Sabtu, 15 Juni 2024

POLITIK PRAKTIS [2]

Oleh: Hendy UP *) 

     Sungguh tidak terlalu ingat, sejak kapan pertama kali saya memahami kata politik praktis. Mungkin, rasa-rasanya ketika saat itu tak sengaja 'nimbrung-nguping'  diskusi para aktivis HMI di tahun 1975.  Ya, diskusi santai-rutin di ruang tamu, sebuah rumah kost-kostan para mahasiswa,  nun jauh di jalan Kebondalem IV,  Kaumanlama, Purwokerto. 
      Saat itu saya masih siswa SLTA, bertetangga kost dengan para mahasiswa IAIN dan UNSOED dari berbagai daerah dan pulau. Salah satu aktivis itu bernama Mas Noer, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, yang juga ketua HMI Cabang Purwokerto. Masih terngiang-ngiang, dalam diskusi-panjangnya mereka sering menyebut tokoh-tokoh HMI semisal: Nurcholis Madjid, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, Chumaidi Syarif, Abdullah Hehamahua dan tokoh-tokoh lainnya. 
      Menjadi semakin agak faham akan makna kata politik, ketika kemudian saya ikut nimbrung di komunitas Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Yogyakarta Besar.  Sungguh sebuah pengalaman baru, manakala bisa mengikuti 'Basic Training' (Batra) dan Diklat Jurnalistik-nya yang diselenggarakan di Balai Muslimin Kompleks Masjid Agung Purwokerto.
     Kala itu, salah seorang narasumber dari HMI Yogyakarta, dengan super-semangat menguraikan anatomi persoalan politik nasional dan hal-ikhwal politik praktis yang harus difahami oleh warga PII (dan HMI). Akumulasi makna kosa politik  yang berserakan kala itu, rupanya mampu menembus bagian dalam otak, lalu mengendap di penampungan "lobus temporal"  hingga membentuk persepsi khusus tentang politik praktis hingga saat ini. 
     Suasana politik di kalangan mahasiswa kala itu masih agak membara api, sebagai dampak dari Fusi Parpol 1973, peristiwa Malari 1974 dan  lahirnya UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedudukan  Golkar  dalam konstelasi politik nasional sangat kuat, dan kata 'oposisi' dalam perpolitikan Indonesia  sudah berlumuran tipp-ex dan mendekati haram jika diucapkan secara vulgar. 
     Ketika pesta Pemilu 2 Mei 1977, saya sempat 'diperingatkan' oleh aparat Koramil di kampung saya, agar tidak menyebarkan faham-faham anti-Golkar selama liburan menjelang Pemilu. Untunglah saya mendapat jaminan dari Kakek saya yang kala itu sebagai ASN di kantor Camat. 
      Afiliasi politik  warga PII (dan HMI) kala itu, secara mayoritas adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berfusi pada 5 Januari 1973. Partai baru ini merupakan hasil fusi dari 4 partai lama yaitu: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti). 
     Pada Pemilu 1977 itu, walaupun diintai dan dimata-matai oleh aparat Koramil, anak-anak muda perkotaan merasa bangga membawa kartu "KABAH" di sakunya. Dan atas dukungan mayoritas anak muda (pelajar dan mahasiswa) suara PPP pada Pemilu 1977 naik 2,17% dari Pemilu 1971 menjadi 29,29% (99 kursi), Golkar tetap unggul di angka 62,11% dan PDI menjadi juru kunci di angka 8,60%.
      Namun, seiring berjalannya waktu dan terjadinya gelombang reformasi, maka pada Pemilu 1999 (48 Parpol) dan hingga era post-reformasi  kini, ketertarikan anak muda dalam berpolitik praktis semakin terbuka lebar. Pilihan moralnya adalah, apakah hendak melibatkan diri dalam area: nasionalis, relijius, atau sekuleris? Atau penggabungan dari  ketiga karakter dasar itu. 
     Apapun pilihan kita, yang harus diingat adalah: bahwa permainan politik ini hanyalah sesaat. Esok lusa akan kita tinggalkan. Kemenangan dalam perhitungan suara  akan tak bermakna, dan siap-siaplah menghadapi metodologi perhitungan amal (hisab) mahakarya Gusti Allah yang tak mengenal margin-eror. Sekecil apapun. Allohu'alam bishshowab!! 
       
