Sabtu, 11 Oktober 2025

[17]AKU PERNAH HIDUP: CATATAN SEORANG PENYULUH PERTANIAN

Catatan: Hendy UP *]

#MOZAIK KETUJUHBELAS#
SELAMAT TINGGAL PURWOKERTO

    Pasca menerima ijazah SPMA pada Jumat, 23 Desember 1977, aku segera pulang kampung. Bersimpuh di pangkuan ibu untuk berurai syukur dengan penuh eulogia. 
    Ba'da shalat isya, menyendiri di beranda rumah, tak jemu aku menatap selembar ijazah asli yang kutirakati selama tiga tahun. Kertas  watermark itu berwarna kuning ke-emasan, agak tebal, sejenis kertas concorde yang kini banyak dijual di pasar Pramuka Salemba Raya. Halaman belakangnya berwarna putih, berisi 11 daftar nilai ujian akhir yang selalu kukenang, karena masih menjejak horornya suasana ujian itu.
    Yaa, di ruangan luas berlangit- langit tinggi peninggalan Belanda, dua orang pengawas duduk "meneror" di kursi tinggi mirip tangga tukang servise AC yang tengah khusyu' mendeteksi zat freon. Tapi aku berusaha tenang dengan merapal doa yang selalu mengamit bibir. Kadang bait doa itu menghilang sesaat, tatkala ada soal yang tak terjangkau akal. **
    Semakin sunyi, tapi kutatap terus ijazah itu. Di sudut atas tertulis nomor seri: Yg/VI/5657/77. Mungkin "Yg" itu bermakna Yogya. Ukurannya cukup lebar, sekitar 24,5 × 34 cm. Terpampang namaku dengan huruf kapital ukir dengan spidol khusus yang diterakan sangat rapi dan penuh presisi. Dicantumkan pula bahwa ujian penghabisan dilaksanakan dari 10 Oktober hingga 9 November 1977. Dan di sudut kanan bawah tertulis: Yogyakarta, 5 Desember 1977. Ditandatangani oleh Sekretaris ujian Pak Soewardi dan Ketua Pak RM Sardijatmo, yang kala itu menjabat sebagai kepala SPMA Yogyakarta. Di kiri bawah tertera tanda tangan Pak Drs.R.Hardjono selaku Kapus Diklat Departemen Pertanian RI. **
    Aku kembali menikmati kedamaian kampungku yang berimbun nyiur, kenanga dan kuweni seperti ketika aku beranjak bujang. Aneka vegetasi khas kampungku itu kini semakin meninggi langit, kecuali sebatang kelor yang berlilit sirih di atas sumur tua. Kakekku rutin menutuhnya menjelang bulan Suro yang dianggap sakral dan penuh klenik. Padahal, sakralitas Suro itu diciptakan Sultan Agung Mataram sebagai bentuk 'giroh' untuk memperingati tahun baru Islam: bulan Suro ya bulan Muharam. 
    Kisahnya, konon pada tahun 1633 Masehi atau bertepatan 1043 Hijrah, Sultan Agung menggabungkan kalender Saka (Hindu) dengan kalender Hijrah (Islam). Tanggalnya mengikuti Hijrah, tahunnya meneruskan tahun Saka, dan nama bulannya diciptakan sendiri oleh Sang Sultan. Menggabungkan kosa kata Djawa dan Islam, semisal: Suro ~ Sapar ~ Mulud~ dst. Itulah kalender Djawa. Orang yang kurang belajar sejarah, kadang memblow-up kleniknya mengenyampingkan inovasi keilmuannya. ***
    Kemarin dulu, di malam Natal, kutinggalkan Purwokerto dengan mengempit selembar ijazah asli. Batinku bergumam: "Tiga tahun aku memelukmu, kini kita harus merenggang. Selamat tinggal Purwokerto! Karena engkau, aku belajar hidup otonom, mengatur uang yang sedikit, memantaskan diri untuk menjadi orang kota dan membunuh banyak keinginan. See you!"
     Tak lama di kampung, aku pergi ke Sukamandi untuk kerja magang. Di Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (kini menjadi Balitpa). Aku menemui seseorang, bertitel insinyur, atas saran guruku. Beliau teman guruku sesama alumni UNSOED. Dan alhamdulillah aku diterima. Kala itu, tugasku Senin~Kamis, di terik mentari, dibebani tudung lebar, mengukur tinggi batang & jumlah anakan di petak-petak sawah yang bertengger belasan papan plot. 
   Tapi tak lama, karena aku tekor. Honorarium per bulan hanya Rp 7.500,- biaya hidup minimalis Rp.12.500,- Akhirnya aku pamit undur diri. Aku ngabret ke Bandung via Cadas Pangeran. Aku ikut pamanku, tinggal di Dago atas. Persis di depan Lab. Fak. Peternakan UNPAD yang bersebelahan dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS). 
    Pada Kamis 13 Juli 1978, aku mengantar lamaran kerja di Dinas Pertanian Jabar, di Jalan Suropati No.71 Bandung. Di ruang pendaftaran, aku mendengar info bahwa Diperta Jabar telah ber-MoU dengan Diperta SUMSEL untuk rekruitmen calon PPL dari Jabar.
    Pada 25~26 Juli 1978, kami mengikuti test di Aula Diperta yang luas. Materinya TPU dan psikotest. Konon, pelamarnya limaratusan lebih, sedangkan yang akan diterima 297. Dari pihak SUMSEL hadir pengawas test, yang memperkenalkan dirinya. Seingatku namanya Pak Adang Sutandar dan Pak Moch. Syafei. 
[Bersambung... ]

*] Muarabeliti, 28 Juni 2025

Jumat, 10 Oktober 2025

SMP PERMIRI & TOKO BUKU REMADJA LUBUKLINGGAU

Catatan:  Hendy UP *]

    Bagi generasi Negeri Silampari yang bersekolah SMP antara tahun 1956 hingga tahun 1970-an, pasti sangat akrab dengan dua hal ini: SMP Permiri dan Toko Buku "Remadja".
    Menurut Drs. H. Sofian Zurkasie, yang juga Alumni SMP Permiri tahun 1958, pada tahun 1960 hingga 1970-an, di Lubuklinggau adalah sebuah toko buku yang cukup lengkap dan rasanya hanya satu-satunya. Namanya, toko buku "Remadja" yang berlokasi di Djalan Pasar Los No. 85, yang kini lazim disebut Pasar Inpres.  
    Menurutnya, keberadaan toko itu, mungkin ada kaitannya dengan berdirinya  SMP Negeri Permiri pada tahun 1956, sebagai  pendukung proses pencerdasan pelajar SMP dan masyarakat Lubuklinggau.  Sebutan Permiri adalah singkatan dari Perusahaan Minyak Republik Indonesia yang berdiri tahun 1945 di Kenten Palembang. Salah satu cabangnya ada di Lubuklinggau yang berfungsi sebagai depot & distributor BBM untuk wilayah Kab. Musirawas. Konon, bangunan SMP itu dulunya adalah area perusahaan PERMIRI sehingga masyarakat menyebutnya SMP PERMIRI. 
    Dalam catatan, SMP ini resmi berdiri pada 9 Juli 1956, dan SMP inilah yang kelak menjadi SMP Negeri pertama, dan hanya satu-satunya SMP Negeri di Lubuklinggau hingga tahun 1979. Sekadar catatan, SMP Negeri No. 2 Lubuklinggau baru berdiri pada 17 Februari 1979 di Tabapingin yang kini berada di Kel. Airkuti Kec. Lubuklinggau Timur 1.
    Untuk mendukung keberadaan SMP Permiri, maka berdirilah toko buku "Remadja". Siapa pun pemiliknya, niscaya beliau adalah orang yang cinta buku (pengetahuan) dan berjiwa niaga dan sangat  "obsesif" untuk kemajuan generasi suku-bangsa "Moesi Oeloe".
    Masih menurut narasumber, pada tahun 1955, di Lubuklinggau belum ada SMP Negeri. Oleh karenanya, dirinya bersekolah di SMP Santo Josep Lahat yang kala itu dikepalai oleh Moeder Goudelief. Setahun kemudian (1956),  pindah ke SMP Permiri. Kala itu dikepalai oleh Pak AJ Sulthon, dan tahun berikutnya (1957), kepala sekolahnya digantikan oleh Pak Sutan Nan Sati. 
    Sepulang sekolah, para pelajar SMP sering menyambangi toko buku Remadja.  Di deretan rak bertingkat,  susunan buku itu bersilang-tindih bekas pelajar berpilih judul. Rak itu didominasi oleh buku pelajaran SR dan SMP, sedikit sekali buku-buku umum. Pamanku masih mengingat beberapa judul buku pelajaran SMP. Sebutlah, misalnya: 
(1) Buku Sedjarah  Indonesia utk SMP, karangan Anwar Sanoesi, terbitan Pustaka Pakuan, Bandung;
(2) Buku Aldjabar SMP, karangan Kadarsah, terbitan Pharamaartha, Bandung;
(3) Buku Ilmu Ukur SMP, karangan    C. Agil, terbitan Kanisius Yogya;
(4) Buku Pokok-Pokok Kosmografi (ilmu Falak), karangan A. Dasuki, penerbit PT Pembangunan, Djakarta;
(5) Buku Seri Ilmu Hajat, terbitan Kanisius, Yogyakarta. Dan masih banyak judul-judul buku lain. 
    Entah kapan toko Buku Remadja itu ditutup, aku belum mendapat info. Tapi pada tahun 1978-1985, di Lubuklinggau sudah bertumbuh toko-toko buku baru. Yang sering aku kunjungi dan mengenal secara personal dengan pemiliknya antara lain: (1) Toko buku MUTIARA HIKMAT, di Simpang Statsiun KA Jln. Jend. Sudirman No. 09. Pemilik adalah M. Syukron AL; (2) Toko buku MELATI di Talangjawa depan Bioskop Sindang. Pemiliknya adalah  A. Roni;
(3) Toko buku Sriwijaya di Jln. Jend. Sudirman. Pemiliknya adalah WNI Tionghoa, tak kenal sama sekali! 
     Adapun tempat langgananku sewa komik adalah di "Depot Rahmat" di depan statsiun KA. Pemiliknya adalah Kak Rahmat, orang Kertopati Palembang. Sedangkan tempatku berlangganan koran "Kompas" adalah Depot Koran Lapangan Merdeka, yang kini jadi Kompleks Masjid Agung. Tahun 1980-an, harga langganan per bulan Rp. 14.500,- ***

*) Muarabeliti, 27 Juni 2025
   

Kamis, 09 Oktober 2025

JERAMBAH NIUK 2019

Catatan: Hendy UP *]

     Sejak awal November 2019 ini, alhamdulillah jembatan beton baru di Tanahperiuk Kab. Musirawas, sudah fungsional walau belum diresmikan Pak Gubernur Herman Deru; melengkapi jembatan beton lama (dua jalur) yang dibangun tahun 1972. 

    Jembatan baru ini berada di jalan provinsi, merupakan penghubung dua wilayah otonom, yakni Kab. Mura dan Pemkot Lubuklinggau. Berpangkal di Kel. Simpangperiuk (Lubuklinggau) kemudian naik ke Dusun Tanahperiuk (Musirawas), lalu meliuk membelah kawasan Kec. Tugumulyo (eks Kolonisasi) dan  Kec. Sumberharta hingga di Simpangterawas sepanjang lebih kurang 22 kilometer. Tapi sejak tahun 2006 telah dibangun jalan "shortcut" dari Siringagung langsung ke GOR Petanang di jalan Lintas Tengah Sumatera sepanjang 10 kilometeran.

    Rasanya hampir empat tahun, besi gelagar itu "nyelonjor" terlunta-lunta nan mengenaskan jiwa, hanya karena alotnya rundingan ganti-rugi lahan. Dalam catatan, boring abutmen jerambah itu mulai dikerjakan pada tahun 2014, lalu terhenti dua tahunan, karena proses negosiasi ganti rugi lahan. di pangkal jerambah wilayah dusun Tanahperiuk. Konon, si pemilik lahan minta ganti-untung Rp. 700 juta hingga satu milyar. Baru tahun 2018 dilanjutkan lagi hingga selesai tahun 2019. Tak jelas, berapa jadinya harga lahan itu. 

      Sebutan "JERAMBAH NIUK" itu adalah bahasa Lembak Silampari, yang bermakna Jembatan Tanahperiuk. Kata "Niuk"  adalah sebutan untuk Tanahperiuk. Sedangkan kosa-kata 'jerambah' mungkin ada kaitan dengan bahasa Belanda "de brug" (jembatan) yang mengalami perubahan gramatikal-fonetik seperti halnya "Buitenzorg" yang berubah menjadi Bogor. 

