Jumat, 01 Januari 2021

SEJARAH EKAMARGA LUBUKLINGGAU

SEJARAH EKAMARGA KOTA LUBUKLINGGAU

Oleh: Hendy UP *)

    Kelurahan Ekamarga Kota Lubuklinggau, dahulu kala bernama Airketuan I dan merupakan bagian dari Desa Tanahperiuk, Marga Proatin V Kecamatan Muarabeliti, Kab. Moesi Oeloe Rawas.

   Disebut Airketuan I, karena merupakan kampung yang berada di hulu/pangkal sungai Ketuan. Hulu sungai Ketuan dahulu berada di rawa-rawa (kini persawahan) di seberang saluran irigasi primer, di belakang Masjid Ekamarga sekarang.

   Sungai kecil itu meliuk-liuk melintasi Dam Payung Sohe (Ketuan II/ Karangketuan), Kampung Ketuan III, Ketuan IV terus melintasi Desa V. Surodadi dan Bumiagung; yang kini menjadi batas alam wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Tugumulyo.

  Alkisah, menurut penuturan Muslimin bin Mad Salim (77 th) mantan Ginde/Kades Ekamarga (1975-1984) dan Misyarto (65 th), awal mula Kampung Airketuan I dibuka (trukah), diperkirakan beriringan sesudah pembukaan Kolonisasi Toegoemuljo (1937-1940).

   Namun catatan yang bisa dilacak adalah ketika mulai dijadikan status "kampung" dipimpin Punggawa Slamet tahun 1958 di bawah wilayah Dusun Tanahperiuk, Marga Proatin V dengan Pesirah H. Oemar Hasan. Almarhum Slamet adalah Punggawa pertama (1958 ~1965) dengan jumlah penduduk sekitar 20-an KK. Hampir semua penduduk Ketuan I awalnya adalah penggarap sawah milik H. Abdoesomad Mantap. Dan Punggawa Slamet merupakan 'anakbuah' kepercayaannya yang dipindahkan dari Talangpuyuh. Dan kelak, H. Abdoesomad Mantap menjabat Bupati Mura periode November 1966 ~ 12 Agustus 1967.

   Pada tahun 1965 hingga 1968 jabatan Punggawa dipegang oleh Muhammad yg juga anak kandung Punggawa Slamet. Lalu tahun 1968 hingga 1975 dijabat oleh Punggawa Tamroni. Baru tahun 1975, status Kampung Airketuan I berubah menjadi Desa Ekamarga (berbarengan dengan Desa Margamulya) terlepas dari Desa Tanahperiuk (era Ginde Ruslan) masih dalam wilayah Marga Proatin V.

   Menurut penuturan Muslimin (wawancara 1 Jan 2021), nama Ekamarga diusulkan oleh tokoh masy. Ekamarga dan disepakati oleh Pasirah Oemar Hasan. Kata "eka" merujuk kepada nama asal Ketuan I, sedangkan"marga" diambil dari bagian wilayah Marga Proatin V.

   Masih menurut Muslimin, pelebaran dan pengoralan jalan dari Simpangperiuk ke Tugumulyo yg melintasi Ekamarga adalah pada Tahun 1962 di era Bupati Zainal Abidin Ning (1958-1964). Sekadar flashback sejarah, jembatan Simpangperiuk awalnya berupa jembatan gantung (1955/1956-an), dan pernah putus tahun 1963-an.

   Bahkan jauh sebelum itu, sekitar di tahun 1937 hingga 1957-an jalur Lubuklinggau ke Tugumulyo melalui tanggul Siringagung dan menyeberangi sungai Kelingi di Tabapingin (sekitar Pemda). Mobil angkut Chevrolet dan Power Wagon yang membawa hasil bumi ke Lubuklinggau hanya bisa menyeberang jika sungai Kelingi surut.

   Pembangunan jembatan beton Simpangperiuk baru dilaksanakan pada tahun 1972-1974 (berbarengan dengan pembangunan Jembatan Musi di Tebingtinggi/Empatlawang) oleh BUMN Waskita Karya dan hingga kini masih fungsional sebagai jembatan kembar.

   Pasca-terbit UU No. 5 Th 1979 dan aturan derivasinya, maka sebutan Dusun diganti menjadi Desa sedangkan jabatan Ginde diubah menjadi Kades; dan yang memprihatinkan dengan Kpts Gub. Sumsel No. 142 Tahun 1983, maka status Pemerintah Marga dihilangkan dalam sistem pemerintahan daerah. Kades kedua adalah Sdr. Sahuri (1984-1991) dan dilanjutkan oleh Sdr. Legiman sebagai Kades ketiga (1991-2002). Ketika terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), maka status Desa Ekamarga berubah menjadi Kelurahan Ekamarga Kec. Lubuklinggau Selatan.

    Catatan sejarah lokal ini lebih merupakan inisiatif awal bagi penulisan sejarah yang lebih lengkap dan akurat, secara berkelanjutan. Kesulitan merekonstruksi catatan sejarah adalah minimnya dokumen tertulis dan semakin langkanya narasumber yang kredibel dengan daya ingat kuat. Semoga tulisan ini mengilhami siapa pun yang berminat untuk mendalaminya; dan dukungan pejabat daerah sungguh sangat besar manfaatnya. Allohu'alam bishshowab.

[*] Muarabeliti, 1 Januari 2021 *) Blogger : www.andikatuan.net

Senin, 07 Desember 2020

SERIAL SEJARAH SILAMPARI (2)

DESEMBER: MONUMEN HEROIK DI BUMI SILAMPARI (2)

Oleh: Hendy UP

   Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Perang Dunia II melibatkan dua kekuatan: negara-negara "SEKUTU" dan negara-negara "POROS". Terjadi mulai 1-9-1939, ketika Jerman menginvasi Polandia sebagai anggota "Sekutu" (Uni Soviet, USA, Inggris, Prancis, Cina, Australia, Belanda, Norwegia, Polandia, dll).