*) Muarabeliti SUMSEL, 3 Mei 2023

POLITIK PRAKTIS [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Politik menurut Ridwan Saidi (almarhum), pada dasarnya adalah bagaimana ikhtiar-ikhtiar  perumusan kehendak dilakukan, dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung (Tempo,  9 Mei 1987). 
     Tentu saja, pada saat itu Ridwan Saidi sedang berbicara tentang idealitas kinerja politisi yang sudah duduk di kursi parlemen dan sedang berjuang keras merealisasikan ide dan gagasannya dalam paket praktis-ideologis yang disebut program partai politik.  
     Untuk mewujudkan cita-cita para politisi yang berjiwa negarawan (bukan petugas parpol an-sich), diperlukan prasyarat keilmuan dasar tentang politik dan kaidah  terapannya. Misalnya, harus faham tentang konsep bernegara (yang berke-Tuhanan), bagaimana beramaliyah dalam melaksanakan kekuasaan yang diamanahkan, bagaimana adab dalam mengambil keputusan, dan bagaimana menyusun dan menerapkan publik-policy,  serta bagaimana pula memprioritaskan alokasi sumberdaya yang serba terbatas.
     Semakin tinggi level kedudukan para  politisi (DPR, DPD, DPRD),  seyogyanya semakin tinggi pula prasyarat  keilmuan dan wawasannya. Keilmuan dan wawasan, biasanya dikaitkan dengan  jenjang kesarjanaan yang diperoleh dari bangku sekolah. Walaupun, seringkali tidak selalu linier antara tingginya jenjang pendidikan (formal) dengan tingginya keilmuan dan luasnya wawasan; apatah lagi jika dihubungkan dengan adab dan perilaku politiknya. Itu setidaknya menurut  Bung Miriam Budiardjo (2008) seorang pakar ilmu politik yang khatam berbagai teori politik berikut  kebusukannya. 
      Lantas apa itu Politik Praktis? 
Menurut sohib saya yang jebolan FISIF-UGM tapi  tetap qona'ah sebagai "petani totok" di kebun ortunya: "Adalah aktivitas politik yang terkait langsung dengan lembaga politik yang legal-konstitusional". Tentu saja, tambah sohib saya: "amaliyah tersebut berkelindan dengan urusan penyelenggaraan negara dalam proses pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, baik di level pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di tingkat akar rumput di setiap jengkal tanah air kita".
     Agar tidak terjadi in-efisiensi sumberdaya, dibuatlah instrumen politik praktis yang disebut Daerah Pemilihan (Dapil). Tapi peta 'perdapilan' itu tidak harus menggugurkan idealisme dan tanggung jawab moral dalam berjihad di medan politik. Misalnya, jika terjadi aneksasi wilayah oleh negara asing di Pulau Talihe dan Pulau Bangka di utara Provinsi Sulawesi Utara, maka para politisi di parlemen dari Dapil manapun harus ikut bersuara dan berjuang mengenyahkan penjajah itu. 
      Menjadi politisi, masih kata sohib saya, sangat berpeluang menjadi orang mulia dengan jaminan sorga, tetapi sekaligus bisa sengsara dengan predikat kandidat penghuni neraka. Dan, jangan lupa, yang kelak panjang hisabnya di padang masyar, mungkin amaliyah politisi yang berkaitan dengan politik praktis. Seperti pertanyaan: apa motivasi awal antum   masuk politik praktis? Mengapa antum sebagai politisi yang beragama X, kok memilih partai Y dalam berjihad membela rakyat konstituennya?  Berapa habis biaya untuk melobi pengurus partai di berbagai level sehingga memperoleh selembar rekomendasi dari Ketum Partai antum? Dari mana uang antum peroleh? Dari mertua kaya atau oligarki hitam? 
      Sebelum sempat minum dan menyeka keringat di pelipis, disambung pertanyaan dari Malaikat lainnya: Dari mana uang yang antum peroleh untuk mengisi amplop serangan petang, dini hari dan utamanya di waktu fajar hingga syuruk? 
      Dan, sedemikian lamanya durasi hisab bagi para politisi kelak, maka seyogyanya LURUSKAN DULU NIAT ANTUM, UNTUK APA MENJADI POLITIKUS sebelum terjun ke kolam politik praktis!  Allohu'alam bishshowab! 

 *) Muarabeliti SUMSEL,  3 Mei 2023

Jumat, 14 Juni 2024

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [1]

Catatan: Hendy UP *)

A. Mukadimah
     Jika kita menggunakan 'search engine' dengan kueri Karangketuan, maka pertama-tama  yang akan muncul  adalah frasa Kelurahan Karangketuan, berikut peta wilayahnya.  Berarti hanya satu-satunya Kelurahan Karangketuan, Lubuklinggau di hamparan bumi Tuhan seluas ini.
     Dalam catatan sejarah, trukah (pembukaan) Dusun Karangketuan terjadi pada tahun 1956-an dan merupakan pemekaran dari Dusun Tanahperiuk Marga Proatinlima, Kec. Muarabeliti Kab. Musirawas. Pada tahun 2001, Dusun Karangketuan  berubah status menjadi Kelurahan Karangketuan Kecamatan Lubuklinggau Selatan, Kota Lubuklinggau. 
      Al-kisah, jika kita lacak agak  ke belakang, ternyata ada kait-kelindan antara aspek pembangunan infrastruktur ekonomi dan transportasi di wilayah Muarabeliti-Lubuklinggau,  dengan masuknya para perantau dari berbagai wilayah. Seperti pepatah, jika ada gula, maka datanglah semut. 
       Pasca~dibukanya Onderneming Tabapingin (1919) dan Kolonisasi Tugumulyo (1937-1940) serta diresmikannya jalur kereta api Muarasaling - Lubuklinggau (1 Juni 1933), maka Muarabeliti dan Lubuklinggau semakin dikenal oleh masyarakat Sumatera Selatan, tak terkecuali masyarakat dari Kabupaten Lahat. Kemajuan dan prospek kemakmuran kawasan Muarabeliti- Lubuklinggau semakin menggaung di mana-mana. Salah satu desa yang masyarakatnya sedang mencari peluang untuk mencoba penghidupan baru di daerah lain adalah masyarakat desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU). 
     Patut diduga, keputusan para tokoh Lubuktube untuk bermigrasi ke Karangketuan itu terinspirasi oleh tetangga desanya dari Gumay Ulu yang dianggap telah sukses bermigrasi dan membentuk Desa Siringagung  Marga Proatinlima beberapa tahun sebelumnya. 

