Dinas Pengairan Musirawas di masa mendatang.

     Tapi itu upaya bersama yang agak jangka nenengah-panjang. Yang dibutuhkan petani sekarang adalah: "bisakah air irigasi nyampai ke Ngadirejo, Mataram, Mangunharjo, Rejosari, Kertosari atau bahkan ke ujung Purwodadi? Kaum tani sangat pedih teriris air.

     Cobalah kita lihat! Di Siringagung air bergulung-gulung. Di DAM PAYUNG SOHE, air melimpah-ruah ke sungai Ketuan. Bahkan sungai Ketuan yang berfungsi sebagai "siring- avour" yang dulunya didesain Belanda hanya untuk pembuangan darurat jika jadwal perehaban, kini meluber membanjiri kolam-kolam siapa sepanjang sungai Ketuan hingga entah kemana!

     Lantas dimana hilangnya air irigasi? Maka, lacaklah lagi bersama para BABINSA -BABINKAMTIB sepanjang jaman. Bila perlu menggerakkan para DUKUN AIR se wilayah eks Kolonisasi Toegoemuljo. Karena kita khawatir, AIR IRIGASI sudah berubah jadi HANTU AYO! Allohua'lam bishshowab!

Muarabaliti, 10 Agustus 2020 *) Blogger: www.andikatuan.net

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (3)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (3)

Oleh: Hendy UP *)

     Kegagalan memperjuangkan Desapraja di tahun 1965 itu, di samping keburu terjadi tragedi G.30S-PKI, juga adanya kesadaran baru bahwa di masa depan ikatan sosial warga desa itu lebih karena 'kesatuan-teritorial' dan 'ikatan formal-kenegaraan', ketimbang ikatan sosial-genealogis atau ikatan norma-istiadat yang diwariskan secara utuh.

     Memang demikianlah progres sosial-antropologisnya, walaupun saat itu belum terlalu radikal akan perubahan tatanan desa: dari karakteristik 'gemeinschaft' (kekeluargaan) menuju kondisi 'gesellschaft' (patembayan, individual).

     Perdebatan para ahli pun beragam, sebagaimana pendefinisian desa oleh para ahli sosiologi-hukum yang tak serupa; yang seharusnya dijadikan landasan akademik dalam penyusunan regulasi Pemerintah dalam penempatan desa sebagai entitas masyarakat demokratis.

     Sebut saja misalnya pendefinisian desa dari: R. Bintarto (1968), PJ Bournen (1971), I Nyoman Beratha (1982), RHU Soenardjo (1984), Bayu Surianingrat (1992), dan Hanif Nurcholis (2011), yang senafas namun berbeda dalam kedudukan dan ruang lingkup penerapannya.

     Dari pembacaan epigraf Himad-Walandit, Bayu Surianingrat menyumpulkan bahwa:

(1) desa sebagai lembaga pemerintahan terendah sudah ada jauh sebelum ada pengaruh luar,

(2) pada awal sistem kerajaan Nusantara, kedudukan desa berada langsung di bawah Raja,

(3) masyarakat asli Nusantara telah mengenal sistem otonomi pemerintahan lokal yang disebut "swatantera" (mengatur rumah tangga sendiri) berikut sebutan jabatan dalam pengurusan otonominya, seperti: samget (ahli/tetuo adat), rajadikara, pamget, jayapatra (hakim), patih (eksekutif), dyaksa (jaksa) dan lainnya,

(4) ada klasifikasi desa berdasarkan karakteristik dan fungsi otonomi khusus yang diakui raja/negara. Menurut Kern & van Den Berg, model desa-desa (khususnya di Jawa/Bali) diadopsi dari India karena ada kesamaan nama-nama jabatan dan sebutan lain dengan pedesaan di India.

     Namun menurut van Vollenhoven dan Brandes, daerah hukum yang berada di Jawa, Madura dan Bali adalah ciptaan asli Nusantara karena mirip dengan model pemerintahan desa di Filipina yang tidak pernah mendapatkan pengaruh Hindu.

     Mencermati sejarah kelahiran desa di era kerajaan kuno Nusantara (pra-Islam), masa Kesultanan (Islam) dan pasca-kemerdekaan, setidaknya ada 4 tahapan asal desa. Pertama, lahir dan tumbuh atas kekerabatan murni (genealogis) yang membentuk persekutuan hukum (adat).

     Kedua, terbentuk atas asas sekepentingan dalam satu wilayah (persekutuan hukum teritorial). Ketiga, terbentuk karena ada tujuan khusus (ekologis/lingkungan alam) yang diinisiasi oleh entitas suku tertentu dan mendapat pengakuan dari raja/negara.
     Dan ke-empat, adanya strategi dan kebijakan tertentu dari raja/ordonansi pemerintah seperti desa Perdikan atau desa-desa Transmigrasi. Adapun berdasarkan karakteristik wilayah dan strategi pembangunan, dibedakan atas: (1) desa pesisir/pantai sebagai wilayah komunitas nelayan, (2) desa daratan rendah/pedalaman (kaum tani/ternak dan industri), dan (3) desa pegunungan (kehutanan).

