Minggu, 20 April 2025

PARA KADES TUGUMULYO 2012

      Bulan terakhir menjelang masa pensiun, aku meng-update nama-nama pejabat Kades & Lurah di wilayah Kecamatan Tugumulyo Kab. Musirawas SUMSEL. Bersama Kacabdin & PPL, mereka adalah mitra kerja utama yang bisa dikonfirmasi setiap saat untuk memastikan berjalannya program & kegiatan di tingkat lapangan. 

     Senin 5 Maret 2012, aku susun daftar pejabat itu dalam buku kerja  harian: 
#]. Camat Tugumulyo: Ruslan, SE;
#]. Sekcam: Sugiyanto;
#]. Para  Kades/Lurah:
1. A. Widodo: Masrizal;
2. B. Srikaton: M. Badrun, S. Sos;
3. C. Nawangsasi: Sungkowo;
4. D. Tegalrejo: Rodi  Afian;
5. E. Wonokerto: Sugiono;
6. F. Trikoyo: Sriyanto;
7. G1. Mataram: Benedictus W;
8. G2. Dwijaya: Pulung;
9. H. Wukirsari: Supriyo;
10. I. Sukomulyo: Suhariyanto;
11. J. Ngadirejo: Sujarwo:
12. K. Kalibening: Wahudin;
13  L. Sidoharjo: Mahmudi;
14. Q1. Tambahasri: Arifin;
15. Q2. Wonorejo: Sucipto. 
16. V. Surodadi: Suherman. 
17. Triwikaton:  ~

Catatan: 
~ B. Srikaton adalah berststus kelurahan; 
~ Desa Triwikaton  telah terbentuk (Perda No. 25 Th  2011) namun tidak tercatat  nama Pjs Kadesnya. Desa ini merupakan pemekaran wilayah Desa A. Widodo, B. Srikaton dan F. Trikoyo. 


Rewrite: 
Muarabeliti, 20 April 2025.


     

Sabtu, 19 April 2025

PENGANTAR BUKU (1)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK  [1]

Oleh: Hendy UP *)

      Pembukuan kumpulan artikel ini muasalnya berawal dari membaca-baca arsip tulisan lama yang pernah dimuat di berbagai media cetak, dan sebagiannya telah terbundel sebagai "kliping koran" yang terserak. 

    Ada di lempitan buku-buku, di map plastik berdebu. Bahkan ada yang terselip-melip di susunan rak perpustakaan pribadi yang sunyi nan horor. Maklum, ruangan perpustakaan itu semacam paviliun, menjorok ke depan, agak terpisah di halaman depan. Sekali gus berfungsi sebagai ruang baca; sembari menunggu jika ada pelanggan (dan pembeli) air minum galonan berteknologi Reverse Osmosis System (RO).

    Yaa... sebelah luar paviliun itu, yang terhubung pintu besi, berfungsi sebagai ruang niaga untuk menjual air minum RO.

     Di ruang khusus 4 x 6 meter itu, dipajangi rak buku bertingkat lima dari plat besi siku, dan ternyata semakin sulit melacaknya jika ingin membaca ulang. Maklum, bundel kliping koran itu telah berumur. Ada artikelku yg ditulis tahun 1978, 1979 hingga akhir 1980-an, walaupun tak semuanya layak dibukukan. Ketika mulai membangun website dan mencoba menjadi blogger pada tahun 2014 ~ untuk sekadar merawat minat baca, menghalau kejenuhan dan menahan laju kepikunan ~ arsip tulisan itu diketik ulang secara bertahap.

     Di usia yang menua, mengetik berlama-lama sungguh menyiksa punduk pangkal leher, nyeri pegel-begel: otot nadi tulang punggung bagaikan tersegel kumparan kawat begel! Mata mulai cepat mengabur, berkaca-kaca, seakan terhalang bayang fotopsia, mirip penderita ablasio retina. Mula-mula ngetik di laptop ACER pentium yang semakin lemot, kemudian belakangan berganti menggunakan gawai untuk kepraktisan menulis: kapan dan di mana saja!

     Artikelku di koran, sering dimuat di rubrik opini. Tapi sejujurnya, itu hanya semacam gumaman orang kecil. Meminjam istilah Goenawan Muhamad, tak lebih dari sekadar marginalia, seperti beliau menjoloki CATATAN PINGGIR-nya. Marginalia adalah catatan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca. Kadang bertinta merah, bertanggal baca, untuk menandai dan mengingatkan kembali pembacanya akan hal-hal penting yang termuat pada halaman itu. Catatan-catatan itu sendiri sebenarnya tak penting, kecuali merujuk kepada teks utama sebagai pokok bahasan.

