Desa F. Trikoyo Kecamatan Tugumulyo Kab. Musirawas terbentuk pada 1938, merupakan eks kolonisasi Hindia Belanda di zaman Gub. Jenderal terakhir Jonkheer Tjarda van Starkenborgh (1936-1942). Disertasi KJ Pelzer (1945) “The Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics” mencatat, jumlah transmigran yang ditempatkan di 15 desa Toegoemoeljo Coloni hingga 1940 sebanyak 2.486 KK dengan rincian: 614 KK pada tahun 1937; 859 KK pada tahun 1938; 423 KK pada tahun 1939 dan 590 KK pada tahun 1940.
Sembari merajut-merekonstruksi sejarah bari Musi Rawas, saya tergerak memungut serpihan catatan yang tercecer di sudut-sudut perkampungan Bumi Silampari, melacak berbagai dokumen lama, mewawancarai narasumber langka dan berselancar di dunia maya bersama mBah Gugel yang serba nYahoo. Untuk memperoleh data yang sahih, memang diperlukan ekstra kesabaran mengkroscek antardata, mengkonfrontir antarnarasumber dan bahkan menguji sumber pustaka dan kredibilitasnya.
Adalah H. Satirin bin Sordjo (80 th) di F. Trikoyo, salah satu dari sedikit tokoh lama yang berhasil diwawancarai beberapa waktu yang lalu. Beliau adalah saksi sejarah yang pada umur 3 tahunan dibawa orangtuanya sebagai transmigran dari Nganjuk. Diceritakan bahwa asal-usul warga F. Trikoyo didominasi transmigran gelombang kedua (1938) dari Nganjuk (Jatim) dan Boyolali (Jateng). Dalam perjalanannya, kemudian masuk secara perorangan (atau kelompok) dari daerah lain seperti Jogya dan lain-lain. Wilayah Kecamatan Tugumulyo dahulu termasuk resort Marga Proatin Lima (Muarabeliti), hingga terpisah pada tahun 1978 ketika terbentuk tiga pemerintahan marga di eks Kolonisasi Tugumulyo, yakni Marga Ekamulya, Dwimulya dan Trirahayu.
Lazimnya penamaan desa eks transmigrasi, memang di awali dengan urutan abjad atau nomer unit transmigrasi, semisal Desa A, B, C dan seterusnya; atau dengan urutan nomor Satuan Pemukiman (SP). Akan tetapi ada fakta menarik tentang pengurutan abjad nama-nama desa di Tugumulyo. Ada abjad yang ‘dilewati’, sementara ada abjad yang dinominasi (dipecah). Desa G. Mataram, bermetamorfosis menjadi G1. Mataram dan G2. Dwijaya. Demikian juga desa Q. Buminoto menjadi Q1. Tambahasri dan Q2. Wonorejo, kemudian P1 Mardiharjo dan P2 Purwakarya serta desa-desa lainnya.
Yang masih misterius adalah abjad N yang tidak digunakan, dan dilewati setelah abjad M. Sitiharjo meloncat ke O. Mangunharjo. Misteri huruf N pasti ada sejarahnya. Untuk melacaknya, teman saya berseloroh: “Carilah di KITLV Leiden atau tanyakan kepada Ricklefs di Stanford”. Barangtentu generasi kini banyak juga yang tidak tahu bahwa dahulu ada Proyek Transmigrasi Z tahun 1958, yang gagal terealisir, yakni di Desa Manaresmi, yang kelak tetap menjadi bagian wilayah Marga Proatin V Kecamatan Muarabeliti Kabupaten Musi Rawas.
Bagi sementara kalangan, F. Trikoyo dipersepsi sebagai sebuah desa yang lebih ‘maju’ dibandingkan desa-desa lain di Kecamatan Tugumulyo. Dalam bahasa yang lebih lugas, masyarakat F. Trikoyo dinilai relatif lebih kritis, agak ‘ngeyel’, kurang bisa ‘dimobilisir’ oleh kekuatan mana pun; dan oleh karena itu dalam peta ‘politik lokal’, F. Trikoyo memiliki catatan tersendiri bagi para Caleg dan Cabup yang ‘bertarung’ di masa lalu. Diperlukan multi metode provokatif bagi siapa pun yang ingin meraih simpatik warga F. Trikoyo, dan tampaknya masih berlaku hingga sekarang.