     Sebagai catatan khasanah sejarah pedesaan kita, dahulu kala dikenal beberapa kedudukan desa khusus yang diakui oleh raja atau negara/pemerintah. Pertama desa Perdikan, yakni berstatus 'merdeka' atau 'mahardika'yang tidak dibebani upeti atau pajak dikarenakan tokoh pendirinya sangat berjasa kepada negara.

     Kedua, desa Mutihan yakni desa yang terbentuk adanya komunitas Pondok Pesantren (berbusana serba putih) secara ketat menerapkan syariat Islam di desa tersebut. Ketiga, desa Pekuncen, yakni di area pemakaman para raja/Sultan yang dianggap suci/keramat. Orang yang diberi mandat pengurusan tersebut adalah seorang Kunci yang kemudian membentuk desa Kelima desa Mijen (dari kara ijen, sendiri) yakni desa yang tumbuh atas prakarsa seorang tokoh Ulama yang kemudian diangkat oleh penguasa menjadi penasihat spiritual kerajaan.

                                  [Bersambung]

Muarabeliti, 9 Agustus 2020
*) Blogger: www.andikatuan.net

Minggu, 09 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (2)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (2)

Oleh: Hendy UP *)

B. Sejarah Desa

     Pada awal abad ke-4, ketika awal ditemukannya prasasti dan piagam tertulis, para sejarawan Indonesia sepakat bahwa sebelum tahun 400 M disebut jaman prasejarah. Dalam prasasti Himad-Walandit, ditemukan kata 'desa' yg berasal dari bahasa Sansekerta, yang digunakan oleh masyarakat Nusantara khususnya di lingkar Keraton Jawa.

     Pada 1949, Prof. Burger menulis buku "Structuurveranderingen in de Javaanse samenieving Indonesia" yang dikutip oleh Bayu Surianingrat (1976) bahwa baru awal abad ke-17 bangsa Eropa berhubungan dagang dengan Nusantara, melalui tiga strata pemerintahan: para raja, para bupati dan para kepala desa.

      Menurut Burger bahwa norma adat (tidak tertulis, turun-temurun) bermula dari kesepakatan desa untuk menata peri-kehidupan masyarakatnya yang wajib ditaati tanpa syarat. Inilah yang dimaksud sebagai masy. hukum (rechtsgemeenschap), sedangkan teritorinya disebut 'daerah hukum' (rechtsgebied atau rechtsstreek).

     Karena pembentukan desa berawal dari ikatan geneologis yang bertumbuh menjadi ikatan sosial-teritorial, maka setiap region tertentu norma adatnya relatif berbeda. Tetapi karena ada imbas dari koneksi dan asosiasi ekonomi-barter antar-wilayah, maka nilai-nilai etika dan budayanya saling mengadopsi sehingga relatif senafas dan berorientasi kepada aspek keadilan dan kesejahteraan warga masyarakatnya.

      Istilah mengatur (bukan memerintah) awalnya bersifat membina (mengemong, Jawa), maka dahulu pemerintah desa itu disebut Pamong Praja/Desa. Dalam perkembangannya, di era sebelum Kolonialis Eropa masuk, kita mengenal istilah jabatan-jabatan pemerintahan seperti: raja, prabu, ratu, bupati, patih, wedana, ngabehi, pangeran, pesirah, gindo, krio, lurah, kuwu dan sebutan lainnya.

     Pada tahun 1.930 M ditemukan Prasasti (epigraf) Himad-Walandit di Jawa Timur, yang diperkirakan dibuat pada tahun 1.350 M di jaman Kerajaan Singasari. Pada tahun 1939 (era Kolonial Belanda), prasasti itu dipindahkan dari Surabaya ke Dinas Purbakala Batavia oleh A. Gall. Lalu diteliti oleh Prof. JG de Casparis dan dipublish pada 1940 di majalah Inscripties van Nederland Indische.

     Dari situlah dipertemukan antara cerita legenda rakyat dengan fakta sejarah, bahwa pernah ada Kerajaan Majapahit dengan patihnya Gadjah Mada (surat rakryan apatih mpu mada) pada tahun 1.331 M. Sebagai ahli hukum, de Casparis menyimpulkan bahwa jauh sebelum bangsa Eropa masuk Nusantara telah ada 'hukum tata negara' dan 'hukum acara' untuk menyelesaikan persoalan kemasyarakatan.

     Rangkuman tulisan dalam epigraf yang terdiri dari 2 bab dengan 16 pasal itu, antara lain menunjukkan kedudukan 'otonomi' Desa Walandit (yang bertikai dengan desa Himad) yang tidak bisa diganggu-gugat oleh penguasa di atasnya, kecuali dengan cara permusyawaratan desa.

     Prof. M. Yamin, yang tahun 1962 baru sempat menulis buku "Tata Negara Majapahit", barangkali terinspirasi oleh Prasasti Walandit ketika bersama 'founding father' lainnya menyusun naskah UUD 1945 dengan perdebatan panjang hingga terlahir konsensus tentang Pasal 18 UUD 1945.