B. Migrasi nan Visioner
     Untuk melacak jejak awal sejarah Kelurahan Karangketuan, saya menemui  tiga tokoh yang sekaligus pelaku sejarah keberadaan  desa Karangketuan. Saya mewawancarainya pada tanggal 5 dan 7 Agustus 2023,  dan diulang beberapa kali  kepada tokoh kunci untuk konfirmasi. Ketiga narasumber tersebut adalah: (1) Sdr. Djawaludin bin Genti (77 tahun), Bawaludin (60 th) dan Deroh (82 th). Ketiganya adalah mantan Kades dan/atau Lurah Karangketuan. 
     Dikisahkan oleh Sdr. Djawaludin, bahwa pada akhir tahun 1956, datanglah ke kampung Airketuan (kini Karangketuan), rombongan imigran lokal dari Dusun Lubuktube, Marga PSEKSU, Kecamatan  Lahat. Rombongan imigran  tahap pertama ini  terdiri dari 18 KK (secara bertahap) berikut anak-istrinya. Mula-mula berangkat 5 KK sebagai pioner, lalu disusul yang lain hingga berjumlah 18 KK hingga akhir tahun 1956. 
    Menurutnya, perjuangan para orangtua berpindah ke Karangketuan sangatlah gigih,  penuh harapan dan sekaligus melelahkan.  Kala itu, berangkat dari dusun Lubuktube menggunakan rakit bambu, berhanyut di sungai Kikim menuju Desa Bungamas. Kemudian dengan menyewa kendaraan truk mengangkut  seluruh properti rumah tangga dan alat-alat pertanian menuju Karangketuan. Ke-18 KK ini secara bergantian menyewa mobil truk dalam bulan yang sama berpindah ke Karangketuan yang saat itu disebut  Airketuan. 
     Sebelum keberangkatan rombongan, terlebih dahulu  dilakukan survei awal oleh tiga tokoh, yakni Saudara Kisum, Uni dan Sumbat. 
      Ke-18 KK  tersebut adalah: (1) Kisum, (2) Uni, (3) Sumbat, (4) Amal, (5) Ba'al, (6) Maradin, (7) Djamil, (8) Toni, (9) Sum, (10) Unip, (11) Satip, (12) Barun, (13) Juni, (14) Giwas, (15) Djohim, (16) Genti, (17) Hamidun, dan (18) Muhamad. 
      Pada saat wawancara berlangsung,   ke-18 KK  yang merupakan pioner  penghuni Desa Karangketuan tersebut ternyata telah wafat semua. Allohumaghfirlahum warhamhum wa afihi wa'fu anhum. Semoga kegigihannya dalam memperjuangkan keberlangsungan hidup generasi dzuriyatnya, mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. [Bersambung... ]
     
*) Muarabeliti SUMSEL, 7 Agustus 2023
    Resunting 6 Mei 2024

DOA & DUKA UNTUK PROF. SALIM

Catatan : Hendy UP *) 

     Ahad pagi ba'da ritual Subuh dan ikutannya, aku dikejutkan oleh sebaris berita duka di sebuah portal berita. Aroma asap secangkir kopi di meja baca, seakan menghadirkan kembali "quotes bijak" dari catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pakar Politik, Tentara dan sekali gus pemerhati film Nusantara. 
     Yaa, beliau adalah Prof. Salim Said, PhD, yang wafat di Jakarta, pada Sabtu petang, 18 Mei 2024. Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu wawassi'u mudkholahu. Semoga dilapangkan kuburnya dan dirahmati arwahnya, serta dikuat-sabarkan keluarga yang ditinggalkan. 
     Aku mulai mengenal nama Salim Said sekitar tahun 1980-an, ketika beliau setiap pekan muncul di Majalah Tempo sebagai penjaga rubrik  seni dan film. Majalah itu pernah menghilang menjelang Pemilu 1982. Kabarnya dibredel oleh pemerintah. Lalu terbit lagi, tetap tajam dan lebih kritis, untuk kemudian dibredel lagi oleh Menteri Harmoko pada 21 Juni 1994, dan terbit lagi pada 6 Oktober 1998 di tengah euforia reformasi. 
       Namanya semakin kesohor dan dijadikan rujukan penguasa sipil pasca-reformasi 1998,  seiring dengan keterbukaan pers dalam bingkai "demokrasi liberal" yang kebablasan arah. Salah satu pernyataan yang mengejutkan kala itu adalah bahwa "kondisi masyarakat Indonesia hingga era reformasi masih bersifat 'fragmented society', yakni absennya kepercayaan (trust) di antara elemen-elemen masyarakat kita".
      Beliau lahir pada 10 November 1943 di dusun Amparita, eks wilayah Afdeeling Pare-pare Sulsel, yang kini menjadi bagian Kabupaten Sidenreng Rappang. Istrinya yang bernama  Herawaty, adalah orang dari Muaradua Kisam, Kab. OKU Selatan, Sum-Sel. 
       Sekadar mengingat jejaknya, Salim kecil bersekolah SR dan SMP di Pare-pare, lalu melanjutkan SMA di Solo. Kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional (1946-1965), Fak. Psikologi UI (1966-1967), dan Fak. Sospol UI (tamat 1977). Gelar PhD-nya diperoleh dari Ohio State University (1985) dengan judul "Sejarah dan Politik Tentara Indonesia".
        Dalam sebuah podcast Helmi Yahya (2023), beliau mengkalim bahwa hingga pecahnya reformasi 1998, beliaulah satu-satunya orang Indonesia yang fokus mengkaji perilaku Tentara dan Pemerintah sejak terbentuknya TNI. Karya-karya bukunya di bidang politik dan militer laris-manis di lapak-lapak market place dan  toko buku. 
        Kebetulan, pada era pandemi Covid-19, saya mengoleksi dua bukunya yang fenomenal untuk melengkapi bacaan di bidang tentara dan rezim militer.  Karya bukunya yang fenomenal dan langka tersebut adalah "Militer Indonesia dan Politik; Dulu, Kini dan Kelak" (378 hal), yang merupakan elaborasi dan penyempurnaan disertasinya. Lalu buku itu terus disempurnakan dengan buku barunya "Ini Bukan Kudeta" (159 hal). 
     Ternyata buku itulah karya terakhir  Prof. Salim, jika proyek buku "Tafsir Sosial Islam" tak sempat diselesaikan oleh Tim-nya. Semoga Prof. Salim damai-nikmat di alam barzahnya! Aamiin  yaa Robbal'alaamiin. 