   Jerman bersama Italia, Jepang dll, yang membentuk negara "Poros" menyerah pada 2 September 1945, setelah Hirosima dan Nagasaki di bom-atom pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Walaupun pada 15 Agustus 1945 Kaisar Hirohito telah mendeklarasikan kekalahannya, namun ternyata masih terjadi dualisme antar-petinggi di Jepang.

   Dewan Penasihat Militer Jepang, khususnya PM Suzuki dan Men-AD Korechika Anami menginginkan terus berperang ketimbang menyerah. Sementara, Men-AL Mitsumasa Yonai (yang didukung Kaisar) menginginkan menyerah. Demikianlah menurut sejarawan militer Amerika Richard B. Frank, dalam buku "Downfall: The End of the Imperial Japanese Empire" (1999).

   Akibatnya adalah, para petinggi Militer Jepang di Indonesia bersifat ambigu dalam menyerahkan kekuasaannya. Lebih-lebih karena Lubuklinggau memiliki dua jenis perkebunan besar (sawit di Tabarejo dan karet di Belalau).

   Karena hingga Desember 1945 Jepang masih bercokol di Lubuklinggau, dan tampaknya berkolaborasi dengan Sekutu untuk menguasai kembali RI, maka para Laskar Pejuang SILAMPARI merasa jengkel dan marah terutama setelah menangkapi para pejuang dan memenjarakannya serta menurunkan bendera MERAH PUTIH di kantor Pemerintah Daerah (sekarang jadi Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau).

   Para pejuang yang ditangkap dan dianiaya Jepang di penjara (Butai) Lubuktanjung (kini Markas Kodim 0406) antara lain adalah: Pangeran Mantap (Pasirah Tiang Pungpung Kepungut), Pangeran Amin RA (Pasirah Proatin V), dan Djikun Gindo Tabapingin.

    Penyerangan Markas Jepang direncanakan pada Sabtu, 29 Desember 1945; dan telah mendapat persetujuan Panglima Mayjen Emir M. Noor, Mayor Alamsjah, Mayor Doelhak, Mayor Sanaf, Letkol Ryakudu, Kol. Aboenjani, Kapten Sulaiman Amin, Mayor Saihusin, yakni pada saat kunjungan maraton ke Lahat, Lubuklinggau dan Jambi.

   Ratusan pemuda dan sejumlah Suku Anak Dalam mendaftarkan diri. Untuk jaminan konsumsi disiapkan dapur umum di Dusun Selangit, yang dikoordinir oleh M. Sani (Pasirah Marga BK Lakitan).

   Komandan penyerangan dipimpin Kapten Sulaiman Amin, yang dibantu oleh KH. Mansyur, KH Latif, HM Tohir, H. Matajah, Lambun; dari TKR Kewedanaan Rawas antara lain H. Hasan, Yusuf Randi dan Yusuf Holidi.

   Maka terjadilah serangan heroik Sabtu pagi dengan senjata seadanya yang dibalas senapan mesin Jepang di kawasan Permiri, Stasiun KA dan Simpangtiga Jln. Sudirman. Adapun anggota pasukan yang gugur sebanyak 39 orang lebih, 83 orang penumpang KA (dan para pedagang) dan 85 orang tentara Jepang. Ke-39 orang pejuang itu adalah:

● Dipimpin oleh H. Markati bin Pg. Akim: (1) Kodar bin H. Kudus, (2) Naman bin Bujud, (3) Sutar bin Talib, (4) Sur bin Sehak, (5) Cik Ani bin Samid, (6) Marsin bin Rosik, (7) Alikati bin Manan/Muaratiku, (8) Tupat.

● Dipimpin oleh H. Bani Binginrupit: (9) Sarikan bin Abdul Ani, (10) Saleh bin Salusin, (11) Kacing bin Rahambang, (12) Lingsir, (13) Musa bin Nimat, (14) Usup bin Bujang, (15) Jalal bin Nahting, (16) Abu bin H. Dusin, (17) Haroman bin M. Zen, (18) Dahasan bin Dilisin.

● Dipimpin Jemak dari Karangdapo: (19) Jemak, (20) Makrup/Sungaibaung, (21) Pak Long.

● Dipimpin oleh H. Toher-Matsyah: (22) Mu'is bin H. Hasyim/Maurlama, (23) To'ib bin Zaila, (24) Muhamad bin H. Uning.

● Dari Surulangun Rawas: (25) Rajo, (26) Basir bin Lujud, (27) Nadin bin Bakom, (28) Maid, (29) Sulai bin Tanding, (30) H. Kasim bin H. Kodir, (31) Dua orang Suku Anak Dalam, (33) Dusin, (34) Mahmud bin H. Din, (35) Tohir bin Sain/Maurlama, (36) Ismin bin Jamaludin/Maurlama, (37) Muhamad bin H. Unang/Maurlama, (38) Kartak bin Karto/Maurlama, (39) Dan lain2 yang tidak terinventarisir. [Bersambung...]

*)Muarabeliti, 4 Desember 2020 Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 04 Desember 2020

SERIAL SEJARAH SILAMPARI (1)

DESEMBER: MONUMEN HEROIK DI BUMI SILAMPARI (1) 

Oleh: Hendy UP *) 

   Bagi pemerhati sejarah bari Silampari, Desember adalah bulan heroik yang mencatat momen-momen berdarah, yang kemudian menggumpal menjadi monumen sakral perjuangan rakyat semesta Bumi Silampari.

   Yang dimaksud perjuangan rakyat semesta Bumi Silampari, masa kini adalah mencakup wilayah Kabupaten Musirawas, Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Muratara. Sejarah "Desember Heroik" ini bisa kita baca pada dokumen "Monumen Perjuangan Kab. Musi Rawas" yang diterbitkan oleh Bupati Drs. HM Syueb Tamat pada 28 Januari 1987. Juga dilengkapi dokumen Peringatan HUT RI Ke-9 tahun 1954 di Palembang pada era Gubernur Dr. M. Isa.