     Namun akhirnya kalah argumen dengan Prof. Soepomo yang mengusung konsep negara-integralistik, sehingga Desapraja menjadi bagian dari otonomi kabupaten (Dati II). Pada tahun 1965, Desapraja dimunculkan lagi di dalam UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, yang mendefinisikan:

"Desapraja adalah kesatuan masy. hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasa sendiri dan mempunyai harta benda sendiri".

     Desapraja adalah pemerintahan otonom yang berstruktur gemuk karena didesain sebagai wadah Pemerintahan Tk. III. Hal ini tercermin pada pasal (7) UU Desapraja, yakni:

"A0lat kelengkapan Desapraja terdiri dari kepala desapraja, badan musyawarah desapraja, pamong desapraja, panitera desapraja, petugas desapraja dan badan pertimbangan desapraja". (*)

                               [Bersambung ...]

Muarabeliti, 5 Agustus 2020
*) Bogger: www.andikatuan.net

Jumat, 07 Agustus 2020

PENDAMPING H2G

PENDAMPING HENDRA GUNAWAN?

Oleh: Hendy UP *)

     Di acara masak-masak a'la dusun menjelang akhir waktu dhuha pekan kemarin, aku menjadi pendengar setia, atas gesah politik warga dusun yang varian tabi'atnya multi-ragam.

     Kami para lelaki asyik-masyuk ngobrol di bawah tarup tiga kodi, sementara para umak-umak glomat begesah di 'dapur-kotor' yang asap-pengapnya meliuk-liuk seperti siamang mabuk.

     Dusun yang kusanjoi itu dekat secara geografis dengan ibukota Muarabeliti. Dusun ini dulunya masuk Marga Tiang Poengpoeng Kepoengoet (TPK), bukan Tiang Pumpung Kepungut seperti tertulis di Perda Musirawas. Sebutannya "Yan-Mok". Maksudnya Durianremuk. Konon, dulunya habitat durian yang buahnya (atau bijinya?) kecil-kecil alias remok.

     Yang mengasyikan 'begesah' ala dusun adalah: topiknya serba-serbi tergantung mood, umpan pancingan atau penabuh gendang obrolan. Juga sangat polos, to de poin, agak tendensius, berbau stereotif dan nakal-bingal secara pemikiran. Materinya bisa apa saja dan melebar kemana-mana. Di era pandemi dan stagflasi ekonomi ini, porsinya kira-kira 90% kritik, 9% berita viral dan sisanya agak-agak humanis; kadang "pornostory".

      Kalau ditanya rujukannya selalu 'konon' alias uji wang atau uji-TV. Kalau kalah berdebat, tunggu! Gelas kopi bisa tumpah-belah. Maka, dalilnya sederhana: jangan pernah berdebat di tengah dusun. Topik gesah mula-mula sekitar harga jedol para yang tidak manusiawi. Itu tesis yang diusung Mamang, yang rambut-kumisnya nyaris putih sempurna.

     Lalu tentang korona, tentang Jokowi pusing, tentang Donald Trump yang arogan. Tentang hebatnya Mang Dogan Turki, tentang pendemo Hongkong yang lupa tragedi Tian An Men dengan ribuan korban digilas buldozer; just suddenly menyingung soal pendamping H2G? Tiba-tiba pula Bi Mey yang nyelonong membawa cerek kopi, masuk tarub dengan statement polos. "Ongah ka galak niah pikun, ..... pendamping H2G, jelas Bu Novi lah! Tuu... hape gi?". Kami kompak tertawa dan Bi Mey bligat balik ke dapur kotor, setelah nyomot sebatang rokok Insta dari meja tarub.

     Adalah Haykal, si milenial-nakal dari Belitilama yang mancing soal Pilkada dan pendamping petahana. Si Haykal sangat fasih mengulas figur para calon, rekam-jejaknya, rangking popularitasnya, potensial elektabilitasnya, peta dukungan partainya hingga ke aspek metapolitiknya.

      Kami hanya mendengar penuh ta'dzim sambil nyeruput kopi hangat Bi Mey. Agaknya si Haykal hapal menyimak ulasan analis politik, sekaliber Eka Rahman, M. Fadhillah atau Mukhlis M. Isa. Haykal juga tipe penadah berita medsos yang melimpah-ruah.  Ini tampak dari tangan kirinya yang lepas dari gadget tipe terbaru: Samsung S20 265 GB.

     Sepulang dari dusun, aku teringat kalimat Bi Mey. Kata kuncinya: pendamping. Yaa, pendamping kalau dalam konteks rumah tangga, memang harus saling melengkapi dan mengisi kekurangan, layaknya PASANGAN SETIA sehidup-semati.

      Sebagai mantan birokrat yang sudah hampir sepuluh tahun mengenyam 'pahit-manisnya' menjadi mahluk politisi, H2G pasti sudah punya  "Buku Catatan" dan "Catatan Kaki" yang tersimpan rapi di juru kamar pribadi. Isinya, hanya dia yang tahu; dan hanya "Dia" yang mahatahu.