     Arkian, dahulu kala Jerambah Niuk itu berupa jembatan gantung yang dibangun Belanda seiring dibukanya Kolonisasi Toegoemoeljo (1937-1940), dan paralel dengan masa pembangunan Bendung Watervang 1939-1941. Menurut para saksi sejarah, jerambah gantung yang dibuat pertama kali itu posisinya persis di jembatan baru sekarang. 

    Konstruksi gantungannya menggunakan 'baja seling' dan lantai papan, sedikit 'beguyang-guyang' dan bisa dilalui mobil kecil untuk mengangkut material dan hasil bumi dari dan menuju kawasan Kolonisasi Toegoemoeljo. Sekitar tahun 1960-1962 jerambah gantung itu pernah putus (Biografi Bupati Ibnu Amin, 2005, hal. 24). Menurut mBah Keling warga Kartomas (77 thn) yang pernah ikut menjadi kuli bangunan Jerambah Niuk, jembatan lama (kini masih fungsional) dibangun pada tahun 1971 hingga 1972. Persis serempak dengan Jembatan Musi Tebingtinggi, yang berjajar dengan jembatan rel KA sekarang.

      Di tengah masa pengerjaan jerambah Niuk lama, pernah terjadi banjir-bandang Kelingi, sehingga tiang dan gelagar penyangga sementaranya hanyut-lanyut berantakan. Maka terjadi hambatan teknis beberapa pekan, karena mengganti tiang penyangga baru dari batang kelapa berikut kawat begel pengikatnya. 

    Material tanah timbunan untuk oprit abutment jembatan diambil dari lahan warga, dengan harga angkut borongan seringgit (Rp 2,50) per kubik galian tegak. Konon, pemborongnya berasal luar daerah, mungkin dari Jawa dengan manajer lapangannya bernama Prajitno.

      Namun sayang, kokohnya Jerambah Niuk yang baru ini belum didukung oleh pelebaran jalan yang memadai, baik dari arah Simpangpriuk maupun dari Siringagung khususnya sepanjang Dusun Niuk. Kita maklum, bahwa jalan milik provinsi itu dirancang sekitar 80 tahun yang lalu. Untuk pelebaran jalan sepanjang Dusun Niuk memang agak problematik. Ongkos sosialnya cukup tinggi, khususnya terkait dengan prosesi Pilkada langsung Gub/Bupati yang seringkali berdampak nyata terhadap elektabilitas para kandidat, jika dianggap bertentangan dengan hak masyarakat pemilih.

      Satu-satunya alternatif adalah membuka ulang dokumen perencanaan jalan provinsi, yang dulu pernah digagas membuat jalur alternatif: yakni dari Bundaran Agropolitan Muarabeliti - Kampung Bali - Airsatan - terus 'shortcut' ke Jalan Baru Siringagung (via persawahan), menuju Petanang melalui "Jalur Simpanglima Sirgung" yang kini masih berjolok "SIMPANGBINGUNG".

       Ini sekadar pikiran liar-liur nan sedikit ngawur. Semoga saja pelebaran jalan itu, ada wujudnya. Allohu'alam bishawab!  ***


*] Muarabeliti, 25 November 2019.

[1] NEGERI NUSANTAO, KOLONIALISME & PERJUANGAN KAUM SANTRI

Oleh: Hendy UP  *) 

[Serial tulisan ini terutama merujuk kepada buku-buku: API SEJARAH (2 jilid) karya AM Suryanegara (2015), NEGARA PARIPURNA karya Yudi Latif (2011), SANG PANGERAN & JANISSARY TERAKHIR, karya Salim A. Fillah (2019), ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto (2012), TAKDIR: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey (2014), PERGULATAN DUNIA PESANTREN editor M. Dawam Rahardjo (1985) dan SEJARAH PEMDA DI INDONESIA (2 jilid) karya Irawan Soejito (1976), serta berbagai sumber tertulis maupun video yang terdokumenter  di laman media maya].

1. Mukadimah

Arkeolog Wilhelm Solheim, menyebutkan bahwa Nusantao adalah sebuah negeri  di cincin khatulistiwa yang membentang di kawasan  kepulauan Asia Tenggara. Patut diduga, sang arkeolog menangkap kata "Nuswantoro" dari para pelaut Jawadwipa, atau membaca manuskrip kuno yang tertulis Nuswantoro, yang kelak berubah sebutan menjadi Nusantara dan kemudian Indonesia. 

Jauh sebelum era pra-kolonial, Nusantao dikenal sebagai sebuah negeri berdaulat dengan "gugus kemakmuran" (belt of prosperity) yang membentangi kawasan nan subur khatulistiwa; sebuah "negeri lautan yang ditaburi ribuan pulau" (archipelago). Archi bermakna kekuasaan, pelagos berarti lautan; bukan negeri kepulauan yang lebih mengisyaratkan bias daratan. 

Yudi Latif (2011) menulis, bahwa sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Lautan juga mewarnai karakter keluasan pikiran penghuninya yang mampu menampung aneka ragam pola kehidupan, baik yang terafiliasi dengan ritual keyakinan-keagamaan maupun tradisi-budaya suku-suku bangsa dari aneka negeri yang jauh. 

Mohammad Hatta (1963) melukiskan etos kelautan manusia Indonesia itu dengan sangat indah: "Laut yang melingkupi tempat kediamannya telah membentuk karakter nenek moyang kami. Irama tetap pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, sangat besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan semangat bangsa. Anak-anak negeri  yang menetap di tepi pantai, saban hari mengalami pengaruh alam yang tak berhingga, yang hanya dibatasi oleh kaki langit yang makin dikejar semakin menjauh".

Kemudian: "Bangsa-bangsa asing yang sering singgah dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri, mendidik nenek moyang kami dalam pelbagai rupa,  memberi petunjuk tentang aneka barang berharga dan strategi perniagaan. Pertemuan dengan bangsa-bangsa Hindi, Arab, Tionghoa dan lainnya, mengasah budi-pekertinya sehingga mampu menjadi tuan rumah yang ramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh arah yang jauh senantiasa besar membakar jiwa. Dengan perahunya yang ramping, dilayarinya samudera luas tanpa gentar, ditempuhnya rantau yang jauh dengan tiada mengenal rasa takut".

Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan yang berlimpah, Nusantao sejak dahulu menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Maka jadilah Nusantao sebagai taman sari peradaban bangsa-bangsa di seantero dunia. 

Selain itu, jenius Nusantao juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur akibat muntahan lahar-debu dari deretan pegunungan vulkanik, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera serta gugusan pulau-pulau di sepanjang  Sunda Kecil hingga ke Tanah Papua. Tanah yang subur menumbuh-kembangkan segala macam: flora, fauna, misteri, khayalan, takhayul hingga pernik religi dan karakter ideologi-budayanya. 

Sedari awal peradaban, etos agraris masyarakat Nusantao bersifat religius dan gotong-royong. Hal ini terbentuk dari kesadaran akan meringankan penggarapan lahan dan ancaman binatang liar secara bersama-sama. Religiusitasnya terbangun dari keyakinan akan "tenaga dahsyat" yang  datang dari langit: tak tampak,  tak mungkin terbayangkan namun dirasakan nyata. Itulah pengakuan awal nilai "ketauhidan" yang berada di luar nalar-akal manusia, yang kelak diyakini sebagai sosok  Sang Hyang Taya dan disimbolkan  dengan "lobang" kosong pada dinding mihrab bangunan suci Sanggar, tempat pemujaan dalam agama kuno Kapitayan. 

*] Muarabeliti, 1 Oktober 2025

Jumat, 03 Oktober 2025

BPP YUDHAKARYA 1982

Catatan: Hendy UP *]

    Terima kasih kpd karibku Syafrudin~Bimas atas tampilan kopifoto SK- KPtRK (Kepala Pertanian Rayon Kab) Dati II Mura tahun 1983 di WAG Pensiunan Pertanian Musirawas pada awal Agustus 2025. Kebetulan gue juga masih menyimpan arsip SK-SK Pangkat & Jabatan dari 1978 hingga MPP tahun 2012.
    Sekilas, cerita lengkapnya mungkin begini: (mohon koreksi dari para senior atau siapa pun). 
     Dari tahun 1978 hingga tahun 1981, di Kab. Mura, rasanya baru terbentuk  3 BPP, yakni BPP Srikaton, BPP Sumberharta dan BPP Binginteluk. Kalau dak salah ingat, periode 1978-1981,  Kepala BPP Srikaton adalah Kak Rosnal Jenusan dan Supervisornya Kak Masadi. Kepala BPP Sumberharta rasanya Kak Kgs Al-Kodri Ismail, dan Kepala BPP Binginteluk adalah Kak Rasuan yang kelak digantikan oleh Kak Mun'im Saputra. 
    Menjelang Gerakan OKM (Operasi Karya Makmur) di SUMSEL tahun 1981, dibentuklah beberapa PRA-BPP (baru) antara lain: (1) Pra-BPP Muarakelingi berkedudukan di Trans Airbeliti (Darmasakti) yg dikepalai oleh Kak Zumrowi. Wilayahnya meliputi Kec. Muarakelingi, Muaralakitan dan Jayaloka. 
    (2) Pra-BPP Tabapingin, berkedudukan di Kantor Proyek Irigasi Satan (IRS) di atas jembatan Tanahperiuk. Wilayahnya meliputi Kec. Muarabeliti & Kotif/Kec. Lubuklinggau.  Kepalanya Kak Hotman Wahab dan PPM Supervisornya Kak Setia Budi. 
   (3) Pra-BPP Karangjaya. Mungkin mencakup Kec Rupit dan Rawas Ulu. Aku lupa siapa PPM Programer & PPM Supervisornya. ***
   Al-kisah, pada hari Sabtu, 2 Oktober 1982, Pra-BPP Muarakelingi menempati gedung baru di Desa Ciptodadi Marga Sukakarya Kec. Jayaloka. Berada di lahan eks Agriculture Development Centre (ADC) seluas 32 hektar. 
    Dan qodarulloh, pada hari itu gue dikukuhkan sbg Kepala Pra- BPP Muarakelingi oleh Pak Ir. Djatolong Marbun (PPS) atas dasar SK Penunjukan dari KPtRK (Pak Ramli Hasan). Mungkin Pak Ramli berfikir, agar gedung baru bisa bermanfaat, maka segeralah dioperasionalkan Pra- BPP itu.  
     Pada 1 Agustus 1983, terbitlah SK  baru yang bersifat akumulatif & massal atas beberapa jabatan baru di Diperta Mura, yang ditayangkan Sahabat kita Syafrudin. ***
     Kala itu (1982), Kasiluh-nya adalah Ibunda Maryati Ridho, menggantikan Kak Suhaimi Hasban yang baru dimutasi menjabat Kasi Peral (Seksi baru); dan PPM Programer (atau Supervisor?) di Diperta Kab. adalah Kak Amin Suyitno dan Kak Kodri. 
    Karena lokus Pra-BPP Muarakelingi pindah ke wil. Kec Jayaloka,  maka nama BPP Muarakelingi tdk relevan lagi. Seingatku, Bunda Maryati (Kasiluh) minta masukan, apa sebaiknya nama baru BPP itu. Dan aku mengusulkan, agar  namanya "BPP Yudhakarya".  Nama itu kulekatkan dg lokasi Trans-AD "Yudhakarya Bhakti" yg berada di seberang BPP.
    Lalu aku minta tolong dg sahabat Tatang Suparno untuk membuat plang merk "BPP Yudhakarya", dengan latar hijau. Sejak itulah, nama  lembaga BPP Yudhakarya diterakan secara legal-formal dalam CAP resmi. Walaupun kadang ada beberapa dokumen resmi yg masih menyebut Pra-BPP Muarakelingi. 
    Allohu'alam bishshowab! 

