WESEL DARI LANGIT
Oleh: Hendy UP *)
Alkisah, awal Juli 1992, di tengah kesibukan kantor Dinas Pertanian Rakyat Kab. Musirawas di Talangjawa Lubuklinggau, bergesahlah temanku Saeyono sembari menekan-nekan font mesin tik Oliveti yang berisik-misik. Orkestrasi ruangan semakin berantakan partiturnya, karena ditimpali suara kunyah gorengan ubikepar dan denting sendok-gelas kopi yang menggairahkan kerja.
Gesah Saeyono itu tentang penyakit "aneh" yang diderita Mulyadi bin Kasimin di Desa Samberejo Curup Provinsi Bengkulu. Sayang, kala itu belum ada HP Android yang bisa memfoto objek apa pun, sehingga aku hanya menangkap tutur cerita dan mengimajikannya setara dengan daya elaboratif nalarku.
Kata Yono, kaki kanan Mul bengkak sebesar ember karena "keseleo" saat main bola. Setelah berulang-ulang diurut dukun kampung, lalu berobat ke RS-DKT Lubuklinggau, namun bengkaknya tak kunjung kempes. Setelah terkuras uangnya, Pak Kasimin yang memang miskin, akhirnya "menggeletakkan" anaknya sembari menunggu keajaiban Tuhan. Pak Kasimin "pasrah-bongkokan" karena tak mampu lagi berikhtiar secara medikal yang berimbas ekonomik.
Cerita Yono itu sungguh membuat aku berempatik, tapi aku tak bisa berkutik untuk membantu sepeser duit. Maka malam harinya, di tengah kesunyian dusun Muarabeliti, tergeraklah aku menulis artikel "humanistik" untuk Tempo. Kala itu memang aku jarang absen membaca majalah mingguan Tempo untuk melengkapi berita harian koran Kompas yang harga langganannya masih Rp 30 ribuan per bulan.
Pada tgl 25 Juli 1992 tulisanku dimuat Majalah Tempo tentang penyakit aneh yang diderita Mulyadi. Kira-kira dua mingguan setelah artikelku di muat, datanglah wesel Rp. 30 ribu dari Tuan X di Jakarta untuk membantu pengobatan Mulyadi.
Setelah kucairkan di kantor Pos bersama Saeyono si penutur cerita, aku pesankan agar amanah Tuan X ini segera disampaikan kepada Mulyadi di Curup, yang berjarak sekitar 40-an km dari Lubuklinggau. Beberapa hari kemudian bergegaslah Yono ke Curup. Namun apa nasib: sakit Mulyadi telah sembuh total, karena penyakitnya telah diangkat oleh Sang Maha Pemilik Penyakit beberapa hari sebelum wesel tiba. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un!
Gesah humaniora ini menyajikan "ibroh" (pada era itu) tentang: sistem jaminan sosial-kesehatan oleh negara, kondisi kemiskinan akut masyarakat, dan kepedulian pemerintahan (lokal-regional-nasional) atas derita warganya.
Ketiga aspek tersebut sudah banyak diseminarkan di hotel berbintang oleh para petinggi negeri, baik yang birokrat maupun teknokrat; bahkan dihadirkan pula para konglomerat yang siap peduli untuk "membantu" negeri ini dengan sistem "ekonomik-ribawi" jangka panjang, putik-bunga berlipat-lipat seperti perangai IMF, CGI dan konco-konconya.
Okelah, itu soal klasik! Dan aku lebih tertarik untuk bergesah tentang aspek lain: semangat "solidaritas- spiritualnya". Tuan X di Jakarta, yang tergerak jiwanya utk mengirim wesel, agaknya orang yang terpilih oleh Malaikat untuk mewakili jutaan ummat-Nya bahwa masih ada keikhlasan yang rapat-rapat disembunyikan. Di masa kini, orang justru berlomba memamerkan kesalehannya setiap saat di status instagram dan WAG.
Tuan X niscaya bukan orang yang baru belajar agama tentang bagaimana praktik berbagi. Akan tetapi sedang mengamalkan metode "berperang" melawan "keserakahan" ibukota Jakarta yang serba "ekonomik-ribawi" nan menuhankan dunia. Dan kini mulai "dilawan" oleh para "homo-spiritualis" baik dari kalangan Islam, Katholik, Hindu-Budha dan komunitas yang lain.
Soal-soal kemanusiaan, sering kali berhimpit dengan himpunan lingkar keagamaan kita. Jika kita tak cerdas menyintesisnya, lalu tak bijak menyikapinya, niscaya kita terjebak dalam "perselisihan", bahkan menjurus kepada "pertengkaran teo-ideologis".
Kasus kemanusiaan di Uighur dan dentum meriam yang meluluh-lantakan kawasan Allepo pagi tadi, sungguh bukan lagi persoalan agama. Tapi telah melampaui jerajak teologia yang mengisyaratkan perlunya solidaritas-kemanusiaan. Allohu a'lam! [*]
*) Muarabeliti, 28 Desember 2019