      Istrinya, Bu Novi, pasti banyak sekali tahu, tapi masih tersisa "pengetahuan" yang berada di balik catatan itu. Di dalam ilmu membaca buku, ada yang namanya "marginalia", yakni catatan di pinggir teks yang hanya bisa difahami oleh penggoresnya. Ia menguar emosi-magis di saat menggoresnya, dan akan merekam gumam-gesah di dalam kalbunya, dan terus terngiang di saat membaca ulang. Yang tahu, hanya dia dan Dia!

     Sebagai desainer 'dingin' nan super teliti, mungkin Pak Gun sedang menyusun grand-strategi: "Memenangkan Pilkada 2020, Sembari Menyiapkan Pelana untuk Berkuda di Lapangan Sriwijaya". Dua area inilah yang membuat super hati-hati dalam memilih pasangan. Menyusun puzzle untuk dua area pertandingan.

     Tapi kriteria pasangannya agak tertebak: pendiam, tegas, potensial peraih suara di 4 kecamatan gemuk, bisa mandiri secara ekonomi, dan piawai dalam 'memelihara' dinasti birokrasi. Selebihnya bla bla bla. Allohua'lam!

Muarabeliti, 6 Agustus 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 05 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (1)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (1)

Oleh: Hendy UP *)

A. Pengantar

     Sungguh aku merasa bangga lahir di desa! Bahkan di sebuah dukuh, kampung atau dusun. Anda pasti mafhum, di tahun 1957 itu, sangat sedikit ~ bahkan mendekati nol ~ penghuni desa yang berstatus pegawai negeri, swasta, yayasan, konsultan, apatah lagi anggota dewan yang berjas-dasi biru kupu-kupu.

     Kala itu, satu-satunya jabatan negeri yang kukenal adalah guru. Oh ya, satu lagi: klerek! Ada sepupu Neknang yang kupanggil mBah Kakung, yang setiap hari, bertahun-tahun hingga pensiun, naik sepeda ontel sejauh lima kilometeran (pp) dari kampungku ke kantor kecamatan.

     Nun jauh di timur laut kampungku ada tembok agung meraksasa, menghijau-biru bertapis gumpalan awan. Membatasi jarak pandang siang, menyembulkan gerak pelan volatile fatamorgana dan menghilang menjelang petang. Lalu menyisakan elun asap jerami yang membumbung langit nan membakar semangat jiwa kaum tani.

     Di saat kemarau panjang, di temaram suasana subuh yang mengajuk kalbu, tampak gunung-gemunung membagikan aroma sengak belerang-magma dari lubang-lubang kawah kaldera. Itulah pegunungan Baturaden yang mengokohkan paku bumi setinggi 4.328 meter: Slamet, namanya! Gunung terbesar di pulau Jawa.

     Di saat 'mongso kasongo', ketika musim halilintar hingar-menyambar, di halaman kampungku terbentang karpet alam: hijau-kekuningan nan semakin menguning. Atau, di saat pageblug korona, eh bukan; maksudku pandemik wereng atau tikus, rona hamparan itu kadang mencoklat-kekuningan.

     Barangkali, hamparan kuning itulah yang menginspirasi Pak Harto, atau Pak Suhardiman (salah satu pencetus Sekber-Golkar dari SOKSI) yang menggabungkan semiotika kokohnya akar-tunggang beringin yang dilatari kesuburan kuning rerumputan Oryza sativa. Kala itu, niscaya mereka berpikir: asal jangan ada pageblug wereng coklat 'Nilaparvata lugens', atau si tikus 'Rattus argentiventer, tiomanicus apatah lagi Rattus tanazumi.

     Di pangkal peradaban manusia, di pojok bumi manapun, dalam kajian antropologi- budaya, geologi, arkeologi, genetika, linguistik dan foklore, bahwa komunitas kuno itu mula-mula lahir di desa. Bermula desa pinggiran pantai, terus di pelipir muara sungai semakin ke hulu hingga ke lereng perbukitan yang terjal meliuk-gunung melempit-bukit. Itu memakan waktu jutaan bahkan milyaran tahun di era prasejarah. Ini setidaknya kata ilmuwan Stephen Oppenheimer yang menulis "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia".

     Desa, kampung, dusun, gampong, huta, negeri, negorij, marga, wanua, gaukay atau apapun sebutannya, adalah tempat tinggal bersama yang diikat oleh: karakter dasar sebagai makhluk sosial, unsur kejiwaan, alam sekitar, visi hidup yang sekepentingan serta kuda-kuda komunitas atas ancaman dari luar (binatang buas atau kelompok etnik lain).

     Masyarakat desa itu awalnya adalah ikatan geneologis, lalu bertumbuh menjadi ikatan sosial-teritorial, dan selanjutnya menjadi badan hukum adat di pedesaan. Dulu, kolonialis Belanda menyebutnya 'waterschap', sebuah komunitas yang diikat hidupnya oleh satu aliran air. Orang Inggris menyebutnya 'parish', bukan town atau village. Sedangkan orang Amerika (dulunya imigran Spanyol) menyebutnya 'borough'. Baca saja buku 'Desa' karya antropolog Sutarjo Kartohadikoesoemo tahun 1965.