*] Muarabeliti, 6 Agustus 2025

Selasa, 30 September 2025

[1] SEJARAH TUGUMULYO KAB. MUSIRAWAS, SUMSEL


Catatan: Hendy UP *]

1. Mukadimah

    Sepanjang penelusuran dokumen sejarah, baik di Arsip Nasional RI maupun Delpher Nationale Bibliotheek Belanda, kata Toegoemuljo seringkali berdekatan  dengan kata: colony, Moearabeliti, atau Onderafdeeling Moesi Oeloe. 
    Tahap awal Kolonisasi Tugumulyo Musirawas (bukan Tugumulyo OKI), terbangun antara tahun 1937~1940, bersamaan dengan terbentuknya 15 kampung/desa dengan total transmigran 2.486 KK dari Jawa Tengah & Jawa Timur. Lalu terhenti, karena masuk era penjajahan Jepang (1942-1945), dan kelak dilanjutkan pada era kemerdekaan RI sekitar tahun 1952 hingga 1954.
    Kelimabelas desa awal itu adalah: (1) A. Widodo,  (2) B. Srikaton, (3) C. Nawangsasi, (4) D. Tegalrejo, (5) E. Wonokerto, (6) F. Trikoyo, (7) G. Mataram, (8) H. Wukirsari, (9) I. Sukomulyo, (10) J. Ngadirejo, (11) K. Kalibening, (12) L. Sidoharjo, (13) M. Sitiharjo, (14) O. Mangunharjo, dan (15) P. Mardiharjo. Sedangkan desa yang terbentuk pasca-kemerdekaan RI antara tahun 1952 hingga 1954, adalah desa-desa: Q. Buminoto, R. Rejosari, S. Kertosari, T. Bangunsari, U. Pagarsari, dan V. Surodadi.
     Disertasi KJ Pelzer "Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics" (1945: hal 222) menyebutkan: "In October 1940, this project had 15 desas, according to an oral statement by the Controleur at Loeboeklinggau. Six hundred and fourteen families had arrived in 1937, 859 in 1938, 423 in 1939, and 590 in 1940. An additional 2,500 families would fill the colony completely".
      Kata Tugumulyo berasal dari kata 'tugu' dan 'mulyo'. Dua kata itu diadopsi dari bahasa Jawa. Secara kajian toponomis, tugu adalah bangunan meninggi  berbentuk silinder meruncing ke atas, terbuat dari batu, bata atau material lain. Tugu, biasanya dibangun di pusat keramaian sebuah komunitas atau di persimpangan jalan sebagai penanda tumbuhnya sebuah peradaban baru. 
      Secara semantik-antropologis, kata tugu menyiratkan nuansa  "keramat", sehingga memaksa seseorang atau komunitas disekitarnya berimajinasi untuk mengingat suatu penanda peradaban baru yang tengah diperjuangkan dan kelak akan meninggalkan jejak ingatan melampaui generasinya .  Sedangkan kata 'mulyo' bermakna 'terpandang' atau 'terhormat'.
     Jadi, para "founding parents" Toegoemoeljo dahulu, niscaya mengidamkan sebuah tatanan masyarakat baru (yang berasal dari Jawa), yang maju secara ekonomi dan terhormat di mata masyarakat sekitarnya. Melahirkan generasi ksatria yang cerdas mencerahkan dan senantiasa mendorong kemajuan bersama. 
     Lebih jauh dari itu, di dalam kepercayaan kuno 'Kapitayan' yang hidup di Jawa jauh sebelum masuknya agama Hindu-Budha dan Islam, diyakini bahwa bangunan 'tugu' adalah tempat suci sebagai penjelmaan dari salah satu sifat utama 'keghoiban' Tuhannya yang disebut Sang Hyang Taya (Tunggal). 
     Untuk meraih sifat utama tersebut, para pemeluknya memerlukan sarana fisikal yang bisa disentuh oleh panca indra. Kedua sifat utama itu disebut "Tuah" dan "Tulah". Maka, simbolitas keramat itu diejawantahkan dalam berbagai benda yang mengandung kata "Tu" atau "To", seperti: Tugu (bangunan suci), Tumbak (senjata sakti), Topeng (perisai muka),Tosan (pusaka) atau  Topong (mahkota raja) dan lain-lain  [lihat: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, 2012, hal. 14].
     Sayang, para pelaku sejarah terutama tokoh transmigran dan pejabat yang terkait dengan penyelenggaraan transmigrasi, tidak banyak meninggalkan dokumentasi sejarah lokal yang bisa dibaca oleh generasi kini dan mendatang. 
      Alhamdulillah, penulis merasa beruntung pernah bertemu dan berbincang dengan sebagian kecil dari mereka. Antara lain:  Bpk. H. Oemar Hasan (mantan Pesirah Proatinlima), Bpk S. Darmadji (mantan Pesirah Trirahayu), Bpk M. Nuzli (tokoh Srikaton), Bpk  Lahuri, Bpk Satirin, Bpk Tauhid KTNA (tokoh F. Trikoyo) dan Bpk Rispan (mantan Lurah Q. Buminoto). 
    Penulis juga banyak membaca catatan kesaksian dari mBah RS. Soehoed (mantan Pimpinan Balai Pengobatan Tugumulyo) melalui  koleksi catatan sejarah anak menantunya (Drs. H. Sofian Zurkasie) yang juga mantan pejabat Pemda Musirawas yang bekerja sejak 1963 hingga 1995. [Bersambung...]

*) Muarabeliti SUMSEL, 21 Mei 2023
Resunting 30 September 2025
   

Senin, 29 September 2025

SEJARAH DINAS PERTANIAN KAB. MUSIRAWAS SUMSEL [2]

Catatan: Hendy UP *]

4. Akhirnya Balik ke Beliti

    Pada tahun 2007, akhirnya kantor Dinas Pertanian berpindah ke kantor baru di Kompleks Pemda Muarabeliti. Pada saat itu, kepala dinasnya dijabat oleh Sdr. Abdul Muis M. Bakup, SP., dan bupatinya dijabat oleh Ridwan Mukti. 
    Dalam catatan, Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura adalah salah satu dari tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pertama yang pindah ke Kompleks Pemda Muarabeliti. OPD  lainnya adalah Dinas Pendidikan dan Kantor Perpustakaan Daerah. Sekadar catatan, perpindahan ibukota Kab. Musirawas ke Muarabeliti adalah konsekuensi dari terbentuknya Pemkot Lubuklinggau berdasarkan  UU No. 7 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001.

C. Perubahan Nomenklatur & Pejabat

    Berdasarkan data yang terangkum dari para narasumber yang kompeten, perubahan nomenklatur dan sirkulasi pejabatnya dapat diterakan sebagai berikut:

1. Sumadi [1948-1949: 
Ajun Landbouw Consulend menjadi Djawatan Pertanian Rakjat];

2. Mas Hanafi Sutisna [1949-1950: Djawatan Pertanian Rakjat];

3. Somad [1950-1954: Djawatan Pertanian Rakjat];

4. Kasim (Plt) [1954-1955: Djawatan Pertanian Rakjat];

5. Soemarno [1955-1959: Djawatan Pertanian Rakjat];

6. Nana Halim [1959-1960: Djawatan  Pertanian Rakjat];

7. Soemali [1960-1966: Djawatan Pertanian Rakjat];

8. Zakaria [1966-1968: Djawatan Pertanian Rakjat];

9. Abd. Hasibuan [1968-1973: Dinas Pertanian Rakjat Dati II];

10. Ir. Saidi Harun [1973-1976: Dinas Pertanian  Rakjat Dati II];

11. Ir. Arsjad Abdullah [1976: Dinas Pertanian Rakjat Dati II];

12. Ir. Idris Sapudin [1976-1981: Dinas Pertanian Dati II];

13. Ramli Hasan [1981-1986: Dinas Pertanian Tanaman Pangan];

14. Dachrul Makmur, B.Sc [1986-1992: Diperta Tan. Pangan];

15. Ir. Syazili Toyib [1992-1996: Diperta Tanaman Pangan];

16. Ir. H. Sumarno, MM [1996-2004:  Dinas Pertanian];

17. H. Abd Muis M. Bakup, SP., MM [2004-2009]: Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura/ Dinas TPH];

18. Hendy UP [27 Oktober 2009 ~ 31 Maret 2012:  Dinas TPH];

19. Dr. Ir. H. Zaini Amin [1 April 2012 ~ 31 Desember 2012: Dinas TPH];

20. Ir. Mangaratua Sitorus (Plh) [23 ~ 31 Jan 2013, sepekan: Dinas TPH];

21. Ir. Primadina Surya (Plh) [1 Jan 2013 ~ Maret 2013: Dinas TPH];

22. Ir. Suharto Patih, MM [April 2013-Mei 2014: Dinas TPH];

23. Ir. Heriyanto [Mei 2014 ~ Sep 2018: Dinas TPH]; 

24. Ir. Suharto Patih, MM [Sept 2018 ~ Okt 2018: Dinas TPH];

25. Tohirin, SP (Plt) [Oktober 2018 ~ 2 Nov 2019: Dinas Pertanian & Peternakan/ Distannak];

26. Zuhri Syawal, SP, MSc, M.Eng [2 Nov 2019 ~ 6 Oktober 2022: Distannak);

27. Dr. Ir. Hayatun Novrida, MSi [6 Okt 2022 - sekarang: Distannak].

    Demikianlah uraian singkat tentang  Sejarah Dinas Pertanian Kabupaten Musirawas dari Ajun Landbouw Consulend hingga Distannak; Dari Jalan Puyuh hingga Muarabeliti. [Tamat]

Catatan:
(*) Terima kasih kepada Pak Haji Subarjo atas curahan dan koreksi datanya, terutama tentang nama-nama pejabat dan urutannya, serta kronologi perpindahan kantor. 
Juga terima kasih kepada Adinda Robi Mawardi Gumay atas curahan data periode jabatan kepala dinas pertanian, pasca saya purnabakti tahun 2012.

(**) Pengganti sementara atas terbitnya Masa Persiapan Pensiun (MPP) Sdr. Hendy UP, dijabat/dirangkap oleh Sdr. Raidusyahri, SH selaku Sekda Musirawas;

(***) Sebelum dijabat oleh Sdr. Ir. Primadina Surya, pernah dijabat sepekan oleh Sdr. Ir. Mangaratua Sitorus untuk kepentingan administrasi. 

*] Muarabeliti, Ahad 28 Sept 2025

Minggu, 28 September 2025

SEJARAH DINAS PERTANIAN KAB. MUSIRAWAS SUMSEL [1]

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Jika kita membaca buku karya Mr. Amrah Muslimin yang berjudul "Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958"   
(Penerbit Djambatan Djakarta, 1960), maka kita akan menemukan data bahwa "dinas teknis" yang paling awal "diotonomikan" ke daerah adalah Dinas Pertanian (Ajun Landbouw Dienst) dan  Dinas PU (Openbare Warken Dienst) serta Dinas Sosial (Sociale Diensten). 
    Penyerahan urusan pertanian dari Pusat ke Daerah Swatantra Tk I Sum-Sel ditandai dengan terbitnya PP No. 41 Tahun 1951. Namun jauh sebelum itu, pada era Onderaafdeling Musi Ulu, telah dibentuk Ajun Landbouw Consulend (Kantor Pembantu Penerangan Pertanian) yang berada di Jalan Puyuh,  bersebelahan dengan Kantor Bupati Musirawas di Lubuklinggau kala itu. 
    Setelah terbit UU Darurat No. 4 Th 1956 jo Pasal 73 UU No. 1 Th 1957, tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk II Musirawas, maka nama Ajun Landbouw Consulend (ALC) berubah secara resmi menjadi Djawatan Pertanian Rakjat. 

B. Dari ALC hingga Distanak

    Pada tahun 1950-an, saya tak bisa membayangkan sesepi apa kota Lubuklinggau. Foto-foto bari yang bisa kita lacak di "tropenmuseum.nl", sungguh tak lebih dari keramaian Pasar Surulangun Rawas atau Pasar Srikaton Tugumulyo tahun 1980-an.
    Jika kita sadari bahwa geliat Kampung Lubuklinggau mulai terjadi setelah terbangunnya stasiun KA (1933) dan berpindahnya ibukota Onderafdeeling Musi Ulu dari Muarabeliti (1934), maka tahun 1950-an itu, Lubuklinggau tak lebih dari sekadar ibukota Marga Sindang Kelingi Ilir yang hendak mulai berbenah diri. 
    Pasca-kembali ke  NKRI, setelah kekacauan era Demokrasi Liberal (1950-1959) & Demokrasi Terpimpin (1959-1965) serta dimulainya program swasembada pangan "Plan Kasimo", maka kebutuhan akan kantor Dinas Pertanian yang memadai mulai dirasakan. Menurut H. Subarjo (pensiunan PNS Diperta Mura yang diwawancarai tertulis pada 16-17 Feb  2022 dan 28 September 2025), nama lembaga dan lokasi kantor pertanian mengalami perubahan, sesuai dengan dinamika aturan ketatanegaraan dan sistem politik otononi daerah kala itu. 

1. Berkantor di Jalan Puyuh

    Tidak tercatat secara lengkap sejak kapan berdirinya Kantor Ajun Landbouw Consulend di Musirawas. Namun hingga tahun 1972 (saat Kadisnya dijabat oleh Pak Abdullah Hasibuan), kantor Pertanian masih berada di Jalan Puyuh (berseberangan dengan rumah pribadi Bupati Bachtiar Amin), masih berada di Kompleks Pemda Musi Ulu Rawas kala itu. Nomor tilpun kantor Djawatan Pertanian Rakyat adalah nomor 2, sedangkan nomor tilpun Bupati Musirawas adalah nomor 1. Sementara rumah jabatan kepala dinas berlokasi di Jln. Kaswari Talangbandung.  