    Kebetulan saya pernah menggali hal-ihwal sejarah ini kepada Sekretaris Tim Penyusun Dokumen tersebut, yakni Drs. H. Sofian Zurkasie, yang pada saat itu menjabat Kabag Pemerintahan Setwilda Tk II Musirawas. Menurut catatan Sofian Zurkasie, pada hari Ahad pagi, 19 Desember 1948 (17 Syafar 1368 H) tentara NICA (Netherlands Indische Civil Administration) yang dipimpin oleh Jenderal Spoor membombardir tiga kota penting di Indonesia, yakni: Yogyakarta, Bukittinggi dan Lubuklinggau.

   Serangan Belanda itu menggunakan pesawat Bomber B.25 dan Mustang, menghamburkan peluru dari senapan mesin dan menerjunkan tentara payung di Lubuklinggau dan sekitarnya.

   Mengapa ketiga kota ini dianggap vital oleh Belanda/NICA?

1. Yogyakarta, sejak 4 Januari 1946, adalah menjadi ibukota RI. Hal ini terkait dengan keikhlasan dan dukungan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang bergabung dengan RI pada 19 Agustus 1945. Pada 21 Juli 1947 Belanda melakukan Agresi I dan menyerang Yogya karena RI dianggap tidak menepati Perjanjian Linggarjati, untunglah Dewan Keamanan PBB menghentikan arogansi Belanda. Akan tetapi pada serangan Agresi II ini (19 Desember 1948), Belanda berhasil menguasai Yogya dan menawan Presiden Soekarno, Hatta dan beberapa Menteri termasuk KSAU Surya Dharma (baca: Tahta untuk Rakyat: 1982, hal 139-141).

2. Bukittinggi adalah ibukota Pemerintah Darurat RI, pasca-direbutnya Yogya pada 19 Desember 1948 Ahad pagi. Sebelum Soekarno-Hatta tertawan, beliau berdua mengirim surat kawat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran Rakyat (yang sedang berada di Sumatera) agar membentuk Pemerintahan Darurat RI di Bukittinggi. Mr. Syafrudin secara resmi berhasil membentuk PDRI pada 31 Maret 1949.

3. Kota Lubuklinggau adalah merupakan Markas Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) sementara, di bawah pimpinan Kol. Maludin Simbolon (24 Juli 1947 hingga 31 Desember 1948. Maka jelaslah bahwa Lubuklinggau memiliki posisi strategis di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Di samping itu, Lubuklinggau adalah ibukota sementara Keresidenan Palembang (Residen A. Rozak) pasca-Agresi I hinggau Agresi II.

   Sekadar flash back, pada 5 Oktober 1945 Presiden Soekarno menginstruksikan dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Presiden mengangkat Kol. Soedirman menjadi Panglima Besar TKR dengan pangkat Jenderal Mayor dan Kepala Staf Oerip Soemohardjo dengan pangkat Letnan Jenderal.

   Menjelang akhir 1945, Pemerintah mengangkat dr. AK Gani sebagai Koordinator TKR Wilayah Sumatera yang membawahkan 6 Divisi. Divisi I dan II berada di Sumsel. Tiga tahun sebelumnya, yakni pada 29 Desember 1945, terjadi perjuangan berdarah perebutan kota Lubuklinggau dari Jepang karena belum menyerahkan kekuasaannya.

   Maka terjadilah jihad pagi merebut kota Lubuklinggau. Adapun pejuang yang gugur, luka serta ditawan Jepang/Belanda pada Agresi I dan Agresi II yang telah terinventarisir per 21 Januari 1987: 56 orang gugur, luka-luka 6 dan ditawan 15 orang.

[Bersambung].

*) Muarabeliti, 1 Desember 2020     Blogger: www.andikatuan.net

Ditukil dari: (1) MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT MUSI RAWAS; (2) Tahta Untuk Rakyat; Gramedia, 1982, hal 139-141; (3) Api Sejarah Jilid II, Surya Dinasti, 2016, hal 267-273.

Kamis, 10 September 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (10)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (10)

Oleh: Hendy UP *)

D. Era Pra & Pasca-Kerajaan

    Pada serial ke-3 telah disinggung tentang asal-usul desa dan beberapa jenis desa adat dan desa khusus, yang kemudian diformalkan oleh penjajah Belanda sebagai 'kesatuan masyarakat hukum' (inlandsche gemeenten).

    Secara asasi, muasal terbentuknya komunitas desa purba adalah bersifat otentik-organis yang tercermin dalam model paguyuban, persekutuan dan gotong-royong (gemeinschaft). Lalu secara gradual bergeser ke sifat idealis-rasional dalam bentuk personal-group (gesellschaft, patembayan). Hal ini diungkapkan oleh sosiolog F. Tonnies dalam bukunya "Gemeinschaft und Gesellschaft" yang dikutip Bayu Surianingrat [1976: 19].

    Di era digital-milenial kini, saya meyakini bahwa tampaknya telah pula bergerak secara radikal dari sifat personal-group (gesellschaft) menjadi masyarakat yang bersifat 'perseorangan-mandiri' (personal-independent). Penyebabnya antara lain adalah meluruhnya sendi-sendi beragama, bergesernya norma-adat, yang diperburuk oleh isu HAM ala Barat yang cenderung sekuler. Kaidah pembenarannya dibungkus justifikasi 'hukum-kebebasan' dan demokrasi dengan pasal-pasal 'syaiton' yang melingkarinya.

    Hal ini semakin tampak di negara-negara maju yang sistemnya telah mampu menjamin peri-kehidupan supra-modern dengan aneka fasilitas jaminan sosial serta jasa profesional. Hampir seluruh kendali pikiran dan tindakan masyarakatnya digerakkan oleh teknologi yang bersifat 'virtual-mandiri' seakan tanpa memerlukan bantuan orang lain.

    Kembali ke tesis awal, bahwa hadirnya entitas negara (kerajaan/kesultanan) di Nusantara kuno adalah akibat dua hal: (1) pengaruh budaya luar yang diadopsi, dan/atau (2) munculnya dorongan akan kebutuhan mempertahankan entitas suku mayoritas (genealogis) dan wilayah (teritorial). Untuk itu secara instingtif diperlukan sekelompok orang yang mampu memimpin dan mengamankan identitasnya (suku bangsa dan wilayah).