     Jika diingat ulang, sejak mulai menulis, barangkali hampir mendekati duaratus buah artikel yang pernah diterbitkan berbagai koran, majalah, bulletin pertanian dari 1978 hingga 2019 ini. Ada Cerpen dan Cerbung yang berlatar romansia remaja. Ada tentang teknologi dan sosial pertanian, tentang kritik terhadap kebijakan pembangunan pedesaan; bahkan merambah ke soal sosial-keagamaan dan peradaban.

     Ada juga tulisan tentang seseorang, teman atau tokoh yang aku kagumi. Pendeknya, aku menulis tentang apa saja, yang kuanggap perlu diketahui, dipahami dan direnungkan oleh berbagai kalangan, khususnya tokoh masyarakat dan pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah. Ya, semacam ikhtiar menyemai kreator peradaban! Tapi sejujurnya, kalau boleh mengurut prioritas atensi dan ketertarikan bidang, aku lebih nyaman dan 'PD' menulis tentang: sejarah, sastra-kebahasaan, humaniora, sosial pertanian dan pedesaan. Selebihnya, aku menulis tentang sesuatu jika ada rangsangan yang menyembulkan desire dan kuriositas.

     Yaa ..., ide menulis kadang muncul dari hasil membaca buku, koran, twitter, instagram, portal berita, blog sastra atau bahkan celotehan emak-emak di WA Grup. Juga dari restan memori setelah nonton tayangan film-tv, youtube, film pendek atau panjang. Bahkan sering kali berasal dari perjalanan kluyuran ke desa-desa, ngobrol "ngalor-ngidul" dengan sesiapa, atau bahkan pascamenyaksikan lingkungan yang asri, yang jorok centang-perenang nan berantakan!

     Atau hasil mengendus situasi fenomenal tentang sebuah isu yang sedang viral, dibincangkan masyarakat umum, baik di WA-Grup maupun Facebook. Semisal dampak dari: Narkoba, Corona virus, Pileg, Pilkada- Pilkades. Belakangan ada produk demokrasi baru tentang Pilsung Badan Permusyawaratan Desa. Yaa ... semacam lembaga legislatif di tingkat desa. [***]

Senin, 14 April 2025

PARA KADES MUARABELITI 1987

     Selagi awal tahun, sebagai Kacabdin Pertanian Kecamatan Muarabeliti Kab. Dati II Musirawas (SUMSEL), aku meng-update nama-nama pejabat tinggi Pemda Mura dan pejabat teras yang ada di wilayah Kec. Muarabeliti. 
     Maka, pada Rabu 28 Januari 1987, kususun nama-nama pejabat teras yang terkait. 

A. Pejabat Tinggi:
1. Bupati: Drs. H. SyuebTamat;
2. Sekda:  Drs. H. Ishak Sani;
3. Camat: Drs. Zainal Abidin
                  (NIP. 010-055-270);
4. Sekwilcam: M. Ali Burhan, BA
                  (NIP. 440-016-438);

B. Para Kades di Kec. Muarabeliti:
B.1. Eks. Marga Proatinlima:
1. Muarabelitibaru: Masri Malik;
2. Pasarmuarabeliti: Effendi Bahali;
    - Sekdes: Suwandi;
3. Suro: Cik Asan;
4. Pedang: Raiman;
5. Lubukkupang: Jumirak (Polri);
     - Sekdes: Sarbini;
6. Tanahperiuk: Ali Hasan;
7. Margamulya: Tarmin;
8. Tabarejo: Husni (Pens. ABRI);
9. Siringagung: Supani Ibrahim;
10. Ekamarga: M. Sahuri;
11. Karangketuan: Imron Suhit;
12. Margabakti: Usman;
13. Bumiagung: Hamdi;
14. Manaresmi: Sobli;

B. 2. Eks Marga Tiang Pungpung
     Kepungut (TPK):
1. Muarakatilama: Alisun T;
2. Muarakatibaru 1: M. Zaini;
3. Muarakatibaru 2: Arbain;
4. Rantaubingin: Selamat Bikum;
5. Batubandung: Ajib Siring;
6. Lubukbesar: Ali  Nawang;
7. Kebur:  Astori (Pjs);
8. Rantauserik: Mukti Hasan;
9. Tanjungraya: M. Budin P;
10. Jukung: Hasan Basri;
11. Airkati: Rasjip Gonip. 