2. Berkantor di Tabapingin

    Pada tahun 1973, kantor Djawatan Pertanian Rakjat dipindahkan ke Tabapingin. Tepatnya di sebelah lapangan tennis, yang kelak ditempati  oleh Kandep Transmigrasi Kab. Mura dan kemudian di tahun 2008 menjadi kantor Dinas Penanaman Modal  & Perizinan Terpadu Kab. Mura. Kala itu, kompleks perkantoran Pemda Musirawas di Tabapingin belum dibangun. Hanya ada kantor Cabang Dinas Perkebunan persis di lokasi JAM GADANG sekarang. 

3. Berkantor di Talangjawakiri

    Pada tahun 1975, ketika kepala dinas dijabat oleh Ir. Saidi Harun (1973-1976), kantor pertanian dipindahkan ke Talangjawakiri, atau tepatnya di Jalan Yos Sudarso No. 9 Lubuklinggau. 
    Ketika saya mulai bekerja di Diperta tahun 1978 hingga 1985, saya menyaksikan bahwa bangunannya sangat sederhana. Hanya berlantai semen, berdinding bata setengah tiang dan selebihnya papan kayu. Bangunan kantornya berbentuk L:  untuk ruang kepala, ruang Sekretariat Bimas, ruang para Kasi dan di bagian belakang ruang per-TU-an. Tidak ada jabatan Sekretaris, Kabid atau Kasubdin. 
    Di halaman depan, bersebelahan dengan bangunan kantor, ada bangunan rumah jabatan berukuran sekitar 6 × 8 meter yang ditempati oleh Pak Syarifudin Hasibuan (Kasi Bina Program). Dan di bagian belakang yang becek berkolam ada dua rumah papan (satunya panggung) yang ditempati oleh Pak Abuwazir (Kasi Produksi), dan Pak Wancik pensiunan pertanian. [Bersambung...]
   
*] Muarabeliti, Ahad 28 Sept 2025

Sabtu, 27 September 2025

PARA PEJABAT BBU TUGUMULYO

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Bagi pembaca yang bukan alumni Dinas Pertanian dan/atau lembaga mitra non-organik (KTNA, HKTI, PERPADI, dll), barangtentu perlu dijelaskan apa itu Balai Benih Utama (BBU) Tugumulyo. 
    Adalah sebuah instalasi perbenihan  padi di bawah Dinas Pertanian Kab. Musirawas yang diberi tugas khusus untuk memroduksi (& menyebarkan/ menjual) benih padi bersertifikat (unggul & bermutu) guna memenuhi kebutuhan masyarakat tani di wilayah Kab. Musirawas dan sekitarnya. 
    Dahulu, lembaga ini berada di bawah Diperta Prov. SUMSEL, dan  dibentuk tahun 1969/1970 (awal PELITA I). Secara fungsional- teknokratik, lembaga ini merupakan binaan dan perpanjangan tangan dari BALAI BENIH INDUK (BBI) BELITANG milik Diperta Prov. SUMSEL. 

B. Awalnya Sebuah SUT

    Suatu hari di tahun 2000-an, ada cerita bahwa BBU ini dulunya sebuah sekolah non-formal yang disebut  Sekolah Usaha Tani (SUT). Benarkah? Maka, kucari para narasumber yang kompeten, untuk mengompilasi bahan analisis-sintesis demi membangun konklusi yang logis. 
    Dalam catatan, lahan BBU ini konon dibeli tahun 1958 di era Bupati Zainal Abidin Ning (1958-1964). Kala itu Kadistan Kab. Musi Ulu Rawas adalah Pak Soemarno (1955-1959). [Bedakan dengan Bapak Ir. H. Sumarno, MM, Kadistan yang menjabat tahun 1996-2004].
    Pak Soemarno adalah mantan Kepala SUT Tjurup Prov. Sumsel.(Prov. Bengkulu baru dibentuk pada 18 November 1968). Maka, ketika beliau menjabat sebagai Kadis, telah memiliki pengalaman untuk mendirikan & mengelola SUT. 
    Pasca-kepemimpinan Pak Soemarno dan dijabat oleh Pak Nana Halim (1959-1960), diteruskan oleh Pak Soemali (1960-1966) dan Pak Zakaria (1966-1968), konon SUT masih berjalan. Dua orang guru yang pernah mengajar di SUT tahun 1966-1967 antara lain adalah Ny. Syamsiatun dan Sukirman. 
    Ketika diwawancarai pada Selasa, 31 Mei 2022, Ny. Syamsiatun masih segar ingatannya bahwa SUT terdiri dari 3 lokal berdinding gedheg (anyaman bambu) dengan jumlah murid berkisar 30 siswa. Sayang beliau lupa, kapan SUT ini ditutup. Diduga kuat, bersamaan dengan terbentuknya BBU tahun 1969/1970.

C. Menjadi UPT & Para Pejabatnya

    Pasca-otonomi daerah, yakni tahun 2004, lembaga ini diserahkan kepada Pemda Mura dan berstatus UPT, yang berada di bawah Diperta Kab. Mura. Kepala UPT-nya bereselon 4-A, setara dengan eselon Kacabdin di tingkat kecamatan. 
    Lokasi kompleks BBU ini berada di Desa D. Tegalrejo, di pinggir jalan raya Lubuklinggau ~ Tugumulyo. Jika Anda berkendara dari Lubuklinggau menuju Pasar B. Srikaton, di sebelah kiri, akan terlihat gapura lengkung bertuliskan AGRO TECHNO PARK (ATP). Itulah kompleks BBU Tugumulyo. Adapun ATP adalah merupakan "pseudo lembaga" yang pernah lahir dari "rahim asing" dan salah musim, pernah singgah di BBU, hanya berumur 3 musim dalam inkubator yang bermuatan "nuklir". Dan kini telah raib: mati suri! 
    Berdasarkan data resmi Dinas Pertanian Kab.Mura (2010) dalam buku "Profil Pertanian: Sejarah, Ragaan & Gagasan. Dari Ajund Landbouw Consult hingga Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura", disebutkan bahwa kompleks BBU ini terdiri dari: lahan sawah 6 hektar, gedung  perkantoran, instalasi pengolahan benih plus lantai jemur dan gudang aneka jenis alsintan. 
    Jangan lupa, di kompleks BBU juga ada lembaga sepupunya, yakni: UPT Perlintan. Juga ada instansi di bawah Dinas Pert. Prov Sumsel, yakni Lab. Hama Penyakit dan UPT Brigade Proteksi Tanaman. 
    Lantas, siapakah para kepala BBU Tugumulyo yang pernah menjabat? Menurut narasumber Pak H. Subarjo, (mantan kepala BBU) yang mulai mengabdi sebagai PNS Pertanian sejak 1 April 1972 (pensiun 1 Nov 2008), para pejabat itu adalah:
1. Arsi Selahib (seb 1972-1976);
2. M. Nuzli (Pjs. merangkap KCD);
3. Turseno;
4. S. Darmadji; 
5. Sofyan Ta'asim;
6. Ir. Subardi;
7. Ir. Sapriyadi;
8. H. Subardjo (2002 -2003);
9. Tujiman;
10. Ir. Achmad Herman;
11. Gito Surono;
12. Zulkarnaen, SP, dan
13. Kasan, SP (2023- sekarang). 

*] Muarabeliti, 26 September 2025

Jumat, 26 September 2025

DUKACITA UNTUK PROF. SALIM

Catatan : Hendy UP *) 

     Ahad pagi ba'da ritual Subuh dan ikutannya, aku dikejutkan oleh sebaris berita duka di sebuah portal berita. Aroma asap secangkir kopi di meja baca, seakan menghadirkan kembali "quotes bijak" dari catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pakar Politik, Tentara dan sekali gus pemerhati film Nusantara. 
     Yaa, beliau adalah Prof. Salim Said, PhD, yang wafat di Jakarta, pada Sabtu petang, 18 Mei 2024. Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu wawassi'u mudkholahu. Semoga dilapangkan kuburnya dan dirahmati arwahnya, serta dikuat-sabarkan keluarga yang ditinggalkan. 
     Aku mulai mengenal nama Salim Said sekitar tahun 1980-an, ketika beliau setiap pekan muncul di Majalah Tempo sebagai penjaga rubrik  seni dan film. Majalah itu pernah menghilang menjelang Pemilu 1982. Kabarnya dibredel oleh pemerintah. Lalu terbit lagi, tetap tajam dan lebih kritis, untuk kemudian dibredel lagi oleh Menteri Harmoko pada 21 Juni 1994, dan terbit lagi pada 6 Oktober 1998 di tengah euporia reformasi. 
       Namanya semakin kesohor dan dijadikan rujukan penguasa sipil pasca-reformasi 1998,  seiring dengan keterbukaan pers dalam bingkai "demokrasi liberal" yang kebablasan arah. Salah satu pernyataan yang mengejutkan kala itu adalah bahwa "kondisi masyarakat Indonesia hingga era reformasi masih bersifat 'fragmented society', yakni absennya kepercayaan (trust) di antara elemen-elemen masyarakat kita".
      Beliau lahir pada 10 November 1943 di dusun Amparita, eks wilayah Afdeeling Pare-pare Sulsel, yang kini menjadi bagian Kabupaten Sidenreng Rappang. Istrinya yang bernama  Herawaty, adalah orang dari Muaradua Kisam, Kab. OKU Selatan, Sum-Sel. 
       Sekadar mengingat jejaknya, Salim kecil bersekolah SR dan SMP di Pare-pare, lalu melanjutkan SMA di Solo. Kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional (1946-1965), Fak. Psikologi UI (1966-1967), dan Fak. Sospol UI (tamat 1977). Gelar PhD-nya diperoleh dari Ohio State University (1985) dengan judul "Sejarah dan Politik Tentara Indonesia".
        Dalam sebuah podcast Helmi Yahya (2023), beliau mengkalim bahwa hingga pecahnya reformasi 1998, beliaulah satu-satunya orang Indonesia yang fokus mengkaji perilaku Tentara dan Pemerintah sejak terbentuknya TNI. Karya-karya bukunya di bidang politik dan militer laris-manis di lapak-lapak market place dan  toko buku. 
        Kebetulan, pada era pandemi Covid-19, saya mengoleksi dua bukunya yang fenomenal untuk melengkapi bacaan di bidang tentara dan rezim militer.  Karya bukunya yang fenomenal dan langka tersebut adalah "Militer Indonesia dan Politik; Dulu, Kini dan Kelak" (378 hal), yang merupakan elaborasi dan penyempurnaan disertasinya. Lalu buku itu terus disempurnakan dengan buku barunya "Ini Bukan Kudeta" (159 hal). 
     Ternyata buku itulah karya terakhir Mang Salim, jika proyek buku "Tafsir Sosial Islam" tak sempat diselesaikan oleh Tim-nya. Semoga Mang Salim damai-nikmat di alam barzahnya! Aamiin  yaa Robbal'alaamiin. 


*) Muarabeliti SUMSEL, 20 Mei 2024

JERAMBAH BELITI

Catatan: Hendy UP *]

     Ba'da subuhan, Selasa 16 September 2025 kemarin, berita tentang jerambah Muarabeliti mengalami "virus virtual". Penyebabnya, tanah penahan abutment yang berada di halaman KPU Musirawas longsor pascahujan semalaman. Untuk beberapa pekan ke depan, agaknya jerambah itu dikawal petugas khusus untuk mengatur lalu-lintas di atasnya. 

A. Cerita Bari Jerambah Besi

    Bagi masyarakat non-Sumbagsel, barangkali agak aneh di telinga dan bertanya-tanya: "apa makna kata jerambah?"
    Dalam KBBI, kata jerambah bermakna "lantai yang berada pada ketinggian, tidak beratap, tempat mencuci pakaian atau perabot dapur dan menjemurnya". 
     Dalam bahasa tutur masyarakat Muarabeliti (dan sekitarnya) kata jerambah adalah sinonim dari jembatan. Di era Kolonial Belanda, jerambah sering disebut "brug" dan    jerambah gantung disebut "hangbrug".
    Kapan jerambah Beliti pertama dibangun? Sepanjang pelacakan dokumen bari di portal "Klentenservice Koninklijke Bibliotheek, Nederland", saya belum menemukannya.
    Diduga kuat, awal rintisan jalan darat dari Palembang- Muaraenim - Lahat - Tebing/Empatlawang ke Muarabeliti, dimulai pascajatuhnya Kesultanan Palembang pada tahun 1821. Pada tahun 1825 dilakukan pemetaan daerah uluan Palembang oleh Muntinghe yang dikenal dengan "Onderdrucking Expeditie". Kemudian diperkuat oleh kebijakan Gubernur General JG Van den Bosch (1830-1933) pada awal era "Tanam Paksa" untuk memetakan seluruh lahan di Jawa & Sumatera demi  mencocokan kesesuaian lahan dengan komoditas yang dibutuhkan pasar Eropa.
    Terlepas dari soal kapan jerambah Beliti pertama kali dibangun, faktanya, dalam catatan sejarah, jerambah besi Muarabeliti pernah "dibumihanguskan" oleh Tentara Rakyat Indonesia (TRI) pada Rabu, 29 Desember 1948. Hal ini terjadi ketika Belanda melakukan Agresi Militer II, dan pasukan Belanda telah berada di Tebing Empatlawang akan menuju Muarabeliti dan Lubuklinggau. 
    Kemudian reruntuhan jerambah itu direnovasi kembali oleh TRI setelah Belanda kocar-kacir tak sanggup menghadapi pasukan khusus bambu runcing. 