*) Muarabeliti SUMSEL, 20 Mei 2024

Jumat, 11 November 2022

JEJAK PESIRAH & MARGA DI SUMBAGSEL [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Generasi milenial Sumatera Selatan kini, niscaya mengenal kata 'pesirah' sebagai produk jasa Bank Sumsel-Babel dalam bentuk tabungan. Padahal, kata 'pesirah'  itu sejatinya diadopsi dari bahasa asli daerah Sumbagsel yang bermakna pejabat kepala Marga sekaligus ketua adat di wilayah Marga tersebut. 
     Kata 'marga' sendiri dalam KBBI memiliki banyak makna. Dalam artikel ini, kata  marga dimaknai sebagai sistem pemerintahan otonom   di tingkat pedusunan yang awalnya diikat secara genealogis (kekerabatan) dan/atau teritorial (wilayah geografis) dengan menjunjung tinggi norma adat (berbasis syariat agama Islam) serta melestarikan  tutur bahasa lokal (sukubangsa) yang berasaskan Undang- undang Simbur Cahaya. 
     Namun demikian, pasca-intervensi Kolonial Belanda, pemahaman tentang sistem pemerintahan Marga mengalami pergeseran, sehingga seolah-olah Marga itu hanya  sebuah entitas administratif pemerintahan an sich di tingkat Onderdistrik di bawah pengawasan pejabat Belanda terendah  yakni Controleur. 
      Kapan sistem Pemerintahan Marga dimulai? 
Belum diketemukan secara pasti kapan sistem pemerintahan Marga dimulai. Arlan Ismail (2004) dalam bukunya "Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan, Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan", tidak menuliskan secara pasti kapan sistem Marga mulai terbentuk. 
      Ada sementara dugaan, bahwa sistem Pemerintahan Marga dalam bentuknya yang sederhana telah ada  jauh sebelum era Kesultanan Palembang (1629-1825), terutama di wilayah Uluan Palembang. Setelah era Kesultanan Palembang, lembaga pemerintahan adat  asli  tersebut dipayungi dan berlandaskan UU Simbur Cahaya. 
      Namun demikian, kodifikasi hukum adat Simbur Cahaya mulai dilaksanakan oleh Kol. De Brauw pada 1854 atas perintah Residen Palembang Van Den Bosche. 
     Pada tahun 1865 mulai dilakukan pencetakan kodifikasi UU Simbur Cahaya dengan aksara Arab-Melayu (Arab pegon),  terdiri dari 5 bab dengan 178 pasal,  dengan rincian sebagai berikut: 
[1] Bab I, terdiri 32 pasal, tentang Adat  Bujang-Gadis dan Kawin (Verloving Huwelijh, Echtscheiding); 
[2] Bab II, terdiri 29 pasal, tentang  Aturan  Marga (Marga Verordeningen);
[3]  Bab III, terdiri 34 pasal, tentang Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbouw Verordeningen); 
[4] Bab IV, terdiri 19 pasal, tentang  Aturan  Kaum (Gaestelijke Verordeningen);
[5] Bab V, terdiri 64 pasal, tentang Adat  Perhukuman (Strafwetten).
    Seiring dengan dinamika kepentingan penguasa Kesultanan Palembang dan intervensi Kolonial Belanda dari era VOC hingga  Pemerintah Hindia Belanda, UU Simbur Cahaya mengalami beberapa kali revisi. Perubahan terakhir adalah atas putusan dan permusyawaratan utusan para Kepala Anak Negeri di Palembang pada tanggal 2 ~ 6 September 1927. 
     Menurut K. Wantjik Saleh, S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang mengantarkan  edisi baru per 5 Februari 1970 (terbitan Badan Penerbit Suara Rakjat, dicetak NV Meru Palembang), bahwa UU Simbur Cahaya adalah merupakan "Hukum Adat Tertulis" karya Sinuhun Sesuhunan Palembang bersama para menteri dan alim ulama di tahun 1630-an. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, Hari Pahlawan 2022