Rewrite: Muarabeliti, Ahad, 13 April  2025

Senin, 27 Januari 2025

AKU & SANDRA DI BPP YUDHAKARYA

Catatan: Hendy UP *)

    Sembilan bulan pascapelantikan Ronald Reagan sebagai Presiden AS ke-40, aku dilantik pula. Tentu saja beritanya tak seviral pelantikannya. Jika sumpah Reagan diucapkan di tangga Gedung Capitol, maka aku cukup di aula Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) saja. Yang melantikku adalah Ir. Djatolong Marbun selaku Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) atas nama Kepala Dinas Pertanian Kab. Musirawas SUMSEL. Hari bersejarah itu kucatat: Sabtu, 2 Oktober 1982. Dan hari itulah peresmian dibukanya BPP Yudhakarya di Kec. Jayaloka. 

    Pada level pedesaan kala itu,  jabatanku agak-agak bergengsi. Bayangkan! Secara teritorial, kekuasaan wilayah BPP Yudhakarya meliputi tiga kecamatan: Muarakelingi, Muaralakitan dan Jayaloka; dan  mencakup 7 marga, yakni:  (1) Sikap Dalam Musi, (2) Bulang Tengah Semangus, (3)  Proatin Sebelas, (4) Bulang Tengah Suku Tengah, (5) Bulang Tengah Suku Ulu, (6) Sukakarya, dan (7) Ngestiboga. Dan kini,  pasca otonomi daerah, ketiga kecamatan tersebut telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan, dengan penambahan: Kec. Megangsakti,  BTSU Cecar, Tuahnegeri dan Sukakarya. 

    Karena aku bukan kepala wilayah yang memiliki "emblem jengkol" di baju dinasku, maka aku selalu mendampingi  Pak Camat selaku penguasa tunggal atas mandat UU No. 5 Th 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kala itu, Camat bukanlah kepala OPD sang pengguna anggaran, yang konon lebih menyibukkan diri dalam menyiasati "financial-engineering" ketimbang mencermati dinamika sosial-ekonomi warganya.

     Lokus kantorku di Desa Ciptodadi,  Marga Sukakarya, sekitar 44 km dari  kota Lubuklinggau. Berada di jalan  Pertamina, sekitar  8 km dari  Simpangsemambang menuju ke Kec. BTSU Cecar. Bisa terus ke kawasan HTI tembus ke Pendopo Talangakar (Kab. PALI) dan  kota Prabumulih. Di seberang kantorku, adalah kompleks pemukiman pensiunan TNI. Orang menyebutnya Trans-AD, yang dibuka tahun 1979/1980. Nama  lokasi itu adalah Yudhakarya Sakti. Dan, nama itulah yang kulekatkan menjadi nama BPP Yudhakarya. Kabarnya, kini diubah menjadi BPP Sukakarya. Mungkin pasca pembentukan Kec. Sukakarya. 

    Luas kompleks BPP Yudhakarya adalah 32 hektar. Konon, bekas  kompleks Agriculture Development Center (ADC) sekitar tahun 1974-1978. Selama menjabat, aku ditemani wakilku selaku PPM Supervisor, dengan 34 orang  Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai mitra kerjaku. 

      Yang cukup menggembirakan, aku ditemani  oleh Lik Mukiman sang Manager Kebun, yang piawai  membelokkan traktor mini ketika mengolah lahan 32 hektar itu. Juga ada gudang saprotan dan hasil panen. Aku juga melengkapi meja pingpong di gudang, dan itulah fungsi tambahan gudang yang rutin kuamalkan dengan pemuda setempat. 

     Karena kantorku terpisah dari pemukiman dan rawan permalingan & penodongan, maka siang dan malam aku harus cerdas menyikapi keadaan. Menyiapkan senapan angin made in Cipacing, seperangkat petetan dan sekarung batu koral.  Lalu belor akbar berbaterai enam, dan  tombak-kujur plus pedang panjang. Juga radio-tape  recorder dengan kabel antena khusus bertiang buluh tinggi.