B. Jerambah Beton Pak Harun

    Menurut Pak Sukirman (76 tahun), mantan mandor PT Waskita Karya (WK) yang diwawancarai Sabtu 29-1-2022,  jerambah beton Beliti yang kini masih kokoh, mula-mula dibangun pada tahun 1975 oleh sebuah perusahaan kontraktor, namun salah desain konstruksinya. Selama hampir 3 tahun pembangunan jerambah itu mangkrak total. 
     Pada tahun 1978, akhirnya tiang beton panyangga gelagar yang sudah dipasang di tengah sungai dibongkar habis oleh kontraktor baru yakni PT. Waskita Karya. Di bawah manager lapangan Pak Ir. Harun Husein (penulis mengenal akrab, sering ngopi bareng di Muarabeliti kala itu), akhirnya jerambah Beliti selesai dan diresmikan pada tahun 1981.
    Jembatan beton ini dibuat persis bersebelahan dengan jembatan besi lama dengan panjang 90 meter (15+ 60+15). Sebagai pembanding jembatan sungai Musi di Muaralakitan yang juga dibangun oleh PT Waskita Karya (1982-1985) bentangnya sepanjang 150 meter. 

C. Jerambah Beliti Putus

    Jumat pagi 8 Desember 1995, tiba-tiba jerambah Beliti putus, 8 mobil truck nyungsep ke sungai, satu orang wafat dan jalur transportasi Lintas Tengah Sumatera macet total hingga sebulan ke depan. 
    Berita ini termuat di koran Kompas edisi Sabtu (9-12-1995) yang kubaca di beranda rumah Pak Carik Asep Desa Lemahabang Kab. Karawang. Kala itu aku sedang ikut terlibat melaksanakan riset selama 6 bulan untuk menguji-coba metode baru "Pengendalian Hama Terpadu Dengan Mendayagunakan Musuh Alami" atas sponsorship sebuah lembaga pendidikan pertanian. 
    Padahal pekan itu, dari 11 hingga 17 Desember 1995 aku memperoleh cuti-riset dan hendak pulang ke Muarabeliti. Sial sekali, aku tak bisa pulang karena tak ada bus dari Jawa ke Sumatera yang melewati jalur Muarabeliti/Lubuklinggau.
    Dengan pasrah tawaqaltu al-Alloh, aku harus menunda pulang hingga beberapa bulan ke depan. Dalam hati aku berbisik: "man is proposis, but God is disposis".
    
*] Muarabeliti, 19 September 2025

BKLU TERAWAS

Catatan: Hendy UP *] 

    Bagi pembaca di luar wilayah SUMSEL, perlu dijelaskan bahwa Batu Kuning Lakitan Ulu (BKLU) Terawas adalah sebuah kecamatan di Kab. Musirawas yang terbentuk pada tahun 1969, dan membawahkan dua wilayah marga kala itu. Kedua marga itu adalah Marga Batu Kuning Lakitan (BKL) dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu (STLU). 
    Jika kita lacak dokumen sejarah bari, ternyata Kec. BKLU Terawas, adalah hasil pemecahan Keasistenan Lubuklinggau, Kewedanaan Musi Ulu yang di zaman Belanda disebut  Onderafdeeling Musi Ulu. 

 A. Cerita Bari Ulu Lakitan 

     Saya belum menemukan artikel kajian toponomis tentang nama Terawas & Selangit. Adakah legenda yang terkait dengan peradaban di kawasan sungai Rawas sehingga bernama "Te-Rawas"? Atau, adakah cerita mistik yang mengaitkan norma-adat suku ini dengan status "ketinggian peradaban" hingga menjulang tinggi "Selangit"? 
    Adakah benang merah pertalian darah-puyang masyarakat Terawas (dan Selangit) dengan sub-etnik Musi-Lakitan yang notabene terhubung langsung oleh jalur sungai Lakitan yang bermuara di sungai Musi? 
    Faktanya, wilayah hulu BKLU Terawas berada ditubir Bukit Barisan di kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat (TNKS) yang memiliki posisi strategis dalam menyimpan ketersediaan air dan pengendali banjir (catchmant area) di hilirnya. 
    Dahulu kala, sungai Lakitan yang berhulu di celah bukit kawasan Rejang adalah merupakan urat nadi perekonomian (dan budaya) masyarakat Terawas. Anak-anak sungai Lakitan seperti sungai Ba'al, Malus, Nilau, Megang dan lain-lain adalah tangan-tangan transformasi peradaban Lembak-Silampari yang kelak ikut andil mewariskan nilai-nilai luhur patriotisme ketika melawan laknatullah Kolonial Belanda  & Jepang. ***
    Tak terlacak dengan pasti, sejak kapan peradaban lokal memunculkan era kemargaan di wilayah Selangit- Terawas. Mungkin ratusan tahun silam, ketika masyarakat adat belajar bermusyawarah bersama "tetuo dusun" yang kelak melahirkan prinsip kepemimpinan asli dengan sebutan ilmiah "primus interpares", yang berarti  "yang pertama dari yang sederajat". 
    Maknanya adalah bahwa seorang pemimpin yang terpilih memiliki beberapa keunggulan personal, seperti kejujuran, cerdas di atas rata-rata dan berwibawa, sehingga disegani oleh masyarakat. 
     Dalam catatan, di kawasan ini terbentuk 2 marga yaitu: Marga Batu Kuning Lakitan berpusat di Dusun Selangit dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu berpusat di Terawas. 
     Bersumber dari "Zaak Almanak Zuid Sumatera" bertahun 1936, di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe terdapat 10 marga, antara lain Marga Batu Kuning Lakitan dengan Pesirah Depati Tusin dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu dengan Pesirah Depati Pengandal Natamarga. 
    Dalam perkembangannya kelak, Marga BKL dipimpin oleh Pesirah Sani yang merupakan anak Depati Tusin, dan Marga STLU dipimpin oleh Pesirah Tap yang juga merupakan anak dari Depati Pengandal Natamarga, hingga berakhir masa kemargaan pada tahun 1983.

B. Terbentuk Kecamatan Baru 

    Pada era Gubernur SUMSEL H. Asnawi Mangku Alam (1967-1978) dan Bupati Musirawas dijabat oleh H. MochtarAman (1968-1979), terbitlah Kpts Gubernur tanggal 16 Mei 1969 Nomor: Pd/108/1969, tentang Pemecahan Keasistenan Kota Lubuklinggau. Maka lahirlah dua kecamatan baru yaitu: Kec. Lubuklinggau dan Kec. BKLU Terawas. 
    Berdasarkan catatan dari narasumber Drs. H. Sofian Zurkasie, para Camat yang pernah menjabat di Kec. BKLU Terawas antara lain adalah:
(1) Drs. Husni Bahar (1969-1972) berasal dari Tebing Empatlawang;
(2) Drs. H. Sofian Zurkasie (1972-1975) asli Muarabeliti, (3) Sahri Wahab eks Gindo berasal dari Jawa Barat, (4) Drs. Hamdani, (5) Drs. Cik Ali Manaf, (6) Drs. Sofianto, (7) Drs. Nurdin Amasin, (8) Drs. Amirul Mukminin, dst. 
    Pada saat ini, eks Kecamatan BKLU Terawas telah dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan, yakni: Kec. STLU Terawas, (2) Kec. Selangit (Perda Mura No. 3 Th 2002) dan  (3) Kec. Sumberharta (Perda Mura No. 6 Th 2006). 

*] Muarabeliti,  24 September 2025

Kamis, 25 September 2025

SELAMAT JALAN VECHTER KWIK

Catatan: Hendy UP *]

    Sengaja aku menyematkan kata "vechter" (pejuang) untuk legasi Pak Kwik, yang selama hidupnya terus- menerus mengkritisi kebijakan Pemerintah yang dianggap melenceng dari cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan RI. 
    Yaa, namanya Kwik Kian Gie. Beliau baru saja meninggalkan kita semua pada Senin, 28 Juli 2025 di Jakarta dalam usia 90 tahun. Lahir di kota Djuwana (Jateng) pada 11 Januari 1935. Aku tak tahu, apakah ada hubungan marga dengan SOE HOK GIE sang aktivis era Ordelama yang melambungkan kisah "Catatan Seorang Demonstran".
    Aku mulai mengenal namanya akhir tahun 1980-an, melalui artikel-artikelnya yang di harian lKompas dan Majalah Tempo. Tahun 1990-an hingga 2000-an, namanya selalu muncul tiap pekan dalam rubrik Kompas untuk mengulas "analisis politik ekonomi", yang konon menjadi rujukan para pejabat tinggi, para praktisi bisnis dan bahkan para pialang saham. 
     Sebagai orang yang tak memiliki basis ilmu ekonomi murni, kecuali "ekonomi pertanian" dari Prof. Mubyarto, aku merasa berhutang ilmu dari artikel dan buku-bukunya. Demi memuaskan kuriositas diri yang terus menggebu di kala itu. 
    Sekadar mengenang jejaknya, mari kita lacak liku kehidupannya.   
    Mula-mula kuliah di Fakultas Ekonomi UI pada tahun 1955 (klas persiapan), namun menamatkan strata sarjananya di Nederlandsche Economiche Hogeschool di Belanda (1956-1963). Lalu menikah dengan gadis keturunan Belanda: Dirkje Johanna Widt dan dikaruniai tiga orang anak: Kwik Ing Hie,  Kwik Mu Lan, dan Kwik Ing Lan. 
    Antara tahun 1963-1964, bekerja sebagai Asisten Atase Kebudayaan & Penerangan di Kedubes RI di Den Haag, untuk kemudian kembali ke Tanah Air pada 1970. Mulai merintis bisnis hingga tahun 1987, dan lkemudian mendirikan Institut Bisnis & Informatika Indonesia (IBII) pada tahun 1970 hingga 1987.
    Masuk ke dunia politik bergabung dengan PDI, sebagai anggota Badan Pekerja MPR-RI, Anggota Komisi IX DPR-RI, dan pernah menjabat Menko Ekuin (1999-2000) di era Presiden Gusdur serta Menteri Negara PPN/Kepala BAPPENAS (2001-2004) di era Presiden Megawati. 
     Di samping belajar dari klipping artikelnya, aku mengoleksi beberapa bukunya antara lain:

(1) Buku "Konglomerat Indonesia: Permasalahan dan Sepak Terjangya". Bersama BN Marbun sebagai penyunting. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990. 102 hal;

(2) Buku "Kebijakan Ekonomi Politik & Hilangnya Nalar". Penerbit Kompas, Jakarta, 2006. (209 hal);

(3) Buku " Pikiran yang Terkorupsi". Penerbit Kompas, Jakarta, 2008.  (228 hal);

(4) Buku "Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan". Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2016. (250 hal). 

    Semoga arwah beliau diterima di sisi-Nya. "Selamat Jalan Vechter... "

*] Muarabeliti,  28 Juli 2025

STAGFLASI PASCAKORONA

STAGFLASI PASCAKORONA: AYAM VERSUS CABE?

Oleh: Hendy UP *)

     Di awal Juli 2020, Kepala BPS Suhariyanto merilis data bahwa harga ayam ras dan telornya adalah penyumbang inflasi terbesar komponen pangan untuk Juni 2020. Kontribusinya: ayam 0,14% dan telor 0,04% terhadap angka inflasi yg sebesar 0,18%.

     Alasannya karena peternak mandiri kehabisan modal usaha, pasokan pakan terhambat transportasinya sehingga produksinya anjlog. Bahkan telur ayam 'dituding' sebagai biang-kerok gejolak harga tak menentu (volatile price) di 86 kota yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen (IHK)-nya.

     Di sisi lain, komoditas cabe merah, rawit, bawang putih, minyak goreng dan gula pasir, harganya anjlok. Komoditas ini mengalami deflasi. Bawang putih dan cabe merah menyumbang 0,07% terhadap deflasi Juni 2020 kemarin.

     Lagi-lagi, Permendag No. 7 tahun 2020 yg mengatur harga langit-langit tak ada gunanya. Pada akhirnya, hukum ekonomi pasar masih berdalil klasik: harga di pasar berada pada kekuatan supplay & demand; bukan pada aturan harga legal formal di atas kertas.