    Desa-desa adat yang otonom (self governing community) yang tidak terlibat dalam pembentukan kerajaan tetapi secara geografis berada di wilayah yang diklaim sebagai teritorial kerajaan, secara bertahap menyesuaikan diri untuk menghindari perseteruan dengan cara mengakui keberadaan Sang Raja. Tentu dengan segala konsekuensi kepatuhan terhadap norma kerajaan, pembayaran upeti, pengakuan legalitas dan identitas desa serta jaminan perlindungan keamanan.

    Beberapa desa adat yang jauh dari rentang kendalinya (span of control) kerajaan, karena mungkin dianggap tidak potensial mengganggu kerajaan, cenderung lebih bertahan otonominya dan relatif lebih sempurna meninggalkan warisan budaya aslinya hingga masa tertentu.

    Komunitas adat yang memelopori eksistensi desa adalah para tokoh dan para 'inner-cycle'-nya yang sering disebut tetuo atau 'danyang-desa'. Mereka mimiliki kelebihan 'intelektualitas' dan kesaktian (kanuragan) secara batiniah dan fisik.

    Pada awalnya, dalam menyelenggarakan 'pemerintahan' desa, mereka tidak memperoleh petunjuk dari kerajaan, karena belum terikat hubungan hierarkis secara legal. Ide dan wawasan (ideas & insight) dalam menyelenggarakan pemerintahan (krajan/kerajaan) lebih didasarkan kepada mitos nenek moyangnya dan dikembangkan sendiri menurut nilai keraifan lokal.

    Menurut Hanif Nurcholis (2011), pada ghalibnya penyelenggaraan krajan menyandarkan pada 3 pilar: (1) lembaga krajan/pemerintahan, (2) lahan untuk kepemilikan pribadi, dan (3) lahan untuk kepemilikan komunal. Krajan dipahami sebagai pusat pemerintahan (center of exellence/keraton/ibudesa/ibukota).

    Elit desa (para danyang) diakui dan diberi hak istimewa oleh rakyat untuk mengatur dan/atau menata desanya; menciptakan norma hukum dan menegakkannya demi keamanan, ketertiban, kepastian hak/kewajibsn seeta ketenteraman warga. Oleh karena itu para elit desa diberi tanah jabatan (lungguh/bengkok/apanage) sebagai honorarium (penghargaan desa) selama masih memangku jabatan itu. [Bersambung...]

Muarabeliti, 31 Agustus 2020

*)Blogger: www.andikatuan.net

Sabtu, 05 September 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (9)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (9)

Oleh: Hendy UP *)

C.5. Pengaruh Budaya Asing

    Patut dicatat bahwa jutaan tahun pasca-berkembangnya komunitas purba Arabia zuriyat Nabi Adam As, migrasi manusia ke seantero jagad bergerak malalui jalur lautan dan daratan.

    Menurut Wheatley (1961) dalam "The Golden Khersonese", jalur perhubungan dagang Arab~Nusantara telah terbangun jauh sebelum era Islam. Secara geografis, wilayah daratan yang lebih dekat dari Arabia ke Nusantara adalah melalui 'jalur-sutra' yang melintasi kawasan India, Cina, Champa dan semenanjung Malaya.

    Sedangkan Denys Lombard (1981) mencatat dalam Le Carrefour Javanais, bahwa sejak Dinasti Shang ( masa seribu tahun kedua SM), hingga Dinasti Han (Kaisar Wang Ming: tahun 1-6 SM), Cina sudah mengenal Nusantara yang disebut Huang-tse. Mereka menyebut bangsa Nusantara sebagai Kun Lun yang telah menguasai teknologi tinggi perkapalan di maritim dibandingkan Cina.

    Bahkan seorang sekretaris Fa Hsien bernama Wan Zhen dari Nanking, mencatat bahwa kapal bangsa Nusantara jauh lebih besar, dengan panjang 200 kaki (65 m), tinggi 20-30 kaki (7-10 m) dengan kapasitas 700 orang plus muatan 10.000 hou, dan disebut Po (prau/perahu).

    Adapun pengaruh Yunnan-Champa, khususnya dengan penganut Islam di Nusantara, terbukti telah terjalin pada abad ke-10 M pada era Raja Indravarman III yang mengawini Ratu Tapasi yang merupakan saudari Raja Sri Kertanegara dari Singosari. Hubungan ini berlanjut hingga era Majapahit yakni ketika Raja Sri Kertawijaya menikahi anak Raja Champa yang bernama Darawati, yang kelak menurunkan raja-raja Mataram Islam.

    Jejak budaya Islam Champa dalam bahasa Nusantara antara lain berupa sebutan: mak (orangtua perempuan), kakak (saudara tua), adhy/adik (saudara muda), kacho/kachong (anak laki2); yang berbeda dengan bahasa Majapahit seperti: ina (ibu), raka (kakak), rayi (adik) atau rare/lare (anak-anak).

    PBahkan menurut sejarawan Islam Agus Sunyoto (2012), ritual peringatan pasca-kematian tiga-hari, nujuh-hari, 40-hari dan seterusnya serta istilah kenduri, haul, takhayul itu berasal dari budaya Champa yang kelak 'diluruskan' perlahan-lahan oleh Walisongo sebagai strategi da'wah.

    Adapun pengaruh budaya India, Persia dan Arabia terjadi jauh sebelum era Islam, yakni melalui jalur perdagangan (barter) rempah-rempah khususnya cengkih dan juga 'kapur-barus' (yang berasal dari Barus di Sumatera Utara). Pada tahun 70 Masehi, cengkih Nusantara telah diperdagangkan oleh niagawan India, Persia dan Arabia hingga ke Roma lewat Iskandariah.

     Namun baru 200-an tahun kemudian, ahli ilmu bumi Arab (Abu al-Faida) menyebut Nusantara. Catatan era Dinasti Tang menyebutkan bahwa para pemimpin saudagar Arab menetap di pantai barat Sumatera dan di negeri Kalingga di Jawa. Pun pula, para saudagar India, Persia dan Arabia (pasca-Islam) adalah pelintas-negeri yang handal karena didorong untuk misi dagang sembari berda'wah dengan meyakini dalil "ballighu 'anni walau ayatan"(sampaikan apa yang dari aku walaupun satu ayat), yang merupakan hadits Rasululloh Salallohu 'alaihiwassalam. [Bersambung...]