Kamis, 20 Oktober 2022

PARA CAMAT MUARABELITI (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Sebutan jabatan "camat" secara yuridis-konstitusional, baru dikenal sejak diundangkannya  PP No. 50 Tahun 1963 tentang Pernyataan Mulai Berlakunya Penyerahan Pemerintahan Umum Kepada Daerah  sebagaimana diamanatkan oleh  UU No. 6 Tahun 1959.    Di dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain disebutkan bahwa Asisten Wedana disetarakan dengan jabatan Camat. Di era Kolonial Belanda, jabatan Wedana adalah Kepala Distrik, dan Asisten Wedana setara dengan Kepala Onderdistrik. 
     Dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, struktur-hierarkis jabatan Camat dalam susunan organisasi Pemda Tk II semakin jelas dan kuat. UU tersebut berpasangan dengan UU No. 19 Tahun 1965 yang sama-sama ditandatangani  pada 1 September 1965. UU ini berjudul "Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tk. III di Seluruh Wilayah RI". Namun sayang, kedua UU yang disahkan pada 1 September 1965 tersebut belum sempat dilaksanakan karena terjadi tragedi G-30S/PKI.
     Kedua UU tersebut merupakan amanat atas Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang merespon gejolak di beberapa daerah yang tidak puas dengan rumusan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 1 Tahun 1957) yang dianggap terlalu sentralistik dan belum memberikan otonomi secara penuh kepada daerah swatantra (daerah otonomi). 
     Sekadar kilas-balik, sejak proklamasi RI, UU yang secara substansial  mengatur otonomi daerah adalah UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 November  1945 tentang Komite Nasional Daerah, terdiri atas 6 pasal dan bersifat darurat untuk merespon gejolak di daerah agar mendukung NKRI. Tiga tahun kemudian terbit UU No. 22 Tahun 1948, dan khusus untuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) diundangkan UU No. 44 Tahun 1950 yang secara substansial nyaris tidak berbeda. Kedua UU tersebut, kala itu sudah sangat desentralistik (otonomi) dalam bentuk "swapraja" dan "swatantra". Hal inilah yang dikhawatirkan oleh beberapa pejabat pusat berpotensi akan terjadinya gejolak perpecahan di daerah. Oleh karena itu, diterbitkanlah UU Pemda yang kembali "sentralistik" yakni UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 
     Jika kita telaah secara tekstual, di dalam UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 2 ayat (1)  disebutkan bahwa: "Wilayah NKRI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sbb: (a) Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tk I; (b) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Dati II; (c) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Dati III".
     Artinya, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga tahun 1965, sebutan jabatan "camat" belum secara legal-formal diterapkan dalam sistem kepemerintahan daerah. Namun demikian, pada tahun 1955, Prof. Mr. Soenarko dalam bukunya "Susunan Negara Kita Jilid IV" sudah menyebutkan: "... swatantra tingkat ketiga yang terendah dapat berwujud sebagai kota kecil, mungkin kecamatan, himpunan  beberapa desa, suatu marga, dsb".
     Semenjak terbentuknya Provinsi Sumatera Selatan pada 15 Agustus 1950 (PP No. 21 Tahun 1950) hingga tahun 1965, kedudukan Pasirah/Kepala Marga selaku kepala adat masih sangat dominan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa sektor pemerintahan khususnya pelaksanaan bidang hukum pidana/perdata di wilayah marga, lebih berperan Pasirah ketimbang pejabat Wedana dan Asisten Wedana/Camat. Oleh karena itu , pasca-diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah pun jabatan Pasirah lebih populer ketimbang Camat atau Asisten Wedana. [Bersambung]


*) Muarabeliti, 17 Oktober 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (2)

Oleh: Hendy UP  *) 