     Menurut Hanif Nurcholis, seorang doktor sejarah pedesaan jebolan UI-UNPAD, yang mantan Stafsus Bupati Cilacap dan Tim Stafsus Mendagri, sejak jaman Nusantara hingga pasca-reformasi ini, ada 5 model pendekatan penguasa terhadap desa yang tidak searah: (1) penundukan, (2) pengawasan & pengendalian, (3) otonomi pribumi, (4) militerisasi, dan (5) desentralisasi, birokratisasi administrasi, dan otonomi khusus (adat) yang terlambat.

     Katanya, puncak kerusakan struktur desa adalah pada era Orde Baru, ketika terbit UU No. 5 Tahun 1979 yang memorak-porandakan desa adat seperti marga-marga di Sumatera Selatan.

                                      [Bersambung ...]

Muarabeliti, 1 Agustus 2020
*) Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 03 Agustus 2020

JANGAN BAKAR JERAMI!

JANGAN BAKAR JERAMI!

Oleh: Hendy UP *)

     "Saudara-saudaraku, sedusun seirigasi! Menghadapi kemarau ini, jangan sekali-kali membakar jerami, sampah, baliho bekas.... opo wae lah! Apolagi spanduk yang ada fotooo ..... Pokoknya hindari asap! Ya, saudara-saudaraku seee .....".

     Tiba-tiba dipotong pemuda Haykal: "Maksud Pak Kadus .... foto Habib Rizieq! .... Saudara seiman! Semazhab! Pak Kadus.... perlu diingat yaa, .... di dusun kita ini multi-etnik, multi-agama, multi-profesi, multi-partai! Jangan coba-coba kami ini diadu-kambing...!" (Di dusun itu memang sudah tak ada domba, terlarang oleh Distannak Mura).

      Interupsi Haykal itu nadanya terkendali, terukur intonasinya, tanpa basa-basi tengik. Memang Haykal ini dijoloki 'milenial-nakal'; sepupu jauh Udin Beliti yang raib entah kemana setelah didatangi tiga orang 'asing' pada Ahad kemarin. Menjelang adzan maghrib. Mungkin imbas cuitan twitternya!

    Pak Kadus kaget! Gagap-gelagapan: "Wahai anakku Haykal, maksud saya itu..... maksud Pak Lik ituuuu .... foto seorang tokoh, siapa wae! Saudara .... se... kaliyyaaan! Bukan seiman! Makanya, kalau ada pejabat lagi pidato jangan dipotong. Tonton hingga tamat, biar dak gagal panen ..... eh .... paham", suara Kadus pelan, terbata-merah, agak gemetaran.

    .Perseteruan itu, ternyata residu-politik Pilkades masa lalu yang menanah-lumpur, mengendap-resap hingga ke bulu-bulu akar rumput lapangan bola.

     Konon, 'inner-cycle' dzuriyat Pak Kadus ini melimpah di seantero pojok dusun. Terbilang 'hogih': agen beras, gilingan padi tiga, traktor empat, warung sembako dua ruko dan hobbi nyembur duit kalau ada pesta orgen tunggal. Apatah lagi sewaktu nyalon Kades kalah tempo hari.

     Sialnya, yang menang adalah Pak Lik-nya Haykal. Tiga kali kontestasi Pilkades, selalu berhadapan dua kubu: kaum konservatif-tradisional vs progresif-radikal. Musuh bebuyutan!

     Tapi konon, IQ Kadus itu agak jongkok. Di Jawa dulu, tiga kali pindah kuliah, sekolah partikelir, akreditasi BAN-PT level C. Sebelas tahun tak tamat, dijemput paksa ortu, seanak-bininya. Ternyata kuliah nyambi 'mbojo'! Karena ambisius menempel titel, qodarullah akhirnya tamat juga. S1entah dimana!

     Ijazah itulah modal nyalon Kades tempo hari. Makanya, bahasa pidatonya sering ngacau, pakai istilah-istilah yang 'gak genah', logikanya loncat tupai. Lucu! Agak cerdik-culas dan punya keahlian tunggal: nyogok!

     Adapun si Haykal, adalah pemuda cerdas, nakal-milenial. Konon, mBah Buyutnya dulu sekampung Bung Karno, Blitar. Tapi Neknangnya orang Belitilama. Setamat SMP, Haykal hijrah ke Gontor. Kota Malang-Jogya-Bogor, hafal hingga gang buntunya. IQ-nya tegak-punjul, tamat S1 dua prodi, summa cum laude S2 Fisika Nuklir dari Univ. ternama. Pernah iseng ikut-ikutan jadi 'hacker'. Gara-gara si Covid, lantas tertunda ambil beasiswa S3 di almamaternya Mas Gotri: Birmingham, UK.

     Proposal risetnya mencengangkan: "Explosive Power Straw and Material Smoke of Indonesian Politics" (Dayaledak Jerami dan Material Asap Politik Indonesia). Mungkin si Haykal agak mengidap kelainan jiwa ringan: skizoid-skizotipal. Mirip gila-edan nomor 13 yang disebut Gendeng. Kendaklah ongah .. Kal!