Muarabeliti, 23 Agustus 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (3)

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (3)

Oleh: Hendy UP *)

    "Four things belong to a judge; to hear courteously, to answer wisely, to consider soberly and to decide impartially".

    Itulah prolog Prof. Jawahir Thontowi, guru besar FH-UII Yogyakarta, ketika menyampaikan diseminasi terhadap hasil eksaminator kasus OTT-RM pada 13 Juli 2019 di Yogyakarta (hal 243~264).

    Selanjutnya, ia menuturkan bahwa sebelum menganalisis hasil eksaminator perlu dikedepankan prinsip dasar universal tentang 'due process of law and fair trial' untuk menentukan ketepatan hasil kajian; dan menguji putusan MA, PT dan PN. Apakah para hakim telah menggunakan prinsip tersebut dalam melakukan pemeriksaan alat-alat bukti, surat, saksi dll. secara benar, sah, teliti, akurat dan terbuka?

    Kecenderungan selama ini, menurut Prof. Jawahir, putusan hakim dari tingkat bawah hingga MA terumuskan secara linier karena hanya menggunakan bahan dari konstruksi surat dakwaan hasil penyelidikan dan penyidikan para penyidik KPK (hal 244).

    Selanjutnya, dia mengutip parameter keadilan hukum dari John Rawls dan Michael Sandle bahwa 'keadilan substansif' secara umum mengandung 5 komponen: (1) mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right thing); (2) terpenuhinya kebahagiaan sebagian terbesar warga (utilitarianisme); (3) kami bagian dari milik kita sendiri (do we own our-self); (4) pasar dan moral (market and morality), dan (5) motif di balik itu semua (what matters is the motive).

    Prof. Jawahir juga merujuk pendapat Judge Henry Friendly (Hakim MA USA) yang merinci 10 elemen pemeriksaan dalam menerapkan konsepsi 'due process of law'(DPL), antara lain prinsip 'the right to have decision based only the evidence presented' yakni bahwa Majelis Hakim hendaknya dalam membuat putusan didasarkan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan (hal 246~247).

    Selanjutnya beliau menilai, bahwa para hakim tidak memenuhi prinsip DPL yang diatur dalam KUHP. Akibatnya, hukuman berat yang diputuskan hakim tidak didasarkan atas bukti-bukti dan fakta-fakta yang tepat dan benar di persidangan; melainkan didasarkan pada logika hukum opini imajener (mythos) yang tidak tepat dan tidak akurat, bahkan bertentangan dengan peraturan hukum Tipikor (hal 248).

    Dengan membedah hasil eksaminasi, Prof. Jawahir menilai pula bahwa secara kajian ilmu hukum, penerapan OTT terhadap RM diragukan validitasnya; karena di-OTT saat menjenguk LMM dan tidak sedang melakukan kejahatan. Anehnya, JPU menempatkan T1 sebagai terdakwa primer, sementara T2 yang jelas-jelas di-OTT KPK dijadikan terdakwa sekunder.

    Hal ini menimbulkan 'kebimbangan' pihak JPU sehingga menggunakan dakwaan alternatif. Lalu menggunakan Pasal 12 butir (a) yaitu perbuatan suap juncto Pasal 11 tentang gratifikasi yang dapat dilakukan oleh PNS; dan PNS dapat menarik subjek lain non-PNS.

    Di bagian akhir, Prof. Jawahir menilai bahwa putusan hakim terhadap RM adalah tanpa argumentasi faktual akurat, dengan merujuk teori hukum inklusif yakni suatu pemahaman hukum yang tidak dapat dilakukan secara linier-positivistik, tetapi menuntut pendekatan non-linier dengan harapan kebenaran dan keadilan dapat tercapai (hal 256).

    Resensi ini tidak hendak memberi penilaian atas putusan hakim yang sudah 'inkracht', namun sekadar meresume sebuah buku yang mengurai jalannya sebuah peradilan kasus Tipikor; yang menurut para pakar hukum (para eksaminator dan diseminator) kurang memenuhi keadilan hukum dan karenanya perlu "Menggugat Keyakinan Hakim Tanpa Alat Bukti", sebagaimana judul buku ini [*]

Muarabeliti, 3 September 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (2)

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (2)

Oleh: Hendy UP *)

    Sekadar mengingat dan mengulas validitas putusan, bahwa vonis hakim yang diuji (eksaminasi) adalah: (1) putusan Pengadilan Tipikor PN Bklu Klas IA No. 45/Pidsus-TPK/2017/PN-BGL tgl. 11 Januari 2018, (2) putusan Pengadilan Tinggi Bklu No. 4/Pidsus-TPK/2018/PT.BGL tgl. 28 Maret 2018, (3) putusan MA-RI No. 1219 K/Pidsus/2018.

    Pada Bab 1 (halaman 6~14), diuraikan tentang: pasal dakwaan, tuntutan pidana, nota pembelaan dan pertimbangan hakim. Selanjutnya diuraikan pula amar putusan para hakim di 3 tingkat peradilan (hal 14~16).

    Sedangkan Bab 2 (hal 17~84) menguraikan detail hasil para eksaminator yang mengaitkan vonis hakim dengan logika akademis (ilmu hukum pidana). Dalam perkara 'a quo', berkas perkara antara Terdakwa I (RM) dan Terdakwa II (LMM) digabung (voeging) dengan menggunakan dakwaan alternatif. Kesatu: Pasal 12 huruf a UU No. 31 Thn 1999 jo UU No. 20 Thn 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP; atau Kedua: Pasal 11 UU No. 31 Thn 1999 jo UU No. 20 Thn 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Setelah melalui proses persidangan, akhirnya hakim Pengadilan Tipikor menerbitkan amar putusannya sebanyak 6 poin, antara lain: "menjatuhkan pidana kepada T1 (RM) dan T2 (LMM) dengan pidana penjara masing-masing 8 tahun, berikut denda Rp. 400 juta (subsider 2 bulan pidana kurungan)" serta menjatuhkan pidana tambahan kepada T1 berupa pencabutan hak utk dipilih dalam jabatan publik selama 2 thn pasca-menjalani pidana pokok.