     Pada awalnya, lembaga ini bernama Dewan Rekonstruksi Nasional (1951-1952), kebijakannya bersifat sentralistik, berada di bawah Perdana Menteri dengan melibatkan 8 kementerian. Maklumlah pada saat itu sistem ketatanegaraan kita menganut asas demokrasi  parlementer (1949-1959). 
     Terbentuknya DRN ini merupakan pengejawantahan dari tugas-tugas Biro Demobilisasi Nasional (PP No. 15 Th 1950) yang berhasrat ingin segera mengembalikan para eks pejuang kemerdekaan ke tengah-tengah masyarakat pasca-Agresi Militer Belanda ke-1 dan ke-2. Namun upaya ini dianggap gagal karena terlalu banyak yang mengatur (8 kementerian) dan tidak melibatkan kepala daerah yang berada di lokasi penampungan para eks pejuang BRN. 
     Dengan terbentuknya BRN yang hanya berada di bawah Mendagri dan difungsikannya Cabang/Anak Cabang BRN di kabupaten yang dikepalai oleh bupati, maka koordinasi di lapangan lebih solid dan penyediaan lahan untuk anggota BRN mulai menemui titik terang. 
     Pasca-terbitnya PP No. 16 Th 1954, Bupati selaku Ketua Anak Cabang BRN Musirawas telah menyiapkan calon lokasi BRN di Eks Erpacht Airtemam. Namun masih terkendala oleh status kepemilikan lahan (masih milik perusahan asing). Baru pada tahun 1958 kelak, dengan terbitnya UU No. 86 Th 1958 tentang Nasionalisasi Perusahan Belanda, maka kejelasan status calon lokasi BRN mulai terang benderang. 
     Maka mulailah dipetakan calon lahan BRN seluas lk 450 hektar. Yakni, jika dari arah Lubuklinggau menuju Muarabeliti, maka mulai dari Jln. Simpang Airtemam (sebelah kanan) masuk ke dalam, menyeberangi jembatan Mesat (SMPN No. 9) terus ke SD Negeri Airtemam, terus lagi menyeberangi sungai Temam hingga ke Blok 20.
     Kemudian, mulai dari jalan Simpang Temam ke arah  hilir sepanjang Jalinteng Sumatera hingga sekitar SDN No. 63 Lubukkupang, adalah lokasi BRN. Adapun lahan di sebelah kiri jalan raya adalah berstatus tanah marga yang kini menjadi perkampungan dan beberapa bangunan lain, seperti SPBU Lubukkupang, Kompleks Pendidikan Yadika, Perumahan Citra Regency dan RM Singgalang. Adapun lokasi Hotel Dafam adalah eks lokasi  BRN yang telah dijual oleh pemiliknya. 
      Ketika mBah Suwarto ditanya tentang keberadaan para pejuang BRN  kini, dengan nada sedih mBah Warto mengisahkan bahwa hanya tinggal dirinya yang masih  hidup. Adapun para anggota BRN yang masih mampu diingat mBah Warto adalah: (1) Hardjo Bandowi selaku koordinator, (2) Supardi (sebagai Lurah BRN), (3) Soewarto pengurus BRN, (4) Soehoed, (5) Mar'an, (6) Surono, kelak menjadi guru SD, (7) Parmanto, (8) Budi Santoso, (9) Soemitro, (10) M. Kadam, (11) Abukori, (12) Sukardjo, (13) Sumardi, (14) Sumardjo, (15) Sampan Haryanto, (16) Sukastin, (17) Sutiono, (18) Kosim, (19) Slamet Banyumas, (20) Suharto, (21) Sutisno, (22) Tengoredjo, (23) Suratno, (24) M. Banu, dan  (25) Markum. Sedangkan nama-nama pejuang sisanya perlu kesabaran kita untuk mengingatnya kembali! [Tamat]

*) Muarabeliti,  9 September 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (1)

Oleh: Hendy UP  *)
     
      Bagi generasi milenial kini, istilah BRN niscaya sangatlah asing. BRN adalah singkatan dari Biro Rekonstruksi Nasional, sebuah lembaga resmi Pemerintah yang dibentuk pada tahun 1951. Awalnya bernama Dewan Rekonstruksi Nasional, tapi kemudian direvisi  menjadi BRN (vide PP  Thn 1951 No. 12,  jo PP Thn 1954 No. 16).
     Tugas lembaga ini adalah menyelenggarakan  pembinaan dan/atau penampungan eks pejuang kemerdekaan RI (sociale instelling) khususnya dari Jawa yang tidak teregister ke dalam lembaga organik TNI. Bentuk penampungannya melalui program transmigrasi khusus ke pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka adalah eks para anggota: (1) Badan Keamanan Rakyat (BKR), (2) Heiho, (3) Peta, (4)  Koninklijke Nederlands Indische Leger  (KNIL), (5) Laskar Hisbullah, dan laskar-laskar lainnya. 
     Di Sumatera yang ada hanya di Sumbagsel, yakni di Musirawas dan Lampung Barat. Di Musirawas berada di area eks Erpacht Perkebunan Airtemam. Sedangkan di Lampung Barat berada di Desa Sukapura Kec. Sumberjaya yang konon hingga kini masih memperjuangkan hak sertifikat tanahnya.
     Pada tahun 1954 hingga tahun 2001, Kampung Airtemam  ini termasuk ke dalam wilayah Dusun Loeboekkupang Kecamatan Muarabeliti.  Namun sejak terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), Airtemam berstatus sebagai kelurahan dalam wilayah Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. 
     Al-kisah, pada awal Agustus 1953, mBah Suwarto yang berasal dari kota Semarang diberangkatkan ke Sumatera bersama 124 orang veteran perang lainnya. Pada saat itu pemuda Suwarto baru berusia 27 tahun dan lajang. Ke-125 eks pejuang itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
      Saat ini, satu-satunya eks pejuang BRN yang masih hidup adalah Mbah Suwarto yang telah berusia 98 tahun, lebih tua dua tahun dari Ratu Elizabeth II yang baru saja wafat pada Jumat, 9 September 2022.
     "Mula-mula kami ditempatkan di barak penampungan di Metro Lampung. Pada hari 17 Agustus 1953, kami mengikuti upacara HUT RI ke-8 di Metro. Kami  diberi pelatihan tentang pertanian selama 3 bulan", cerita mBah Warto yang kini berusia 98 tahun, dengan 8 anak plus 24 cucu dan 21 cicit. Kendati keriput kulitnya tampak mengerut, dan gigi-giginya sudah mulai tanggal, namun semangat juangnya masih berbinar-binar demi mengingat masa lalunya. Daya ingatnya sungguh sangat menakjubkan! 
     "Sesampainya di Lubuklinggau pada sekitar  awal Januari 1954, kami ditampung di barak penampungan selama 3 bulan, yakni di depan Eks Gedung DPRD Musirawas di Tabapingin. Rupanya sedang dipersiapkan calon lokasi permukiman permanen untuk kami di Dusun Lubukkupang", tutur mBah Warto. 
     "Kami sebanyak 125 orang BRN memperoleh lahan seluas 450 hektar, tapi rumahnya bikin sendiri. Lokasinya adalah eks tanah Erpacht Perkebunan Karet Airtemam. Setiap KK memperoleh lahan sekitar 3,6 ha. Batas lokasi BRN adalah sebelah selatan jalan Raya Trans Sumatera. Mulai dari sekitar SDN No. 63 hingga ke jalan Simpang Airtemam. Terus masuk ke Temam Dalam  hingga ke Blok 20 di seberang sungai Temam", cerita Mbah Warto yang kini menggunakan tongkat untuk berjalan. 
     "Ketika Bung Karno meresmikan Jayaloka di Hutan Kungku pada hari Rabu, 11 April 1956, kami semua hadir pada upacara penyambutannya di Simpang Lubukbesar. Bupati Moesi Rawas pada waktu itu adalah Moch. Arief", sambung Mbah Warto. 
[Bersambung.... ]