      Mirip dengan Kadus, si Haykal juga punya keahlian. Ganda: sombong dan anti kerja Tim! Mau menang sendiri. Ketika dikoreksi judul proposal risetnya, Haykal mulai congkak: "Saya punya Kamus Grammar, stuktur gramatikal, tiga bahasa ....". Mata sombongnya berbinar.

     Pikiran Pak Kadus dan Haykal pasti ada benarnya. Hanya, keduanya beda pandang; diperparah oleh sikap dasar memendam-dendam. Karena IQ pas-pasan, Kadus tak piawai meramu. Larangan membakar jerami, pasti urgen; untuk mengurangi dampak perubahan iklim selaras dengan 17 butir Sustainable Development Goals.

     Tapi ya, mbokyao ... nggak usah diramu dengan berita viral minggu ini tentang pembakaran spanduk Habieb Rieziq! Biarlah, itu urusan para-pihak. Kita di kampung, cukup berdoa untuk keberkahan negeri ini. Allohua'lam bishshowab!

Muarabeliti, 4 Agustus 2020

Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 28 Juli 2020

IKLAN-IKLAN TAK SOPAN

IKLAN-IKLAN TAK SOPAN!

Oleh: Hendy UP *)

     Seorang teman di Bengkulu merasa risi ketika membaca artikel-artikel saya di sebuah media online. Dengan canda khas mBantul-Birmingham dia menyentil: ".... artikel sampeyan itu dipenuhi iklan (agak porno) sebuah produk untuk mengecilkan perut .... hahaha". Begitu kira-kira makna keluh-protesnya.

     Dalam hati, saya menyarankan, jangan sekali-kali menyentuh iklan 'Pneumatic Rotary Union'. Jangan! Saya pun tak pernah berani. Melihat cover iklannya saja sudah 'wadduh'. Lalu teringat petuah santun dari UAH, UAS dan Ust. Syafik RB! Yaa... narju 'an yubarikuu!

      Saya haqul yakin, siapa pun yang 'normal-jiwa' pasti terganggu oleh iklan tak senonoh itu. Masalahnya, siapakah yang berwenang mengawasi muncul-timbulnya iklan setan itu? KPI kah? Kominfo kah? Atau lembaga apa! Tapi menurut R. Kristiawan dari lembaga Koalisi Independen & Demokratisasi Penyiaran, keberadaan KPI masih sangat lemah (Tirto.id; 25/10/2017).

     Ihwal lemahnya KPI itu bisa kita lacak dari dikalahkannya oleh PTUN Jakarta ketika menerbitkan SE No. 225/K/KPI/31.2/04/2017 tentang Iklan Parpol yang tayang di luar masa kampanye. Juga ketika UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di-judicial review di MK, dan akhirnya harus berbagi kewenangan pengawasan atas penyiaran dengan Pemerintah cq. Kementrian Kominfo. Kalau demikian halnya, maka masing-masing kitalah yang harus membentengi diri dari aneka model iklan 'dak karuan' masa kini yang nongol setiap detik.

     Jika kita lacak tentang perangai pebisnis yang super canggih dan diskusi para pemerhati iklan, ada statement seorang pakar IT begini: "mustahil sebuah iklan keluar sendiri tanpa ditrigger oleh publisher. Makanya mereka menawarkan escapenya: jika ada iklan Google Ads yang dirasa mengganggu, suruh mengunjungi link: https://support.google.com/google.ads/contact/thirdparty_complaint?hl=id", ujar sobat tadi. Wadduhh tambah pusing gue ...!

     Kata para sarjana hukum, secara legal formal, perihal iklan-iklan porno itu sudah diancam pidana menurut KUHP. Bahkan ada dua UU yang dengan tegas melarangnya, yakni UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Jadi kurang apa lagi!

      Pun pula, definisi pelanggaran kesusilaan sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE sudah sangat klir. Apatah lagi bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf (d) di UU Pornografi, sudah sangat gamblang nan terang-benderang. Rasanya para ahli bahasa Indonesia tak perlu berdebat tentang makna "ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan" seperti iklan 'Pneumatic RU itu'.

     Setuo ini, saya lantas bergumam: "Kalaulah Pemerintah yang gagah- powership, yang menguasai 'ngelmu' teknologi super-sophisticated saja tak berkutik? Apa jadinya? Apakah kita masih memerlukan seorang Empu untuk menghadapi mBah Google dengan senjata keris plus klenik dari era Singasari? Mungkin Anda punya jawabannya! [*]

Muarabeliti, 21 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 21 Juli 2020

GENERASI PENDOBRAK

GENERASI: PENDOBRAK, PENERUS & PENIKMAT

Oleh: Hendy UP *)

     Lagi-lagi, Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal membuat ulah-aneh: bicara tentang psiko-antropologi. Padahal ia hanyalah tukang 'motong-para' yang harga jedolnya (slab) masih sangat parah. Bergerak antara 6.000 - 8.000 perak per kilo.

     Katanya, dalam kajian karakteristik generasi, khususnya ihwal 'elan-vital' kehidupan sosial kultur Indonesia, terbagi menjadi 3 karakter generasi: pendobrak, penerus dan penikmat.