     Hampir setiap petang, jika tak ke lapangan, aku suka nyantai di teras gudang. Memutar lagu apa saja  sembari  membaca buku.  Ada koleksi lagu Barat yang melankolis nan mendayu-dayu. Tak terlalu paham artinya, tapi aku menikmatinya. Salah satu lagu yang aku suka adalah "I had  a dream of Indonesia" yang dilantunkan Sandra Reimers. Sandra inilah kawan setiaku, tertutama jika istriku mudik ke Dusun Muarabeliti. 

    Suara Sandra lunak agak mendesah. Melodinya tanpa gejolak, seakan tanpa intensi dan tak baperan. Datar mengalun, tapi di ujungnya ada nuansa harapan. Pas buat pengantar bobo ba'da  shalat isya di kesunyian. Tapi jangan coba-coba di putar di perkantoran menjelang dateline tahun anggaran. Bisa kacau-balau SPJ pertangungjawaban para pengguna anggaran!

    Apa yang kau impikan Sandra? Mungkin sebuah tempat: Indonesia yang penuh imaji, sebuah klise tentang surga. Pasti Sandra tak pernah turni ke Indonesia, dan hanya membaca brosur wisata dari pegawai kedutaan RI. Lalu, kata Sandra: "orang-orang seakan mendengarkan kearifan samudra. They never hurry, they never worry, they take the tide away the way it meant to be......". Luar biasa Indonesia itu: ayem tentrem- loh jinawi.

   Jika ingat kenangan itu, aku tersenyum geli. Sandra yang suaranya merdu, ternyata tertipu. Brosur dan infogram yang dibacanya adalah iklan, bukan deskripsi antropologis tentang Indonesia. Bukan annual report dari Suistanable Development Goals (SDGs). Itu adalah iklan, hasil perkawinan silang 90% keinginan dan 10% kenyataan.

    Polesannya adalah kosa kata bombastis, penuh propaganda dan ilusi. Indonesia, oh negeriku yang subur makmur! Lahan sawahmu telah tertimbun pemukiman. Air irigasimu telah terhenti di pintu besi kolam milik para juragan ikan. Miris menyedihkan!

*)Muarabeliti SUMSEL, 15 Desember 2019. Resunting:  Januari 26, 2025.

ABOUT

About:

     Selamat datang di rumahku…! Jikalau Anda hadir dengan santun, maka aku akan sangat senang menyambutmu. Barang tentu tak banyak jamuan yang...

Senin, 19 Agustus 2024

MENJENGUK GEDUNG TUA BAPPEDA MURA

Catatan: Hendy UP *) 