    Karena T1 dan T2 mengajukan banding, maka melalui proses persidangan, hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu menerbitkan vonis dengan 6 amar putusan, antara lain: "menjatuhkan pidana kepada T1 dan T2 dengan pidana penjara masing2 9 tahun berikut denda Rp. 400 juta (subsider 2 bulan kurungan), serta menjatuhkan pidana tambahan kepada T1 berupa pencabutan hak utk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun pasca-menjalani pidana pokok".

    Tak puas dengan vonis banding, T1 dan T2 mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Alhasil vonis MA menetapkan 4 amar putusan, antara lain: "menolak permohonan kasasi T1 dan T2; dan memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu dan Pengadian Tipikor Bengkulu mengenai pidana kurungan pengganti denda menjadi masing-masing 8 bulan penjara".

    Intinya, setelah T1 dan T2 melakukan upaya hukum, pada akhirnya tetap divonis menjalani pidana kurungan selama 9 tahun dengan denda Rp. 400 juta serta pidana pengganti 8 bulan penjara, plus dicabut hak dipilih dlm jabatan publik utk T1 selama 5 tahun pasca-menjalani pidana pokok.

    Hasil eksaminasi oleh para ahli hukum pidana (Bab 3, hal 85~200) antara lain disimpulkan sbb: pertama, bahwa utk menerapkan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP khususnya 'turut serta' dalam konteks perkara a quo, maka hal itu tidak terbukti. Bahwa agar 2 orang atau lebih dapat disebut sebagai 'medepleger', harus dibuktikan kesengajaan ganda (doble opzet), yaitu kesengajaan utk melakukan kerjasama dan pelaksanaan suatu delik secara bersama-sama yang dilakukan secara sengaja.

    Kedua, tentang pembuktian unsur-unsur delik pasal 12 huruf a UU Tipikor, disimpulkan bahwa fakta hukum yang digunakan majelis hakim untuk membuktikan unsur 'dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya', tidak tepat karena substansinya justru mengarah kepada pembuktian delik pemerasan. Ketiga, tentang lamanya pidana kurungan pengganti denda, dari 2 bulan menjadi 8 bulan oleh majelis hakim kasasi, dengan alasan bahwa pidana pengganti denda yang dijatuhkan 'judex facti', selain belum memenuhi rasa keadilan, juga pertimbangan hakim dinilai keliru.

     Menurut para eksaminator, hal ini melanggar pasal 30 ayat (2), (3) dan (5) KUHP yang menentukan bahwa pemberatan pidana kurungan pengganti denda selama 8 bulan karena terkait perbarengan atau karena pengulangan. Kedua alasan tersebut sama sekali tidak terbukti dalam perkara a quo. [Bersambung...]

Muarabeliti, 3 September 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (1)

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (1)

Oleh: Hendy UP *)

    Judul buku ini: "Menggugat Keyakinan Hakim Tanpa Alat Bukti: Eksaminasi Putusan OTT Ridwan Mukti". Diterbitkan oleh FH-UII Press kerja sama dengan Pusdiklat FH-UII Yogyakarta. Dicetak pertama kali Oktober 2019, warna cover dark-grey bergambar palu hakim, ukuran standar 23 x 16 cm.

    Sekadar flash-back, pada Selasa 20 Juni 2017 sekitar pukul 09.30 WIB terjadi OTT oleh KPK terhadap Rico Diansari (RD) dan Lily Martiani Maddari (LMM). Kala itu Gubernur RM sedang memimpin rapat di kantor dan diberitahu ada OTT, maka RM segera menjenguk LMM di Mapolda Bengkulu; lalu serta-merta KPK meng-OTT-kan RM.

    Setelah melalui proses panjang persidangan mulai di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Pengadilan Tinggi Bengkulu, hingga sidang kasasi di MA, diputuskan penjatuhan pidana penjara kepada RM (T1) dan LMM (T2) masing-masing 9 tahun dengan denda Rp 400 juta subsider 8 bulan kurungan, plus pidana tambahan kepada RM berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun pasca-menjalani pidana pokok.

    Yang menarik dari buku ini, khususnya bagi praktisi hukum, para sarjana hukum, bahkan awam sekalipun, adalah untaian prolog dari seorang pakar hukum yang menguji gagasan (ideas) sembari menyibak atmosfir wawasan (insight) peri-keadilan hukum yang sedang terjadi di Bumi Nusantara.

    Beliau adalah Prof Mafud MD mantan Ketua MK periode 2008-2013. Sang Profesor membuat permenungan, lalu mencermati detail eksaminasi (pengujian) vonis dan logika akademis dalam kasus OTT Ridwan Mukti dari para guru besar ilmu hukum. Sayang, buku ini tidak mencantumkan Tim Kuasa Hukum RM yang dengan kepakaran dan kepiawaiannya tetap saja sia-sia meyakinkan para hakim dalam memutuskan perkara ini.

    Penyusun buku ini sebanyak 5 orang, semuanya berlatar ilmu hukum dari UII, UNDIP, UI, yakni: Dr. M. Arif Setiawan, Dr. Nurjihad, Dr. Mahrus Ali, Eko Rial Nugroho, MH dan Rizky Ramadhan Baried, MH. Para eksaminator atas putusan hakim, baik di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Pengadilan Tinggi Bengkulu maupun Mahkamah Agung RI, berjumlah 7 guru besar ilmu hukum, yakni: Nyoman Serikat PJ, Nur Basuki Minarno, Eddy OS Hiariej, Hibnu Nugroho, M. Arif Setiawan, Hanafi Amrani, dan Trisno Raharjo.

    Sedangkan para diseminator dalam buku ini adalah: Prof. Jawahir Thontowi, M. Abdul Kholiq, Mahrus Ali dan Aloysius Wisnosubroto. Buku ini terdiri dari 3 bab (hal 1~90), dilengkapi dengan 3 lampiran (hal 91~295).