Bagi yang tertarik untuk mengeksplore peta ‘sosio-politik’ desa F. Trikoyo, kiranya perlu upaya penggalian panjang dari sejarah lahirnya, dominasi warga asalnya (Nganjuk dan Boyolali), dan variabel-variabel lain yang memengaruhi karakteristik warga “Bok Lor” yang dua dekade lalu dipersepsi relatif lebih ‘nasionalis-sekuler’ daripada warga ‘Blok Kidul’ yang relative lebih ‘religius-fundamentalis’ khususnya pasca masuknya spirit Islam yang ditandai dengan berdirinya Pesantren Walisongo dengan segala aktifitas sosialnya.
Di era tahun 1980-an – ketika kran berpolitik relatif dikekang - pastilah masih sangat terasa sekam ‘persaingan politik’ antara dua kelompok tersebut. Keberadaan tokoh-tokoh partai lama yang memiliki pengaruh kuat di ‘Blok Lor’ dan masuknya spirit Islam di ‘Blok Kidul’ diduga kuat sangat mewarnai dialektika ‘politik lokal kedesaan’, sehingga masyarakat F. Trikoyo sudah terbiasa dalam nuansa kompetitif-dialektis dan berbeda pandangan dengan beragam pemikiran; yang tanpa disadari ternyata kelak menyuburkan sikap kritis masyarakatnya dalam beberapa dekade terakhir ini. Tentu saja, faktor pendidikan rata-rata masyarakat dan banyaknya jumlah pegawai negeri tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam kelindan narasi perpolitikan di tubuh F. Trikoyo.
Di era kemandirian desa sebagaimana diamanatkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, hal ini akan menjadi ‘pemicu positif’ bagi lahirnya desa otonom yang kelak benar-benar mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini dimungkinkan, karena bandul kekuasaan akan berada setimbang antara eksekutif (pemerintah desa) dan legislatif (BPD) serta daya kritis masyarakat di lain pihak. Dan desa F. Trikoyo berpotensi menjadi desa percontohan pelaksanaan UU Otonomi Desa, sekali gus bisa menjadi ‘Laboratorium Politik Perdesaan’ yang mampu mengeleminir maraknya ‘politik uang’ dalam pemilihan calon legislator, calon kepala daerah serta praktek-praktek transaksional lainnya dalam berbagai bidang kehidupan politik-kemasyarakatan.
Kembali ke sejarah F. Trikoyo, berdasarkan beberapa narasumber dan catatan di kantor desa, di awal terbentuknya desa F. Trikoyo dipimpin oleh Lurah Pawiro Sudarmo (1938-1943). Jika kita kaitkan dengan situasi saat itu, pastilah jabatan lurah belum dipilih secara langsung. Sebutan lurah mungkin hanyalah mengadopsi dari tradisi Jawa dan Pak Lurah pastilah merupakan figur yang memiliki prasyarat pemimpin dengan aspek ketokohannya. Ketika zaman pendudukan Jepang (1943), Lurah Pawiro Sudarmo digantikan oleh Lurah Pardi Sastro Sumito hingga pecahnya clash action agresi Belanda ke-2 tahun 1949. Hingga tahun 2014 ini, Desa F. Trikoyo telah dipimpin oleh 6 (enam) orang Lurah/Kepala Desa dengan berbagai perubahan undang-undang yang mengatur mekanisme pemilihan kepala desa. Dari ke-enam Lurah tersebut, terdapat 3 (tiga) Lurah yang menjabat sangat lama yakni selama 20 tahun dan 19 tahun. Keenam Lurah tersebut dan periode masa jabatannya adalah sbb:
No. Nama Lurah/Kades Periode Masa Jabatan (th)
Pawiro Sudarmo 1938 – 1943
Pardi Sastro Sumito 1943 – 1949
HR. Sutowihardjo (Harjotani) 1949 – 1969 (20 tahun)
Mahdi Supardjo 1969 – 1988 (19 tahun)
Umar Abdul Djabar, BA 1988 – 2008 (20 tahun)
Sriyanto 2008 – 2014
Pendokumentasian sejarah lokal kedesaan perlu semakin digalakkan menyongsong pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, karena aset desa yang berada di dalam batas wilayah desa harus dikelola secara bijak tanpa menimbulkan perseteruan dengan desa tetangga. Sejarah asal-usul desa sangat penting untuk menentukan batas-batas desa yang di dalamnya mengandung konsekuensi kewajiban memelihara aset desa; apatah lagi jika di perbatasan desa tetangga kita terdapat sumber penghasilan yang potensial menimbulkan konflik antardesa.