Oleh: Hendy UP *)
Sungguh tidak terlalu ingat, sejak kapan pertama kali saya memahami kata politik praktis. Mungkin, rasa-rasanya ketika saat itu tak sengaja 'nimbrung-nguping' diskusi para aktivis HMI di tahun 1975. Ya, diskusi santai-rutin di ruang tamu, sebuah rumah kost-kostan para mahasiswa, nun jauh di jalan Kebondalem IV, Kaumanlama, Purwokerto.
Saat itu saya masih siswa SLTA, bertetangga kost dengan para mahasiswa IAIN dan UNSOED dari berbagai daerah dan pulau. Salah satu aktivis itu bernama Mas Noer, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, yang juga ketua HMI Cabang Purwokerto. Masih terngiang-ngiang, dalam diskusi-panjangnya mereka sering menyebut tokoh-tokoh HMI semisal: Nurcholis Madjid, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, Chumaidi Syarif, Abdullah Hehamahua dan tokoh-tokoh lainnya.
Menjadi semakin agak faham akan makna kata politik, ketika kemudian saya ikut nimbrung di komunitas Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Yogyakarta Besar. Sungguh sebuah pengalaman baru, manakala bisa mengikuti 'Basic Training' (Batra) dan Diklat Jurnalistik-nya yang diselenggarakan di Balai Muslimin Kompleks Masjid Agung Purwokerto.
Kala itu, salah seorang narasumber dari HMI Yogyakarta, dengan super-semangat menguraikan anatomi persoalan politik nasional dan hal-ikhwal politik praktis yang harus difahami oleh warga PII (dan HMI). Akumulasi makna kosa politik yang berserakan kala itu, rupanya mampu menembus bagian dalam otak, lalu mengendap di penampungan "lobus temporal" hingga membentuk persepsi khusus tentang politik praktis hingga saat ini.
Suasana politik di kalangan mahasiswa kala itu masih agak membara api, sebagai dampak dari Fusi Parpol 1973, peristiwa Malari 1974 dan lahirnya UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedudukan Golkar dalam konstelasi politik nasional sangat kuat, dan kata 'oposisi' dalam perpolitikan Indonesia sudah berlumuran tipp-ex dan mendekati haram jika diucapkan secara vulgar.
Ketika pesta Pemilu 2 Mei 1977, saya sempat 'diperingatkan' oleh aparat Koramil di kampung saya, agar tidak menyebarkan faham-faham anti-Golkar selama liburan menjelang Pemilu. Untunglah saya mendapat jaminan dari Kakek saya yang kala itu sebagai ASN di kantor Camat.
Afiliasi politik warga PII (dan HMI) kala itu, secara mayoritas adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berfusi pada 5 Januari 1973. Partai baru ini merupakan hasil fusi dari 4 partai lama yaitu: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Pada Pemilu 1977 itu, walaupun diintai dan dimata-matai oleh aparat Koramil, anak-anak muda perkotaan merasa bangga membawa kartu "KABAH" di sakunya. Dan atas dukungan mayoritas anak muda (pelajar dan mahasiswa) suara PPP pada Pemilu 1977 naik 2,17% dari Pemilu 1971 menjadi 29,29% (99 kursi), Golkar tetap unggul di angka 62,11% dan PDI menjadi juru kunci di angka 8,60%.
Namun, seiring berjalannya waktu dan terjadinya gelombang reformasi, maka pada Pemilu 1999 (48 Parpol) dan hingga era post-reformasi kini, ketertarikan anak muda dalam berpolitik praktis semakin terbuka lebar. Pilihan moralnya adalah, apakah hendak melibatkan diri dalam area: nasionalis, relijius, atau sekuleris? Atau penggabungan dari ketiga karakter dasar itu.
Apapun pilihan kita, yang harus diingat adalah: bahwa permainan politik ini hanyalah sesaat. Esok lusa akan kita tinggalkan. Kemenangan dalam perhitungan suara akan tak bermakna, dan siap-siaplah menghadapi metodologi perhitungan amal (hisab) mahakarya Gusti Allah yang tak mengenal margin-eror. Sekecil apapun. Allohu'alam bishshowab!!
*) Muarabeliti SUMSEL, 3 Mei 2023