    Bab 1 berupa ringkasan perkara, yang mengurai: posisi kasus, pasal dakwaan, tuntutan pidana, nota pembelaan, pertimbangan hakim dan amar putusan. Sedangkan Bab 2 terdiri dari 4 subbab yang merinci perihal: eksaminasi terhadap delik 'turut serta', pembuktian unsur-unsur delik pasal 12 huruf a UU Tipikor, pertimbangan pemberatan pidana penjara, hingga pemberatan pidana kurungan pengganti denda.

    Dalam prolog-permenungannya, Prof. Machfud MD sangat terkejut ketika mendengar berita OTT-RM. Betapa tidak, karena di saat masa kampanye Pilgub Bengkulu, beliau adalah sebagai 'penasihat' RM dengan mendirikan "MMD Initiative" dengan radio-amatirnya utk menggoalkan RM sebagai gubernur.

    Tidak hanya itu, bahkan pasca-terpilihnya RM, Prof. Machfud merekomendasikan 4 temannya untuk membantu RM dalam mengawal kampanye anti korupsi dan transparansi birokrasi Pemda.

    Menurut Machfud, sungguh formulasi OTT terhadap RM dinilai agak ganjil, karena RM sedang menjenguk istrinya di Mapolda, tiba-tiba di-OTT pula. Mestinya, OTT dilakukan terhadap orang yang sedang melakukan kejahatan. Kalau pun hendak ditersangkakan, harusnya melalui proses penersangkaan biasa atas dasar 2 alat bukti yang diperoleh secara terpisah.

    Lebih lanjut Machfud mengkritik bahwa ada ketidaksinkronan antara dakwaan dan keterangan para saksi serta fakta hukum di persidangan. Oleh karena itu, dari hasil eksaminasi para pakar hukum terhadap pemidanaan RM, disimpulkan tidak tepat jika dilihat dari ilmu hukum pidana. [Bersambung...]

Muarabeliti, 3 September 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 25 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (8)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (8)

Oleh: Hendy UP *)

     Karakteristik desa-desa purba yang masih murni ikatan sosial-genealogisnya, jauh sebelum pengaruh agama ardhi (Hindu-Budha) dan agama samawi (Nasrani-Islam), ternyata belum ada hubungan hierarkis antara desa dan raja-penguasa. Entitas kerajaan belum sepenuhnya terlembagakan.

    Ajaran Kapitayan, pada ghalibnya adalah pengakuan terhadap dzat ghoib yang esa. Interpretasi terhadap ke-esaan dzat ghoib itu terpatri dalam perilaku budaya, khususnya dalam semiotika-sosial yang artikulatif; kemudian diekspresikan ke dalam semiotika-bahasa yang mewakili keseharian hakikat kehidupan masyarakatnya. Istilah-istilah agama Kapitayan inilah yang kelak memperkaya entri kosa-kata Indonesia yang dipungut dari bahasa Sansekerta.

     Menurut sejarawan Islam Agus Sunyoto (2012), Sanghyang TU-nggal yang mahabaik itu disebut juga TU-han yang maha berwenang (Sanghyang Wenang). Sedangkan sifat mahajahatnya disebut TU-lah (Sanghyang Manikmaya). Penganut Kapitayan yang 'shaleh' akan dikaruniai kekuatan ghoib yang positif (TU-ah) dan yang negatif (TU-lah).

    Karena kedua sifat tadi bersifat abstrak, maka untuk mendekatinya diperlukan simbol 'benda-materialistik' agar bisa dikenali panca indra demi kemantapan jiwa-rohani. Dalam bahasa Sansekerta kita mengenal simbol benda yang dianggap mewaikili sifat ghoib yang dahulu dianggap keramat (memiliki karomah).

     Sebagai contoh, kita mengenal sebutan: TU-gu dan TU-ngkup (bangunan suci), TU-nda (bangunan punden-berundak), TU-nggul (panji-panji), TU-ban (air terjun keramat), TU-mbak (pusaka keramat), dll. Juga terpatri dalam simbol TO, seperti: TO-pong (mahkota), TO-san/TO-peng (pusaka), TO-porem (baju pusaka), TO-rana (gapura desa/keraton). Untuk memuja-bakti Tuhan, penganut Kapitayan menyediakan sesaji berupa TU-mpeng (nasi), TU-mpi (kue-tepung) yang disajikan dalam TU-mbu (keranjang bambu); dilengkapi dengan TU-kung (ayam) dan TU-ak (arak).

    Dalam ritual sembahyang(dari kata menyembah Sanghyang) di sebuah Sanggar ~ kelak diadopsi menjadi Langgar ~ pemimpin spiritualnya melaksanakan SOR (Standar Operasional Ritual), yakni: melakukan TU-lajeg (berdiri tegak, lama) menengadah ke arah TU-tuk (lobang di atap sanggar), sembari mengangkat kedua tangan, menghadirkan TU-han dalam TU-tud (jiwa).

     Setelah diyakini Tuhan telah bersemayam dalam jiwa, maka kedua tangan berswa-dikep (mendekap) dada, mengheningkang cipta dengan 'khusyu'. Jika telah merasa khusyu, lalu badan melakukan TU-ngkul (membungkuk, ruku), kemudian memosisikan diri ber TU-lumpak (bersimpuh, kedua tumit diduduki), dan posisi terakhir melakukan TO-ndhem yakni bersujud berlama-lama, seperti posisi bayi dalam perut ibu).

    Seseorang yang 'shaleh' akan terlihat perilakunya dalam keseharian, doanya makbul, memiliki kehebatan, disegani; dan dianugrahi sifat "Pi". Jika memberi penghargaan disebut PI-agam; jika berbicara resmi disebut PI-dato, jika mendengar PI-harsa, jika mengajar PI-wulang, jika berfatwa PI-tutur, jika memberi petunjuk PI-tuduh, jika menghukum PI-dana, dan jika memberi semangat disebut PI-andel.

     Demikianlah, para pengikut yang taat kepada Sang Rohaniawan ini akan memperoleh TU-ah darinya; dan yang mengingkarinya akan mendapat TU-lah yang mencelakakan sepanjang hidupnya.