   Sepanjang karierku sebagai ASN,  aku pernah singgah tugas di Bappeda Musirawas. Tidak terlalu lama. Lalu ditugasi Diklat SPAMEN-LAN di Jakarta selama 9 pekan; kemudian digeser ke dinas teknis hingga pensiun pada tahun 2012.
    Dalam catatan, Bappeda Mura dibentuk pada akhir 1980-an, berdasarkan Keppres No. 27/1980 dan Kepmendagri No. 185/1980 yang mencabut Keppres RI No. 15/1974 & Kepmendagri No. 142/1974. Mula-mula berkantor di Lapangan Merdeka yang kini menjadi Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau. Pada tahun 1985-an, pada era  Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Bappeda menempati gedung baru di Kompleks Pemda Tabapingin. 
    Aku berkantor di lantai dua, sebuah gedung megah nan berwibawa kala itu, di kompleks perkantoran Pemda Musirawas yang kini nyaris tak terpelihara, ditumbuhi  repuh dan aneka gulma.
     Gedung itu beradu punggung dengan Auditorium yang menjadi saksi bisu aneka aktivitas kepamongprajaan: rapat akbar, seminar, pelantikan pejabat, hingga acara hingar-bingar yang kadang irasional. 
   Hari-hari ini, di penghujung  tahun 2023 ini ~  sejak statusnya tak jelas milik siapa ~ gedung jangkung itu tampak lusuh-kusut berbalut lumut. Sekililing fondasinya bertumbuh perdu apit-apit yang liar menjalar. Juga di seputar teras balkon yang melingkari muka gedung itu. Dinding temboknya dirayapi akar-akar herbal yang merepuh, mengundang burung emprit dan puyuh semakin betah berteduh. 
   Jika kita menjejak dari dekat, gedung itu menguar aura horor. Di sekeliling halamannya terasa denyut-getar bagaikan tremor. Mungkin geliat molekul fosil di bawah subsoil yang merekah, yang dulunya tak rela dilibas buldozer pongah. Yaa, derap pembangunan, kadang seperti mengubur bongkah sejarah. Lalu musnah, karena  sedikit orang yang peduli untuk sekadar mencatatkan kisah. 
    Gedung ini membelakangi lapangan upacara Pemda. Di pagi hari, di sorot mentari, dindingnya tampak comeng, suram-pucat bagai berpupur-bedak kadaluwarsa. Tampak belepotan sengkarut warna, mirip anak ikan semah  hasil berkawin dengan sepat  di sungai Endikat. Dari jauh tampak menggigil menahan dingin, agak-agak doyong menahan beban.
    Menjelang petang, tampak gerah, berlumur keringat busuk yang menguar dari pori-pori kusen pintu dan jendela kaca. Di bekas  ruang rapat lantai dua, daun pintu   dan plafonnya mulai terjungkal berjatuhan. Miring centang- perenang. Ini semua adalah  ulah para kumbang yang  ulang-alik tanpa mematuhi rambu-rambu penerbangan di ruangan khusus. Mungkin serangga itu tahu bahwa aset gedung ini tak jelas dan tanpa status. 
     Halaman gedung tua itu seperti meronta pasrah. Mungkin ingin kembali menjadi huma yang subur di tengah hutan adat marga Proatinlima dahulu kala. Atau, setidaknya menjadi area Onderneming Tabapingin ketika pertama kali dimanjakan Kolonial Belanda sebagai kebun  sawit di tahun 1919.
   Pada dekade tahun  1990-an  hingga 2015-an, gedung itu sungguh sangat bergengsi. Aku adalah salah satu ASN yang wajib bersaksi. Dari sisi sivil-arsitekturalnya, bangunan itu tampak modern. Anggun  nan kokoh.
     Konstruksinya menjulang tinggi, dengan kalkulasi lengkung geometriknya  yang bersudut lembut di atas pintu utama. Terasa luas walau ukurannya terbatas.  Desain eksteriornya sederhana, namun terkesan perkasa. Dipandang  dari arah depannya, akan tampak lebih berwibawa jika dipadukan dengan cat warna apa saja, asal tidak berafiliasi dengan warna partai politik yang suka memaksa berkuasa. Yang cenderung  arogan dan rada-rada klenik serasa zaman baheula. 
    Gedung Bappeda itu diapit dua gedung kokoh lainnya; yang di hulu kantor para birokrat-eksekutif yang selalu sibuk menata administrasi dan duit; dan di hilirnya kantor  anggota parlemen-legislatif yang wajib bermata jeli nan cerdik untuk mengendus mata-anggaran mana saja yang krusial dikotak-katik dan potensial menjadi incaran penyidik.
    Hari itu, aku memandang dari halaman kantor SAMSAT, tertegun dan menunduk pasrah. Dulu, kami sering lembur malam hingga menjelang subuh. Kini menjadi habitat burung puyuh. Inikah nasib bangunan pemerintah yang terbengkelai akibat mis-manajemen pusat dan daerah? 

*] Muarabeliti SUMSEL, Kamis 9 November 2023. Resunting 6 Juli 2024.

Minggu, 07 Juli 2024

PARA CAMAT MUARABELITI [2]

Catatan: Hendy UP *) 