      Sebagaimana lazimnya ilmu sosial, selalu ada 'status antara' atau kombinasi karakter; tidak hitam putih. Misalnya: agak berkarakter penerus tetapi agak-agak penikmat. Si Udin barangkali tidak sedang bicara kultur Indonesia. Terlalu luas. Mungkin hanya sebatas subkultur Silampari Bari wilayah Sumbagsel yang diwariskan ke generasi kini.

     Tetapi kini ada cabang ilmu spesialisasi baru: psiko-antropologi. Yakni ilmu yang mengkaji perkembangan manusia dan enkulturasi dengan kelompok budaya tertentu yang terkait dengan pengalaman sejarah dan bahasanya. Inilah yang melahirkan konsep kognisi, emosi dan persepsi etnologis yang kelak membentuk karakteristik generasi di wilayah kultur tertentu.

      Sebenarnya, sedari dulu masyarakat Nusantara sudah memiliki sejarah hitam karakter generasi: antara lain akibat benturan 3 jenis karakter dalam satu jalur nukleus-geneologis. Dua beradik kandung Anak-Raja yang berbeda karakter: penerus dan penikmat, niscaya potensial berbenturan pada zuriyatnya, bahkan bisa pada dirinya jika tanpa basis agama yang kuat.

     Sebagai teladan bari: Prabu Kameswara adalah founder kerajaan Kahuripan kuno. Ia adalah sang pendobrak. Salah satu anaknya, yang bernama Prabu Airlangga (1.019-1.042 M) adalah generasi penerus yang sukses dan bijak. Ketika Airlangga menua, demi kedamaian turunannya yang dua orang, maka kerajaan Kahuripan dibagi dua: Jenggala (kelak menjadi Singosari) dan Panjalu (kelak menjadi Kediri).

     Tetapi apa lacur? Kedua jalur dzuriyatnya berbeda karakter dan berseteru hingga babak-belur dan saling memutuskan silaturakhim. Setelah perang sedarah beberapa generasi, alhasil pertumpahan darah itu menyatukan kembali eks wilayah Kahuripan yang berdarah-darah, dan kemudian berubah menjadi Kerajaan Kediri dengan Raja Agungnya Prabu Jayabaya (1.042-1.222). Itu adalah salah satu contoh: betapa perbedaan karakter generasi yang sulit didamaikan ternyata mengelamkan peradaban.

     Contoh generasi pendobrak di Musirawas antara lain adalah: para Pesirah/Kepala Marga di awal pembentukan marga. Setidaknya ada 18 Marga asli di wilayah eks Onderafdeeling Musi Ulu Rawas yang kemudian bubar, akibat lahirnya Permendagri sebagai derivasi atas UU No. 5 Thn 1979 tentang Desa. Era kemargaan berakhir pada 1 April 1983. Siapakah generasi PENERUS dan PENIKMAT-nya pasca bubarnya Marga? Anda bisa menginventarisir lebih lengkap di sekitar Anda. Ini penting sebagai ibroh generasi milenial.

      Contoh lagi, generasi Pendobrak di era Kolonisasi Toegoemuljo mungkin mereka para transmigran pertama di tahun 1937-1940, yang hanya menempati 20 desa sebelum NKRI terbentuk. Mereka membuka hutan belantara demi kemaslahatan anak-dzuriyatnya. Beberapa di antara mereka berhasil! Tapi selalu saja mewarisi dua jenis generasi yang dominan: penerus dan penikmat!

     Yang mengerikan, di era digital-milenial kini, jika orangtua tak berhati-hati membangun karakter bijak lalu menyekolahkan anaknya ke sekolah sekuler, maka orangtua bagaikan memelihara anak MACAN di dalam rumah sendiri. Siap-siaplah kita diterkam tengah dalu! Allohua'alam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

TANTANGAN KORAN LOKAL

TANTANGAN KORAN LOKAL DI ERA MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Mengamati berita Lipos Online (Senin 20 Juli 2020) tentang acara Gathering Tim Linggau Pos (LP) dan Linggau Pos Online (LPO), ada metafora tergantung dari statement GM-LP Budi Santoso. Rombongan sedang berada di perbukitan Danau Mas Harun Bastari. "Kita sedang berada di wisata perbukitan, maka lihatlah ke bawah agar mengetahui apa yang harus kita lakukan ke depan". Begitu kira-kira makna verbatimnya.

      Sebagai peminat bahasa dan pemerhati koran lokal, saya menangkap ada semiotika tantangan dan harapan dari pelaku bisnis koran (kertas). Ada semacam 'kegalauan' akan nasib koran kertas. Di Ultah Mureks ke-12 tempo hari, saya menulis artikel bersambung tentang ideologi dan bisnis media lokal di era pascakorona. Ada pesaing baru hadir: medsos!

     Kasus 'Koin Prita' yang dikabulkan MA, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.

     Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga dusun-teluk, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah, ketimbang berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.

      Saya sungguh prihatin terhadap koran lokal yang harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, delirium, merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterainya ngedrop.