C.4. TOKOH SPIRITUAL DESA

    Seseorang yang telah memiliki TU-ah dan TU-lah inilah, yang potensial menjadi Pemimpin adat/Kepala Suku yang kelak diberi gelar: ra-TU (keraton) atau dha-TU (kedhaton). Dan sosok inilah yang kelak menjadi kepala desa purba Nusantara.

    Mirip dengan prinsip pemilihan tokoh negara/politik Yunani kuno; di Nusantara pun dahulu kala mereka para Kades/Pesirah adalah merupakan "primus inter pares" (yang terunggul/pertama dari yang setara) di wilayah itu.

    Bahkan di desa purba Nusantara dulu, kedudukan tokoh adat/kepala desa jauh melampau prinsip 'primus inter pares', karena hanya ada satu tokoh unggul yang eksis karena memiliki ragam kelebihan TU-ah dan TU-lah. [Bersambung...]

Muarabeliti, 21 Agustus 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 18 Agustus 2020

DESA: SEJARAH & DINAMIKA (7)

DESA: SEJARAH & DINAMIKANYA (7)

Oleh: Hendy UP *)

    Untuk memahami asas otonomi desa adat (self governing community), terlebih dahulu kita harus mengaitkan konsep agama purba Nusantara. Pun pula, harus dimaknai bahwa pada era itu belum ada pengaruh agama Hindu-Budha, apatah lagi agama samawi (Islam, Kristen) yang dibawa para saudagar asing.

    Penyebarannya sangat luas, seluas jaringan pelabuhan yang memiliki ikatan pertukaran barang (barter) yang kelak menghasilkan entitas agama-kebudayaan 'angin muson'. Yakni meliputi: India, Tiongkok Selatan, Indocina, Nusantara dan sebagian kawasan Fasifik.

    Dari konsepsi keyakinannya, yang 'meng-esa-kan' zat ghoib sebagai inti ketauhidan ~ maka dapat diduga bahwa agama itu terkelindan dengan ajaran agama (al-din) yang dibawa oleh para Nabi sebelum turunnya al-Quran. Bukankah sejak Nabi Adam As semua ajaran yang dibawa untuk kaum (dan ummatnya) adalah merupakan 'huddan li nas'?

    Ketika orang Eropa memasuki wilayah Nusantara pada awal abad ke-17, mereka menyebutnya 'agama animisme-dinamisme'. Animisme dari kata Latin 'anima' yang berarti 'roh-ghoib' yang telah keluar dari raga (jasad), namun masih memengaruhi kehidupan manusia. Sedangkan dinamisme adalah keyakinan akan adanya kekuatan ghoib yang terikat benda-benda tertentu (yang dianggap keramat) dan mampu memengaruhi peri-kehidupan manusia.

    Di kawasan teritorial Jawa-Bali, catatan tentang keyakinan itu disebut agama 'Kapitayan' atau 'Sunda-Wiwitan'. Sunda Wiwitan pesat berkembang dan masih terlestarikan hingga kini terutama di Wilayah Baduy (Banten) dan Sukabumi. Apakah Baduy-Banten ada kelindan dengan suku Baduy-Arabia? Allohua'lam!

    Di luar Jawa-Bali niscaya terdapat keyakinan serupa, namun sangat minim literatur yang mengupas agama/keyakinan yang serupa dengan Kapitayan. Dari pelacakan epigraf dan dokumen lainnya, agama ini menggunakan bahasa Sansekerta yang pada jamannya merupakan bahasa umum (lingua-franca) di wilayah Nusantara.

    Adalah seorang sejarawan Islam Agus Sunyoto (2012) ~ saya mendapat ijin tertulis (sms) untuk menukilnya ~ yang mengkaji perihal agama Kapitayan yang masih terasa jejak-kulturalnya terutama di masyarakat Jawa Tengah & Timur dan Bali. Dalam cerita purba, para penganut Kapitayan (khususnya etnik Jawa keturunan Homo Wajakensis), leluhur mereka adalah tokoh mitologi Danghyang Semar bin Sanghyang Wungkuham, zuriyat dari Sanghyang Ismaya.

    Konon, asal-usul Danghyang Semar adalah dari sebuah negeri Lemuria atau Swetadwipa yang tenggelam akibat banjir-bandang mahadahsyat, sehingga mengungsi ke pulau-pegunungan yang tersisa yang kelak disebut Jawadwipa. Semar memiliki saudara bernama Hantaga (Togog) yang terpisah saat mengungsi dan mukim di luar pulau Jawadwipa.

    Mereka sama-sama mengajarkan agama Kapitayan dengan 'mazhab' yang agak berbeda. Leluhur Semar bernama Sang Manikmaya yang menjadi penguasa alam ghoib yang bertahta di 'arasy' Kahyangan. Mungkin karena berbeda tafsir awal ajaran (dan model amalannya) berikut faktor lingkungan fisik-geografis yang melingkupinya, maka kelak terjadi varian dalam kronik kebudayaannya bagi penganut Kapitayan (mazhab Togog) di luar Jawadwipa.

    Kapitayan bermakna 'kepercayaan' dan berasal dari kata 'pitaya' yang berarti percaya. Secara sederhana, Kapitayan digambarkan sebagai keyakinan yang memuja sembahan utama 'Sanghyang Taya', yang bermakna 'hampa' atau 'absolut'; tidak mampu dibayangkan, dipikirkan dan tak pula bisa dikenali oleh pancaindra. Dalam frasa Sansekerta disebut "tan kena kinaya ngapa' alias tidak mampu disentuh keberadaan-Nya.

    Karena keterbatasan ilmu dan instrumen adi-kodrati dalam membangun kerangka filsafat keagamaan, maka dicari metode 'shortcut' dengan semiotika sebagai 'menyatu' dalam sifat Illahiyah yang disebut Tu atau To.

    Tu atau To bermakna daya ghoib yang bersifat tunggal/esa/adi-kodrati/ (superhuman~> adjective noun). Dan sebutannya Sanghyang "TU-nggal"; dengan dua sifat: mahabaik & mahajahat. [Bersambung...]

Muarabeliti, 17 Agustus 2020

*)Blogger: www.andikatuan.net