*) Muarabeliti, 9 September 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (3)

Oleh: Hendy UP *) 

     Tabapingin, pada dekade awal abad ke-19 adalah sebuah dusun tua. Mungkin terbentuk sekitar tahun 1600-an, atau jauh sebelum itu. Sekirab dengan dusun-dusun tua lainya dalam Marga Proatinlima, yaitu: Muarabeliti, Pedang, Tanahperiuk,  dan Kayuara. Bayangkan, di kala itu dusun Kayuara masih masuk wilayah Marga Proatinlima, artinya belum terbentuk Marga Sindang Kelingi Ilir. 
     Pada tahun 1906, wilayah Dusun Tabapingin masih sangat luas. Di selatan berbatas dengan sungai Temam/Desa Jukung dan di utara berbatasan dengan sungai Megang. Kelurahan Rahmah kini (dulu Tabarejo) adalah areal Dusun Tabapingin.  
     Sedangkan Onderneming Tabapingin, yang pada tahun 1922 masih mencakup perkebunan karet Nv Airtemam, berada di dua wilayah marga yakni Marga Proatin Lima  (Tabapingin dan Tanahperiuk). Sedangkan di wilayah Marga Tiang Pungpung Kepungut mencakup Dusun Muarakati, Jukung dan Airkati.
      Izin pendirian Onderneming Tabapingin pada era Gubernur General (GG) AWF Idenburg (1909-1916), namun baru dilaksanakan  pada era GG JP Graaf Limburg Stirum (1916-1921). Ijin Onderneming Tabapingin adalah hak erfpacht  dengan masa sewa 75 tahun; bukan hak Opstal atau hak Eigendom. 
      Menurut M. Tauchid  dalam bukunya "Masalah Agraria" (1952; hal 41), istilah Erfpach berasal dari kata "erfelijk" (turun- temurun) dan "pacht" berarti persewaan. Jadi hak erfpacht adalah hak sewa atas tanah dengan kewajiban membayar sewa tiap-tiap tahun. 
      Dengan aturan Burgerlijk Wetboek Pasal 720 dan UU Erfpacht (Stbl. 1904 No. 304 juncto Stbl. 1912 No. 349), maka Gubernur General Kolonial di Batavia berhak menyewakan tanah kepada partikelir atau badan hukum.
      Di dalam dokumen "Memorie van Overgave" (dokumen serah terima aset), awal pemilik Onderneming Tabapingin adalah perusahan "Nederlandsch Indie Land Syndicaat" (NILS) dengan luasan 4.500 bouws (3.150 ha) pada tahun 1918.  Mulai membuka lahan untuk  sawit pada tahun 1919 dan untuk karet pada tahun 1922.
     Masa tanam sawit adalah mulai tahun 1920 hingga 1922 dengan total luas 573 hektar (59.399 batang). Sedangkan pembangunan pabrik minyak sawit dimulai pada tahun 1926 dan selesai pada September 1927 dengan total dana sebesar  f. 150.000. Mahalnya pabrik ini dikarenakan sulitnya mobilisasi alat karena belum ada jalan rel kerera api. 
     Sedangkan penanaman karetnya dimulai tahun 1922 dengan  luas 4.200 bouws (2.940 ha). Pada tahun 1926, perkebunan karet Onderneming Tabapingin dikelola oleh Siantar Cultuur Maatschappy yang berpusat di Amsterdam. Menurut penuturan Sofian Zurkasi  (85 tahun) yang diwawancarai pada Maret 2022, bahwa sebelum dibangun rel khusus (lori) untuk mengangkut Crude Palm Oil (CPO) dari Tabapingin (lokasinya kini di Kel. Rahma) ke Airkati, pengangkutan hasil kebun sawit Tabapingin dan karet Airtemam adalah melalui pelabuhan sungai Musi di Muarakelingi. 
      Namun setelah tahun 1933 dibangun rel KA Kertapati ~ Lubuklinggau, maka pengangkutan hasil kebun adalah melalui jalur kerera api ke Palembang. 
     Hingga tahun 1939, di Hindia Belanda tercatat sebanyak 66 perusahaan perkebunan besar dengan luas areal  sekitar 100.000 hektar. Beberapa maskapai yang terkenal adalah: HVA, RCMA, Socfin, Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan S. Liput Cultuur Mij. 
     Di era Jepang, Onderneming Tabapingin mulai direncanakan diganti tanaman pangan dan pabrik sawit dihentikan. Pada tahun 1947 ke bun milik Belanda dan orang asing dikembalikan ke pemiliknya, namun Onderneming Tabapingin rusak total, seperti di Oud Wassenar, Ophir Sumbar dan Karanginou Aceh. 
     Karena kerusakan kebun yang sangat parah, maka Onderneming Tabapingin diterlantarkan sebagai eks tanah erfpacht hingga dikuasai negara RI dan  dibagi-bagian kepada masyarakat serta lembaga pemerintah. [Tamat]
 