      Volatile-price telor ayam ini ternyata terasa di manapun; juga di Lubuklinggau, sebagaimana dirilis Kepala BPS Lubuklinggau Eka Yuliani (Harian Silampari, 3 Juli 2020). Angka inflasi Juni 2020 untuk Kota Lubuklinggau sebesar 0,31%; inflasi kumulatif sebesar 1,31% dan YoY sebesar 1,37%.

      Memang, sejak dahulu kala hantu inflasi harga pangan sangat ditakuti oleh pemerintah terutama menjelang lebaran, paceklik atau pageblug. Tapi kaum tani malah berdoa agar terjadi inflasi harga komoditas pangan dan kebun, asalkan 'cost input' material saprotannya (terutama pupuk) konstan.

      Soal inflasi, Mang Udin Dusun Muarabeliti dan Lik Parjo Megangsakti sungguh tak peduli, apa itu inflasi, deflasi apatah lagi stagflasi. Sa'karepmu Broth .....!

     Tapi soal kendali-mengendali harga pangan ternyata pemerintah tak berkutik, mati-kutu! Bahkan kini, sudah bertahun-tahun justru terjadi deflasi harga karet (para) yang membuat masyarakat kehilangan ghiroh berkebun. Sungguh, kini ekonomi pedesaan Negeri Silampari sedang terjerembab.

     Lihat saja data perputaran uang di BI yg melemah dan laporan NPL (Non Performing Loan) perbankan yang meninggi. Banyaknya papan merk 'DIJUAL' di depan rumah dan lokasi usaha, adalah indikator banyaknya kreditur nunggak angsuran. Jika rasio NPL perbankan mendekati angka 5%, niscaya akan berkelindan dengan profitabilitas, rentabilitas, likuiditas perbankan dan aneka tas-tas lainnya.

     Mayoritas kaum tani kita, yang lebih pas disebut 'peasent' (tani pas-pasan) ketimbang disebut 'farmer' (pengusaha tani), sama sekali tidak paham dengan 'teori ekonomi gombal'. Bagi petani padi misalnya, yang penting ada jaminan pasokan air irigasi, tersedia bibit unggul dan pupuk dengan harga terjangkau, serta harga jual beras yang memadai. Pun bagi pekebun karet, ada bantuan kredit peremajaan kebun dan harga jual jedol (slab) tidak 'gila'; minimal 1 kg jedol para dusun setara dengan harga 1 hingga 2 kg beras. Itu sudah cukup untuk menggairahkan ekonomi pedesaan. Kini sekilo para tak sampai sekilo beras!

     Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 antara -0,4% hingga 2,3%. Tapi Lembaga Kerjasama Ekonomi & Pembangunan (OECD) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka -2,8 hingga -3,9%. Buru-buru Sri Mulyani meralat bahwa akibat bla bla bla, pertumbuhan ekonomi TW II 2020 akan terkonstraksi hingga -3,1%.(Kompas, 3 Juli 2020).

       Kondisi inilah yang dikhawatirkan para ahli ekonomi bakal terjadi stagflasi. Stagflasi adalah kondisi perekonomian negara dengan tingkat output rendah yg dibarengi oleh inflasi. Kondisi sekarang ini, jika tidak ada langkah kongkrit Pemerintah untuk menjaga basis ekonomi kerakyatan (UMKM) dan penyetopan kran impor, gejalanya mengarah ke stagflasi. Dalam kamus, stagflasi disebabkan oleh kekuatan ganda: kurangnya permintaan agregat secara relatif terhadap potensial PNB; dan meningkatnya cost input aneka usaha masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi. [*]

Muarabeliti, 4 Juli 2020 *)

Senin, 15 September 2025

JEJAK GENEALOGI BAPPEDA MUSIRAWAS SUMSEL [2]

Catatan: Hendy UP *]

D. Bappeda Provinsi & Kabupaten

    Pada akhir tahun 1960, semakin diperlukan akurasi data dari daerah untuk penyusunan pola dasar pembangunan  semesta berencana. Guna validasi data lapangan dalam rangka pendekatan sistem perencanaan modern, maka diperlukan lembaga penyusun "blue print" pembangunan di daerah. Oleh karena itu di Daerah Swatantra Tk. I (provinsi) dibentuklah Badan Koordinasi Pembangunan Daerah (Bakopda; vide Keppres No. 655 Th 1961). 
   Pada akhir Pelita I (1969-1974), dengan terbitnya  Keppres No.15 Th 1974, maka lembaga Bakopda di level provinsi diubah menjadi Bappeda Dati I, yang berfungsi utama menyusun dokumen Repelita II dan pola dasar pembangunan daerah setempat.

E. Bappeda Kab. Musirawas

     Semenjak dibentuk Bakopda di Prov. Sumsel (1962), hingga terbentuknya Bappeda Prov. Sumsel tahun 1974, urusan perencanaan pembangunan daerah di Kab. Mura ditangani oleh unit kerja yang berada di bawah Sekretariat Daerah. Mulai tahun 1975, urusan perencanaan pembangunan ini semakin dipandang strategis sehingga dikuatkan secara organik di dalam unit kerja Bag. Pembangunan. 
    Enam tahun kemudian, dengan terbitnya Kepres RI No. 27 Tahun 1980 dan Kepmendagri No.185 Tahun 1980, dibentuklah Bappeda di setiap kabupaten. Di Kab. Dati II Musirawas, lembaga Bappeda dibentuk pada akhir 1980 pada era Bupati Drs. H. Syueb Tamat (1980-1990). 
    Menurut Drs. H. Sofian Zurkasie, yang juga mantan Kabag Hukum (1970-1972); Kadispenda (1978-1984); Kabagpemcapil (1984-1987) dan Sekr-DPRD (1987-1995), sebelum dibentuk Bappeda Mura akhir 1980, fungsi perenc. pembangunan daerah ditangani oleh semacam Tim Khusus yang berada di bawah Setda yang kelak menjadi Bagian Pembangunan. Pada periode akhir Bupati Mochtar Aman (10-7-1968 s/d 7-9-1979) dan caretaker Bupati Cholil Azis, SH (7-9-1979 s/d  8-3-1980), pejabat yang menangani bidang perencanaan pembangunan adalah Drs. M. Djauhari. Ketika dibentuk Bappeda Mura, maka Sdr. Drs. M. Djauhari ditunjuk sebagai Ketua Bappeda yang pertama. 
   Jika kita lacak jejak genealogi pimpinan Bappeda Mura dari awal (1980) hingga kini (2024) adalah sebagai berikut: 
(1). Drs. M. Djauhari (1980 s/d 1983);
(2). Drs. H. Baidjuri Asir, MH (Juni 1983 s/d 16 Jan 1984);
(3). Drs. H. Iskandar Zulkarnain (16 Januari 1984 s/d 1992);
(4). Drs. H Karim AR (1992 s/d 1995);
(5). Drs. H. Zainudin, MM (1995 s/d 1998);
(6). Drs. John Hadi, MSi (1998-2001) 
(7). Drs. H. Mulyanto, MH (2001 s/d 2002);
(8). Ir. H. Fauzi Zakaria (2002 s/d 2004);
(9). Ir. H. Hendra Gunawan, SH, MM (2004 s/d 2010);
(10). H. Raidusyahri, SH, MM        (2010); 
(11). Dr. Ir. H. Suharto Patih, MM  (21-08-2010 s/d 27-03-2013); 
(12). Ir. Agus Setyono, MSi (27-3-2013 s/d 17-04-2014); 
(13). Dr. Ir. H. Suharto Patih, MM           (17-04-2014 s/d 23-07-2018);
(14). Dr. Ir. H. Nanti Kasih, MSi     (23-07-2018 s/d 2021); 
(15). Zuhri Syawal, SP., MSc. MEng  (2021 s/d  25-11-2021);
(16). Kgs. Efendi Feri, SSTP
(25-11- 2021 s/d 19-09- 2023);
(17). Erwin Syarif, ST, MM.  (29-9-2023 s/d sekarang). 

F. Perpindahan Kantor Bappeda

    Masih menurut Drs. H. Sofian Zurkasie, pada awalnya Bappeda menempati salah satu ruangan di Perkantoran Pemda Mura di Lapangan Merdeka, yang kini menjadi Kompleks Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau. Pada sekira tahun 1985-1990, seiring pindahnya kantor Pemda Mura ke Tabapingin, maka dibangunlah gedung Bappeda dua lantai yang menyatu dengan Auditorium, Op-Room, dan Markas Satpol PP.  
    Lebih kurang 33 tahun Bappeda Mura bermarkas di Tabapingin, ketika akhirnya harus "bedol kantor" ke ibukota baru di Muarabeliti. Hal ini merupakan konsekuensi logis seiring dengan pemekaran wilayah Kab. Mura, yang melahirkan Kota Lubuklinggau di tahun 2001.
    Dan sejarah  mencatat bahwa Ibukota Kab. Musirawas telah kembali ke Muarabeliti pada tahun 2005, yang dahulu pernah dipindahkan ke Lubuklinggau oleh Kolonial Belanda pada Selasa 3 April 1934. Persis sembilan puluh tahun yang lalu. ***

*] Muarabeliti SUMSEL, 17 Desember 2024; Rewrite: 21 Juni 2025.

Minggu, 14 September 2025

JEJAK GENEALOGI BAPPEDA MUSIRAWAS SUMSEL [1]

Catatan: Hendy UP *]

A.  Disclaimer
 
Artikel ini bersumber dari: (1) catatan harian penulis selaku alumni Bappeda Mura SUMSEL, (2) buku "Jejak Langkah Orang Musirawas & Lubuklinggau 2005", (3) beberapa website terkait, dan (4) kesaksian para narasumber yang merupakan pensiunan pejabat Pemda Mura. Terima kasih kepada Sdr: (1) Drs. H. Sofian Zurkasi, (2) Bambang Hermanto, SE, MM &  (3) Dr. Ir. H. Suharto Patih, MM, dan (4) Drs. M. Rusdan, MSi atas transfer data dan curahan informasinya. Sekaligus sebagai bentuk kurasi & validasi artikel sejarah ini. 

B. Mukadimah

    Secara fungsional~ teknokratik, organisasi perangkat daerah (OPD)  yang bernama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), baik  pada level provinsi maupun kabupaten/kota, adalah merupakan institusi turunan (derivative institution) Bappenas yang berada di tingkat daerah. Bappenas merupakan satu-satunya lembaga pemerintah yang memiliki portofolio sebagai penyusun kerangka dasar & peta jalan  pembangunan bangsa. Sebuah lembaga kementerian yang sangat strategis dalam merumuskan visi besar pembangunan bangsa.
   Jika kita lacak jejak para petinggi lembaga ini ~ dari awal kemerdekaan hingga awal reformasi ~ sungguh mereka adalah para tokoh visioner, pemberani, berintegritas dan mumpuni di bidangnya. Sebutlah antara lain: AK Gani, Moh. Hatta, Soemitro Djojohadikoesoemo, Moh. Yamin, Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Widjojo Nitisastro, Ruslan Abdul Gani; dan jangan lupa, di era reformasi tercatat nama Kwik Kian Gie seorang ekonom- pemikir yang berintegritas tinggi. 
    Al-kisah, pada  19 Januari 1947 (resminya tercatat,12 April 1947), ketika pertama kali dibentuk lembaga khusus yang menangani sektor perencanaan pembangunan, stabilitas keamanan negara belumlah terwujud, karena masih dalam kondisi darurat perang alias SOB (Staat van Oorlog en  Beleg). 
    Enam belas tahun kemudian, ketika terbit Pen-Pres No. 12 Th 1963 tgl 31 Desember 1963, dibentuklah lembaga Bappenas yang dipimpin oleh Mayjen TNI Dr. dr. H. Soeharto Sastrosoejoso. Beliau adalah salah satu pendiri IDI yang juga mantan dokter pribadi Bung Karno dan Bung Hatta.
   Pada tahun 1961, di level Daerah Swatantra Tk. I (provinsi) dibentuk Badan Koordinasi Pemb. Daerah (Bakopemda) yang kemudian disempurnakan dengan Keppres No. 19 Th 1964. Sedangkan di level Kab. Dati II, baru dibentuk pada tahun 1980 (vide Keppres No. 27 Th 1980 jo Kep-Mendagri No. 185 Th 1980 tentang Pembentukan Bappeda Prov. Dati I dan Kab. Dati II). 