      Jika koran lokal (kertas) ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.

     Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Lipos antara 5-9 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!

     Sekadar kritik, iklan di Lipos Online sungguh variatif. Tapi saya menyangkan! Prihatin berat: kok ada iklan seronok yang tak santun. Pornografis! Subhanalloh!

     Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.

     Jangan bermimpi Lipos akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Lipos harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Lipos.

     Yang perlu dipikirkan petinggi Lipos kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.

     Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" bulan lalu. Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan..net

Sabtu, 18 Juli 2020

METAPOLITIKA 2020: PORTAL TUHAN MENAHAN SIAPA?

METAPOLITIKA 2020: PORTAL TUHAN MENAHAN SIAPA?

Oleh: Hendy UP *)

      Politik menurut Ridwan Saidi, pada dasarnya adalah "bagaimana ikhtiar-ikhtiar perumusan kehendak dilakukan dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung" (KolomTempo, 9 Mei 1987).

     Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal menambahkan: "idealnya, perumusan kehendak itu adalah program yang membumi, bernuansa genuin-lokalistik, berspektrum milenial-global, plus strategi pencapaian yang terukur". Sedangkan strategi dalam Kamus Webster: "seni mengelola kemampuan-kemampuan, sehingga muncul kemampuan baru dengan daya dorong yang lebih besar".

      Semakin ngawur konsepsi program yang dijual, semakin demagog pula pidato Jurkamnya. Namun, soal menang-kalah dalam Pilkada (dan kontestasi politik apapun), sungguh variabelnya multi ragam. Di atas segalanya: kodrat-irodat Tuhan yang maha mengatur!

     Menurut catatan KPU, di tahun 2020 ini ada 270 daerah (prov/kab/kota) yang akan 'pesta' Pilkada. Niscaya ada 540 insan yang telah ditetapkan Tuhan di buku-Nya, yang akan diuji dengan aneka instrumen Illahiyah: keadilan, kenegarawanan, kewenangan, ketaatan, dan ketahanan batin akan besarnya kemungkinan melenceng dari maqom keadilan, jika kelak memangku jabatan itu.

     Dan, ada ribuan insan (yang pasti gagal) yang langsung diuji kesabarannya, dalam menghayati "wa ilaa robbika farghob". Hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap! Barangkali, jika dirinya menang, belum mampu berbuat adil. Kriteria adil adalah 'the first important criterion to be tested'. Tuhan mahatahu!

     Metapolitika adalah cabang filsafat politik yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental tentang keberadaan kepemimpinan politik kenegaraan (imarah) dan realitas yang menyertainya. Hal ini mengandung makna bahwa seluruh konsekuensi jabatan yang dipangkukan dan kemudian diamalkannya, akan diuji akuntabilitasnya di hadapan Tuhan. Barangkali ini terkait dengan sabda Rasulullah SAW: "Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatih".

     Kata Meta, yang berasal dari Yunani kuno memang bermakna melampaui, melebihi (beyond) area tataran ilmu politik yang cenderung sekuleristik sebagaimana yang difahami Dunia Barat. Tentu saja, seperti halnya lingkup kajian metafisika, analisis metapolitika juga terkait dengan: eksistensi sistem politik, kondisi eksternal dan karakter struktur kenegaraan yang dianut, dan relasi ruang dan waktu dalam prosesi kontestasi kepemimpinannya.

     Tentang hiruk-pikuk Pilkada Mura dan Muratara, sungguh saya tidak mampu menulis sekadar analisis politik versi kampung, karena tak sedikit pun memiliki basis ilmunya. Saya hanya ingin menyumbang pemikiran bahwa ke depan, para politisi (legislator maupun pejabat daerah) wajib semakin mampu memahami 6 titik koneksi untuk membangun "political-branding" dalam proses kontestasi limatahunan. Keenam titik itu adalah: political desire, political awareness, perceived quality, political loyalty, political endorser dan political evangelist. Uraian detailnya bisa ditelaah di buku "Political Branding & Public Relations", karya SA Wasesa (hal. 166-168).

     Jika mengamalkan 6 item ini, maka dalam membangun branding politisi tidak lagi sekadar membangun reputasi dan persepsi baik-buruk an sich. Namun lebih dari itu, yakni pada proses retensi (mengelola loyalis/lama) sembari mengakuisisi dan meyakinkan konstituen baru. Ini akan memperkaya dukungan pelaksanaan program di level akar rumput. Tentu saja, semuanya diawali dengan prinsip dasar metapolitika.

     Jika metapolitika sudah dipahami, maka apapun hasil akhir kontestasi niscaya akan tertegun dihadang PORTAL ILLAHIYAH. Yang lolos akan diuji lebih panjang dalam mengamalkan niatnya sesuai koridor sunnah Rasulullah. Yang 'tertunda-suksesnya' segera diuji kesabarannya sembari diberi waktu untuk: meluruskan niat, mematut-matut diri untuk jabatan itu, sembari mengalkulasi ulang berapa banyak 'korbanan' (uang, teman dll) yang telah hilang. Allohua'alam bishshowab. [*]

Muarabeliti, 17 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net