*) Muarabeliti, 21Juni 2022
    

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (2)

Oleh: Hendy UP *) 

       Bagi pembaca di luar wilayah "Negeri Silampari Bari" (Musirawas, Lubuklinggau, Muratara), khususnya luar Sumatera Selatan, barangpasti perlu dipahamkam tentang apa ituTabapingin. Dahulu, setidaknya hingga tahun 1980, Tabapingin  adalah nama sebuah dusun dalam wilayah Marga Proatin Lima Kecamatan Muarabeliti, Kabupaten Musi Rawas. Kala itu, batas wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Lubuklinggau adalah jalan Kelabat Talangjawa ~ Lubuklinggau.
     Namun, semenjak Jumat 30 Oktober 1981 dengan terbitnya PP No. 38, DusunTabapingin menjadi bagian wilayah Kota Administratif Lubuklinggau, sebelum terbentuknya Kota Lubuklinggau sebagai daerah otonom pada 21 Juni 2001. 
     Pada era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Tabapingin naik status menjadi pusat pemerintahan (centrale overheid) Kabupaten Dati II Musirawas. Namun pada tahun 2004, secara  de jure pusat pemerintahan Kab. Musirawas dipindahkan ke Muarabeliti, walaupun secara de facto baru pindah pada tahun 2019. ***
      Keberadaan Onderneming (perkebunan) Tabapingin dalam peta ekonomi dunia pada abad ke-19, dapat dilacak pada era Kolonial Belanda khususnya pasca-bangkrutnya VOC pada 31 Desember 1799. 
      Dalam catatan Yudi Latif (2011) yang mengutip para tokoh "politik etik" semisal Peter Brooschooft wartawan koran "De Locomotief" dan Theodore van Deventer (partai Liberal Demokratik Belanda),  kita mendapat catatan bahwa antara tahun 1800-1840 pemerintah Belanda menghadapi berbagai persoalan pelik.
       Yakni perang dengan Prancis dan Inggris, menghadapi separatis di Provinsi Belgia (merdeka tahun 1830), perang dengan para mujahid di Nusantara (Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Palembang, dll). Hal ini diperparah oleh sisa hutang VOC hingga 40-an juta gulden serta tekanan Partai Liberal Demokratik di dalam internal pemerintahan. 
     Pasca-perjanjian London (17 Maret 1824) yang menyepakati pembagian wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda, maka Pulau Jawa, Sumatera, Maluku dan Irian Barat dikuasai Belanda. Demi memulihkan kas negara, maka ditunjuklah Gubernur Jenderal (GG) Johannes Graaf van Den Bosch (1830-1833),  GG Baud (1833-1836), GG De Eerens (1836-1840), GG Graaf van Hogendorp (1840-1841) dst untuk melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sangat menyengsarakan rakyat Nusantara. 
      Karena Cultuurstelsel dikritik habis-habisan oleh opisisi (Partai Liberal Demokratik),  maka pada 9 April 1870 Belanda mengubah kebijakan dengan menerbitkan UU Agraria (Agrarische Wet). UU ini sangat diskriminatif dan dualistik, di satu sisi mengatur hak tanah rakyat Nusantara dengan hukum adat, sementara bagi pemodal asing berlaku hukum perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek) dengan HGU 75 tahun. 
     Demi menarik investasi besar-besaran di bidang perkebunan pasca-revolusi industri di Eropa, maka dibuat aturan pertanahan yang aneh-aneh. Yakni ada tanah hak partikelir (overheidsrechten), tanah hak benda (zakelijke rechten) dan tanah perseorangan (persoonlijke rechten). Jenis hak benda dirinci lagi menjadi: hak eigendom (masa selama-lamanya), hak opstal dengan masa kepemilikan 30-75 tahun, dan hak erfpach (75 tahun). 
       Onderneming Tabapingin (dan Airtemam) adalah jenis  tanah erfpach dengan HGU 75 tahun. Karena posisi Tabapingin dalam peta ekonomi Sumatera sangat jauh di hulu sungai Moesi dan terisolir (belum ada jalur kareta api), maka bagi investor Eropa relatif kurang menarik. Baru pada tahun 1919, perusahaan Land Syndicaat Hindia Belanda membuka areal onderneming seluas 4.500 bouws (3.150 hektar). 
       Penanaman dimulai pada tahun 1920 hingga 1922  dengan total luas 880 bouws (616 ha) sekitar 59.399 batang. Namun pada tahun 1922,  pihak manajemen membuka lagi perkebunan karet Aertemam. Pada tahun 1926-1927, perusahan membangun pabrik CPO (crude palm oil) dengan biaya f. 150.000  karena  mahalnya biaya angkut. Adapun total karyawannya: 4 orang administratur  bangsa Eropa, kuli kontrak 202 orang dan kuli bebas 25 orang. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, 5 Juni 2022