      Secara antropologis, Muarabeliti memiliki jejak peradaban yang relatif lebih tua dibandingkan Lubuklinggau. Adagium kuno mengatakan,  tumbuhnya  peradaban di luar jazirah Arab, bermula dari "basin river community". Bahasa Belitinya, perkampungan pinggiran sungai, dimulai dari muara pantai ke arah hulu sungai.
     Dalam catatan sejarah,  ibukota Oaf Musi Ulu di Muarabeliti dipindahkan ke Lubuklinggau pada Selasa 3 April 1934. Hal ini didasarkan pada besluit Governour Generaal  Hindia Belanda (Staatsblad No. 186 Thn 1934). Sejak itu, keramaian dan perniagaan yang selama ratusan tahun menghidupkan Muarabeliti, praktis surut-melayu bagaikan seikat ronce melati di hari ketujuh. 
       Alhamdulillah, kesunyian Muarabeliti tak terlalu berlarut!  Hanya 71 tahun lamanya, Muarabeliti kembali berseri, setelah Presiden SBY pada 11 Nov 2005 menerbitkan PP No. 46 Tahun 2005 tentang Pemindahan Ibukota Kab. Musirawas dari Lubuklinggau ke Muarabeliti. Tentu saja peran Bupati Ibnu Amin sangatlah besar dalam mendorong pemindahan ibukota,  hingga terbitnya persetujuan DPRD Mura No. 8/Kpts/DPRD/2004  tanggal 24 Oktober 2004.
        Catatan detailnya, mula-mula pusat perkantoran Pemerintahan Moesi Oeloe Rawas  berada di Lapangan Merdeka (kini Masdjid Agung As-Salam). Lalu berpindah ke  Tabapingin di era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), diteruskan era Nang Ali Solihin (1990-1995) dan era Radjab Semendawai (1995-1999). Baru pada tahun 2005 pulang kembali ke Muarabeliti, berproses dari era Bupati Ibnu Amin (2004-2005)  dilanjutkan era Ridwan Mukti (2005-2015), era Hendra Gunawan (2016-2021) hingga era Ratna Machmud (2021-2025). Namun demikian, dengan berpindah-pindahnya pusat perkantoran dan pemerintahan, agaknya banyak arsip sejarah yang hilang tercecer. 
         Tak terkecuali data dan dokumen  para pejabat Asisten Wedana/Camat Muarabeliti, kini sangat sulit dilacak. Saya mencoba melacak dokumen lama, dan mewawancara narasumber. Narasumber utama adalah Drs. H. Sofian Zurkasi dan H. Ali Burhan, BA. Kemudian Sdr. Gunadi dan Supriyanto. Mereka adalah Pensiunan Pejabat Pemda Mura dan ASN aktif yang terkait dengan bidang pemerintahan dan pernah bertugas di Muarabeliti. 
        Hingga tahun 2023 ini, tercatat 29 nama mantan Asisten Wedana/Camat Muarabeliti sejak tahun 1954-an. Namun demikian, data tentang rentang waktu masa jabatan para Camat tersebut masih terus divalidasi sehingga akan diperoleh data yang lebih akurat demi kesempurnaan catatan sejarah pemerintahan di Musirawas. 
     Ke-29  Camat tersebut adalah:
(1) As Wedana Raden Soekarta antara 1950-1953; (2) As Wedana Saleh Ayel  antara 1953-1955; (3) As Wedana RPM Arifin antara 1955-1961; (4) As Wedana A. Nam Bastari antara 1961-1967; (5) Camat Hasanudin P. Endawan antara 1967-1972; (6) Camat Madjid Usul antara 1972-1975; (7) Drs. Sanoesi antara Juni 1975-1979; (8) Drs. Muda Azhar Lubis antara 1979-1982; (9) Drs. Ruslan Sa'ad antara 1982-1983; (10) Drs. Nursehan Dundang antara 1983-1985; (11) Drs. Rozi Lihan antara 1985-1986; (12) Drs. Zainal Abidin antara 1986-1987; (13) Drs. Hamdani antara 1987-1990; (14) Plt. Drs. Ali Mamat (1990); (15) Drs. Yusuf Yasin antara 1990-1995; (16) H. Ali Burhan, BA antara 1995-1998;   (17) H. Basri Soni, BA., SH. antara 1998-2003; (18) Untung Supriyanto, S. Sos antara Juli 2003-2004; (19) Hj. Rita Mardiyah, S.Sos antara 2004-2005; (20) Kgs. Efendi Feri, SSTP. MSi antara 2005-2009; (21) Indra Bazid, SSos antara 2009-2011; (22) Musadik Nanguning, SIP antara 2011-2013; (23) A. Rahman, S.Sos antara 2013-2017; (24) Imam Musyadar SSTP, MSi antara 2017-2019; (25) Doddy Irdiawan antara 2019-2020; (26) Plt Hardiman, SSTP,  MAP antara 2020; (27) Badarudin, S.Sos antara 2020-2021; (28) Plt. Dicky Zulkarnain, SSTP, MSi. antara Maret 2021-Agustus 2021; (29) Sarjani, S. Sos, TMT 20 Agustus 2021 hingga 31 Maret 2023, digantikan oleh  Supriyadi S.Pd, M.Pd yg sebelumnya menjabat  Sekretaris Diknas Kab. Mura.  [***]
*) Muarabeliti, 17 Oktober  2022
      [Direvisi 10 Nov 2023]

Selasa, 02 Juli 2024

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [7]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [6]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [5]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.