C. Evolusi Kelembagaan Bappenas

    Sejarah evolusi Bappenas dari era 1947 hingga sekarang (2024), setidaknya mengalami 8 kali perubahan, baik status dan nomenklaturnya maupun landasan hukum pembentukannya. Kedelapan kali perubahan status dan nama itu adalah:
(1). Badan Perantjang Ekonomi dibentuk pada 19-1-1947 dipimpin oleh Adnan Kapau Gani;
(2) Panitia Pemikir Siasat Ekonomi  dibentuk pada 12-4-1947 dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta;
(3) Dewan Perantjang Negara dibentuk pada 7-1-1952, dipimpin oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja, kemudian dilanjutkan Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo;
(4) Dewan Ekonomi & Perencanaan dibentuk dengan PP No. 15 Th 1956 tanggal 6-6-1956 dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo;
(5) Dewan Ekonomi & Pembangunan dibentuk dengan  PP No. 3 Th 1957 tanggal 2-8-1957, kembali dipimpin oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja;
(6) Dewan Perantjang Nasional ( Depernas) dibentuk dengan UU No. 80 Thn 1958 tanggal 23-8-1958 dipimpin oleh Prof. M. Yamin;
(7) Badan Perenc. Pembangunan Nasional (Bappenas) dibentuk dengan Pen-Pres No. 12 Th 1963 tanggal 31-12-1963 dipimpin oleh Mayjen Dr. dr. H. Soeharto Sastrosoejoso;
(8) Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas, dibentuk atas dasar UU No. 39 Th 2008 tentang Kementerian Negara, yang melahirkan beberapa PP & Perpres tentang pembentukan organisasi Kementerian PPN, terakhir dengan Perpres No. 194 Th 2024 di era Presiden Prabowo. (Bersambung...) 

*] Muarabeliti SUMSEL, 17 Desember 2024; Rewrite: 21 Juni 2025.

Rabu, 10 September 2025

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK [2]

Catatan:  Hendy UP *]

   Setelah hampir 90 tahun lamanya, sebuah karya sastra monumental yang legendaris, kini dicetak ulang dengan desain sampul baru dan aneka kehebohannya.
    Roman bari itu bertemakan "kisah-cinta" dengan balutan friksi & dialektika pergeseran nilai budaya di sebuah negeri tua yang bernama Ranah Minang. 
    Yaa, sepenggal tanah Melayu yang menyimpan ragam heliks DNA & RNA semenjak dahulu kala. Dari heliks jeniusitas, sastrawan, pemikir, budayawan hingga politikus yang kontroversial di zaman ini. 
    Alkisah, pada tahun 1938, lahirlah karya sastra monumental dari seorang ulama besar bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Terbit pertama kali di majalah "Pedoman Masyarakat" yang dipimpin oleh HAMKA sendiri. Usia beliau saat itu 31 tahun. Karya monumental lainnya, antara lain adalah "Di Bawah Lindungan Ka'bah".
    Kemudian diterbitkan dalam bentuk buku roman oleh M. Syarkawi dua kali (1939 & 1949); dan mendapat kritikan keras dari kalangan agamawan karena dianggap menyalahi kebiasaan dan kelaziman adat tradisi kala itu (1938-1948). 
    Penerbitan selanjutnya dikelola oleh PN Balai Pustaka hingga ke-7. Mulai penerbitan ke-8 (1961) hingga ke-17 dikelola oleh Penerbit Nusantara (swasta). Dan sejak cetakan ke-18 (1986) dan seterusnya diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, yang dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta dengan ISBN- 979-418-055-6.
    Roman kisah-kasih yang yang unik ini, terkelindan antara Pemuda malang Zainuddin, 'gadih Minang' Hayati, Azis dan Khadijah serta pemuda Muluk itu terserak pada 28 mozaik kisah, yakni:
1. Anak orang terbuang;
2. Yatim piatu;
3. Menuju negeri nenek moyang;
4. Tanah asal;
5. Cahaya hidup;
6. Berkirim-kiriman surat;
7. Pemandangan di dusun;
8. Berangkat;
9. Di Padangpanjang;
10. Pacu kuda dan pasar malam;
11. Bimbang;
12. Meminang;
13. Pertimbangan;
14. Pengharapan yang putus;
15. Perkawinan;
16. Menempuh hidup;
17. Jiwa pengarang;
18. Surat-surat Hayati kpd Khadijah;
19. Club anak Sumatera;
20. Rumah tangga;
21. Hati Zainuddin;
22. Dekat, tetapi berjauhan;
23. Surat cerai;
24. Air mata penghabisan;
25. Pulang;
26. Surat Hayati yang penghabisan;
27. Sepeninggal Hayati;
28. Penutup.
    Pada mozaik ke-25 "Pulang", dikisahkan begini: "Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936,  kapal Van der Wijck yang menjalani ijin KPM dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjungpriuk dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yg akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di Pelabuhan Tanjungpriuk".
    Dan Hayati akan menaiki kapal itu, niatnya berlayar pulang ke Padang. Ternyata, qodarullah, di tengah laut Jawa 35 mil di barat Surabaya, Hayati menjemput ajalnya; setelah cintanya yang tulus ditolak dengan kejam-setikam oleh Zainuddin, karena dendam lelaki yang beralasan.
    Padahal, merongga di lubuk hati Zainuddin, sungguh hanya mencintai Hayati sepanjang hayatnya. Tetapi, gumpalan dendam cinta itu bergelulung berbuntal-buntal mengebat jantungnya, melingkari nuraninya. Dan diusirlah Hayati dengan sepedih hati. Sungguh kelak, sebuah penyesalan yang tak pernah dibayangkan akan membawa ajal kekasih satu-satunya sepanjang hidupnya.
    Pascaditolak cintanya, sebelum hari kepulangannya, Hayati menorehkan seluruh cinta-jiwanya dalam berlembar-lembar kertas, yang ditinggalkan di ruang-tulis Zainuddin. Itulah lelehan jiwa Hayati yang menularkan virus kematian utk lelaki idamannya: Zainuddin ahli waris budaya dari Negeri Batipuh X Koto wilayah Padangpanjang.

[Bersambung ...]

*) Muarabeliti, Senin 23 Maret 2020; Resunting, Ahad, 7 Sept 2025.

[Ditukil dari "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", karya HAMKA. Penerbit Bulan Bintang, Jkt; Cetakan ke-18, 1986, 224 hal].

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK [1]

Catatan:  Hendy UP *]

   Setelah hampir 90 tahun lamanya, sebuah karya sastra monumental yang legendaris, kini dicetak ulang dengan desain sampul baru dan aneka kehebohannya.
    Roman bari itu bertemakan "kisah-cinta" dengan balutan friksi & dialektika pergeseran nilai budaya di sebuah negeri tua yang bernama Ranah Minang. 
    Yaa, sepenggal tanah Melayu yang menyimpan ragam heliks DNA & RNA semenjak dahulu kala. Dari heliks jeniusitas, sastrawan, pemikir, budayawan hingga politikus yang kontroversial di zaman ini. 
    Alkisah, pada tahun 1938, lahirlah karya sastra monumental dari seorang ulama besar bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Terbit pertama kali di majalah "Pedoman Masyarakat" yang dipimpin oleh HAMKA sendiri. Usia beliau saat itu 31 tahun. Karya monumental lainnya, antara lain adalah "Di Bawah Lindungan Ka'bah".
    Kemudian diterbitkan dalam bentuk buku roman oleh M. Syarkawi dua kali (1939 & 1949); dan mendapat kritikan keras dari kalangan agamawan karena dianggap menyalahi kebiasaan dan kelaziman adat tradisi kala itu (1938-1948). 
    Penerbitan selanjutnya dikelola oleh PN Balai Pustaka hingga ke-7. Mulai penerbitan ke-8 (1961) hingga ke-17 dikelola oleh Penerbit Nusantara (swasta). Dan sejak cetakan ke-18 (1986) dan seterusnya diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, yang dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta dengan ISBN- 979-418-055-6.
    Roman kisah-kasih yang yang unik ini, terkelindan antara Pemuda malang Zainuddin, 'gadih Minang' Hayati, Azis dan Khadijah serta pemuda Muluk itu terserak pada 28 mozaik kisah, yakni:
1. Anak orang terbuang;
2. Yatim piatu;
3. Menuju negeri nenek moyang;
4. Tanah asal;
5. Cahaya hidup;
6. Berkirim-kiriman surat;
7. Pemandangan di dusun;
8. Berangkat;
9. Di Padangpanjang;
10. Pacu kuda dan pasar malam;
11. Bimbang;
12. Meminang;
13. Pertimbangan;
14. Pengharapan yang putus;
15. Perkawinan;
16. Menempuh hidup;
17. Jiwa pengarang;
18. Surat-surat Hayati kpd Khadijah;
19. Club anak Sumatera;
20. Rumah tangga;
21. Hati Zainuddin;
22. Dekat, tetapi berjauhan;
23. Surat cerai;
24. Air mata penghabisan;
25. Pulang;
26. Surat Hayati yang penghabisan;
27. Sepeninggal Hayati;
28. Penutup.
    Pada mozaik ke-25 "Pulang", dikisahkan begini: "Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936,  kapal Van der Wijck yang menjalani ijin KPM dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjungpriuk dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yg akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di Pelabuhan Tanjungpriuk".
    Dan Hayati akan menaiki kapal itu, niatnya berlayar pulang ke Padang. Ternyata, qodarullah, di tengah laut Jawa 35 mil di barat Surabaya, Hayati menjemput ajalnya; setelah cintanya yang tulus ditolak dengan kejam-setikam oleh Zainuddin, karena dendam lelaki yang beralasan.
    Padahal, merongga di lubuk hati Zainuddin, sungguh hanya mencintai Hayati sepanjang hayatnya. Tetapi, gumpalan dendam cinta itu bergelulung berbuntal-buntal mengebat jantungnya, melingkari nuraninya. Dan diusirlah Hayati dengan sepedih hati. Sungguh kelak, sebuah penyesalan yang tak pernah dibayangkan akan membawa ajal kekasih satu-satunya sepanjang hidupnya.
    Pascaditolak cintanya, sebelum hari kepulangannya, Hayati menorehkan seluruh cinta-jiwanya dalam berlembar-lembar kertas, yang ditinggalkan di ruang-tulis Zainuddin. Itulah lelehan jiwa Hayati yang menularkan virus kematian utk lelaki idamannya: Zainuddin ahli waris budaya dari Negeri Batipuh X Koto wilayah Padangpanjang.

[Bersambung ...]

*) Muarabeliti, Senin 23 Maret 2020; Resunting, Ahad, 7 Sept 2025.

[Ditukil dari "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", karya HAMKA. Penerbit Bulan Bintang, Jkt; Cetakan ke-18, 1986, 224 hal].

Minggu, 20 April 2025

PARA KADES TUGUMULYO 2012

      Bulan terakhir menjelang masa pensiun, aku meng-update nama-nama pejabat Kades & Lurah di wilayah Kecamatan Tugumulyo Kab. Musirawas SUMSEL. Bersama Kacabdin & PPL, mereka adalah mitra kerja utama yang bisa dikonfirmasi setiap saat untuk memastikan berjalannya program & kegiatan di tingkat lapangan. 

     Senin 5 Maret 2012, aku susun daftar pejabat itu dalam buku kerja  harian: 
#]. Camat Tugumulyo: Ruslan, SE;
#]. Sekcam: Sugiyanto;
#]. Para  Kades/Lurah:
1. A. Widodo: Masrizal;
2. B. Srikaton: M. Badrun, S. Sos;
3. C. Nawangsasi: Sungkowo;
4. D. Tegalrejo: Rodi  Afian;
5. E. Wonokerto: Sugiono;
6. F. Trikoyo: Sriyanto;
7. G1. Mataram: Benedictus W;
8. G2. Dwijaya: Pulung;
9. H. Wukirsari: Supriyo;
10. I. Sukomulyo: Suhariyanto;
11. J. Ngadirejo: Sujarwo:
12. K. Kalibening: Wahudin;
13  L. Sidoharjo: Mahmudi;
14. Q1. Tambahasri: Arifin;
15. Q2. Wonorejo: Sucipto. 
16. V. Surodadi: Suherman. 
17. Triwikaton:  ~

Catatan: 
~ B. Srikaton adalah berststus kelurahan; 
~ Desa Triwikaton  telah terbentuk (Perda No. 25 Th  2011) namun tidak tercatat  nama Pjs Kadesnya. Desa ini merupakan pemekaran wilayah Desa A. Widodo, B. Srikaton dan F. Trikoyo. 


Rewrite: 
Muarabeliti, 20 April 2025.


     

Sabtu, 19 April 2025

PENGANTAR BUKU (1)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK  [1]

Oleh: Hendy UP *)

      Pembukuan kumpulan artikel ini muasalnya berawal dari membaca-baca arsip tulisan lama yang pernah dimuat di berbagai media cetak, dan sebagiannya telah terbundel sebagai "kliping koran" yang terserak. 

    Ada di lempitan buku-buku, di map plastik berdebu. Bahkan ada yang terselip-melip di susunan rak perpustakaan pribadi yang sunyi nan horor. Maklum, ruangan perpustakaan itu semacam paviliun, menjorok ke depan, agak terpisah di halaman depan. Sekali gus berfungsi sebagai ruang baca; sembari menunggu jika ada pelanggan (dan pembeli) air minum galonan berteknologi Reverse Osmosis System (RO).

    Yaa... sebelah luar paviliun itu, yang terhubung pintu besi, berfungsi sebagai ruang niaga untuk menjual air minum RO.

     Di ruang khusus 4 x 6 meter itu, dipajangi rak buku bertingkat lima dari plat besi siku, dan ternyata semakin sulit melacaknya jika ingin membaca ulang. Maklum, bundel kliping koran itu telah berumur. Ada artikelku yg ditulis tahun 1978, 1979 hingga akhir 1980-an, walaupun tak semuanya layak dibukukan. Ketika mulai membangun website dan mencoba menjadi blogger pada tahun 2014 ~ untuk sekadar merawat minat baca, menghalau kejenuhan dan menahan laju kepikunan ~ arsip tulisan itu diketik ulang secara bertahap.

     Di usia yang menua, mengetik berlama-lama sungguh menyiksa punduk pangkal leher, nyeri pegel-begel: otot nadi tulang punggung bagaikan tersegel kumparan kawat begel! Mata mulai cepat mengabur, berkaca-kaca, seakan terhalang bayang fotopsia, mirip penderita ablasio retina. Mula-mula ngetik di laptop ACER pentium yang semakin lemot, kemudian belakangan berganti menggunakan gawai untuk kepraktisan menulis: kapan dan di mana saja!

     Artikelku di koran, sering dimuat di rubrik opini. Tapi sejujurnya, itu hanya semacam gumaman orang kecil. Meminjam istilah Goenawan Muhamad, tak lebih dari sekadar marginalia, seperti beliau menjoloki CATATAN PINGGIR-nya. Marginalia adalah catatan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca. Kadang bertinta merah, bertanggal baca, untuk menandai dan mengingatkan kembali pembacanya akan hal-hal penting yang termuat pada halaman itu. Catatan-catatan itu sendiri sebenarnya tak penting, kecuali merujuk kepada teks utama sebagai pokok bahasan.

     Jika diingat ulang, sejak mulai menulis, barangkali hampir mendekati duaratus buah artikel yang pernah diterbitkan berbagai koran, majalah, bulletin pertanian dari 1978 hingga 2019 ini. Ada Cerpen dan Cerbung yang berlatar romansia remaja. Ada tentang teknologi dan sosial pertanian, tentang kritik terhadap kebijakan pembangunan pedesaan; bahkan merambah ke soal sosial-keagamaan dan peradaban.

     Ada juga tulisan tentang seseorang, teman atau tokoh yang aku kagumi. Pendeknya, aku menulis tentang apa saja, yang kuanggap perlu diketahui, dipahami dan direnungkan oleh berbagai kalangan, khususnya tokoh masyarakat dan pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah. Ya, semacam ikhtiar menyemai kreator peradaban! Tapi sejujurnya, kalau boleh mengurut prioritas atensi dan ketertarikan bidang, aku lebih nyaman dan 'PD' menulis tentang: sejarah, sastra-kebahasaan, humaniora, sosial pertanian dan pedesaan. Selebihnya, aku menulis tentang sesuatu jika ada rangsangan yang menyembulkan desire dan kuriositas.

     Yaa ..., ide menulis kadang muncul dari hasil membaca buku, koran, twitter, instagram, portal berita, blog sastra atau bahkan celotehan emak-emak di WA Grup. Juga dari restan memori setelah nonton tayangan film-tv, youtube, film pendek atau panjang. Bahkan sering kali berasal dari perjalanan kluyuran ke desa-desa, ngobrol "ngalor-ngidul" dengan sesiapa, atau bahkan pascamenyaksikan lingkungan yang asri, yang jorok centang-perenang nan berantakan!

     Atau hasil mengendus situasi fenomenal tentang sebuah isu yang sedang viral, dibincangkan masyarakat umum, baik di WA-Grup maupun Facebook. Semisal dampak dari: Narkoba, Corona virus, Pileg, Pilkada- Pilkades. Belakangan ada produk demokrasi baru tentang Pilsung Badan Permusyawaratan Desa. Yaa ... semacam lembaga legislatif di tingkat desa. [***]

Senin, 14 April 2025

PARA KADES MUARABELITI 1987

     Selagi awal tahun, sebagai Kacabdin Pertanian Kecamatan Muarabeliti Kab. Dati II Musirawas (SUMSEL), aku meng-update nama-nama pejabat tinggi Pemda Mura dan pejabat teras yang ada di wilayah Kec. Muarabeliti. 
     Maka, pada Rabu 28 Januari 1987, kususun nama-nama pejabat teras yang terkait. 

A. Pejabat Tinggi:
1. Bupati: Drs. H. SyuebTamat;
2. Sekda:  Drs. H. Ishak Sani;
3. Camat: Drs. Zainal Abidin
                  (NIP. 010-055-270);
4. Sekwilcam: M. Ali Burhan, BA
                  (NIP. 440-016-438);

B. Para Kades di Kec. Muarabeliti:
B.1. Eks. Marga Proatinlima:
1. Muarabelitibaru: Masri Malik;
2. Pasarmuarabeliti: Effendi Bahali;
    - Sekdes: Suwandi;
3. Suro: Cik Asan;
4. Pedang: Raiman;
5. Lubukkupang: Jumirak (Polri);
     - Sekdes: Sarbini;
6. Tanahperiuk: Ali Hasan;
7. Margamulya: Tarmin;
8. Tabarejo: Husni (Pens. ABRI);
9. Siringagung: Supani Ibrahim;
10. Ekamarga: M. Sahuri;
11. Karangketuan: Imron Suhit;
12. Margabakti: Usman;
13. Bumiagung: Hamdi;
14. Manaresmi: Sobli;

B. 2. Eks Marga Tiang Pungpung
     Kepungut (TPK):
1. Muarakatilama: Alisun T;
2. Muarakatibaru 1: M. Zaini;
3. Muarakatibaru 2: Arbain;
4. Rantaubingin: Selamat Bikum;
5. Batubandung: Ajib Siring;
6. Lubukbesar: Ali  Nawang;
7. Kebur:  Astori (Pjs);
8. Rantauserik: Mukti Hasan;
9. Tanjungraya: M. Budin P;
10. Jukung: Hasan Basri;
11. Airkati: Rasjip Gonip. 

Rewrite: Muarabeliti, Ahad, 13 April  2025

Senin, 27 Januari 2025

AKU & SANDRA DI BPP YUDHAKARYA

Catatan: Hendy UP *)


    Pascapelantikan Ronald Reagan sebagai Presiden AS ke-40, aku dilantik pula; sebagai Kepala BPP Yudhakarya. Tentu saja beritanya tak seviral pelantikan Reagan. Jika sumpah Reagan diucapkan di tangga Gedung Capitol, maka aku cukup di aula Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) saja. Yang melantikku adalah Ir. Djatolong Marbun selaku Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) atas nama Kepala Dinas Pertanian Kab. Musirawas SUMSEL. Hari bersejarah itu kucatat: Sabtu, 2 Oktober 1982. Dan hari itulah peresmian dibukanya BPP Yudhakarya di Kec. Jayaloka. 


    Pada level pedesaan kala itu, jabatanku agak-agak bergengsi. Bayangkan! Secara teritorial, kekuasaan wilayah BPP Yudhakarya meliputi tiga kecamatan: Muarakelingi, Muaralakitan dan Jayaloka; dan mencakup 7 marga, yakni: (1) Sikap Dalam Musi, (2) Bulang Tengah Semangus, (3) Proatin Sebelas, (4) Bulang Tengah Suku Tengah, (5) Bulang Tengah Suku Ulu, (6) Sukakarya, dan (7) Ngestiboga. Dan kini, pasca otonomi daerah, ketiga kecamatan tersebut telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan, dengan penambahan: Kec. Megangsakti, BTSU Cecar, Tuahnegeri dan Sukakarya. 


    Karena aku bukan kepala wilayah yang memiliki "emblem jengkol" di baju dinasku, maka aku selalu mendampingi Pak Camat selaku penguasa tunggal atas mandat UU No. 5 Th 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kala itu, Camat bukanlah kepala OPD sang pengguna anggaran, yang konon lebih menyibukkan diri dalam menyiasati "financial-engineering" ketimbang mencermati dinamika sosial-ekonomi warganya.


     Lokus kantorku di Desa Ciptodadi, Marga Sukakarya, sekitar 44 km dari kota Lubuklinggau. Berada di jalan Pertamina, sekitar 8 km dari Simpangsemambang menuju ke Kec. BTSU Cecar. Bisa terus ke kawasan HTI tembus ke Pendopo Talangakar (Kab. PALI) dan kota Prabumulih. Di seberang kantorku, adalah kompleks pemukiman pensiunan TNI. Orang menyebutnya Trans-AD, yang dibuka tahun 1979/1980. Nama lokasi itu adalah Yudhakarya Sakti. Dan, nama itulah yang kulekatkan menjadi nama BPP Yudhakarya. Kabarnya, kini diubah menjadi BPP Sukakarya. Mungkin pasca pembentukan Kec. Sukakarya. 


    Luas kompleks BPP Yudhakarya adalah 32 hektar. Konon, bekas kompleks Agriculture Development Center (ADC) sekitar tahun 1974-1978. Selama menjabat, aku ditemani wakilku selaku PPM Supervisor, dengan 34 orang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai mitra kerjaku. 


      Yang cukup menggembirakan, aku ditemani oleh Lik Mukiman sang Manager Kebun, yang piawai membelokkan traktor mini ketika mengolah lahan 32 hektar itu. Juga ada gudang saprotan dan hasil panen. Aku juga melengkapi meja pingpong di gudang, dan itulah fungsi tambahan gudang yang rutin kuamalkan dengan pemuda setempat. 


     Karena kantorku terpisah dari pemukiman dan rawan permalingan & penodongan, maka siang dan malam aku harus cerdas menyikapi keadaan. Menyiapkan senapan angin made in Cipacing, seperangkat petetan dan sekarung batu koral. Lalu belor akbar berbaterai enam, dan tombak-kujur plus pedang panjang. Juga radio-tape recorder dengan kabel antena khusus bertiang buluh tinggi.


     Hampir setiap petang, jika tak ke lapangan, aku suka nyantai di teras gudang. Memutar lagu apa saja sembari membaca buku. Ada koleksi lagu Barat yang melankolis nan mendayu-dayu. Tak terlalu paham artinya, tapi aku menikmatinya. Salah satu lagu yang aku suka adalah "I had a dream of Indonesia" yang dilantunkan Sandra Reimers. Sandra inilah kawan setiaku, tertutama jika istriku mudik ke Dusun Muarabeliti. 


    Suara Sandra lunak agak mendesah. Melodinya tanpa gejolak, seakan tanpa intensi dan tak baperan. Datar mengalun, tapi di ujungnya ada nuansa harapan. Pas buat pengantar bobo ba'da shalat isya di kesunyian. Tapi jangan coba-coba di putar di perkantoran menjelang dateline tahun anggaran. Bisa kacau-balau SPJ pertangungjawaban para pengguna anggaran!


    Apa yang kau impikan Sandra? Mungkin sebuah tempat: Indonesia yang penuh imaji, sebuah klise tentang surga. Pasti Sandra tak pernah turni ke Indonesia, dan hanya membaca brosur wisata dari pegawai kedutaan RI. Lalu, kata Sandra: "orang-orang seakan mendengarkan kearifan samudra. They never hurry, they never worry, they take the tide away the way it meant to be......". Luar biasa Indonesia itu: ayem tentrem- loh jinawi.


   Jika ingat kenangan itu, aku tersenyum geli. Sandra yang suaranya merdu, ternyata tertipu. Brosur dan infogram yang dibacanya adalah iklan, bukan deskripsi antropologis tentang Indonesia. Bukan annual report dari Suistanable Development Goals (SDGs). Itu adalah iklan, hasil perkawinan silang 90% keinginan dan 10% kenyataan.


    Polesannya adalah kosa kata bombastis, penuh propaganda dan ilusi. Indonesia, oh negeriku yang subur makmur! Lahan sawahmu telah tertimbun pemukiman. Air irigasimu telah terhenti di pintu besi kolam milik para juragan ikan. Miris menyedihkan!


*)Muarabeliti SUMSEL, 15 Desember 2019. Resunting: Januari 26, 2025.

ABOUT

About:

     Selamat datang di rumahku…! Jikalau Anda hadir dengan santun, maka aku akan sangat senang menyambutmu. Barang tentu tak banyak jamuan yang...